Pernah melihat batik-batik dalam tampilan warna-warna yang sangat beragam, hampir seperti pelangi yang memiliki semua spektrum warna, dan membuat berpikir: “Bikinnya berapa lama ini?”
Bayangkan ketika sepotong kain yang sudah dicanting atau dicap dengan malam akan diberi warna, dicelup dalam cairan pewarna untuk satu warna saja, kemudian dijemur. Lalu proses cantingan harus diulang lagi untuk menutupi bagian motif lain yang mau diwarnai dengan warna berbeda.
Jika satu warna membutuhkan 1 proses pembatikan, lalu warna-warna pelangi apa dilakukan sebanyak 7 kali?
Ternyata tidak harus seperti itu. Dalam ragam teknik batik di Indonesia, dikenal teknik pewarnaan lain selain teknik celup, yang disebut teknik “colet”.
Teknik colet diperkirakan berkembang pada mulanya di daerah pesisiran seperti Pekalongan, yang memang terkenal dengan penggunaan warna-warna cerah, yang berbeda dengan batik Yogya-Solo yang terkenal dengan batik-batik warna klasik, seperti soga.
Diperkirakan teknik colet muncul seiring dengan penggunaan zat pewarna batik dari bahan kimia, yang memang jika di”colet”kan pada selembar kain putih, warnanya akan langsung melekat. Berbeda dengan zat pewarna alami yang membutuhkan proses pencelupan yang lama, perebusan, dan sebagainya untuk membuat zat pewarna alami tersebut meninggalkan warna yang diinginkan.
Teknik “colet”, seperti namanya memang dilakukan dengan menyapukan zat warna (Jawa: mencolet) dengan kuas atau kapas (seperti cotton bud), atau kadang juga dilakukan dengan proses mencanting malam panas yang sudah diberi warna.
Proses pencoletan dilakukan dengan sangat sederhana. Pola-pola yang sudah digambar di atas selembar kain mori putih – apakah dengan cantik tulis atau dengan cap – menjadi kanvas yang siap diwarnai.
Pola yang dibentuk oleh coretan malam berfungsi sebagai pembatas warna, ketika kuas yang sudah dicelup zat warna disapukan di dalam pola tersebut, warna tidak “meleber” ke bagian lain karena dibatasi oleh malam tersebut.
Di sini, kehati-hatian dan ketekunan dari pembatik sangat dibutuhkan, agar ketika mereka sedang mencoletkan warna, tidak ada warna yang menetes, tidak ada warna yang keluar dari pola yang sedang diwarnai.
Kreatifitas pembatik juga menjadi tidak terbatas – belakangan teknik-teknik pencoletan warna yang lain juga dikenal, seperti teknik pewarnaan yang menyerupai teknik airbrush yang menghasilkan gradasi warna yang halus. Disini, pembatik tidak lagi hanya sekedar pembatik, tetapi mereka sebenarnya juga adalah seniman-seniman pelukis.
Diperkenalkannya teknik colet warna ini memang membuat khazanah batik Indonesia menjadi lebih berwarna, proses yang dibutuhkan untuk menghasilkan sepotong kain batik juga relatif lebih cepat (jika dibandingkan warna-warna tersebut dihasilkan dengan teknik celup), serta membuat harganya juga jadi semakin terjangkau.
Sumber: https://kepulauanbatik.com/2016/03/12/batik-colet/
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang