Dahulu kala daratan Limboto belum seperti sekarang ini. Tempat ini masih merupakan lautan yang luas. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanyalah dua buah puncak gunung yang tinggi yakni puncak Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Untuk menunjukkan arah terutama ketika memasuki Gorontalo melalui pelabuhan, kedua gunung ini dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui arah Barat dan Timur yaitu Boliohuto yang menunjukkan arah Barat dan Tilongkabila menunjukkan arah Timur. Ketika pada suatu saat air laut surut menjelmalah tempat tersebut menjadi daratan dan beberapa selang kemudian terciptalah hutan dan semak belukar. Sedangkan di tempat yang rendah masih tetap terlihat adanya air laut yang menggenang. Demikian pula di beberapa tempat tertentu muncul mata air tawar yang juga sedikit demi sedikit membuat genangan-genangan air tawar. Hampir setiap tempat di daratan yang terbentuk itu terdapat mata air. Mata air yang jernih dan dingin adalah mata air di tengah-tengah daratan yang kurang dijamah orang karena terletak di tengah-tengah hutan yang lebat. Mata air inilah yang biasa didatangi oleh gadis kayangan untuk mandi bersibak atau main sembur-semburan air. Nama mata air ini adalah Tupalo.
Pada suatu hari turunlah seorang jejaka dari kayangan, sangat tampan dan perkasa, masih muda remaja. Nama sang jejaka ini adalah Jilumoto artinya (seseorang) yang menjelma datang ke dunia. Ketika menyaksikan adanya para bidadari yang mandi di Tupalo, ia berhasil menyembunyikan sayap salah seorang dari antara mereka. Ternyata sayap tersebut adalah milik bidadari yang tertua di antara mereka bernama Mbu’i Bungale. Ketika Mbu’i Bungale akhirnya ditinggalkan oleh saudara-saudaranya, berkenalanlah ia dengan Jilumoto yang pada akhirnya Mbu’i Bungale diajak untuk kawin dan jadilah ia isteri dari Jilumoto. Pasangan suami isteri ini akhirnya memutuskan untuk menjadi penghuni dunia dan kemudian mencari tanah yang dapat dihuni untuk bercocok tanam. Mereka menjumpai sebuah bukit yang kemudian diberi nama Huntu lo Ti’opo atau bukit kapas. Di bukit inilah mereka mendirikan rumah dan berkebun dengan bermacam-macam tanaman yang dapat dimakan.
Suatu ketika Mbu’i Bungale mendapat kiriman dari kayangan sesuatu yang disebut Bimelula yaitu mustika sebesar telur itik. Mbu’i Bungale mengambil Bimelula itu dan kemudian menyimpannya pada mata air (Tupalo) tempat biasa ia mandi dan ditutupnya dengan sebuah tolu (tudung). Pada suatu hari ada empat pelancong berasal dari bagian Timur tersesat ke tempat itu dan menemukan mata air tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin (sejuk) dengan serta merta mereka terjun ke dalamnya dan bersama di Tupalo itu. Selesai mandi nampak oleh mereka ada tudung terapung-apung di atas air. Mereka melihat-lihat jangan sampai ada orang mandi di tempat yang terpisah dengan mereka, atau ada orang yang lupa akan tudungnya. Setelah mengamati sekelilingnya, tidak ada manusia lain maka mereka mendekati dan bermaksud mengangkat tudung itu. Tiba-tiba terjadi badai dan angin topan yang sangat dasyat, dalam waktu yang bersamaan pula turunlah hujan dengan derasnya bagai dicurahkan dari langit. Dunia menjadi gelap, tak diketahui apa yang terjadi dan menimpa dunia ini, sejenak mereka mencari perlindungan pada tempat-tempat yang teduh dan jauh dari marabahaya.
Setelah badai reda hujan telah berhenti, mereka kembali ke mata air. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Dengan penuh keheranan mereka kembali mendekati tudung itu untuk mengangkatnya tetapi meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang. Setelah melakukan hal itu mereka tidak menjauh dari mata air, tetapi mengintip dan ingin tahu siapa pemilik tudung itu. Tak lama kemudian datanglah Mbu’i Bungale dengan suaminya bermaksud menjemput Bimelula (mustika) yang tertutup dengan tudung itu.
Ketika Mbu’i Bungale mendekati tudung, ia dihadang oleh empat pelancong yang tak dikenalnya itu. Mereka kemudian berkata, “Wahai, kalian berdua siapakah kalian sebenarnya, untuk maksud apa kalian mendatangi tempat ini?” Mbu’i Bungale kemudian menjawab, “Saya Mbu’i Bungale datang bersama suamiku Jilumoto untuk menjemput mustika dalam tudung itu”. Keempat orang itu dengan lantang menjawab, “Tidak seorangpun yang kami izinkan menjamah tempat ini apalagi mengambil barang-barang yang ada di sini. Tempat ini adalah milik kami”. Mbu’i Bungale balik bertanya, “Apa buktinya bahwa mata air dan tudung itu milik kalian?” empat orang itu berkata, “Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu, itulah buktinya”. Mbu’i Bungale hanya tersenyum dan berkata, “Jika kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata air ini menjadi danau. Kuingatkan pada kalian bahwa dataran dan mata air ini diturunkan oleh Yang Maha Kuasa di dunia ini untuk ditujukan kepada orang-orang yang baik budi pekerti dan tingkah lakunya, baik hubungannya antara sesama manusia dan berkata benar. Bukan diberikan kepada orang-orang yang tamak dan rakus. Tanah ini berada dalam pemberkatan Yang Maha Kuasa, oleh karena itu jagalah jangan kalian cemarkan. Jika benar-benar kalian pemiliknya perbesarlah mata air ini. Jika benar kalian suruhan pemiliknya perluaslah mata air ini. Oleh karena kalian yang mengajak bertikai denganku maka kalianlah yang lebih dahulu memulai. Silahkan keluarkan ilmu-ilmu kalian, aku siap menantangmu!”.
Pertama kali yang memperagakan kesaktiannya adalah orang yang dianggap pemimpin dari mereka berempat. Sambil membentangkan tangannya dengan lantang ia berkata, “Wei mata air kami! Meluas dan membesarlah . . . ppssstttt!” demikian pemimpin memperagakan kesaktiannya. Tak ada yang terjadi, mata air tetap begitu saja tak memperlihatkan apa-apa, angin pun tak bergeser sedikitpun. Demikian satu per satu keempat orang asing itu memperagakan kemampuannya hingga orang keempat, mata air tetap tenang-tenang saja tidak bergerak. Hanya peluh mereka yang bercucuran membasahi tubuh seperti orang mandi saja layaknya.
Mbu’i Bungale kembali tersenyum dan berkata kepada mereka berempat, “Ayo keluarkan semua kemampuan kalian, buktikan mata air dan tudung itu milik kalian. Atau mungkin kalian telah menyerah kalah dan mengakui bahwa mata air ini bukan milik kalian”. Pemimpin mereka dengan nafas tersengal-sengal akibat kelelahan kemudian berkata, “Perlihatkan kepada kami jika engkau benar-benar sebagai pemilik mata air ini”. Mbu’i Bungale kemudian bersedekap, merapatkan kedua tangannya di atas dadanya memohon kepada Yang Maha Kuasa, kemudian ia mengarahkan tangannya ke arah mata air sambil berseru, “Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah, melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari, membesarlah … wuuuzzz !” Tak lama kemudian terdengarlah gemuruh air, tanah menggelegar, berlahan-lahan mata air itu melebar dan meluas. Mbu’i Bungale dalam sekejab telah berada di atas pohon, sementara keempat orang itu memandang pohon kapuk sekitar hutan dan terpana kagum menyaksikan keajaiban mata air itu.
Air semakin tinggi dan mulai mencapai tempat keempat orang yang berada di atas pohon kapuk itu, dengan berteriak-teriak mereka memohon ampun kepada Mbu’i Bungale. Mbu’i Bungale berkata, “Bagaimana, masihkah kalian mengaku sebagai pemilik mata air ini?” Dengan penuh permohonan mereka berkata, “Kami memohon ampun kepadamu Mbu’i Bungale, kami mengaku salah, engkaulah pemilik tempat ini beserta isinya!” Mbu’i Bungale turun dari pohon kayu dan datang membawa tudung serta mustika yang ada di dalamnya lalu meletakkan di atas tangannya, seperti telur itik putih mulus mustika itu. Dengan kekuasaan tuhan, menetaslah mustika itu dan keluarlah seorang gadis kecil yang sangat cantik seperti bulan bercahaya. Gadis itulah yang kenudian dikenal dengan nama Tolango Hula yang berasal dari Tilango lo Hulalo (cahaya bulan). Tilango Hula inilah yang kelak dikemudian hari menjadi raja Limboto.
Ketika Mbu’i Bungale dan suaminya bersiap kembali ke rumahnya sambil membawa sigadis kecil dan mengajak keempat orang itu, sejenak ia melayangkan pandangannya ke tengah danau yang baru saja diciptakannya. Tiba-tiba ia melihat lima benda terapung-apung yang bentuknya seperti buah. Diraihnya buah-buah itu dicubitnya dan kemudian diciumnya, baunya sangat harum. Setelah menciumnya ia merasakan bau itu seperti bau buah jeruk (limau/lemon) yang ada di negeri kayangan. Ia kemudian memandang sekeliling danau itu kalau-kalau ada pohon jeruk tumbuh di sekitarnya. Ia memanggil suaminya Jilumoto untuk memastikan, “Kanda, perhatikan bukankah buah ini seperti jeruk kayangan, aku merasa yakin akan hal itu dari bau dan bentuk buahnya!” Suaminya mendekatinya, ikut memegang dan mengamati buah itu dan kemudian mengiakan apa yang dikatakan isterinya. Mbu’i Bungale kemudian berkata, “Heran aku, bukankah tidak ada pohon jeruk yang tumbuh di sekitar tempat ini, mengapa buah jeruk ini bisa muncul di danau ini, mungkin ini suatu anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kejadian ini perlu diabadikan sebagai nama danau ini. Danau ini sesuai dengan kejadian yang kita saksikan barusan pantas untuk diberi nama Bulalo lo limu o tutu (danau dari jeruk yang berasal dari kayangan)”. Lama kelamaan akhirnya danau ciptaan Mbu’i Bungale ini lebih dikenal sebagai “Bulalo lo Limutu”.
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...