Pulau Ambon adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat lautan yang membiru dipenuhi ikan yang beraneka ragam. Ada pula ikan yang dapat terbang mencecah laut. Taman lautnya yang penuh dengan berbagai jenis hewan laut, membuatnya semakin indah dipandang mata.
	Dikisahkan pada zaman dahulu, kota Ambon yang terletak pada jazirah Lei Timur dan jazirah Lei Hitu itu dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala. Di tempat ini hidup seekor buaya yang sangat besar. Panjang badannya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya kuning. Oleh sebab itu, penduduk di sana memberinya nama Buaya Tembaga. Keadaan alam di Baguala yang begitu indah dan nyaman, membuat Buaya Tembaga itu merasa betah tinggal di sana. Apalagi penduduknya sangat memuja buaya tersebut.
	Tak jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru, hiduplah seekor ular besar yang bertengger di atas sebatang pohon Mintaggor. Pohon itu tumbuh di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut. Ular tersebut selalu mengganggu ketenteraman hidup semua penghuni tempat itu. Hampir semua ikan ditelannya, buaya-buaya pun turut dimangsanya juga. Oleh karena itu, ikan-ikan, buaya, dan binatang lain berkumpul untuk mengadakan musyawarah dengan tujuan untuk mengatasi serta membasmi ular raksasa itu. Akhirnya, mereka sepakat bahwa yang dapat menandingi ular tersebut adalah Buaya Tembaga.
	Setelah selesai bermusyawarah mereka mengirim utusan untuk menemui Buaya Tembaga. Tujuannya yaitu meminta bantuan agar dapat menghancurkan ular pemangsa itu. Mereka kemudian menjemput Buaya Tembaga dari Teluk Baguala, sementara ikan-ikan dan buaya yang lain sibuk mempersiapkan upacara penyambutan bagi Buaya Tembaga.
	Setibanya mereka di Teluk Baguala, Buaya Tembaga mengabulkan permohonan mereka dan bersedia untuk berangkat bersama dengan para utusan itu menuju pantai selatan Pulau Buru. Setibanya di Pulau Buru, Buaya Tembaga disambut dengan hangat dalam suatu upacara yang meriah. Upacara pun dihadiri oleh para penghuni laut seperti keong laut, berjenis ikan, para buaya, aneka macam burung laut. Mereka beramah-tamah dan bersuka-ria dengan Buaya Tembaga selama dua hari.
	Pada hari yang ketiga, berangkatlah Buaya Tembaga melaksanakan tugasnya. Ia mulai berjalan, berenang ke sana-kemari mengintai musuhnya dan mendekati pohon mintanggor tempat ular raksasa itu berada. Ketika buaya melewati pohon itu, ia berpapasan dengan sang ular. Seketika itu ular langsung melilitkan ekornya pada batang pohon mintanggor dan menjulurkan badannya ke laut seraya memagut Buaya Tembaga.
	Pagutan ular itu segera ditangkis Buaya Tembaga dengan mengibaskan ekornya yang keras dan tajam. Perang tanding pun terjadi antara keduanya dan peristiwa ini disaksikan oleh semua penghuni laut yang berada di sekitar tempat itu. Pertarungan tersebut terjadi selama lebih dari sehari.
	Ketika pertarungan itu sudah berlangsung selama dua hari, terjadilah saat-saat yang menentukan. Sang ular, seperti biasa, melilitkan ekornya kuat-kuat pada batang pohon mintanggor dan memagut mata sang buaya. Buaya pun dengan sigap segera mengelak dari serangan ular dan membalas dengan pu*kulan yang keras dan cepat. Lalu ia hempaskan ekor tajamnya ke arah kepala ular raksasa itu. Hal ini terjadi berulang kali. Akibatnya, sang ular pun babak belur terkena sambaran ekor Buaya Tembaga. Kepalanya remuk, lilitan ekornya terlepas dari batang pohon mintanggor dan terhempas ke laut. Maka berakhirlah sudah riwayat ular raksasa tersebut.
	Para penghuni laut yang menyaksikannya serentak bersorak-sorai. Dengan demikian, mereka telah bebas dari ancaman sang ular yang selama ini menghantui mereka. Setelah kejadian itu, Buaya Tem*baga dianugerahi gelar “Yang Dipertuan di daerah Teluk Baguala”. Hadiah itu dipersembahkan pada sebuat tagala dan diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang, make, papere, dan salmaneti. Selanjutnya, Buaya Tembaga pun kembali ke tempat asalnya dengan membawa hadiah tersebut. Sejak saat itu, ikan-ikan tersebut berkembang-biak dengan baik di Teluk Baguala. Hingga kini, ikan jenis itu sangat banyak terdapat di teluk tersebut. Bahkan banyak penduduk yang percaya, terutama yang tinggal di sekitar Teluk Baguala bahwa bila Buaya Tembaga itu muncul pertanda akan datang banyak ikan. Sehingga masyarakat bersiap-siap untuk menangkap ikan dan menjualnya. Kemunculan Buaya Tembaga membawa keberuntungan bagi penduduk Baguala.
 
            Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak, Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman)...
 
                     
            Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
 
                     
            Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN : terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembong berwarna ungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok ataupun pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR : sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH : Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghad...
 
                     
            aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
 
                     
            Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang
