Alkisah, Raja Giri Layang dibantu oleh adiknya Putri Giri Larang, memimpin sebuah kerajaan bernama Kerajaan Giri di Majalengka, Jawa Barat dengan adil bijaksana. Mereka berdua masih keturunan kerajaan Pajajaran. Baginda Raja sangat mengutamakan kepentingan kerajaan dan rakyatnya. Perhatian utama Raja dalam mensejahterakan rakyatnya adalah dengan mengembangkan pertanian. Untuk hal itu Raja menunjuk seorang patih sebagai tangan kanan beliau yaitu Patih Endang Capang.
Patih Endang Capang memiliki jadwal rutin berkeliling ke penjuru negeri untuk memberikan penerangan mengenai bagaimana cara bertani yang baik, memeriksa pengolahan pertanian rakyat, mulai dari pemupukan, pengairan maupun membuka hutan untuk ditanami palawija. Jadi tidak heran jika hasil pangan sangat berlimpah.
Dalam bertransaksi perdagangan, masyarakat biasanya menggunakan sistem barter atau saling menukar barang. Takaran yang digunakan untuk mengukur barang yang dipertukarkan adalah batok kelapa atau ruas bambu. Jumlah penduduk saat itu tidak terlalu banyak sehingga jarak antar rumah penduduk agak berjauhan. Namun demikian penduduk kerajaan tidak merasa takut. Untuk penerangan di tiap rumah, digunakan pelita dengan minyak yang diolah dari biji-bijian yang diperas seperti biji kenari, keliki, atau jarak. Setiap sore, dari setiap rumah penduduk selalu ramai terdengar bunyi-bunyi alat musik seperti gambang dan seruling.
Putri Giri Larang Pergi Merantau
Suatu ketika Putri Giri Larang menghadap Baginda Raja. “Abang, telah lama Adinda membantu Abang dalam mengurus kerajaan. Mohon maaf Abang, Adinda merasa masih kurang dalam ilmu. Adinda ingin pergi merantau untuk mencari tambahan ilmu kesaktian.”
Raja Giri Layang terdiam sejenak kemudian menghela nafas. “Adinda, Abang sangat menyayangimu. Abang takut sekali jika sampai terjadi hal buruk terhadap Adinda saat pergi merantau. Tapi baiklah, Abang tidak ingin mengecewakanmu. Pergilah mencari ilmu agar Adinda bahagia. Abang berpesan, bawalah air sumur Sudajaya dan pergilah ke arah timur tapi jangan sampai melewati perbatasan kerajaan karena kesaktianmu akan hilang.”
“Terima kasih Abang. Adinda akan melaksanakan pesan Abang.” kata Putri Giri Larang. Setelah berpamitan maka berangkatlah Putri Giri Larang seorang diri. Nyi Putri Giri Larang terus berjalan ke arah timur naik gunung dan turun gunung, keluar hutan masuk hutan, lembah yang dalam dan tebing yang curam dilaluinya. Meski perjalanan sangat jauh dan melelahkan, namun Putri Giri merasa bahagia.
Setelah berbulan-bulan berjalan, akhirnya sampailah Nyi Putri Giri Larang ke sebuah hutan belantara yang belum dijamah oleh manusia. Banyak binatang liar ramai berbunyi bersahut-sahutan seperti kera, lutung, burung, dan binatang liar lainnya. Putri Giri Larang tidak memperdulikan binatang-binatang liar tersebut. Ia terus berjalan di bawah pohon-pohon besar yang usianya sudah ratusan tahun. Akhirnya tibalah sang putri di sebuah telaga yang dikelilingi taman-taman yang sangat indah.
Putri Giri Larang tercengang sekaligus merasa heran, siapa gerangan yang membangun taman indah di tengah hutan lebat. Sang putri akhirnya memutuskan untuk melepas lelah dan membersihkan badan di telaga indah tersebut.
Tanpa disadari sang putri, seseorang mengamatinya dari semak-semak. Orang itu adalah Patih dari kerajaan Mahapahit yang bertugas untuk merawat telaga tersebut. Rupanya telaga tersebut dibuat atas perintah raja Majapahit sebagai tempat untuk mengasingkan diri, menenangkan diri, dan tempat peristirahatan raja saat berburu di hutan. Sang Patih terkesima melihat kecantikan sang putri yang tengah membersihkan badan.
“Raja Majapahit belum memiliki istri. Perempuan itu cantik sekali, pantas menjadi permaisuri kerajaan Mahapahit. Aku harus membawanya ke kerajaan Majapahit. Biar aku ambil saja selendangnya.” Sang Patih kemudian dengan sengaja mengambil selendang Putri Giri Larang.
Putri Giri Larang tentu saja terkejut melihat seseorang tiba-tiba muncul mencuri selendangnya. “Hai siapa kamu? Kenapa mencuri selendangku? Kembalikan!”
“Wahai Putri cantik jelita. Mohon maaf, bukan maksud Hamba berbuat tidak sopan, tetapi raja kami raja Majapahit belum memiliki istri. Hendaknya Tuan Putri mau menjadi istri Raja Mahapahit. Jika Tuan Putri menginginkan selendang ini, kejarlah Hamba.” kata Patih Mahapahit.
“Hey pencuri jangan kurang ajar! Cepat kembalikan selendangku!” teriak Putri Giri Larang.
Sang Patih tidak memperdulikan teriakan sang Putri. Ia dengan sengaja berlari menuju kerajaan Majapahit dengan tujuan sang Putri akan mengikutinya menuju kerajaan. Putri Giri Larang tentu saja sangat marah dengan sang Patih. Ia pun segera mengejar si pencuri selendangnya. Namun nampaknya sang Patih memiliki kesaktian tinggi karena sang Putri sulit untuk mengejarnya. Hingga akhirnya mereka berdua melewati perbatasan kerajaan Majapahit. Ia teringat dengan pesan kakaknya agar jangan pergi terlalu jauh melewati perbatasan, namun kini sudah terlambat, tubuh sang putri menjadi lemah karena kesaktiannya hilang.
Putri Giri Menikah Dengan Raja Majapahit
Akhirnya tibalah mereka berdua di kerajaan Majapahit. Sang Patih kemudian menjelaskan kepada Raja Majapahit bahwa ia membawa seorang wanita cantik jelita untuk dijadikan istri. Raja Majapahit sangat terpesona dengan kecantikan Putri Giri Larang dan langsung jatih cinta. Raja memintanya agar ia mau menjadi istrinya. “Duhai putri cantik jelita, jangan kuatir, selendangmu akan Aku kembalikan, malah kalau perlu Aku ganti berlusin-lusin dengan yang lebih baik. Sekarang perkenalkanlah dirimu?”
“Hey Raja maling, hati-hati bicara, namaku Putri Giri Larang, keturunan Pajajaran, adik kandung Raja Giri Layang dari kerajaan Giri. Sekarang kembalikan selendangku.” teriak Putri Giri dengan marah.
“Oh jadi tuan Putri adalah dari Kerajaan Giri dan masih keturunan Pajajaran? Aku beruntung sekali. Maukah Engkau menjadi istriku? Kebetulan Aku sedang mencari permaisuri. Jika tuan Putri bersedia, maka selendang ini akan Aku kembalikan. Tapi jika tidak bersedia, selendang ini tidak akan Aku kembalikan.” kata Raja Mahapahit.
Putri Giri Larang tidak mampu menolak, karena tubuhnya terasa sangat lemah. Ia pun akhirnya menerima tawaran Raja Mahapahit dengan mengajukan syarat. “Baiklah, Aku mau menjadi istrimu. Tapi dengan syarat Raja tidak akan pernah mencampuri urusan perempuan. Jika dilanggar, Aku akan kembali ke istana kakakku.”
Tentu saja raja Majapahit menyetujui syarat tersebut. Mereka pun segera melangsungkan pernikahan yang megah. Rakyat Majapahit bergembira karena Raja mereka telah memiliki seorang istri cantik jelita. Raja pun sangat bahagia telah memiliki permaisuri. Tidak lama setelah menikah, Putri Giri Larang mengandung. Raja sangat berbahagia mendengar berita tersebut. Raja merasa hidupnya telah sempurna.
Raja Majapahit Melanggar Janji
Di suatu hari, Putri Giri Larang tengah menanak nasi. Karena saat itu udara terasa sangat panas, setelah menutup tempat menanak nasi ia kemudian pergi mandi. Sang Raja saat itu melewati dapur. Melihat istrinya tidak ada di dapur sang Raja kemudian ingin tahu apa yang tengah dimasak oleh istrinya. Ia kemudian membuka penutup tempat menanak nasi. Betapa terkejutnya sang raja begitu mengetahui yang dimasak oleh istrinya hanyalah sebutir padi.
Setelah istrinya selesai mandi, Raja pun menanyakan perihal sebutir padi yang dimasak istrinya. “Wahai istriku, tadi aku memeriksa tempat masakmu. Aku heran bagaimana bisa sebutir padi bisa memenuhi kebutuhan makan kita?”
Mendengar pertanyaan Raja, Putri Giri Larang sontak merasa marah. “Duhai suamiku, bukankah di awal pernikahan Engkau telah berjanji tidak akan mencampuri urusan perempuan? Engkau telah melanggar perjanjian. Baiklah kalau begitu, Aku akan pulang ke kerajaan kakakku.”
“Oh iya Aku lupa dengan janjiku sendiri. Maafkan Aku istriku tercinta. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” kata Raja.
Putri Giri Larang Pulang Ke Kerajaan Giri
Putri Giri Larang tidak bisa memaafkan Raja. Secara diam-diam ia kemudian pergi meninggalkan istana kerajaan Majapahit. Setibanya di kerajaan kakaknya, Putri Giri Larang tidak mampu menahan tangis. “Maafkan Adinda telah melanggar pesan Kakanda. Inilah akibatnya.”
“Sudahlah adikku. Nasi telah menjadi bubur. Beristirahatlah karena kini Engkau tengah mengandung.” Raja Giri Layang tentu saja memaafkan adik yang sangat ia cintai. Ia sangat senang karena adiknya telah kembali.
Raja Giri Layang kemudian merawat adiknya yang tengah mengandung dengan penuh kesabaran.
Beberapa waktu kemudian, Putri Giri Larang pun melahirkan seorang bayi laki-laki sehat. Ia memberinya nama Adipati Jatiserang. Selama tinggal di kerajaan Giri, Putri Giri Layang selalu merasa gelisah, ia sangat khawatir jika suatu saat, Raja Majapahit, yaitu ayah Jatiserang akan datang dan mengambil putranya. Ia menyampaikan kekhawatirannya kepada kakaknya Raja Giri Layang.
Setelah mendengarkan kekhawatiran adiknya, Raja Giri Layang merasa mampu menandingi pasukan kerajaan sebesar Majapahit. Namun ia tidak ingin menyeret rakyatnya ke dalam peperangan. Ia kemudian berunding dengan patihnya, yaitu Patih Endang Capang beserta para menteri. Setelah berembug, mereka akhirnya sepakat untuk bersembunyi di dalam sebuah kulah atau sebuah lubang besar di bawah tanah. Raja Giri Layang memerintahkan untuk membuat empat buah lubang besar sebagai tempat persembunyian keluarga kerajaan. Raja beserta adiknya dan seluruh keluarga kerajaan kemudian memasuki lubang besar tersebut untuk bersembunyi.
Pasukan Majapahit Menjemput Paksa Putri Giri dan Anaknya
Tidak lama berselang, datanglah pasukan dari kerajaan seberang yang dipimpin oleh dua orang patih, yaitu Patih Mangkunagara dan Patih Surapati. Mereka bermaksud menjemput paksa Putri Giri Larang dan Adipati Jatiserang. Mereka memasuki istana kerajaan Giri dan ditemui oleh Patih Endang Capang. "Kami mencari Putri Giri Larang. Ia adalah permaisuri kerajaan Majapahit. Raja Majapahit memintanya pulang." kata kedua patih itu pada Patih Endang Capang.
"Maaf Tuan, Putri Giri Larang dan Raja Giri Layang telah wafat. Sementara itu, putra Giri Larang, yaitu Adipati Jatiserang sedang berguru ke negeri seberang."
"Jangan berbohong. Kami tidak percaya!" seru mereka.
“Kalau kalian tidak percaya, mari Aku antarkan kalian ke makam Raja Giri Layang dan Tuan Putri Giri Larang.” ujar Patih Endang Capang. Kemudian, Patih Endang Capang membawa pasukan Majapahit ke lokasi lubang persembunyian Raja dan keluarga kerajaan.
Pasukan Majapahit melihat empat gundukan tanah yang menyerupai makam. Namun karena masih tidak percaya, kedua patih tersebut memerintahkan pasukannya untuk menggali makam tersebut. Namun, ketika hendak menggali tiba-tiba semua pasukan Majapahit merasa lemas dan terjatuh. Rupanya kekuatan pasukan Majapahit dihisap oleh kekuatan Putri Giri Larang dan Raja Giri Layang yang sedang bersembunyi di bawah tanah itu.
“Sudah-sudah hentikan saja upaya penggalian lubang itu. Aku yakin mereka bersembunyi di dalam lubang tersebut. Namun kesaktian mereka sepertinya terlalu tinggi buat kita.” kedua Patih memerintahkan untuk menghentikan usaha pasukannya dalam menggali makam.
Pasukan Majapahit Ngalawung
“Jika kita pulang ke kerajaan Majapahit, sudah tentu Raja akan sangat marah dan boleh jadi Raja akan menghukum kita. Lebih baik kita tidak usah pulang ke Majapahit. Lebih baik kita ngalawung saja disini untuk menunggu mereka keluar dari lubang.” kata patih Mangkunagara.
Secara bahasa, ngalawung artinya duduk saling berhadap-hadapan. Pasukan Majapahit yang merasa gagal melaksanakan tugas mereka kini hanya duduk ngalawung di tempat tersebut. Sejak saat itu kerajaan Giri sering juga disebut dengan nama kerajaan
Girilawung. Sedangkan kampung tempat patih Majapahit beserta pasukannya ngalawung saat ini dikenal dengan nama Babakan Jawa.