Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta DI Yogyakarta
Cakrajaya
- 20 November 2018

Pada zaman dahulu, ada seorang wali yang terkenal sangat sakti, namanya ialah Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam usahanya untuk menyiarkan agama Islam, Kanjeng Sunan Kalijaga senantiasa berkelana ke berbagai tempat di seluruh tanah Jawa. Pada suatu hari, perjalanan Kanjeng Sunan Kalijaga sampai di wilayah Bagelen*.

Waktu itu, sebagian besar penduduk Bagelen bermatapencaharian sebagai tukang “nderes” (penyadap aren). Saat Kanjeng Sunan Kalijaga tiba di Bagelen, ia menjumpai seseorang yang akan nderes. Orang itu membawa tabung bambu sebagai wadah legen (nira) yang diikatkan pada punggungnya.

Pada saat akan memanjat pohon kelapa, orang itu mengucapkan mantra: “Klonthang-klanthung, wong nderes buntute bumbung” (klontang-klanthung, orang nderes ekornya bumbung).

Mendengar itu, bertanyalah Kanjeng Sunan Kalijaga: “Ki sanak, mengapa waktu akan kamu memanjat mengucapkan kalimat itu?”

“Yang saya ucapkan itu bukan kalimat sembarangan,” jawab yang ditanya. “Kalimat itu mantranya tukang nderes seperti saya ini, bila ingin hasil yang banyak.”

“Caramu itu kurang tepat, ki sanak,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

Mendengar itu, tukang nderes tersebut nampak tersinggung, lalu katanya: “Ki sanak rupanya belum tahu. Aku ini Kyai Cakrajaya. Semua orang di Bagelen ini tahu siapa aku. Aku menjadi tukang nderes ini sejak kecil. Dan pekerjaan ini adalah warisan dari nenek moyangku. Sejak nenek moyangku dahulu, mantra-mantra tukang nderes ya seperti itu. Mengapa ki sanak mau menggurui aku?”

“Maafkan aku, Kyai Cakrajaya,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Bukan maksudku akan menggurui Kyai. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku mempunyai mantra yang akan dapat menelorkan hasil lebih banyak lagi.”

“Maksud ki sanak, mantra itu dapat menghasilkan legen lebih banyak lagi?” tanya Kyai Cakrajaya.

“Bukannya menghasilkan legen yang banyak, melainkan meskipun sedikit, tetapi dapat untuk menghidupi seluruh keluarga selama satu tahun,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Omong kosong,” kata Kyai Cakrajaya dengan perasaan jengkel.

“Kalau aku boleh membuktikan, mungkin ki sanak akan mempercayai omonganku,” Kanjeng Sunan Kalijaga menjelaskan.

“Silakan ki sanak membuktikannya,” kata Kyai Cakrajaya.

“Bolehkah aku ikut memasak legen itu?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan,” jawab Kyai Cakrajaya.

Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengikuti Kyai Cakrajaya pulang. Sesampai di rumah Kyai Cakrajaya, mereka berdua mulai memasak legen, lalu di cetak dengan tempurung kelapa, untuk dijadikan gula. Kanjeng Sunan mencetak satu tangkep, lalu diserahkan kepada Kyai Cakrajaya.

“Kyai, sekarang aku akan melanjutkan perjalanan. Pesanku: gula satu tangkep ini jangan dibuka, sebelum aku keluar dari desa ini.” Setelah berkata demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu meninggalkan rumah Kyai Cakrajaya.

Beberapa saat lamanya setelah Kanjeng Sunan Kalijaga pergi, barulah Kyai Cakrajaya membuka cetakan gula yang diserahkan oleh tamunya tadi. Betapa terkejut Kyai Cakrajaya, setelah tahu isi cetakan itu, bukanlah gula kelapa, melainkan emas.

Kini tahulah Kyai Cakrajaya, bahwa tamunya tadi bukannya orang sembarangan, melainkan orang yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Kalau bukan orang sakti, tidak mungkin dia memiliki kemampuan luar biasa seperti itu,” begitu pikir Kyai Cakrajaya. Cepat-cepat dia berlari keluar dari rumahnya, mengejar tamunya yang baru saja berangkat. Emas sebesar satu tangkep gula kelapa, ditinggalkannya begitu saja.

Setelah berhasil mengejar, Kyai Cakrajaya pun berkata: “Kalau saya diperbolehkan mengetahui bagaimana bunyi mantra itu, maka hidup matiku kuserahkan kepada Kanjeng Sunan,” begitu kata Kyaia Cakrajaya setelah berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mantra yang mana?” sambung Kanjeng Sunan.

“Mantra untuk membuat gula berubah menjadi emas,” jawab Kyai Cakrajaya.

“Untuk mendapat mantra itu, imbalannya sangat besar,” kata Kanjeng Sunan.

“Apakah imbalannya, Kanjeng Sunan?” tanya Kyai Cakrajaya.

“Laku, celathu, tumindak**,” jawab Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kalau kamu ingin, bergurulah kepadaku. Ikutilah segala tingkah lakuku.”

Singkat cerita, sejak saat itu, Kyai Cakrajaya meninggalkan tempat tinggalnya di Bagelen, meninggalkan segala barang miliknya, lalu mengikuti Kanjeng Sunan Kalijaga berkelana. Selama berkelana itu, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan ajaran agama Islam kepada Kyai Cakrajaya.

Pada suatu hari, berkatalah Kanjeng Sunan Kalijaga: “Anakku Cakrajaya. Aku akan bersembahyang ke Mekkah. Tongkatku ini kutinggalkan di sini,” sambil berkata begitu, Kanjeng Sunan Kalijaga menancapkan tongkat bambunya ke tanah. “Jagalah tongkatku ini selama aku pergi. Jangan kau meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintahku.”

“Sendika,” kata Kyai Cakrajaya.

Kanjeng Sunan pergi, sedang Cakrajaya dengan setianya melaksanakan pesan Kanjeng Sunan. Dia duduk bersila di dekat tongkat yang ditancapkan di tanah itu.

Ternyata kepergian Kanjeng Sunan Kalijaga itu lama sekali, sehingga pada saat kembali lagi di tempat beliau menancapkan tongkat, keadaan telah berubah. Tempat itu telah ditumbuhi “dhapuran pring ori” (sejenis pohon bambu) yang rimbun sekali. Kyai Cakrajaya duduk bersila dengan tenangnya di tengah rumpun bambu itu.

“Mengapa kau tetap di situ?” tanya Kanjeng Sunan.

“Mematuhi pesan Kanjeng Sunan, saya tidak pergi meninggalkan tempat ini sebelum mendapat perintah.”

“Kalau begitu, kuperintahkan, keluarlah dari situ,” kata Kanjeng Sunan.

“Maaf, Kanjeng Sunan,” jawab Kyai Cakrajaya. “Tanpa bantuan Kanjeng Sunan, tak mungkin saya dapat keluar dari rumpun bambu yang penuh duri ini.”

“Bagaimana kalau ku bakar dhapuran bambu ini?” tanya Kanjeng Sunan.

“Silakan, Kanjeng Sunan,” kata Kyai Cakrajaya tegas.

“Kau tidak takut terbakar?” tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Mematuhi perintah Kanjeng Sunan, apapun yang terjadi, hamba tidak takut menghadapinya,” kata Kyai Cakrajaya.

Kanjeng Sunan lalu membakar rumpun bambu itu. Api berkobar memakan habis rumpun bambu itu, dan Kyai Cakrajaya dapat keluar dengan selamat, hanya kulitnya menjadi hitam karena hangus.

“Sekarang ujianmu sudah lulus, maka kamu kuberi sebutan Sunan,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Dan karena tubuhmu geseng (hangus), maka kamu kunamakan Geseng. Sejak saat itu, Kyai Cakrajaya dikenal dengan nama Sunan Geseng.

“Karena api yang mulad-mulad (berkobar-kobar) yang dapat membebaskan kamu dari kungkungan rumpun bambu, maka tempat ini kunamakan Muladan”.

Dari tempat itu, Sunan Geseng lalu diajak berjalan ke arah timur. Di suatu tempat, Kanjeng Sunan Kalijaga lalu menancapkan tongkatnya. Setelah tongkat itu dicabut, timbullah sumber air dan menjadi sendang. Sunan Geseng disuruh mandi di sendang itu. Seketika itu pula kotoran hangus pada tubuh Sunan Geseng dapat bersih terhapus, hanyut di bawa aliran air, sampai di sungai yang dinamakan Kedhung Pucung, dan sedang itu dinamakan Sendang Banyu Urip.

“Jebeng,” kata Kanjeng Sunan Kalijaga. “Kali Kedhung Pucung ini tempat tertampungnya noda kotoran atau cemar yang semula melekat pada tubuhmu. Para punggawa pemerintah jangan mandi di sungai ini, agar jangan kena cemar.”

Konon, sampai sekarang, kepercayaan terhadap pengaruh air kali Kedhung Pucung itu masih hidup. Para pegawai pemerintah dan alat negara, tak berani mandi di kali itu, khawatir dipecat atau turun pangkat.

Selanjutnya Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak Sunan Geseng berjalan ke arah barat. Sampai di suatu tempat, mereka berdua berhenti, lalu menetap. Di tempat itu Kanjeng Sunan Kalijaga memberikan wejangan yang mendalam tentang agama Islam kepada Sunan Geseng. Dengan tekunnya Sunan Geseng ngaji (mempelajari) ilmu yang dituangkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Tempat itu akhirnya berkembang menjadi sebuah desa, disebut Desa Ngajen***.

 

*) Bagelen dahulu termasuk dalam Karesidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah.

**) Laku, celathu, tumindak artinya berlaku, berbicara dan bertindak baik.

***) Desa Ngajen saat ini berada di wilayah Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

 

 

 

Referensi:

  1. Indotim (https://indotim.wordpress.com/cerita-rakyat-nusantara-2/cerita-rakyat-nusantara-viii/9/)

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya