Bahasa Sunda-Cirebon atau disebut sebagai Bahasa Sunda Cirebonan merupakan ragam percakapan bahasa Sunda yang ada di wilayah eks-Karesidenan Cirebon dan sekitarnya, yang meliputi Kuningan, Majalengka, Cirebon, Indramayu dan Subang serta Brebes di Jawa Tengah
Bahasa Sunda Cirebon meliputi berbagai ragam percakapan atau dialek dari Bahasa Sunda wilayah Timur Laut (Kuningan), Bahasa Sunda wilayah Tengah-Timur (Majalengka) serta beberapa ragam dialek Bahasa Sunda yang berbatasan langsung dengan tanah kultural budaya Jawa ataupun budaya Cirebonan, misalkan ragam percakapan bahasa Sunda Parean dan Sunda Lea di wilayah Kecamatan Kandang Haur dan Kecamatan Lelea di Kabupaten Indramayu yang berbatasan langsung dengan tanah kultural budaya Cirebon-Indramayuan yang menggunakan Bahasa Cirebon dialek Indramayuan atau ragam percakapan Bahasa Sunda Binong di Kecamatan Binong yang juga terpengaruh langsung oleh Bahasa Cirebon dialek Indramayuan dan Bahasa Jawa Banyumas yang dibawa oleh pendatang dari Tegal dan Brebes pada awal abad ke 20 melalui jalur kereta api Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu [1] dan sekitarnya, sehingga dalam ragam percakapan Bahasa Sunda Binong juga dikenal istilah "Nyong" (untuk menyebut kata "Saya") dan istilah "Wong" (untuk menyebut kata "Orang").
Berikut adalah kosakata dari ragam percakapan Bahasa Sunda Cirebon.[2][3]
Sunda Banten (Sunda Barat) | Sunda Priyangan (Sunda Selatan) | Sunda Kuningan (dialek Timur-Laut(*) | Sunda Majalengka (dialek Kec. Sukahaji) | Sunda Parean (dialek Kec. Kandanghaur - Indramayu) | Sunda Binong (dialek Kec. Binong - Subang) | Indonesia | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Nyana | Anjeuna | Nyaneh | Dewek / Sorangan | Inya / Kita | Sira / Maneh / Ko | Kamu | Pada Bahasa Sunda Parean, Kata "Kita" memiliki makna yang lebih halus dibandingkan dengan kata "Inya" |
Aing | Aing / Abdi | Aing / Kami | Uing | Aing / Kami / Kola | Urang / Kuring / Kami / Nyong / Enyong | Saya | Pada Bahasa Sunda Kuningan kata Kami memiliki makna yang lebih halus dibanding dengan "Aing" begitu juga dengan Sunda Parean, namun di Sunda Parean ada yang lebih halus lagi dari kata "Kami" yakni kata "Kola". |
(*) Sunda Kuningan atau dialek Timur-Laut termasuk ragam bahasa sunda yang digunakan di Kabupaten Cirebon wilayah Timur dan Kabupaten Brebes bagian barat dan selatan, lihat ragam Sunda dialek Timur-Laut di Brebes
Bahasa Sunda Cirebon memiliki ragam percakapan yang tidak jauh dengan Bahasa Sunda pada umumnya, namun kedekatan wilayah secara Geografis dengan Penurut Bahasa Cirebonan membuat Bahasa Sunda Cirebon ini secara langsung menggunakan kosakata Bahasa Cirebon kedalam Kosakata Bahasa Sundanya.
Bahasa Sunda Kuningan atau yang secara ilmu kebahasaan lebih dikenal dengan Bahasa Sunda dialek Timur-Laut, merupakan ragam percakapan atau dialek Bahasa Sunda yang digunakan di wilayah Kabupaten Cirebon sebelah timur, di wilayah Kabupaten Kuningan dan wilayah Kabupaten Brebes sebelah barat dan selatan, tidak seperti Pada Bahasa Sunda Parean yang tidak mengenal pepel "eu" dan menggantinya dengan pepel "e" (contoh : heunteu di Bahasa Sunda Baku "dialek Selatan" yang berarti "tidak" dalam bahasa Indonesia, pada Bahasa Sunda Parean ditulis dan dibaca "hente"). Bahasa Sunda dialek Timur Laut ini masih mempertahankan bentuk pepel "eu", sehingga tidak begitu banyak perbedaan dengan Bahasa Sunda baku atau Bahasa Sunda dialek Selatan. berikut adalah contoh ragam percakapan Bahasa Sunda dialek Timur Laut yang digunakan di wilayah Kabupaten Cirebon sebelah Timur, tepatnya di wilayah Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, tepat dengan perbatasan dengan Kabupaten Brebes dan tidak jauh dari tapal batas dengan wilayah Kuningan :
Percakapan antara Masyarakat asli "Pituin" dengan Masyarakat Pendatang.
Penjelasan
walaupun Bahasa Sunda dialek Timur-Laut ini hampir serupa dengan Bahasa Sunda Baku atau Sunda dialek Selatan, namun ada beberapa kosakata yang berbeda, yakni penggunaan kata "Kami" untuk menyebut "Saya" yang berbeda dengan Bahasa Sunda Baku yang menggunakan kata "Abdi" dan juga ada beberapa kata seperti "Kumadeh?" yang berarti "Bagaimana?" yang berbeda dengan Bahasa Sunda Baku yang menggunakan kata "Kumaha"
Pada dasarnya ragam Bahasa Sunda dialek Timur-laut ini memiliki kosakata yang hampirserupa hanya pada beberapa kata tertentu memiliki perbedaan yang menjadi ciri Bahasa Sunda dialek Timur-laut ini. diantaranya.
Sampai dengan tahun 1980-an, masyarakat tua di Kecamatan Lelea, Indramayu, masih menggunakan bahasa sehari-hari yang beda dengan masyarakat Indramayu pada umumnya. Masyarakat di sana kala itu menyebutkan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda abad ke-14. Pada abad tersebut wilayah Indramayu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda Galuh, Ketika datang Adipati Wiralodra dari Bagelen, Mataram. Dermaga Pelabuhan Muara Cimanuk direnovasi. Sang Adipati Wiralodra membawa banyak tenaga kerja dari Jawa. Mereka beranak-pinak di wilayah pantura dan membentuk bahasa campuran, yang kini dikenal sebagai Bahasa Cirebon dialek Indramayuan atau disebut Bahasa Dermayon, hanya Lelea yang bertahan dengan bahasa yang mereka sebut sebagai Bahasa Sunda. Desa Lelea kini masuk ke wilayah Kecamatan Lelea, dulu Kecamatan Kandanghaur Girang.[4] Berikut contoh ragam percakapan Bahasa Sunda Parean - Sunda Lea yang ada di Kabupaten Indramayu.
Penjelasan :
Ada nuansa yang terasa asing pada penggunaan bahasa Sunda seperti di atas. Bahasa yang digunakan mayoritas penduduk di Jawa Barat itu, di Indramayu seperti terjadi distorsi dan akulturasi dengan bahasa daerah lainnya (Cirebon/Indramayu dan Melayu-Betawi). Bahasa Sunda yang khas itu sudah berabad-abad digunakan, yakni di Desa Parean Girang, Bulak, dan Ilir Kecamatan Kandanghaur, serta Desa Lelea dan pemekarannya, Tamansari Kecamatan Lelea. Masyarakat mengenalnya sebagai bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea.
Kosakata asing dalam bahasa Sunda bermunculan pada kalimat di atas, seperti kami, kita, goyang. Sepintas kosakata tersebut seperti kata serapan dari bahasa Indonesia. Setelah mengetahui artinya, ternyata bukan. Kami artinya saya, dalam arti tunggal, bukan jamak. Kita berarti saudara. Goyang mengambil serapan dari bahasa Indramayu, yang artinya pulang. Penggunaan kosakata kami merupakan pengambilan undak-usuk yang dianggap halus dibandingkan aing, meski ada yang lebih halus lagi yakni "kola". Kosakata kita juga lebih halus, sebab penggunaan yang kasarnya adalah "inya". [5]
Dalam percakapan sehari-hari tentu saja akan lebih banyak lagi dijumpai kata-kata atau kalimat yang asing. Keasingan itu bisa jadi akan menimbulkan kesalapahaman, bahkan pengertian yang berbeda bagi orang luar.
Contoh :
Penjelasan :
Pada Bahasa Sunda Parean "Bini" berarti Benih, sedangkan dalam Bahasa Sunda Baku "Bini" berarti Istri. begitu juga dengan kata "Kendi" yang berarti Mana?, sementara dalam bahasa Sunda Baku "Kendi" berarti "Guci / Kendi". penggunaan kata "Kendi" merupakan alkulturasi atau pengaruh budaya Cirebon-Indramayuan dari kata "Endi / Mendi / Ngendi" yang berarti "Mana?" dalam Bahasa Indonesia.
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...