|
|
|
|
Badu Tanggal 18 Nov 2018 oleh Deni Andrian. |
HARI, Rabu, 6 Januari 2016, tepat pukul 07.30 Wita, hand phone digenggamanku berdering. Ketika saya buka, ada satu pesan watshap yang masuk melalui grup MAMPU-Migrant CARE yang dikirim Wahyu Susilo, kolega yang saat ini bekerja sebagai analis kebijakan di Migrant CARE Jakarta.
Pada pesan watshap itu, Wahyu menginformasikan soal lomba penulisan pariwisata yang dihelat Kementrian Pariwisata (Kemnpar). Meski tidak ditujukan khusus kepada saya, namun ketika membaca pesan itu, saya tertarik untuk melihatnya lebih jauh di alamat situs www.beritamonoter.com yang dikirimnya. Naluri jurnalistikku mulai bangkit. Ku telusuri informasi melalui situs web yang ada. Kubaca satu demi satu berita tentang lomba penulisan pariwisata . Usai membaca, saya kemudian memutuskan untuk ikut terlibat dalam lomba ini.
Setidaknya ada dua alasan memutuskan mengikuti lomba. Pertama, saya memiliki bakat menulis dan pernah bekerja di beberapa media penerbitan sebelum akhirnya memutuskan untuk banting setir dan terlibat sebagai aktivis LSM. Meski demikian sampai dengan saat ini saya masih mengirim tulisan di beberapa media sebagai penulis lepas. Kedua, saya teringat akan budaya masyarakat Tanjung di Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata yang memiliki tradisi unik dalam penangkapan ikan. Alasan kedua inilah yang mendasari keputusan saya untuk mengikuti lomba dengan mengakat tulisan tentang Badu, sebuah tradisi unik masyarakat lima desa di wilayah Tanjung yakni, Desa Dukitukan, Tagawiti, Beutaran, Kolipadan dan Palilolon.
Badu Tradisi Unik Penangkapan Ikan
Menyebut kata Badu, tentu tidak asing lagi bagi masyarakat Lembata khusunya Ileape. Betapa tidak tradisi penangkapan ikan oleh masyarakat Tanjung ini bisa mencapai puluhan ton hanya dalam waktu beberapa jam pada saat air surut. Tradisi ini sudah berlangsung sejak nenek moyang dan diwarisi secara turun temurun ke masyarakat lima desa di wilayah Tanjung, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata.
Dengan menggunakan alat tangkap tradisional yang dinamakan pe’wai ( jaring berukuran satu meter persegi), pe’wu (dua belah bambu yang dibentuk melengkung dan saling bersilangan satu dengan lainnya) dan Nere, (digunakan untuk mengabil kan dari dalam jaring yang berbentuk bulat panjang dan memiliki moncong) masyarakat lima desa di wilayah Tanjung turun ke laut untuk melakukan penangkapan ikan secara massal.
Menariknya lagi, lokasi penangkapan ikan tidaklah luas, namun dilakukan di dalam sebuah teluk yang ditumbuhi hutan bakau, layaknya muara sebuah sungai. Karena itu, warga yang datang mengikuti Badu harus berdesak-desakan. Untuk sampai ke area penangkapan ikan, warga mengantri dari pintu masuk yang sempit. Lebarnya setengah meter dan kurang lebih 50 meter jauhnya. Sementara kedalaman air laut saat penangkapan ikan berlangsung setinggi pinggul orang dewasa
Saat proses penangkapan ikan berlangsung, warga yang datang berdiri membentuk formasi melingkar atau berjejer berlapis dengan jarak berdiri sekira 1-2 meter. Setelah itu, alat tangkap dicebur ke dasar laut sekitar 1 menit dan diangkat kembali. Saat diangkat banyak ikan yang sudah terjaring dalam pukat mini berukuran 1 meter persegi. Begitu seterusnya hingga tempat yang dibawa terisi penuh dengan beragam jenis ikan. Sementara bagi mereka yang tidak menggunakan peralatan tangkap, mereka mengambil posisi tunduk atau pun duduk. Dengan mengggunakan tangan, mereka meraba-raba sebentar di dasar laut untuk mencari ikan. Meski tanpa peralatan, jangan pernah berpikir kalau hasil tangkapan mereka kurang. Saat pulang, bakul-bakul yang dibawa terisi penuh dengan ikan. Itulah uniknya Badu, tanpa alat pun hasil tangkapan melimpah. Bahkan bila tempat yang dibawa terbatas, sebagian banyak orang memilih membawa tangkapannya ke darat dan diletakan saja di atas tanah untuk mengosongkan tempatnya, dan kembali lagi untuk melakukan penangkapan. Kebanyakan anak sekolah yang ikut, hanya memungut ikan yang mati terinjak untuk dibawa pulang. Ikan-ikan yang mati terinjak sangat banyak jumlahnya.
Informen Khusus
Badu tidak memiliki waktu pasti, namun biasanya terjadi pada saat musim barat atau musim penghujan. Badu biasanya diinformasikan oleh para nelayan lokal yang melaut di sekitar area Badu. Ketika mereka melaut dan melihat banyak ikan yang masuk ke area teluk, mereka kembali ke kampung dan menginformasikan kepada warga bahwa Badu bisa di laksanakan hari itu. Informasi ini kemudiaan disampaikan dari mulut ke mulut hingga di ketahui warga lima desa di wilayah Tanjung.
Mendengar informasi itu, aktifitas warga berhenti total. Mereka mulai mempersiapkan peralatan tangkap untuk mengikuti Badu. Dengan menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer, warga lima desa berbondong-bondong menuju ke teluk Keyoton untuk mengikuti Badu. Pada saat Badu berlangsung, murid sekolah dasar di lima desa di liburkan, karena baik guru maupun murid ikut dalam tradisi penangkapan ikan yang berlansgung setiap tahunnya itu. Semerntara itu, bila ada guru yang tidak ikut terlibat Badu karena kesibukan lainnya, maka sepulang dari Badu setiap murid pasti membagikan hasil tangkapannya kepada guru bersangakutan. Bayangkan bila satu sekolah dasar memiliki ratusan murid, berapa banyak ikan yang diberikan kepada guru yang tidak terlibat Badu.
Terkadang, meskipun warga sudah datang ke tempat badu setelah menerima informasi dari nelayan lokal, namun bisa saja Badu batal dilakukan. Hal ini terjadi karena kelalaian pemberi informasi. “Kesalahan terjadi bila kondisi air laut tidak pas untuk dilaksanakan Badu karena surutnya tidak sebatas pinggul orang dewasa atau juga karena ikan yang masuk ke teluk tidak banyak,” jelas Sipri Gesi, warga yang sehari-hari beternak kambing di sekitar area Badu.
Gesi demikian ayah enam anak ini biasa disapa, mengakau dirinya sering menerima informasi pertama dari nelayan lokal untuk dilanjutkan ke warga di lima desa, karena sehari-harinya ia beraktifitas di dekat area Badu. Karena itu, bila para nelayan lokal itu tidak kembali ke desa, dirinya-lah yang ke desa untuk menginformasikan kepada warga mengenai Badu.
Daya Tarik Wisata
Badu memiliki daya tarik sebagai wisata bahari . Meski hingga saat ini tradisi ini belum dilirik oleh wisatawan, hal itu lebih karena budaya Badu belum terkespos sama sekali meski sudah berlangsung sejak dahulu kala. Hal ini bisa dimakhlumi karena wilayah ini jauh dari ibukota kabupaaten Lembata. “Pemerintah sendiri juga belum banyak yang tahu tentang budaya ini,’’ tukas Petrus Krikit.
Ditemui di Kediamannya Desa Tagawiti, Krikit mengaku Budaya Badu kini tidak saja diikuti oleh warga lima desa di Tanjung, tapi juga desa-desa sekitar mulai terlibat karena mereka tertarik dengan proses penangkapan ikan yang begitu mudah dan tidak menguras tenaga. Pasalnya sepanjang Badu berlangsung, warga hanya berdiri di tempat dan tinggal melepaskan jaring berukuran satu meter persegi beberapa menit di dasar laut dan setelah diangkat ikan-ikan pada terjaring. “Ini yang membuat banyak orang berminat untuk ikut,” tukas Krikit yang mengaku dulu sering menjadi salah satu infomen pelaksanaan Badu.
Karena itu, lanjut dia bila tradisi ini sesering mungkin dipublikasi maka bukan tidak mungkin kalau budaya Badu ini bisa menjadi salah satu destinasi pariwisata budaya di Lembata yang bakal ramai dikunjungi oleh banyak wisatawan lokal maupun manca negara.
Travel Tips Berkunjung ke wilayah Tanjung yang meliputi Desa Dulitukan, Tagawiti, Kolipadan, Beutaran dan Palilolon, di Kecamatan Ileape sangatlah muda. Untuk mencapai ke sana dan melihat budaya Badu, anda bisa berangkat dari Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan menumpang kapal feri turun di dermaga Lewoleba di Waijarang, atau bisa dengan menggunakan penerbangan dari Kupang ke Lewoleba dengan meskapai Penerbangan Trans Nusa atau Susi Air setiap harinya. Penerbangan Kupang ke Lewoleba dapat ditempuh dalam waktu 45 menit. Sementara bila menggunakan Kapal Laut (kapal feri) bisa ditempuh dalam waktu 14 – 15 jam dengan jadwal pemberangkatan dari Kupang melalui Pelabuahan Bolok pada setiap hari Selasa dan Sabtu.
Selanjutnya dari Lewoleba ke Wilayah Tanjung dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat dengan lama waktu tempuh 45 menit dan tarif Rp 25 ribuh baik menggunakan jasa ojek ataupun kendaraan umum.
Selain Badu, bagi anda yang ingin menikmati wisata pantai, maka Pantai Waiau adalah tempat yang pas untuk anda kunjungi. Pantai ini memiliki bentangan pasir putih yang meliuk sepanjang 15 kilometer. Pantai ini terletak di balik bukit Desa Tagawiti yang merupakan bagian dari wilayah Tanjung. Panati inipun dapat ditempuh degan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dalam waktu kurang dari lima menit. Di Pantai yang masih alami ini anda juga dapat melihat sumur tua yang menghidupi beberapa lapis generasi dari wilayah Tanjung dan menjadi satu-satunya sumur yang dikonsumsi warga sebelum ada sumur lain yang baru hadir tahun 1990-an. (mansetus kalimantan)
sumber: http://www.terasntt.com/badu-tanpa-alatpun-hasil-tangkapan-melimpah/
#SBJ
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |