Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
LEGENDA Aceh ACEH
BANTA SEUDANG
- 4 Agustus 2014

Pada zaman dahulu, tersebutlah se­orang raja yang memimpin wi­­la­yah Aceh. Sang Raja memimpin negeri dengan adil dan bijaksana. Ia di­dampingi oleh permaisuri yang cantik je­lita dan berhati mulia. Sang Raja dan Per­maisuri hidup berbahagia. Apalagi Per­maisuri sedang mengandung anak per­­tama mereka. Setelah sembilan bul­an, sang Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Betapa ba­­hagia­­nya sang Raja. Calon penggantinya kelak telah lahir. Bayi tersebut kemudian dinamakan Banta Seudang.


Belum genap satu bulan usia Banta, tiba-tiba sang Raja sakit. Badannya panas dan matanya menjadi buta. Cobaan itu amat me­nye­dih­kan sang Raja dan Permai­suri. Be­be­rapa tabib telah dipanggil untuk mengobati sang Raja. Namun, semua usa­­ha tabib tak membuahkan hasil. Sang Raja amat resah. Bila ia masih buta, tentu tidak leluasa me­mimpin rakyatnya, pada­hal pu­tra­nya masih bayi. Ia khawatir rakyat­nya akan telantar. Maka sang Raja me­nye­rah­kan tampuk ke­kua­saannya kepada adik­nya sampai Ban­ta dewasa.

Rupanya adik Raja sangat jahat. Tak lama setelah kekuasaan diserahkan kepa­­­da adik Raja, ia menyuruh Raja dan keluarga­nya tinggal di sebuah rumah se­der­­hana yang letak­nya jauh dari istana. Ia se­­­­nga­ja mengasingkan ke­luarga Raja agar ia dapat selamanya berkuasa. Setiap hari, adik Raja mengirimkan satu tabung bambu beras bersama ikan dan sayuran sebagai jatah makan untuk ke­luarga itu. Kehidupan Raja dan ke­luarganya yang dulu ber­­kecukup­an berubah menjadi ke­kurangan. Mereka harus bergantung kepada pemberian adik Raja. Kadang-kadang, adik Raja tak me­ngirimkan jatah sama sekali sehingga ke­luarga Raja kelaparan. Namun demikian, sang Raja dan Permaisuri tetap bersabar. Mereka yakin, siapa yang berbuat jahat, sua­tu saat akan menerima hukumannya.

Waktu terus berlalu. Banta pun tum­­buh dalam keadaan serba kekurangan. Ia tum­buh menjadi pemuda tampan yang pembe­ra­ni, jujur, dan tahu sopan santun. Ia pun tahu pen­­deritaan yang dialami ke­luarga­­­nya aki­bat kejahatan pakciknya sendiri. Lama-kelamaan, Banta tidak tega menyaksikan pen­deritaan keluarganya. Apalagi saat me­lihat ayahnya yang buta. Ia bertekad akan men­carikan obat untuk ayahnya.

“Ayah, Ibu, Banta ingin sekali merantau guna mencari obat bagi ayah,” kata Banta. Raja dan Permaisuri melepaskan ke­per­gian Banta dengan doa.

Singkat cerita, Banta sampai di se­­buah hutan. Suatu saat, ia salat dan men­­­­jadi makmum seorang aulia. Selesai salat, Banta bercerita kepada aulia itu bahwa ia ingin mencari obat bagi ayahnya yang buta. Aulia itu menyarankan untuk mengambil bunga bangkawali yang terdapat di sebuah kolam sebagai obat bagi ayah Banta.

Maka berjalanlah Banta menuju hutan yang dimaksud oleh aulia itu. Rupanya di tengah hutan itu terdapat sebuah taman yang indah dengan sebuah kolam berair jernih dan sebuah gubuk sederhana. Di dalam gubuk itu tinggal Mak Toyo, pen­jaga taman itu. Sebenarnya, taman itu milik seorang raja yang tinggal amat jauh dari hutan itu. Sang Raja memiliki tu­­juh putri yang semuanya berparas cantik. Konon, setiap putri itu memiliki baju ajaib. Bila baju itu dikenakan maka orang yang me­­ma­kainya dapat terbang seperti burung.

Banta kemudian tinggal bersama Mak Toyo. Setiap hari ia merawat ta­man itu. Suatu Jumat, tujuh putri Raja mandi di kolam. Banta amat terpesona de­ngan ke­­cantikan mereka. Saat mereka ber­isti­ra­hat, Mak Toyo turun ke kolam, kemu­dian me­nepuk air tiga kali. Tiba-tiba muncul bu­nga bangkawali.

“Mak, bolehkah bunga bangkawali itu kuminta untuk obat ayahku?” pinta Banta.

Mak Toyo memberikannya. Betapa se­­­nang hati Banta. Ia ingin segera pulang. Na­mun sebelumnya, ia ingin menikahi salah satu putri Raja. Maka Banta menunda ke­pulangannya.

Hari Jumat berikutnya, ketujuh putri Raja itu kembali mandi di kolam. Saat me­reka mandi itulah, diam-diam Banta men­curi salah satu baju terbang mereka yang tergeletak di atas batu. Saat ketujuh putri itu ingin pulang, mereka ke­bingungan ka­­rena baju terbang si Bungsu hilang sehing­ga tak bisa pulang. Terpaksa si Bung­su ting­gal bersama Mak Toyo.

Setelah beberapa lama tinggal di ru­mah Mak Toyo, si Bungsu jatuh cinta pada Banta yang baik hati itu. Demikian pula Banta. Keduanya kemudian menikah. Be­be­rapa hari setelah pernikahan, Banta meng­­­­­ajak si Bungsu dan Mak Toyo me­ne­mui orangtuanya. Tak lupa, bunga bang­kawali ia bawa serta.

Kedatangan Banta disambut gem­bi­r­a oleh Raja dan Permaisuri. Banta segera meng­­­­ambil semangkuk air. Bunga bangka­wa­li ia rendam di dalamnya, kemudian air­­­­nya dikompreskan ke wajah sang Ayah. Tak lama kemudian, ayahnya dapat melihat kembali.

Keesokan harinya, ayah Banta datang ke istana menemui adiknya. Melihat ke­­datangan kakaknya yang tidak buta lagi, sang Adik amat gugup. Ia juga merasa ber­salah karena telah menelantarkan kakak beserta keluarganya itu.

“Maafkan saya, Bang. Selama ini sa­ya telah menelantarkan keluarga Abang. Sekarang saya serahkan kembali tahta Abang,” kata sang Adik.

Ayah Banta pun kembali menjadi raja. Banta hidup berbahagia bersama ayah ibu beserta istrinya dan Mak Toyo. Bebera­pa waktu kemudian Banta dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia memimpin negeri dengan adil dan bijaksana.

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline