SUDAH lama raja di Hutabargot bergelar Sutan Pulungan tidak pergi berburu. Apa boleh buat, istrinya sedang hamil tua. Di kalangan masyarakat Mandailing sejak dahulukala telah berlaku kepercayaan bahwa tidaklah dibenarkan seorang suami untuk membunuh binatang atau berburu ketika istrinya sedang mengandung, kalau tidak dikuatirkan akan berdampak buruk kepada anak yang dikandung istrinya. Namun, kuatnya keinginan sang raja untuk menjalani kegemarannya itu akhirnya tidak dapat dihalangi lagi. Maka pada suatu hari pergilah beliau berburu dengan ditemani pasukan pengawal beberapa orang saja dan sampailah ia di dekat Pohon Beringin yang terletak di Muara Batang Angkola. Belum sampai ia turun dari kudanya, tiba-tiba anjing milik sang raja menggonggong dengan keras. Mendengar itu Sutan Pulungan menyangka kalau anjing itu sudah melihat rusa sehingga ia menggonggong demikian. Anjing itu terus menyalak sambil berlari mendekati sebuah batu besar di bawah pohon Beringin. Dan terkejutlah mereka semua, karena bukan Rusa kiranya yang terlihat oleh anjing itu tetapi ternyata seorang bayi yang masih merah (baru lahir). Sutan Pulungan langsung memeriksa bayi tersebut, ternyata berjenis kelamin laki-laki dengan kulit yang kemerah-merahan. Ia memerintahkan pasukannya untuk memeriksa sekeliling siapa tahu bertemu dengan orangtua bayi itu, namun hasilnya nihil. Dengan hati-hati, sang raja membalut tubuh bayi itu dengan pakaiannya sendiri. Anehnya, bayi itu tidak menangis, bahkan matanya berbinar-binar memandangi wajah Sutan Pulungan. “Kamu akan kuangkat menjadi anakku,” sabda sang raja.
Sutan Pulungan pun membawa bayi itu ke istananya di Hutabargot. Pada saat yang bersamaan, ternyata terdengar kabar oleh sang raja jikalau istrinya sudah melahirkan pula. Mendengar kabar itu, diputuskanlah untuk menitipkan bayi yang ia temukan itu kepada seorang ibu miskin bernama Sauwa di pinggiran desa Hutabargot untuk dibesarkan. Dan bayi itu diberinya nama dengan Sibaro Ara karena dia ditemukan di bawah pohon beringin.
Lima tahun berlalu Sibaro Ara tumbuh menjadi anak yang rupawan. Ia pun sudah dibawa ke istana untuk dibesarkan menurut adat kebiasaan istana Hutabargot. Akan tetapi ternyata timbul kecemburuan istri Sutan Pulungan sebab Sibaro Ara lebih rupawan dari anak kandung raja sendiri. Akibat deraan rasa cemburu yang memuncak, terniatlah untuk membunuh Sibaro Ara.
Pada suatu ketika tiang tengah bangunan istana direncanakan untuk dilakukan penggantian sebab sudah lapuk. Untuk itu dibutuhkan pemberian tumbal guna mendarahi tiang baru itu. Atas maksud itu, semakin besarlah niat jahat istri Sutan Pulungan untuk membunuh Sibaro Ara dan menjadikannya tumbal penyangga tiang. Akan tetapi takdir berbicara lain, justru anak kandung Sutan Pulunganlah yang terbunuh dan menjadi tumbal. Kelalaian fatal itu membuat Sutan Pulungan murka, ia menghukum Hulubalang yang lalai itu lalu memerintahkan pula untuk membunuh Sibaro Ara yang masih dalam pengasuhan Sauwa. Mendengar kabar anak asuhnya akan dibunuh raja, maka Sauwa pun melarikannya ke persawahan Hutabargot dan bersembunyi di dalam sebuah gubuk reot. Seekor burung balam lalu hinggap di atap gubuk tersebut. Hulubalang kehilangan jejak walau sebelumnya mereka curiga pada gubuk reot tadi tetapi karena keberadaan burung balam itu mereka menjadi tidak yakin ada orang di dalamnya. Dari dalam gubuk, dengan rasa takut yang sangat, Sauwa melihat hulubalang pergi. Setelah merasa aman, ia membawa Sibaro Ara ke tepian Batanggadis (Pasar Akad, Mandailing). Hujan baru saja berhenti dan sungai Batanggadis sedang meluap. Dalam kebingungan, tiba-tiba Sauwa melihat sebatang pohon besar hanyut lalu mengempang di depan mereka tak ubahnya seperti sebuah jembatan. Sauwa dengan Sibaro Ara dalam dekapan meniti pohon besar itu untuk menyeberang.
Mereka sampai di Huta Lombang yang saat itu diperintah oleh seorang raja bernama Namora Paimahon Rangkuti. Raja itu sangat curiga pada Sauwa karena mereka datang dari arah Hutabargot. Sementara kerajaan Hutabargot dengan Huta Lombang memiliki hubungan yang tidak baik. Sauwa dituduh sebagai mata-mata dari Hutabargot dan ia beserta anak asuhnya Sibaro Ara diasingkan di sebuah rumah kosong karena pemiliknya telah meninggal dan tak punya keturunan. Rumah itu sebetulnya merupakan sarang harimau yang sangat ganas. Ajaibnya, harimau itu langsung jinak kepada Sauwa dan menjilati kaki anak kecil tersebut. Dengan demikian mereka leluasa menempati rumah itu hingga kemudian Sibaro Ara beranjak dewasa. Hari-hari Sibaro Ara yang kemudian hari dipanggil penduduk Huta Lombang dengan Sibaroar itu diisi dengan berguru silat dan ilmu-ilmu kanuragan sehingga terkenallah ia sebagai orang sakti.
Suatu masa hama menyerang sawah dan ladang penduduk Huta Lombang. Raja Huta Lombang mengadakan musyawarah guna mencari jalan keluar mengatasi masalah itu. Sibaro Ara juga datang namun karena dia pendatang maka ia tidak diperbolehkan masuk. Karena itu ia pun duduk di depan pintu dialasi terompah orang-orang yang ikut bermusyawarah. Dalam musyawarah itu, Sibaro Ara mencoba memberikan usul tetapi usulnya selalu ditolak dengan alasan ia hanyalah pendatang.
Setelah diputuskan maka dilaksanakan hasil musyawarah tersebut tetapi ternyata tidak berhasil malahan hama semakin merajalela. Raja kembali melakukan musyawarah. Sekali lagi Sibaro Ara datang dan memberikan usul. Kali ini usul Sibaro Ara diterima dan setelah dijalankan ternyata berhasil. Namora Paimahon Rangkuti yang merasa malu karena selama ini mengucilkan Sibaro Ara lalu minggat entah ke mana. Masyarakat Huta Lombang yang telah ditinggal rajanya itu ramai-ramai pindah ke dekat rumah Sibaro Ara dan mengangkatnya sebagai raja mereka yang baru dengan gelar Sutan Diaru Parkanasaktion. Tempat tinggal Sibaro Ara disebut Panyabungan Tonga-tonga.
Selanjutnya terjadi perang antara pasukan Hutabargot dengan pasukan Huta Lombang yang langsung dipimpin oleh dua raja yang sebetulnya ayah beranak itu. Dalam perang tersebut pasukan Sutan Diaru Parkanasaktion hampir saja kalah. Disaat melihat pasukannya sudah terdesak, tiba-tiba Sutan Diaru Parkanasaktion berlari ke arah sebuah batu besar lalu naik ke atasnya sembari menengadahkan tangannya ke langit. Sesaat kemudian, serentetan petir datang menyambar pasukan Sutan Pulungan sehingga pasukan Sutan Pulungan semburat kacau balau.
Seorang raja yang lain bernama Namora Raya Lubis dari kerajaan Singengu datang mendamaikan pertikaian ayah dengan anak angkatnya itu. Setelah keduanya sepakat berdamai, maka saat itu pulalah Sibaro Ara atau Sibaroar gelar Sutan Diaru Parkanasaktion dinikahkan dengan putri bungsu Sutan Pulungan yang bernama Namora Sitapi Paserahan. Ternyata Namora Sitapi Paserahan boru Sutan Pulungan rupanya berumur pendek. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan.
Setelah istrinya meninggal dunia, Sutan Diaru Parkanasaktion lalu menikahi putri Sutan Batara Guru Hasibuan, Raja Kerajaan Pannai bernama Namora Sitapi Rumondang Bulan. Buah perkawinan itu mereka dianugerah putra tunggal yang diberi nama Tuan Natoras. Dari putra tunggal Sutan Diaru Parkanasaktion inilah kemudian marga Nasution dalam suku Mandailing berasal dan menyebar melalui jalur Baginda Tobing Na Injang dan Baginda Mangaraja Enda yang merupakan cicit Sibaro Ara atau Sibaroar. Marga Nasution kini sudah tersebar ke seluruh dunia hingga saat ini.[]
Sumber : https://dennimlz.blogspot.com/2017/07/cerita-rakyat-si-baroar.html