|
|
|
|
Bale Sigala-gala Tanggal 07 Aug 2018 oleh OSKM18_16418025_Fredericus . |
Raden Pinten dan Raden Tangsen adalah ksatria kembar. Kembar rupa, suara, maupun pakaian. Itulah sebabnya mereka sering dipanggil dengan sebutan “Kembar”. Keduanya putra Prabu Pandudewanata (Raja Hastina) dengan Dewi Madrim, putri dari Negeri Mandaraka (adik Raden Narasoma/Prabu Salya). Raden Pinten dan Raden Tangsen merupakan bagian dari Pandawa, menempati urutan keempat dan kelima. Urutan selengkapnya sebagai berikut Raden Dwijakangka, Raden Bratasena, Raden Premadi, Raden Pinten, Raden Tangsen. Pandawa dari akar kata Pandu + Hawa, artinya Putra Pandu.
Dalam lakon Bale Sigala-gala, usia Pinten dan Tangsen masih kanak-kanak. Mereka telah ditinggal wafat ayah dan ibunya. Selanjutnya mereka dalam asuhan Dewi Kuntitalibrata. Meskipun bukan anak kandungnya, namun Dewi Kunti sangat menyayangi mereka seperti menyayangi anak sendiri.
Sepeninggal Prabu Pandu, negara Hastina diperintah oleh Prabu Destarata. Prabu Destarata ini berputra seratus orang yang disebut Kurawa. Kurawa selalu bermusuhan dengan Pandawa. Suatu hari, Patih Sengkuni memerintahkan Purocana membangun pasanggrahan di hutan Waranawata. Setelah bangunan selesai, Pandawa diundang ke Waranawata dengan iming-iming Prabu Destarata. Sebelum pergi ke Waranawata, Adipati Yamawidura (adik Prabu Pandu) berpesan agar Pandawa berhati-hati. Bratasena disuruh menjaga saudara-saudaranya dan ibunya. Jika dijamu minuman keras (tuak, anggur) dilarang minum. Kalau tiba-tiba terjadi kebakaran, harus menyelamatkan diri melalui terowongan di dalam tanah. Jauh sebelumnya, Adipati Yamawidura telah mencium gelagat yang tidak baik. Sengkuni bermaksud
melenyapkan Pandawa. Maka Yamawidura memerintahkan Kanana (abdinya) untuk menggali tanah, membuat terowongan di dalam tanah sampai ke bangunan yang nantinya akan ditempati Pandawa.
Tengah malam tiba, pada saat Pandawa dan ibunya tidur pulas, balai tempat tinggal Pandawa dibakar oleh Purocana. Bratasena yang terkantuk-kantuk mengetahuinya. Purocana disambarnya, lalu dilemparkan
dalam kobaran api. Dengan cepat Bratasena menyelamatkan ibu dan saudara-saudaranya, melewati lorong dalam tanah. Kemudian dengan bantuan musang (Jw: garangan) berbulu putih, Bratasena sampai di
kahyangan Saptapratala. Sementara waktu tinggal di kahyangan tersebut. Setelah meninggalkan Saptapratala, Pandawa dan ibunya hidup di hutan belantara. Di sinilah Pinten dan Tangsen menangis karena lapar.
Dewi Kunti sangat sedih. Sambil berlinang air mata, ia berkata, “O, anakku Pinten Tangsen. Andaikata rambutku ini dapat kujual, akan kupotong, kutukar dengan makanan untuk membuat kenyang perut kalian.”
Menyaksikan penderitaan adik-adiknya, Bratasena sangat marah. Ia bermaksud menghajar Kurawa yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa ini. Namun Dewi Kunti mencegahnya. Bratasena diharap bersabar. Dewi Kunti lalu menyuruh Premadi dan Bratasena agar mencari makanan di pedesaan.
Sumber : Ibu Triwik Damarjati (Guru Bahasa Jawa SMA Negeri 1 Yogyakarta)
#OSKMITB2018
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |