Ini adalah cerita tentang Datu Maja Parua yang konon pernah memerintah di Sumbawa. Pemeritahannya adil dan bijaksana. Setiap hari Baginda bergaul dengan masyarakat untuk mengetahui keadaan masyarakat yang sebenarnya.
Pada suatu hari Datu Maja Parua ingin mandi-mandi ke sungai. Ia mengumpulkan semua wasir dan para menterinya untuk menyiapakan segala sesuatunya untuk keperluan itu. Sungai yang dituju bernama sunagi Berang Tiu Baru.Hari itu pun tibalah dan bersama-sama dengan wasir dan para menteri Datu Maja Paruapun berangkatlah. Di semak-semak jalan yang menuju ke kali, tiba-tiba terdengar suara anak menangis. Datu Maja Parua memerintahkan pada Sangadiarong (salah seorang wasir menteri) untuk mencari anak yang menangis itu. Anak bayimitu diketemukan dan segera dibersihkan dan Datu Maja Parua ingin membawanya pulang. Mandi bersama-sama pun berakhirlah dan waktu untuk pulang pun tiba. Anak bayi itu dibawa pulang dan Datu Maja Parua menyruh Sanga diarong untk membawa bayi itu kepada permaisuri ( Datu Bini) Alngkah girangnya Datu Bini melihat anak itu. Beliau berniat memeliharanya dan menyusuinya sendiri.
Kedua suami- isteri itu menyukai anak itu. Namun dalam hal itu, Datu Maja Parua secara diam-diam menyuruh beberapa orang untuk menyelidiki anak siapa yang dibuang di Berang Tiu Baru itu. Dan diketahuilah bahwa anak itu adalah anak seorang dyang-dayang, hasil hubungan rahasia anatara dayang-dayang itu dengan seorang "katip" yaitu orang yang mencarikan rumput untuk kuda Datu Maja Parua sendiri, itulah pula sebabnya maka anak yang didapat itu diberi nama Lalu Polas oleh Datu Maja Parua, karena waktu itu arti Polah adalah "Orang yang mengambil rumput.Nama ini diperintahakan agar disiarkan, diberiathulan kepada semua isi istana, kepada semua wanita dan kepada semua wasir serta menteri.
Lalu Polas menjadi orang dewasa yang baik, gagah, tampan berkelakuan baik, menjauhi semua yang dilarang baik larangan oleh adat maupun larangan oleh agama. Kelakuan yang baik itu rupanya menambah kasih sayang Datu Maja Parua kepadanya. Pada suatu hari Datu Maja Parua memanggil Lalu Polas dan bertanya padanya.
"Begini anakku! Maklum, sudah menjadi kodrat, seorang lelaki harus beristeri dan seorang wanita harus bersuami. Sekarang aku ingin bertanya padamu apakah kau mau beristeri. Hal ini ketuanyakan kepadamu untuk menjaga kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak kita inginkan."
Lalu Polas menjawab, "Ampun duli Tuanku, Perintah Tuanku patik junjung diatas batu kepala patik, hamba terima, Namun demikian, sudilah kiranya Tuanku menunjukkan siapakah bakal isteri patik itu." Datu Maja Parua bergembira mendengar jawaban Lalu Polas dan baginda memerintahkan agar semua anak gadis para wasir dan menteri dikumpulkan di istana. Kalau seperti pada masa sekarang ini sedang bulan puasa, kira-kira untuk diajak berbuka puasa. Kesibukan mulai tampak sejak sore untuk menyiapkan segala sesuatunya yang akan dihidangkan pada saat buka puasa itu bagi para wasir dan menteri dan para anak gadisnya. Antara Datu Maja Parua dan Lalu Polas terjalin suatu rahasia dalam hal cara memilih siapa di antara gadis-gadis itu yang diinginkan oleh Lalu Polas nanti. Lalu Polas disuruh masuk ke bawah tempat tidur, dan dari bawah tempat tidur itu, nanti Lalu Polas bisa mengintip, memilih anak gadis mana yang berkenan di hatinya.
Setelah selesai berbuka puasa, maka para wasir dan menteri itu berpamitan pulang, sedang Datu Maja Parua masuklah ke ruangan dalam, ketempat gadis-gadis itu berkumpul. Datu Maja Parua masih menahan mereka, katanya akan diajak berbincang-bincang dahulu. Demikianlah, sementara Datu Maja Parua berbincang-bincang dengan gadis-gadis itu, Lalu Polas dari bawah tempat tidur mengintip satu demi satu gadis-gadis itu. Pekerjaan itu pun selesailah dan Lalu Olas memberitahukan kepada Datu Maja Parua bahwa ia menginginkan putri Datu Sangadiarong. Kini tiba saatnya memikirkan bagaimana caranya untuk menyampaikan keinginan Lalu Polas itu kepada Datu Sangadiarong.
"Ah, lebih baikmenyampaikannya secara langsung," pikir Datu Maja Parua. Langsung pada Datu Sangadiarong sendiri. Untuk itu Datu Maja Parua memanggil Datu Sangadiarong. Setibanya Datu Sangadiarong, Datu Maja Parua berkata, "Inilah maksudku memanggil kau Sangadiarong! Aku ingin menyambung turunanku dengan turunanmu, dengan anak gadismu. Aku punya anak lelaki dan kau punya anak gadis. Adalah keinginanku untuk menyerahkan Lalu Polas ini padamu untuk kau ambil jadi menantu." Permintaan Datu Maja Parua itu dijawab oleh Datu Sangadiarong. Semuanya kami serahlan pada kebijaksanaan Tuanku, tapi dalam hal ini patik tidak bisa memutuskan sendirian. Patik minta waktu dulu untuk bermufakat dengan ahli kerabat patik. Kita maklum, Sumbawa ini hidup dengan mufakat. Ada tiga macam pekerjaan besar yang memerlukan mufakat dulu, yaitu pertama perang, kedua membuat rumah, dan ketiga upacara pengantin ini."
Setelah pamit, Sangadiarong memanggil sidang para wasir dan menteri dan menyampaikan permintaan Datu Maja Parua tersebut kepada para wasir dan menteri itu. Dalam sidang itu Sangadiarong bertanya, "Bagaimana nanti dikemudian hari, bila Lalu Polas dan anakku mempunyai keturnan, apakah para wasir dan menteri yang ada disini mau memungut mereka menjadi mantunya?" Suara terbanyak dalam sidang itu memutuskan.
"Segala sesuatu itu harus ada mula dan harus ada akhirnya. Sebermula Lalu Polas ini adalah anak yang diketemukan di pinggir kali Tiu Baru. Jadi bukanlah anak hasil perkawinan yang sah. Lalu Polas ini sebenarnya adalah anak haram jadah.
Jadi kalau mau dihubungkan dengan keturunan kami nanti, jelas kami tidak bersedia. Namun demikian, ini adalah perintah Datu, perintah orang tinggi, sulit untuk mengelakkannya. Itulah masalahnya, bagaimana kita menolak perintah orang tinggi agar kita tidak ditimpa oleh pamali," sahut Datu Sangadiarong.
"Kita coba," kata seorang menteri, "kita coba, kita bogat," Dicoba dengan cara menyanggah (dalam bahasa Sumbawa "bogat") Karena perintah itu adalah perintah yang salah, maka perlu di sanggah. Kalau perintah benar, tentulah kita turuti. Tapi cara menyanggah ini menjadi masalah lagi, yaitu dengan cara bagaimana. Orang-orang pintar dalam sidang itu berbicara lebih lanjut. Disepakati, bahwa Datu Maja Parua ini diperangi, ditakut-takuti dengan senjata bedil yang tidak berpelor. Dan kalau Sang Datu minta bantuan tak ada yang mau membantu. Alasan -alasan dikemukanlah dalam sidang itu, ada yang sakit gigi kalau dipanggil. Sda yang sakit bisul, sakit perut, pusing dan lain-lain. Masalah berikutnya adalah, siapa yang akan melakukan pekerjaan tersebut. Disebutlah orang-orang dari Balacucuk dan dari Taupitu sedang yang akan membantu Datu adalah orang-orang yang disebut "penyapubaso" (orang dari daratan tinggi = orang gunug) Keputusan itu disampaikan pula pada Sangadi Jero, orang yang berasal dari Utan (sekarang Kecamatan Utan) sebab Datu Maja Parua tentu akan lari ke barat (ano rawi) sebab yang mengejar mereka adalah orang-orang dari timur (ano siep). Mereka tidak tahu bagaimana pendirian dari Sangadi Jero ini, pokoknya disampaikan saja.
Hari itu pun tibalah. Konon beribu-ribu orang berkumpul di sebuah perbukutan yang menghadap ke Sumbawa. Di sana mereka menembak dan menembak terus, sampai akhirnya Datu Maja Parua meminta pada Lalu Polas untuk pergi ke sana dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Lalu Polas ke sana dengan berkuda dan menyamar sebagai orang biasa, sehingga tidak dikenal. Di sana Lalu Plas bertanya.
"Mau apa orang-orang yang menembak ini?" Salah seorang menjawab,.
"Kami datang untuk mengusir Datu Maja Parua, kami datang untuk membunuhnya. Lihatlah senjata yang kami bawa ini, Kami dari barisan Bala Cucuk dan Taupitu."
Setelah jelas sudah apa maksud mereka, Lalu Polas balik ke istana dan menyampaikan hal itu kepada Datu Maja Parua. Seketika Datu Maja Parua memanggil semua wasir dan menterinya tapi semuanya berhalangan dengan alasan bermacam-macam sakitnya. Akhirnya Datu Maja Parua berkata kepada Lalu Polas.
Begini anakku, kita tinggalkan saja negeri ini, siapkan kuda semuanya. Kita akan mati kalau terus disini. Rupanya sudah mufakat mereka untuk mengusir kita."
Datu Bibi sempat "balawas" (berpantun)
"Siapa pun yang hanya mendengar katanya sendiri, inilah akibatnya. Ini adalah karena perbuatan sendiri, tanpa mengadakan mufakat lebih dulu dengan para wasir dan menteri. Maka oleh sebab itulah, untuk menyelamatkan keturunan kita sebab orang-orang itu kini sudah menyerang kita dari bagian Timur dan Padea. Dan kita kini harus berangkat ke Barat."
Sebelum berangkat Datu Maja Parua sempat balawas (berpantun) setelah menengadah memandang ke awan sampai tiga kali.
"Memandang bintang di ladang kopi, tenggelam oleh kabut rupanya satu kata sudah dengan awan."
Menurut Datu Maja Parua. Keberangkatan ini diketahui pula oleh orang-orang yang menyerang melalui mata-mata. Datu dikejar sambil ditembak dengan bedil tanpa peluru sampai keperbatasan Rhee (desa Rhee sekarang, masuk kecamatan Utan) lalu ke sungai Samonte (dekat Utan)
Tiba di sana Datu Maja Parua, melihat banyak orang, dikira orang sedang berburu. Ditanya,
"Sedang apa orang-orang ramamai ini?"
Di jawab, "Kami orang dari Utan, Tuanku, kami disuruh datang oleh Sangadi Jero lengkap dengan juli-juli (usungan)." Lalu Datu Maja Parua menyuruh agar mempersilakan Sangadi Jero dan setelah bertemu Datu mendapat keterangan bahwa orang-orang ramai itu adalah orang-orang yang akan membantu beliau hamba sahaya (penyapu baso) yang datang dari gunung.
Datu Maja Parua dinaikkan ke atas usungan dan " enyapu baso" yang banyak itu mengejarpenyerang-penyerang dari Timur sampai ke perbatasan Sumbawa. Datu dibawah ke Utan. Utan di bawah pemerintahannya menjadi suatu negeri yang subur, adil dan makmur tidak kurang suatu apa pun, sedang bagian Timur Sumbawa ditimpa oleh kemarau panjang. Sampai-sampai semuanya kering dan orang harus membuat sumur di sungai untuk bisa mendapat air. Konon banyak orang mati karena pertikaian soal air ini. Juga sungai Tiu Baru dan Tiu Balang yang dulu airnya besar, tidak luput dari kekeringan sehingga tebing dimana Lalu Polas ditemukan semasa bayinya penuh dengan kuburan orang mati, orang mati karena pertikaian soal air. Melihat situasi seperti itu, mufakatlah semua wasir dan menteri untuk pergi menjeput Datu Maja Parua ke Utan. Utusan pun dikirimlah. Tapu apa jawaba Datu Maja parua.
"Aku tidak berani kembali Ke Sumbawa, takut dengan pasukan Bala Cucuk dan Taupitu. Tidak berani, takut kalau-kalau seperti dulu lagi."
Utusan datang sampai dua tiga kalu. Keputusan dibuatklah oleh Datu Maja Parua.
"Kalau aku sudah tidak berani, kecuali dua orang anak ini. Datu Arong dan Datu Dara Me. Terserah di antara keduanya satu laki-laki dan satu wanita."
Semula dibujuk Datu Arong, tapi Datu Arong menolak dan akhirnya pilihan jatuh pada Datu Dara Me. Datu Dara Me terkenal sebagai wanita yang agak tajam pikirannya. Setelah ia pikir, ia berkata,'
"Baik, kalau memang mau tidak mau, aku akan ke Sumbawa tapi dengan satu syarat. Bagi orang-orang yang memegang adat-istiadat dan mepertahankannya, akan kita beri sebagian sawah untuk makannya, sebab Sumbawa ini hidup dari tanah, semua wasir dan menetri diberi sawah untuk makan. Kalau ini disanggupi maka aku akan ke sana menggantikan Datu Maja Parua."
Utusan kembali dan menyampaikan pesan dan syarat Datu Dara Me tersebut. Para wasir dan menetri mufakat dan menerima syarat tersebut. Dan itulah asal mulanya terjadi sawah yang dibagi-bagikan kepada para wasir dan menteri dan pemangku adat sampai sekarang. Di Sumbawa tanah tersebut disebut "Uma Pamangan" (artinya, swah untuk makan). Sampai sini maka cerita ini tamatlah.
sumber:
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja