Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur
Bete Dou No Mane Loro
- 12 Desember 2014

Bete Dou adalah seorang putri raja yang cantik jelita dari Kerajaan Wefulan, di daerah Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ia sangat disayangi oleh kedua orang tua dan kakak laki­lakinya yang bernama Manek Bot. Namun, nasib malang menimpanya, karena ia dihukum mati oleh kakaknya. Sebagai suami Bete Dou, Mane Loro berusaha untuk menghidupkan kembali istrinya. Berhasilkah Mane Loro menghidupkan kembali istrinya? Mengapa Bete Dou dihukum mati oleh kakaknya? Ikuti kisahnya dalam cerita Bete Dou No Mane Loro berikut ini!

* * *

Alkisah, di daerah Nusa Tenggara Timur, hiduplah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Wefulan. Sang Raja mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Bete Dou. Sejak dalam kandungan hingga dewasa, ia sangat disayangi oleh kedua orangtua dan kakak laki­lakinya yang bernama Manek Bot. Sang Raja dan permaisuri berharap sang Putri akan membawa berkah untuk kesejahteraan kerajaan dan seluruh rakyatnya. Untuk itu, mereka berniat untuk memingit sang Putri agar kesuciannya tetap terjaga.

Suatu hari, sang Raja memanggil putranya, Manek Bot, untuk menghadap kepadanya.

“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Nanda?” tanya Manek Bot.

“Begini, Putraku! Ayah ingin memingit adikmu. Di belakang istana ini, ada sebuah pohon beringin yang besar dan rimbun. Buatkanlah dia sebuah rumah kecil di atas pohon itu! Setelah itu, Ayah mengamanatkan kepadamu untuk mengawasinya!” perintah sang Raja. Manek Bot pun segera melaksanakan perintah ayahandanya. Dengan dibantu oleh beberapa pengawal istana, ia pun berhasil membangun sebuah rumah kecil di atas pohon beringin itu dalam waktu sehari. Untuk sampai ke rumah itu, Manek Bot membuat sebuah tangga yang terdiri dari tujuh buah anak tangga besar, tujuh buah anak tangga sedang, dan tujuh buah anak tangga kecil. Rumah dan tangga tersebut kesemuanya terbuat dari kayu cendana yang harum semerbak. Setelah pembangunan rumah itu selesai, sang Raja pun menyuruh putrinya untuk tinggal di atas pohon itu. Mulanya, sang Putri menolaknya, karena ia tidak ingin hidup kesepian. Namun, setelah dibujuk oleh ibundanya, akhirnya ia pun bersedia pindah ke tempat tinggal barunya itu. Sejak itu, Putri Bete Dou menjalani hidupnya seorang diri di rumah kecil itu. Untuk mengisi kesepiannya, setiap hari ia menyibukkan diri dengan menyulam dan mengayam tikar. Pada malam harinya, ia selalu melantunkan lagu­lagu sedih, seakan melukiskan kesepiannya hidup sendirian. Senandungnya yang terbawa angin malam menggetarkan telinga orang yang mendengarnya.

Pada suatu malam purnama, seorang putra mahkota dari Kerajaan Loro yang bernama Mane Loro mendengar alunan suara merdu sang Putri. Suara merdu yang terdengar sayup­sayup dari kejauhan itu membuat hati sang Pangeran bergetar dan penasaran ingin mengetahui suara siapakah itu. Dengan kesaktiannya, ia segera terbang mencari sumber suara itu. Tak berapa lama, ia pun tiba dan menjejakkan kakinya di atas pohon beringin. Ia terkejut melihat sebuah rumah kecil yang indah berada di atas pohon. Keterkejutannya pun semakin menjadi setelah mengetahui bahwa sumber suara itu berasal dari dalam rumah itu.

“Aneh! Kenapa ada rumah di atas pohon ini?” tanyanya dalam hati dengan heran.

Perlahan­lahan, Mane Loro pun berjalan mendekati pintu rumah itu dan mencoba melihat ke dalam

melalui sebuah lubang kecil. Ia pun tersentak kaget ketika melihat ada seorang putri cantik jelita sedang menganyam tikar sambil bernyanyi.

“Aduhai... bukan hanya suaranya yang merdu, tapi wajah gadis ini pun cantik nan rupawan,” ucap Mane Loro dengan kagum. Saat itu pula, Mane Loro langsung jatuh hati melihat kecantikan gadis itu dan tidak sabar lagi ingin menemuinya. Ia pun mengetuk pintu dengan perlahan­lahan seraya memanggil gadis yang berada di dalam rumah itu.

“Selamat malam, Gadis cantik! Bolehkan saya meminta bantuan?”

Mendengar ada suara orang meminta bantuan, sang Putri pun menghentikan senandungnya dan segera beranjak menuju pintu. Dari balik pintu rumahnya, ia mencoba melihat ke luar melalui sebuah lubang kecil. Namun karena cahaya remang­remang, ia tidak bisa mengenali wajah laki­laki yang sedang berdiri di depan pintunya.

“Maaf, Tuan! Anda siapa dan berasal dari mana?” tanya sang Putri dari balik pintu.

“Nama saya Mane Loro dari Kerajaan Loro,” jawab Mane Loro.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya sang Putri.

“Saya sangat kagum pada suara merdumu. Bolehkah saya masuk?” pinta Mane Loro.

Putri Bete Dou merasa terpuji dengan ucapan Mane Loro. Tanpa disadarinya, ia pun membuka pintu

rumahnya lebar­lebar. Saat melihat ketampanan dan kegagahan laki­laki itu, sang Putri pun langsung

terperangah. Matanya menatap wajah laki­laki itu tanpa berkedip sedikit pun. Mane Loro pun membalasnya dengan tatapan yang tajam dan penuh arti.

Sesaat kemudian, sang Putri mempersilahkan pemuda itu masuk ke dalam rumah dan segera menutup pintunya kembali. Ia takut ada orang yang mengetahui keberadaan laki­laki itu di rumahnya dan melaporkan kepada ayahandanya. Setelah itu, mereka saling berkenalan lebih jauh. Dalam waktu singkat, keduanya sudah tampak akrab dan saling bersendau gurau. Beberapa hari kemudian, mereka pun menjalin hubungan kasih dan siap untuk melanjutkan hubungan mereka sampai ke jenjang pernikahan.

Pada bulan purnama berikutnya, Mane Loro melamar Bete Dou, dan Bete Dou pun siap untuk sehidup semati bersama Mane Loro. Akhirnya, keduanya pun menikah tanpa sepengetahuan orang tua mereka masing­masing. Sejak itu, setiap malam Mane Loro tidur bersama Bete Dou di rumah itu. Saat subuh menjelang, Mane Loro sudah harus kembali ke istananya agar tidak ketahuan oleh keluarga Bete Dou. Sebulan kemudian, ayah Mane Loro jatuh sakit. Oleh karena itu, malam­malam selanjutnya Mane Loro tidak bisa mengunjungi istrinya, karena harus menunggu ayahnya. Hal itu membuat hati Bete Dou menjadi sedih.

Pada suatu malam, Manek Bot datang mengunjungi adiknya untuk melihat keadaannya. Ternyata,

kedatangannya yang secara tiba­tiba tersebut membuat sang Putri menjadi panik, karena belum sempat menyembunyikan sepasang pakaian Mane Loro yang masih tergantung di dinding rumahnya. Manek Bot pun tersentak kaget saat melihat ada pakaian laki­laki di rumah adiknya.

“Hai, kenapa ada pakaian laki­laki di rumahmu? Pakaian siapakah itu?” tanya Manek Bot.

Mendengar pertanyaan itu, Putri Bete Dou hanya diam dan menunduk. Tubuhnya pun gemetar karena ketakutan.

“Hai, Bete Dou! Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?” bentak Manek Bot.

“Ma... ma... maafkan Adik, Kak! Pakaian itu milik suami Adik,” jawab Bete Dou dengan gugup.

Mendengar jawaban adiknya itu, telinga Manek Bot bagai disambar petir. Wajahnya tiba­tiba memerah bagai terbakar api.

“Apa katamu? Pakaian suamimu? Sejak kapan kamu menikah? Lalu, siapa suamimu itu?” tanya Manek Bot dengan penuh amarah.

“Sebulan yang lalu, Adik menikah secara diam­diam dengan Mane Loro, putra mahkota Kerajaan Loro,” jawab Bete Dou.

“Dasar anak gadis tidak tahu malu!” bentak Manek Bot.

Amarah Manek Bot pun semakin memuncak. Ia benar­benar merasa malu karena perbuatan adik satusatunya itu. Ia merasa sia­sia membuat rumah cendana di atas pohon beringin itu. Ia tidak mau melihat adiknya lagi. Ia pun segera turun dari rumah meniti anak tangga satu per satu dengan tangan terkepal. Saat kakinya berpijak di tanah, Manek Bot berhenti dan berteriak memanggil adiknya.

“Hai, Bete Dou! Turunlah ke bumi! Engkau telah membuat malu keluarga dan kerajaan!” seru Manek

Bot. Sang Putri pun semakin gemetar ketakutan, karena ia merasa bersalah dan wajar jika kakaknya sangat marah kepadanya. Ia pun sangat menyesal telah menikah dengan Loro Manek tanpa sepengetahuan ayahanda, ibunda, dan kakaknya. Namun, apa hendak dikata, rahasianya terbongkar. Ia hanya bisa pasrah untuk menerima hukuman dari kakaknya. Dengan langkah perlahan­lahan, Bete Dou turun dari rumahnya dengan meniti anak tangga satu per satu sambil mendendangkan lagu derita. Ketika tiba di anak tangga pertama, ia pun langsung mendapat hukuman dari kakaknya. Tak ayal lagi, tubuhnya tersungkur ke tanah dan meninggal seketika. Bersamaan dengan itu, seluruh alam semesta berduka cita. Suasana tiba­tiba menjadi hening dan sepi. Binatang malam serentak berhenti berbunyi. Hembusan angin sepoi­sepoi tiba­tiba berhenti, sehingga dedaunan pun ikut berhenti bergoyang. Sementara itu di Kerajaan Loro, Mane Loro yang sedang tertidur di samping ayahnya, tiba­tiba tersentak dari tidurnya. Firasatnya langsung tertuju kepada istrinya.

“Sepertinya aku mempunyai firasat buruk tentang istriku. Jangan­jangan terjadi sesuatu dengannya,”

pikirnya. Tanpa berpikir panjang, Mane Loro segera terbang meleset menuju ke rumah istrinya. Dalam waktu sekejap, ia pun tiba di rumah istrinya. Namun, kedatangannya sudah terlambat. Ia mendapati istrinya sudah tidak bernyawa lagi. Dengan kesaktiannya, ia melesat bagai burung Rajawali, lalu menyambar tubuh istrinya yang tergelatak di tanah, kemudian menerbangkannya menuju ke istananya. Manek Bot hanya terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sesampainya di istana, Mane Loro segera mengobati istrinya. Dengan kesaktiannya dan atas kehendak Tuhan yang Mahakuasa, Putri Bete Dou pun hidup kembali. Sang Putri sangat heran saat melihat suaminya berada di sampingnya dan dikelilingi oleh dayang­dayang yang tidak dikenalnya.

“Kanda! Dinda ada di mana dan mereka siapa?” tanya sang Putri sambil menunjuk ke arah dayangdayang tersebut.

“Tenanglah, Dinda! Saat ini Dinda sedang berada di istana Kanda. Mereka itu adalah dayang­dayang

istana ini,” jawab Mane Loro seraya menceritakan semua peristiwa yang telah dialami istrinya hingga bisa berada di istana itu.

“Kini Kanda menyadari bahwa tindakan kita selama ini memang keliru, karena menikah secara diam­diam tanpa meminta restu dari orang tua kita masing­masing. Inilah saatnya kita meminta restu kepada orang tua Kanda,” bujuk Mane Loro.

“Baiklah, Kanda! Dinda juga merasa sangat bersalah kepada keluarga Dinda. Dinda sangat menyesal,

karena tidak menghiraukan nasehat mereka,” kata Bete Dou.

Akhirnya, Mane Loro dan Putri Bete Dou meminta restu kepada orang tua Mane Loro. Bete Dou pun

terima dengan baik sebagai menantu Raja Loro. Setelah beberapa lama tinggal di istana Kerajaan Loro, Putri Bete Dou mengajak suaminya untuk menghadap orang tuanya yang berada di Kerajaan Wefulan.

“Kanda! Kini saatnya kita meminta restu kepada orang tua Dinda. Kapan kita akan menemui mereka?” tanya Putri Bete Dou.

“Kanda kira, lebih cepat lebih baik, Dinda!” jawab Mane Loro.

Keesokan harinya, Mare Loro dan istrinya berangkat ke istana Wefulan untuk menemui orang tua Bete Dou. Mereka berangkat dengan arak­arakan pengawal istana yang membawa barang­barang bawaan untuk diserahkan kepada orang tua Bete Dou. Setibanya di istana Wefulan, mereka disambut oleh raja dan permaisuri Kerajaan Wefulan. Saat berada di hadapan Raja Wefulan, Putri Bete Dou bersama Mare Loro segera bersujud memohon ampun atas kesalahan yang telah mereka perbuat selama ini. Setelah itu, mereka memohon agar sang Raja dan permaisuri merestui pernikahan mereka. Melihat kesungguhan dan ketulusan cinta Bete Dou dan Mane Loro, akhirnya sang Raja, permaisuri, dan Mane Bot memaafkan dan merestui pernikahan mereka. Sejak itu, Mane Loro dan Bete Dou hidup berbahagia bersama keluarga istana Kerajaan Wefulan.

* * *

Demikian cerita Bete Dou No Mane Loro dari daerah Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Cerita di atas

termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan­pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari­hari. Pesan moral yang tergambar dalam cerita di atas adalah bahwa penyesalan selalu datang kemudian, di mana biasanya seseorang baru akan menyesali perbuatannya setelah ditimpa suatu musibah. Walaupun demikian, menyesali dan mengakui kesalahan serta meminta maaf dengan sungguhsungguh atas kesalahan yang telah diperbuat merupakan sifat yang terpuji dan dapat menyambung tali silaturrahmi antara sesama. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku Putri Bete Dou dan Mane Loro yang telah meminta maaf kepada kedua orang tua mereka masing­masing dan akhirnya pernikahan mereka pun direstui. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda kekasih ibu, mengaku salah janganlah malu memaafkan orang jangan menunggu hati pemurah menjauhkan seteru Pesan moral lainnya yang tercermin dalam cerita di atas dapat dilihat melalui tokoh yang menjadi ayahanda Bete Dou yang memiliki sifat pemaaf. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat pemaaf mencerminkan kesetiakawanan sosial yang tinggi, rendah hati, ikhlas, tidak pendendam, tertenggang rasa, dan berbudi luhur. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

 

apa tanda Melayu pilihan,

hidup mau bermaaf­maafan

hati pemurah dalam berkawan

dendam dan loba ia jauhkan

petang hari bintang pun terang,

bulan mengambang di langit tinggi

orang berbudi hidupnya tenang, memaafkan orang bermurah hati

(Samsuni/sas/143/05­09)

 

http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/154-Bete-Dou-No-Mane-Loro

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline