Di sebuah desa yang berada di sebelah Barat lereng Pegunungan Meratus, hiduplah anak laki-laki bernama Angui bersama ibunya yang bernama Diang Ingsun. Mereka hidup sangat miskin. Angui membantu ibunya menangkap ikan di sungai atau mengumpulkan umbi-umbian dari hutan agar mereka bisa tetap makan.
Suatu hari, sebuah kapal merapat di pelabuhan kecil yang ada di desa itu. Menurut kabar, pemiliknya adalah seorang saudagar kaya dari kota yang menjual berbagai kebutuhan pokok. Penduduk desa boleh menukar kebutuhan pokok itu dengan rotan, lilin, atau damar. Mendengar kabar itu, Angui bergegas mencari sebanyak mungkin rotan, membersihkannya dengan cepat, lalu mengikatnya rapi. Dia ingin menukar rotan itu dengan beras, garam, dan gula merah. Dia sudah bosan makan nasi hambar. Dia juga sedih melihat ibunya hanya bisa minum kopi pahit karena mereka tidak pernah punya persediaan gula merah.
Angui tiba di pelabuhan. Dia ikut mengantre bersama penduduk lain. Lalu, tibalah giliran Angui menyerahkan rotan yang dibawanya. Seorang pemuda bertubuh tegap dan berpakaian rapi memeriksa rotan yang dibawa Angui. Cukup lama pemuda itu memeriksa setiap batang rotan, kemudian dia memperlihatkan rotan Angui kepada seorang lelaki setengah baya—saudagar pemilik kapal.
“Apakah kamu mau ikut kami berlayar?” tanya pemilik kapal setelah memeriksa rotan Angui.
“Kenapa?” tanya Angui heran.
“Bilah-bilah rotan milikmu menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Hanya orang yang bekerja giat dan sepenuh hati yang bisa membuat rotan dari hutan menjadi rotan berkualitas tinggi,” ujar saudagar pemilik kapal.
Angui pun menjawab kalau dia harus meminta izin pada ibunya. Siapa sangka, Diang Ingsun mengizinkan Angui berlayar.
“Pergilah, anakku. Ikutlah berlayar bersama saudagar itu. Siapa tahu kamu akan menjadi saudagar pula. Tapi, cepatlah kembali begitu kamu sudah berhasil menjadi saudagar,” kata Diang Ingsun.
Keesokan paginya, Angui ikut berlayar bersama pemilik kapal. Angui berjanji dalam hati akan segera pulang menemui ibunya begitu dia berhasil menjadi saudagar.
Selama bertahun-tahun Angui terus berlayar. Dia belajar berdagang, bekerja keras, rapi, dan bersih. Bahkan saking giatnya Angui bekerja, pemilik kapal meminta Angui menikah dengan putrinya. Tidak lama setelah mereka menikah, pemilik kapal meninggal dunia. Sejak saat itu, seluruh harta kekayaan pemilik kapal diwariskan pada Angui dan istrinya.
Suatu malam, Angui teringat ibunya. Dia mengatakan kepada istrinya kalau dia ingin pulang ke desa dan tinggal bersama ibunya. Istrinya setuju dan terlihat bahagia karena akan bertemu dengan ibu mertuanya.
“Mari kita siapkan kapal yang paling besar dan berbagai bahan makanan agar kita bisa hidup di desa itu,” ajak Angui pada istrinya.
Setelah perbekalan siap. Kapal pun berlayar. Beberapa hari kemudian, kapal merapat di pelabuhan yang ada di desa Angui. Kemegahan kapal yang baru saja merapat membuat penduduk desa berteriak gembira. Kabar itu pun didengar Diang Ingsun yang sudah tua. Diang Ingsun gemetar dan menangis bahagia. Penantiannya bertahun-tahun tidak sia-sia, dia akan bertemu Angui.
Diang Ingsun berjalan tertatih menuju pelabuhan dagang. Dari kejauhan, dia melihat Angui dan seorang perempuan yang sangat cantik berdiri di anjungan kapal. Sayangnya, di saat yang sama Angui juga melihat ke arah ibunya yang lusuh dan kotor. Tiba-tiba dia merasa malu.
“Angui… Angui anakku,” teriak Diang Ingsun sambil menangis. Tangan kanannya melambai-lambai ke arah kapal, tempat Angui dan istrinya berdiri berdampingan.
“Dia ibumu, Kak?” tanya istri Angui.
“Bukan! Mana mungkin aku memiliki ibu sejelek dan semiskin itu!” jawab Angui dengan sinis. Lalu dia berpaling ke arah Diang Ingsun. “Hei, pengemis, berani-beraninya kamu mengaku sebagai Ibuku! Mana mungkin Ibuku berpenampilan gembel seperti dirimu.”
Diang Ingsun menangis semakin keras. Air mata berlinang di pipinya yang keriput. Penolakan Angui membuatnya sakit hati. Jadi, dia pun berteriak keras dengan kepala menengadah ke langit, “Tuhanku, kalau di atas kapal itu benar anakku si Angui, maka jadikan jasad dan seluruh kekayaannya menjadi batu,” kutuk Diang Ingsun.
Selesai Diang Ingsun meneriakkan kutukannya, hujan dan angin melanda pelabuhan. Kapal itu terbelah dua. Satu bagian berisi istri Angui beserta dayang-dayangnya, sementara bagian yang lain berisi Angui dan anak buah kapalnya. Hujan berhenti tak lama kemudian, dan pecahan kapal itu pun berubah menjadi batu yang dikenal sebagai Batu Bini dan Batu Laki. Dan Diang Ingsun dipercaya berubah menjadi burung elang mangkung berwarna hitam.
Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/batu-bini-dan-batu-laki/
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...