Salah satu kebudayaan Bugis Makassar yang mengajarkan cara hidup adalah Pangaderreng/Pangngadakkang. Pangaderreng/Pangngadakkang adalah sistem norma dan aturan-aturan adat. Dalam keseharian suku Bugis Makassar, pangaderreng/pangngadakkang sudah menjadi kebiasaan dalam berinteraksi dengan orang lain yang harus dijunjung tinggi. Salah satu pangaderreng/pangngadakkang dalam Suku Bugis Makassar dikenal dengan budaya Mappatabe'/Attabe'. Mappatabe'/Attabe' merupakan minta permisi untuk melewati arah orang lain, dengan kata-kata "tabe'". Kata tabe' tersebut diikuti gerakan tangan kanan turun kebawah mengarah ketanah atau ketanah. makna dari perilaku orang Bugis Makassar seperti demikian adalah bahwa kata tabe' simbol dari upaya menghargai dan menghormati siapapun orang dihadapan kita, kita tidak boleh berbuat sekehendak hati. Makna lain dari budaya Attabe' adalah satunya kata dan perbuatan (Taro Ada Taro Gau), bahwa orang Bugis Makassar dalam kehidupan sehari-hari harus berbuat sesuai dengan perkataan. Antara kata tabe' dan gerakan tubuh (tangan kanan) harus seiring dan sejalan. sehingga suatu pemaknaan yang dalam orang Bugis Makassar jauh lebih dalam lagi. Rumusan Sikap tabe' adalah serupa dengan sikap mohon ijin atau mohon permisi ketika hendak melewati orang-orang yang sedang duduk berjajar terutama bila yang dilewati adalah orang-orang yang usianya lebih tua ataupun dituakan. Sikap tabe' dilakukan dengan melihat pada orang-orang yang dilewati lalu memberikan senyuman, setelah itu mulai berjalan sambil sedikit menundukkan badan dan meluruskan tangan disamping lutut. Sikap tabe' dimaksudkan sebagai penghormatan kepada orang lain yang mungkin saja akan terganggu akibat perbuatan kita meskipun kita tidak bermaksud demikian. Mereka yang mengerti tentang nilai luhur dalam budaya Attabe' ini biasanya juga akan langsung merespon dengan memberikan ruang seperti menarik kaki yang bisa saja akan menghalangi atau bahkan terinjak orang yang lewat, membalas senyuman, memberikan anggukan hingga memberikan jawaban "ye, de' megaga" (Bahasa Bugis) atau "ye, allalo maki, tenaja nangngapa" (Bahasa Makassar) dapat diartikan sebagai "iya tidak apa-apa" atau "silahkan lewat". Sekilas sikap tabe' terlihat sepele, namun hal ini sangat penting dalam tata krama masyarakat di daerah Sulawesi Selatan khususnya pada Suku Bugis Makassar. Sikap tabe' dapat memunculkan rasa keakraban meskipun sebelumnya tidak pernah bertemu atau tidak saling kenal. Apabila ada yang melewati orang lain yang sedang duduk sejajar tanpa sikap tabe' maka yang bersangkutan akan dianggap tidak mengerti adat sopan santun atau tata krama. Bila yang melakukannya adalah anak-anak atau masih muda, maka orang tuanya akan dianggap tidak mengajari anaknya sopan santun. Oleh karena itu biasanya orang tua yang melihat anaknya yang melewati orang lain tanpa sikap tabe' akan langsung menegur sang anak langsung di depan umum atau orang lain yang dilewati. Menerapkan budaya Attabe' dengan implementasi makna konseptual yaitu: tidak menyeret sandal atau menghentakkan kaki, tetapi dengan mengucapkan salam atau menyapa dengan sopan, juga bahwa sikap tabe' adalah permohonan untuk melintas. Tabe' mengoptimasi untuk tidak berkacak pinggang, dan tidak usil mengganggu orang lain. Tabe' berakar sangat kuat sebagai etika dalam tradisi atau sama halnya seperti pelajaran dalam hidup yang didasarkan pada akal sehat dan rasa hormat terhadap sesama. Budaya Attabe' sesunggunya sangat tepat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mendidik anak dengan cara mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe' (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé' (dalam bahasa Jawa "nggih"), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran-ajaran suku Bugis Makassar sesungguhnya yang termuat dalam Lontara' yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pembangunan insan yang berbudaya dan bermoral dapat dikembangkan melalui pelestrarian nilai-nilai luhur dalam budaya Attabe'. Adapun nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Attabe' adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S sebagai berikut: 1. Sipakatau : mengakui segala hak tanpa memandang status sosial dan bisa juga diartikan sebagai rasa kepedulian terhadap sesama 2. Sipakalabbiri' : sikap hormat terhadap sesama dan senantiasa memperlakukan orang dengan baik. Budaya Attabe' menunjukkan bahwa yang ditabe'ki dan yang mentabe' adalah sama-sama orang yang dipakalabbiri'. 3. Sipakainga' : tuntunan bagi masyarakat Bugis Makassar untuk saling mengingatkan.
Memang sangat sederhana, namun memiliki makna yang mendalam agar kita saling menghormati dan tidak mengganggu satu sama lainnya. Daerah-daerah lainnya di Indonesia juga memiliki budaya yang serupa. Budaya luhur seperti ini sangat perlu dilestarikan baik dengan mengajarkannya kepada anak-anak dan generasi muda. Budaya luhur yang terus dipertahankan akan menjadi jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan nilai-nilai luhur.
Menyerukan tabe', menyuarakan kebudayaan. Kita adalah pelaku nilai-nilai budaya luhur, khususnya yang ada di Sulawesi Selatan ini. Tak sekadar menyadarinya, dimanapun kita berada, kita harus menunaikannya. Jangan sampai, kita berpendidikan tinggi, lantas kita rendah pada hal sepele dan mengabaikan nilai-nilai budaya luhur yang ditinggalkan oleh para nenek moyang kita terdahulu.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja