Menceritakan tentang seekor anak kucing pemalas dan ibunya. Alkisah zaman dahulu, di sebuah hutan lebat, hidup seekor induk kucing dengan anaknya. Si induk kucing sangat menyayangi anaknya, karenanya ia selalu memanjakan anaknya. Setiap hari ia selalu mencari makan untuk anaknya, bahkan ketika anaknya sudah mulai besar. Akibatnya, si anak kucing tumbuh menjadi seekor kucing pemalas.
Suatu hari si induk kucing jatuh sakit. Ia kelelahan karena selalu bekerja keras untuk mencari makan keluarganya. Si induk kucing lalu memanggil anaknya. Induk kucing memberi tahu bahwa ia tengah sakit. Ia kemudian menasehati anaknya agar belajar mencari makan sendiri.
“Anakku, Engkau telah beranjak dewasa. Belajarlah mencari makan sendiri agar mampu hidup mandiri. Ibu saat ini sedang sakit keras nak. Ibu tidak sanggup lagi mencarikan makan untukmu.” kata induk kucing.
Anak Kucing Pergi Meninggalkan Ibunya
Si anak kucing yang telah terbiasa hidup malas, merasa ibunya telah mengusirnya secara halus. Si anak kucing merasa ibunya sudah tidak mencintainya lagi. “Oh jadi ibu sudah tidak menyayangi Aku lagi. Baiklah aku akan pergi.” Ia lalu pergi begitu saja meninggalkan induknya yang telah tua dan sakit-sakitan.
Si anak kucing berjalan tak tentu tujuannya. Suatu saat ia mendongakkan kepalanya ke atas. Dia melihat sinar matahari dengan sinarnya yang menyilaukan. Dia berangan-angan kalau ibunya matahari, tentu hidupnya akan senang.
“Wahai, matahari perkasa maukah kamu mengambil aku sebagai anakmu?” tanya anak kucing kepada matahari.
“Mengapa kamu ingin menjadi anakku hai anak kucing?” matahari balik bertanya karena merasa heran.
“Engkau terlihat sungguh perkasa. Aku ingin menjadi perkasa seperti engkau.” jawab anak kucing.
“Hmm...mungkin kelihatannya saja seperti itu. Padahal, di dunia ini aku tak selalu perkasa. Masih ada yang bisa mengalahkan aku.” jawab matahari.
“Siapakah itu?” Tanya si anak kucing.
“Awan. Awan sering menutupi wajahku sehingga tidak tampak olehmu.” jawab matahari.
Mendengar jawaban matahari seperti, anak kucing berpikir, kalau begitu awan saja yang menjadi induknya. Dia pun mencari awan.
“Awan yang baik hati, maukah kau menjadi ibuku?” tanya anak kucing.
“Menjadi anakku? Mengapa engkau ingin menjadi anakku?” Tanya awan.
“Kata Matahari kamu lebih hebat dari dia.” jawab anak kucing.
“Oh begitukah kata matahari anak Kucing?, ketahuilah masih ada yang bisa mengalahkan aku di bumi. Di adalah angin. Jika angin datang menyerang, maka tubuhku tercerai-berai. Aku diterbangkan ke sana-kemari hingga hancur lebur menjadi air.” jawab awan.
Si anak kucing diam saja mendengar keterangan awan. Lalu ia berlari ke arah angin yang bertiup kencang.“ Hai angin, angin, maukah kamu menjadi ibuku? Agar Aku bisa bebas terbang kesana-kemari seperti Engkau.”
“Dengar anak kucing, biarpun Aku terlihat bebas terbang kesana-kemari, tapi jangan kamu kira aku selalu senang. Aku pun masih sering punya masalah karena masih ada yang lebih hebat dari pada Aku. Ia adalah bukit. Walaupun Aku mampu bergerak bebas, namun jika di depanku ada bukit, aku tak bisa meneruskan perjalananku.” jawab angin.
Mendengar jawaban angin, si anak kucing segera berlari ke arah bukit. Dia pun bertanya kepada bukit, “Bukit yang tinggi, maukah kamu mengangkat aku sebagai anakmu?”
“Apa yang kamu harapkan dariku?” Tanya bukit.
“Kamu gagah dan kuat. Aku ingin seperti engkau.” jawab anak kucing.
“Hidupku pun tak lepas dari masalah. Masih ada yang sering mengganggu ketenanganku.” Jawab bukit.
“Benarkah ? Siapa Dia?” tanya anak kucing.
“Kerbau. Dia sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.” jawab bukit.
Anak kucing segera berlari ke arah kerbau. Si anak kucing tampak mulai kelelahan. Setelah bertanya kepada kerbau, ternyata kerbau itu menyatakan bahwa rotan yang mengikat itulah yang membuat hidupnya tak tenang. “Hidupku tidak tenang hai anak kucing. Engkau lihatlah rotan pengikat tubuhku ini, ia lebih hebat dariku.”
Lalu anak kucing berlari ke padang rumpun rotan. Menurut rotan, hidupnya pun tak senang, karena sering digigiti oleh serombongan tikus hingga badannya sakit semua. “Yang benar saja anak kucing, aku lemah, badanku sering digigit oleh tikus-tikus. Mereka lebih hebat dariku.”
Mendengar jawaban rotan, anak kucing segera berlari ke arah lubang tikus. Di situ ada sebuah keluarga tikus. Anak kucing lalu mengutarakan maksudnya. “Wahai tikus perkasa maukah engkau mengangkatku menjadi anakmu?”
Tentu saja induk tikus merasa curiga, ada kucing ingin menjadi anak angkatnya, karena selama ini kucinglah yang menjadi pemangsa tikus. “Apa permintaanmu tidak keliru anak kucing?” Tanya induk tikus penuh curiga.
“Tidak. Aku sungguh-sungguh ingin menjadi anakmu. Menurut rotan engkau lebih perkasa.” Jawab si anak kucing.
“Maksudmu perkasa bagaimana? Hidup kami sering ditimpa kemalangan. Di hutan ini ada binatang yang sering membunuh anak-anak kami menjadi santapannya.” jawab tikus.
“Benarkah? Siapakah gerangan sang pemberani itu?” Tanya si anak kucing.
“Di hutan ada seekor kucing tua yang sangat ditakuti anak-anakku. Ia selalu memangsa tikus-tikus di hutan. Namun, beberapa hari ini anak-anak kami berani bermain-main di luar karena kabarnya kucing si betina tua kini sakit-sakitan. Apalagi anak satu-satunya yang paling disayangi meninggalkan dia. Kucing tua itu tampak menderita sekali karena sakit keras, sementara anaknya justru pergi meninggalkan dia.” jawab tikus.
Mendengar penjelasan tikus, si anak kucing langsung terduduk lemas teringat akan ibunya. Dia sadar sekarang bahwa tindakannya meninggalkan ibuanya adalah sangat keliru. Tak terasa air matanya menetes. Ia merasa rindu sekali kepada ibunya sang bunda sejati. Dia merasa sangat berdosa kepada ibunya. Tanpa berpikir panjang, si anak kucing segera pulang untuk menemui ibunya. Sejak saat itu dia tidak lagi menjadi kucing yang manja dan malas.
Referensi:
-
Prahana, Naim Emel. 1988. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2, Jakarta: Grasindo
-
Agni, Danu. 2013. Cerita Anak Seribu Pulau.Yogyakarta: Buku Pintar.
-
Komandoko, Gamal. 2013. Koleksi Terbaik 100 plus Dongeng Rakyat Nusantara, PT.Buku Seru.
-
Carita Sato (https://caritasato.blogspot.com/2015/07/bunda-sejati-cerita-rakyat-bengkulu.html)