Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta
CERITA LEGENDA ASAL USUL UPACARA BEKAKAK
- 19 Juli 2018
Ritual Selametan Upacara Bekakak atau sering juga disebut Saparan merupakan upacara adat masyarakat yang hingga kini masih diperingati oleh masyarakat di Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia. Hanya saja, manusia yang dimaksud di dalam upacara ini yaitu tiruan manusia yang berwujud sepasang boneka pengantin dalam posisi duduk bersila, terbuat dari tepung ketan yang berisi cairan gula merah. Disebut Saparan karena upacara ini dilaksanakan pada bulan Sapar (Syafar), bulan kedua dalam kalender Hijriah (Islam). Menurut cerita, selametan upacara Bekakak bermula dari sebuah musibah yang menimpa dua orang abdi dalem (pegawai keraton) Sultan Hamengkubuwono I.
∞∞∞

 

 

 
Pada 1755, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
 
Sebagai raja baru, ia bermaksud mendirikan sebuah istana atau keraton sebagai tempat kediaman. Sembari menunggu pembangunan keraton itu selesai, Sultan memilih untuk berisitrahat di sebuah pesanggrahan yang terletak di Desa Ambarketawang, Sleman. Ketika itu, sebagian besar penduduk Ambarketawang bermata pencaharian sebagai pengumpul batu-batu gamping dari gunung kapur yang ada wilayah itu.
 
Sri Sultan Hamengkubuwono I tinggal di Ambarketawang bersama sejumlah abdi dalem. Dua abdi yang paling setia adalah sepasang suami istri bernama Kyai dan Nyai Wirasuta. Keduanya adalah abdi dalem penongsong, yaitu abdi dalem yang sehari-harinya bertugas memayungi Sri Sultan Hamengkubuwono I.
 
Ke mana pun sang Raja pergi, keduanya turut serta membawa payung kebesaran keraton. Selain setia, Kyai dan Nyai Wirasuta termasuk abdi dalem Sri Sultan yang paling rajin. Di sela-sela menjalankan kewajibannya, keduanya memelihara beragam hewan seperti ayam, bebek, burung puyuh, merpati, kelinci, dan landak. Mereka amat menyayangi dan rajin merawat hewan-hewan peliharaan itu.
 
Hingga pada suatu ketika, datanglah utusan dari keraton hendak menemui Sri Sultan Hamengkubuwono I di tempat peristirahatannya.
  • “Ampun, Kanjeng Gusti,” lapor utusan itu sambil memberi hormat.
  • “Bagaimana perkembangan keraton kita?” tanya sang Sultan.
  • “Pembangunan keraton telah selesai dan siap untuk ditempati,” jawab utusan itu.
  • “Bagus, kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kami akan kembali ke keraton,” kata sang Sultan.
  • Keesokan harinya, Sri Sultan Hamengkubuwono I beserta para abdi delam bersiap-siap untuk kembali ke keraton. Namun, Kyai Wirasuta dan istrinya masih merasa betah tinggal di Ambarketawang.
  • “Ampun, Kanjeng Gusti. Bukannya hamba berdua tidak setia kepada Kanjeng Gusti. Izinkanlah hamba berdua tinggal di tempat ini untuk merawat tempat peristirahatan Kanjeng Gusti. Hamba berdua merasa betah tinggal di tempat ini. Lagipula, hewan peliharaan hamba sudah banyak. Sayang sekali kalau ditinggalkan,” pinta Kyai Wirasuta sembari menghaturkan sembah.
  • “Baiklah, jika itu sudah menjadi keinginan kalian. Rawatlah baik-baik pesanggrahan ini dan hewan-hewan kalian,” ujar sang Sultan.
  • “Terima kasih, Kanjeng Gusti,” ucap Ki Wirasuta, 
  • “Tapi, jika diperkenankan, bolehkah hamba membawa putra-putri hamba ke tempat ini?”.
Permintaan Kyai Wirasuta pun disetujui oleh sang Sultan. Sejak itulah, Kyai Wirasuta tinggal di daerah itu bersama istri dan dua putra, Raden Bagus Gombak dan Raden Bagus Kuncung serta dua putrinya, Roro Ambarsari dan Roro Ambarsekar. Selain itu, ia juga memboyong kedua pembantu setianya yaitu Kyai dan Nyai Brengkut.
 
Suatu hari, tepatnya hari Jumat Kliwon di bulan Sapar, Kyai Wirasuta bersama istrinya sedang membersihkan halaman pesanggrahan. Tanpa mereka duga sebelumnya, Gunung Gamping yang berada di dekat pesanggerahan itu runtuh. Karena posisinya berada sangat dekat dengan gunung itu, mereka pun tidak sempat menyelamatkan diri sehingga tertimbun batu-batu kapur. Ketika peristiwa itu terjadi, keempat putra-putri serta kedua pembantunya masih sempat melarikan diri bersama sebagian warga lainnya sehingga selamat dari musibah. Sementara hewan ternaknya hanya ada 3 ekor yang selamat yaitu seekor merpati memakai sawangan, seekor burung puyuh bergelang emas, dan seekor landak berkalung sapu tangan merah.
 
Mendengar kabar tentang musibah yang menimpa kedua abdi dalem kesayangannya itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan para prajurinya untuk membongkar reruntuhan batu-batu kapur yang ada di Gunung Gamping itu. Namun, hingga batu kapur itu selesai disingkirkan, jasad Kyai Wirasuta dan istrinya tidak diketemukan. Kedua jasad tersebut menghilang tanpa jejak.
 
Di istana Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono I duduk termenung mengenang kedua abdi dalem-nya itu. Hatinya sangat sedih karena kehilangan orang-orang yang disayanginya. Kesedihan yang dirasakan sang Raja hingga berbulan-bulan lamanya. Ketika kesedihan itu mulai lenyap, sang Raja kembali dikejutkan oleh laporan dari abdi dalem-nya.
“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba baru saja mendapat kabar bahwa beberapa penduduk Ambarketawang tertimbun reruntuhan batu kapur,” lapor abdi dalem itu.
Mendengar laporan itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I kembali berduka. Musibah itu kembali mengingatkannya kepada Kyai Wirasuta dan istrinya. Kebetulan, musibah itu juga terjadi pada bulan Sapar. 
 
Demikian seterusnya, hampir setiap bulan Sapar, penduduk Ambarketawang kerap mendapat musibah yang serupa. Oleh karena itulah, masyarakat meyakini bahwa meskipun jasadnya telah menghilang, jiwa dan arwah Kyai dan Nyai Wirasuta masih tetap ada di Gunung Gamping. Dengan keyakinan itu, mereka pun menjadi resah. Mereka pun khawatir mengumpulkan batu-batu kapur di sekitar gunung itu, terutama pada bulan Sapar.
 
Mengetahui keresahan itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I pun bertitah kepada masyarakat Ambarketawang agar setiap bulan Sapar mengadakan upacara selamatan Bekakak.
 
Upacara itu juga bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar melindungi masayarakat dari musibah. Adapun wujud upacara selamatan itu berupa penyembelihan bekakak yang dilengkapi dengan beberapa perangkat upacara lainnya seperti tumpeng, ingkung ayam, jajan pasar, dan lain sebagainya. Penyembelihan bekakak dimaksudkan untuk menggantikan Kyai dan Nyai Wirasuta dan warga lain yang tertimpa musibah.
 
Sumber: http://agathanicole.blogspot.com/2017/09/cerita-legenda-asal-usul-upacara-bekakak.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya
Gambar Entri
Prajurit Pemanah Kasultanan Kasepuhan Cirebon Di Festival Keraton Nusantara
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
Kirab agung milad ke 215 kesultanan kacirebonan
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
PANURUNG: Pasukan Pengawal Keraton Sumedang Larang
Senjata dan Alat Perang Senjata dan Alat Perang
Jawa Barat

Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU