Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur Flores
Cerita Danau Lopi
- 27 Desember 2018
Pada zaman dahulu, dekat Sungai Gega, ada sebuah kampung yang antara lain dihuni oleh seorang pemuda. Pemuda itu namanya Lopi. Tibalah suatu malam di bulan pernama, masa tiada pekerjaan di kebun, musim kemarau panjang hingga banyak sungai yang mengering, pepohonan banyak yang berguguran daunnya, dan rerumputan banyak yang kering gersang.
 
Oleh karena masa dan musim kemarau yang panjang, anak-anak dan pemuda-pemudi di kampung sehari-harian hanyalah tidur makan. Usai makan mereka hanya bermain biji leke, bermain gasing, dan kemiri. Suatu hari, seorang pemuda, Lopi namanya, mengajak anak-anak dan para pemuda itu.

Katanya, "Jika Saudara-saudara setuju, dari pada kita menganggur, lebih baik besok kita mencari udang di sungai. Banyak udang di sungai Gega yang saya sendiri lihat."

Ajakan pemuda yang bernama Lopi itu, benar-benar sangat ditanggapi dan diterima oleh banyak orang sekampung itu. Dini hari berikutnya, mereka pergi ke Sungai Gega. Yang pergi ke sungai itu tidak hanya anak-anak dan pemuda, melainkan sebagian besar penghuni kampung, para orang tua, termasuk ibu-ibu hamil. Yang tinggal di kampung hanyalah orang jompo dan para ibu yang memiliki bayi, termasuk yang baru melahirkan. Mereka yang membawa perlengkapan penjaring udang dan belut.

Setibanya di Sungai Gega, mereka bersama-sama membagi tugas. Ada yang bertugas  membendung dan mengeringkan air di bagian hulu, ada yang mencari udang, ada yang menyebarkan perangkap, ada pula yang menebar kail. Hari itu, banyak yang memperoleh udang, belut, dan sebagainya, sehingga mereka semua mengagumi Lopi, seorang pemuda pujaan, yang mengajak mereka agar pergi ke sungai.

Hari itu, mereka semua makan dan berada di sungai hingga sore hari. Sore hari itu pula mereka bergegas pulang kampung. Saat mereka akan kembali karena hari mulai remang, pemuda yang mengajak mereka itu justru menuju ke tengah bendungan besar. Pemuda Lopi lalu duduk di atas batu besar di tengah bendungan seraya membuat kail bergigi yang dimilikinya. Lama-kelamaan kail bergigi itu terasa bagaikan terkena belut besar. Tali kail pun ditarik-tariknya, tetapi tidak terlepas juga. Ia yakin tersangkut pada seekor belut besar. Ayah, diatas ada seorang pemuda yang belum pernah kulihat selama ini, sejak dulu rasanya aku belum pernah melihatnya. Pemuda Lopi itu pun terjun dan berenang, lalu menyelam di bendungan besar itu. 

Ia menyelam sambil memegang ujung kail bergigi yang ditebar sebelumnya. Sambil menyelam, ia memperhatikan bendungan yang ternyata sangat dalam. Ia berenang dan menyelam terus hingga dalam dan tiba-tiba ia sudah berada di atas atap rumah. Rumah itu indah sekali. Saat ia "menunggangi" atap rumah yang indah itulah, pemilik rumah yang ada didalamnya sangat terkejut. Oleh karena orang-orang seisi rumah itu mendengar suara gemuruh yang sangat dahsyat, kedua orangtua yang ada di dalam rumah itu menyuruh salah seorang putrinya lalacaki apa yang terjadi dan ada di atap rumah mereka. Gadis itu pun keluar, dan tampaklah seorang perjaka di bubungan rumah mereka. Gadis itu masuk kembali ke dalam rumah dan menyampaikannya kepada kedua orangtuanya. Katanya, "Ibu, Ayah, di atas ada seorang pemuda yang belum pernah kulihat selama ini; sejak dulu rasanya aku belum pernah melihatnya. "Ibu dan ayahnya pun spontan keluar dan memanggil pemuda itu.

Segera setelah mereka memanggil-manggil, seorang pemuda turun dari atas bubungan. Setibanya pemuda itu di halaman orang tua itu, kedua orang tua itu menyapanya, "Hai.... jejaka, apa tuan Anda datang ke rumah kami?" Pemuda itu lalu menjawab kepada kedua orang tua itu katanya. "Ibu dan Bapak, saya berenang dan menyelam ke sana ke mari, menyusul dan menjejaki tali kailku yang kulepas dari atas batu. Ketika aku berenang-renang mencarinya, aku sampai di atap rumah ini, sedangkan tali kailku ternyata tersangkut di rumpun tebu milik Ibu dan Bapak. Aku mohon agar aku tidak dimarahi oleh Bapak dan Ibu karena kekhilafanku, serta aku pun tidak mengetahui bahwa ini adalah rumah Ibu dan Bapak."

Kedua orang tua itu pun tidak memarahi pemuda itu. Orang tua itu hanya tertawa memperhatikan tingkah pemuda itu. Pemuda itu lalu bercerita kembali apa yang terjadi. Setelah itu, kedua orang tua itu lalu mengajaknya singgah dan berkata, "Nak, jika Anda berkenan, tinggallah dulu disini.

Disilakan masuk dan duduk di balai, bersanda-gurau dulu, baru Anda kembali ke rumahmu." Pemuda itu lalu masuk dan duduk di balai. Saat itu ia ditemani oleh bapak keluarga. Ibu dan anak gadisnya menyiapkan makanan. menyembelih seekor ayam jantan berwarna merah. Mereka menghindangkan nasi merah sebagai santapan bersama jejaka Lopi. Bapak keluarga itu makan bersama Lopi. Lopi menikmatinya hingga kenyang dan puas. Sambil makan, keduanya tukar-menukar cerita. Cukup lama, Bapak keluarga dan Lopi bercerita hingga usai makan.

Mereka yang berada diatas bendungan itu berteriak-teriak karena Lopi, saudara mereka tenggelam di bendungan itu. Semua orang yang datang dari kampung itu meratapi Lopi yang mati tenggelam di bendungan itu. Semua orang, besar, kecil, tua, muda, yang ikut mencari udang, menunggu Lopi yang tak kunjung pulang, kembali ke kampung seraya meratapi kepergian Lopi. Setiba di kampung, mereka mengabari kedua orang tua dan sanak saudara Lopi. Orang-orang itu berteriak histeri sambil berseru, "Anakmu Lopi mati tenggelam di kali saat Lopi membuang kail bergigi yang dimilikinya. Ketika membuang kail itulah, tali kailnya tersangkut, dan langsung diselami dan dicarinya sangkutan itu dalam bendungan yang dalam itu. Kami semua menunggu-nunggu hinga matahari tenggelam, namun Lopi tiada muncul jua. Dia tenggelam di bendungan itu."

Bapak dan ibunya setelah mendengar bahwa Lopi telah meninggal karena tenggelam, keduanya langsung menangis. Usai makan, kaum muda secara spontan ikut menemani dan menunggui Lopi di rumah "duka." Banyak orang sekampung itu meratapi kepergian Lopi, berkabung atas kepergian pemuda yang baik dan penuh belas kasih, berhati baik dan lembut serta pemurah, yang sudah mengajak dan merejeki mereka dengan udang dan belut di Sungai Gega itu. Banyak sekali orang berjaga dan menunggui Lopi yang tenggelam itu.

Saat itu juga, sang pemuda Lopi seusai makan bersama dengan orang tua yang baik itu, langsung pamit kepada orang tua dan si gadis, bermaksud kembali ke kampung halamannya. Saat dia melangkah pulang itu, si gadis mengantarnya. Cukup jauh gadis itu mengantarnya. Ketika kedua jejaka dan gadis itu akan berpisah, keduanya saling berjanji. Gadis itu meminta agar Lopi, seandainya berkenan, Lopi akan kembali lagi, tinggal bersama keluarga itu.

Seusai keduanya berpisah, pemuda Lopi pun langsung berenang, naik kembali ke atas batu di tengah bendungan, tempat ia melepaskan kail. Ia menapak batu besar itu, namun ia sangat terkejut karena tak seorang pun teman dan sanak saudaranya yang menemaninya mencari udang dan belut itu, menungguinya. Tiada satu orang pun yang menunggu Lopi. Udang, belut, yang diperolehnya pun diambil seluruhnya oleh orang-orang itu. Sedikitpun tak tersisakan untuk Lopi, padahal ia pula yang mengajak mereka mencari udang dan belut di sungai yang kaya satwa air itu.

Lopi langsung menuju kampung halamannya. Tiba di rumahnya, begitu banyak orang yang menunggu dan maratapi "Kepergiannya." Pemuda Lopi langsung masuk ke dalam rumahnya. Banyak orang yang terkejut dan memanggilnya, lalu ada juga yang langsung memeluknya seraya berteriak-teriak gembira. Sebagian lagi memeluk dan mencium Lopi. Ada juga yang menimpali, saudaraku, kami telah lama menantimu, kami sangat iba dan menyayangimu, kami mengira engkau telah mati tenggelam di bendungan itu."

Melihat pemuda tampan itu datang dan hidup kebali, kedua orang tua Lopi beserta penghuni kampung yang sedang meratapi dan menghibur keluarga duka itu pun segera hening dan bergegas ingin mendengarkan "kisah kematian dan kepergian Lopi". Banyak sekali orang yang datang untuk mendengarkan kejadian mesterius itu.

Beginilah ceritaku. "Aku menjejaki tali kailku dengan berenang dan menyelam sedalam-dalamnya, dan aku tiba di atas atap rumah suatu keluarga. Rumah itu sangat indah. Saat aku tersangkut di atap rumah itu, pemilik rumah menyuruh anak gadisnya mengamati apa gerangan gemuruh yang dahsyat di atas rumah itu, karena bunyi itu sangat keras. Begitu melihat aku, gadis itu menyampaikan kepada orang tuanya. Katanya kepada kedua orang tuanya, aku belum pernah melihat sekalipun. Ibu dan ayahnya pun langsung melihat wajahku. Melihat wajahku, kedua orang tua itu langsung memanggilku. Mereka menyuruhku turun dari atas bubungan. Ayahnya langsung menanyaiku, "Nak, apa tujuanmu datang ke tempat kami?" Aku langsung menjawab. "Aku datang menjejaki tali kailku yang kubuang dari atas batu besar itu." Aku mengatakan bahwa aku tidak tahu di bawahnya ada rumah. Aku meminta kepada mereka agar aku tidak dimarahi, tidak menghardikku. Kedua orang tua itu pun menyampaikan bahwa tidak apa-apa, jika memang engkau menyusul tali kailmu yang memang tersangkut pada rumpun tebu kami. Akan tetapi, jikalau boleh, engkau berdiam dan makan dulu di rumah kami ini, sebelum engkau kembali ke rumahku. Tinggal disini dulu, jangan tergesa-gesa.

Oleh karena ditahan, aku masuk dan bersenda-gurau dengan ayah gadis itu. Ibunya bersama anak gadisnya menyiapkan makanan. Mereka menyembelih ayam jantan yang berbulu merah. Setelah matang, dihidangkan pula nasi merah dan lauk daging ayam. Aku makan bersama ayah yang ramah itu. Usai makan, aku bermaksud untuk pamit. Ketika aku pulang itulah gadis itu mengantar aku. Dan pada saat perpisahan itu, aku diminta oleh si gadis itu agar aku mau kembali ke rumahnya dan berkenan tinggal bersama mereka. Keluarga itu meminta aku tinggal di rumah mereka. Aku pun berjanji bahwa aku pasti kembali. Aku hanya pulang sebentar saja karena memang aku telah jatuh hati pada gadis dan keluarga itu. Setelah dimengerti, aku berpisah dengan gadis itu, dengan mereka semua dan aku berenang kembali ke atas batu besar, batu tempat aku melepaskan kail itu."

Ketika mendengar seluruh kisah Lopi itu, betapa girang hati semua orang di situ, karena usai mengisahkannya ia berkata pula, "Kendatipun ibu dan ayahku tidak mengizinkan aku pergi, aku tetap pergi, jikakalau kedua orang tuaku mengizinkannya, aku memang akan pergi ke sana, karena aku sangat terpikat oleh gadis itu saat ia tulus menerima dan melayani aku makan. Aku harus menikahi gadis itu karena dialah jodohku yang telah kutemui. Pokoknya, aku harus menikahi gadis peramah itu. Keluarga yang rumahnya aku kunjungi itu, kehidupan dan keadaan mereka sangat baik dan sejahtera, tiada kurang suatu apapun."

Sesuai dengan tuturan dan harapan Lopi itu, pada mulanya ibu dan ayahnya tidak mengizinkannya karena keluarga itu tidak mempunyai anak laki-laki lain, hanya Lopi seorang. Mereka hanya bersandar pada Lopi seorang sebagai pengganti dan ahli waris atas semua harta kekayaan berupa lahan. Cukup banyak tanah milik mereka. Siapa lagi yang akan mengolahnya. Terlebih lagi jika kedua orang tua itu sudah tua dan meninggal kelak, siapa lagi yang akan memelihara dan menerima warisan tanah pusaka serta harta lainnya. Orang-orang sekampungpun mengeluh dan menyesalkan keinginan Lopi itu.

Oleh karena Lopi terus-menerus membujuk-rayu, seakan-akan ia tak lelah mengusahakan izinan orangtuanya, maka kedua orangtuanya pun akhirnya meluluskan permintaan Lopi. Setelah diizinkan, Lopi amat bergembira karena teringat akan gadis dambaannya. Saat Lopi akan berangkat ke rumah gadis itu, orang tua Lopi menyembelih babi besar, ayam, dan menghidangkannya bersama nasi merah, sebagai makan perpisahan. Usai makan, semua orang sekampung mengantar Lopi ke Sungai Gega.

Setibanya di Sungai Gega, semua orang mengelilingi Lopi. Mereka mengelilingi bendungan, sedangkan Lopi di tengah. Wanita, pria, tua-muda, banyak ke sungai itu untuk melepas kepergian Lopi. Semuanya menyalami Lopi. Ada juga gadis dan orang tua yang meratapinya. Kendatipun Lopi menjelaskan bahwa ia akan berada di tempat yang membahagiakan, namun orang tuanya yang telah membesarkannya menjadi ahli waris tetap terharu dan kesal karena Lopi-lah yang sesungguhnya menjadi pengganti dan penolong mereka. Semuanya menyalami dan mencium Lopi  terus-menerus.

Lopi merasa saatnya telah tiba. Kembali dikisahkannya alasannya kembali ke rumah gadis itu. "Tidak hanya karena ada sang gadis, maka aku kesana. Seperti telah kutegaskan, bahkan telah kututurkan semuanya, bahwa kehidupan di sana sangat menyenangkan. Di sana, tiada penderitaan sedikitpun. Aku menyaksikan sendiri kehidupan mereka yang makmur sejahtera. Aku membuka rahasia ini dengan kamu semua. Di tempat mereka itu, berlimpahan makanan, aneka harta kekayaan, dan pekerjaan yang baik. Ibu dan anak gadis itu, keduanya memiliki kekuatan sakti. Kekuatan sakti itu namanya cincin  wasiat. Jika ada dan memang boleh dipakai, maka dengan cincin wasiat itu, apapun keinginan kita dapat terkabul dan diperoleh. Selain itu, seperti yang telah kupinta, telah tiba saatnya aku mencari dan menikahi seorang gadis, gadis pujaanku.

Semua orang yang mengantarkan Lopi tak bergeming sedikitpun karena Lopi menyampaikannya dengan sepenuh hati. Mereka sangat iba hati namun tak dapat berbuat apa-apa. Lopi mengikuti kehendaknya agar ia hidup lebih senang di daerah seberang. Semuanya itu pun hanya Lopi sendiri yang mengetahuinya karena memang hanya dia sendiri yang pernah menyaksikannya. Semua orang hanya mendengar dan dengan penuh rasa haru karena memang saatnya, harinya telah tiba. Lopi akan menghilang menuju tanah yang kaya dan makmur, tidak kurang suatu apa. Disesali tiada guna, dinasihati pun tidak dituruti. Lopi pergi ke rumah dan tanah orang.

Acara pamitan telah usai, Lopi berdiri membungkuk. Namun masih ada satu amanat penting. "Ibu, Bapak, Saudara, Adik, Kakak, Paman, dan Saudara, Kakek-Nenek, Ipar, aku akan segera pergi. Aku pergi tidak kembali. Aku akan menetap di rumah gadis itu. Aku sungguh-sungguh berpesan kepada Anda semua. Bendungan yang aku selam dan tenggelam ini, jangan diberi  nama lain. Kamu semua harus menamakannya "Danau Lopi".  Namun ini menjadi kenangan bagi anak cucu agar mereka mengenang aku. Kepergianku bukan untuk kebinasaan. Aku pergi ke tempat yang makmur dan sejahtera, tiada kekurangan apapun. Saatnya inilah aku harus pergi.  Selamat tinggal dan selamat bekerja karena Anda semua adalah ahli waris, mengolah lahan warisan para leluhur kita yang cukup banyak, termasuk sejumlah pohon aren yang mengandung gula. Semuanya itu adalah demi pemeliharaan dan tanggung jawab kalian kepada isteri dan keluarga. Dari satu generasi ke generasi yang selanjutnya, seperti yang telah di amanatkan oleh leluhur kita. Pintaku yang terakhir, kiranya Anda tidak melupakan.

Pesan akhir telah usai. Lopi berdiri di atas batu, ditengah bendungan itu. Dia langsung terjun dan tenggelam. Menghilang bersama riak air. Semuanya meratapi kepergian Lopi dengan air mata berderai, mengikutinya hingga hilang dari pandangan. Mentari tenggelam dan malam tiba, semuanya kembali ke kampung halaman. Inilah kisah yang diwariskan oleh para leluhur.

 
 
Sumber : Cerita Rakyat Lio Flores oleh Dr. Aron Meko Mbete

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline