×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Cerita Rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Lampung

Asal Usul Nama Pulau Tabuan

Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya .

Pada zaman dulu, sebelum Islam masuk ke daerah Lampung pulau tersebut bernama pulau Langkeban Selangkapuri, artinya pulau yang indah tempat pertemuan dan permandian para bidadari yang turun dari Kayangan. Memang benar, sampai sekarang di pulau itu yaitu di Sawang Binuk ada sebuah sumur, yang disebut Sumur Putri, karena di sumur itulah tempat para bidadari mandi. Tempat itu yang didatangi orang, karena dianggap angker.

Mula-mula tak ada orang yang tertarik untuk menjelajahi atau menguasai pulau Langkeban itu, karena letaknya jauh terpencil dan sangat berbahaya. Orang-orang yang berpindah dari Kota Agung, Way Ratai, lebih tertarik kepada daerah-daerah, Kaur Gading, Tirom, Way Nipah, Betung, Limau, Badak Putih, Pertiwi dan Kelumbayan, disebabkan daerah-daerah tersebut selain dapat ditempuh melalui laut dapat juga ditempuh melalui darat.

Berapa lama pulau Langkeban itu dilupakan orang, tidak dapat diketahui dengan pasti, hanya dapat diperkirakan saja yaitu sejak adanya orang-orang penghuni pantai Tanjung Cina dan Tanjung Tikus  sampai dengan berkembangnya Kerajaan Islam di Banten. Pada waktu itu banyak orang dari daerah Putih, Pertiwi, Limau dan Kelumbayan yang pergi berguru ilmu ke Islaman di Banten dan oleh masyarakat disebut, Kajenongmid Banten.

Di sebabkan perkembangan agama Islam di pantai Tanjung Tikus ini, maka terjadilah persaingan antara kebandaran-kebandaran Limau, Putih, Kelumbayan dan Pertiwi, kebandaran-kebandaran itu oleh pemerintah Belanda dijadikan Marga. Persaingan antara kebandaran itu terjadi dalam banyak hal, umpamanya persaingan ilmu dalam, persaingan kekuatan, persaingan adu ayam dan sebagainya.

Pada suatu waktu terjadilah pertandingan kekuatan ilmu gaib diantara keempat marga tersebut, dan diputuskan hal-hal sebagai berikut :
Setiap kebandaran menampilkan seorang yang dianggap paling kuat ilmu gaib dan ilmu dalamnya.
Sasaran pertandingan adalah pulau Langkeban Selangkapuri  (pulau yang dianggap angker)
Setiap utusan yang berlayar ke pulau Langkeban Selangkapuri tidak boleh menggunakan perahu  layar biasa.
Berlayar harus pagi hari menantang angin.
Siapa yang paling dulu dapat mencapai pulau tersebut, dan pulang dengan selamat, maka kebandaran dari utusan itulah yang berhak memiliki  Pulau Langkeban Selangkapuri.
Berita tentang pertandingan dan syarat-syaratnya itu dengan segera tersebar ke seluruh pelosok dan penduduk keempat kebandaran itu. Masing-masing kepala kebandaran segera memanggil jagoan-jagoan di daerahnya dan menanyakan siapa yang sanggup mewakili kebandarannya untuk mendapatkan pulau Langkeban Selangkapuri. Ditambahkan oleh kepala Kebandaran, bahwa siapa saja yang berhasil, maka pulau itu adalah miliknya turun-temurun. Mendengar janji kepala kebandaran yang demikian mereka yang merasa dirinya berilmu, merasa sangat tertarik dan merasa malu kalau tidak menyanggupi tantangan tersebut.
Maka pada hari yang telah ditentukan, pagi harinya mulailah berangkat utusan dari Limau, Pertiwi, dan Kelumbayan. Masing-masing berlayar memang tidak menggunakan perahu biasa, ada yang naik diatas pelebah kelapa dan dayungnya adalah tangan kiri dan kanan, ada yang naik diatas sebuluh bambu dan ada yang di atas kayu bulat saja. Mereka berjuang melawan angin dan ombak yang besar-besar di laut Teluk Semangka yang berhadapan dengan lautan Indonesia.

Setelah beberapa jam utusan ketiga kebandaran itu mulai berlayar, utusan dari kebandaran Putih yang bernama Minak Senawow, masih tenang-tenang saja di rumahnya. Dia hanya memperhatikan dari pintu dapur rumahnya, perbuatan ketiga saingannya. Setelah menurut perkiraannya musuh-musuhnya telah mencapai setengah perjalanan, barulah dia turun dari rumahnya dengan membawa coken (kain putih/hitam yang dijadikan kain basahan atau handuk), sambil menghampiri adiknya yang bernama Sitapak Jubang, ia berkata, "Hai Dik, jika saya nanti lama tak kembali, segeralah susul" Jawab adiknya, "Payu bang". Pergilah Minak Senawow ke pantai lalu berdoa, dan cokennya direntangkan dipermukaan laut. Sepotong didudukinya dan yang sepotong lagi ditegakkannya, dijadikan layarnya dan dipegangnya dengan tangan kirinya.

Allah mengabulkan doa Minak Senawow, angin yang tadinya bertiup dari laut ke darat, seketika itu juga berubah menjadi angin turutan sehingga dengan sekejap mata saja perahu coken Minak Senawow telah menari-nari menembus gelombang yang besar menuju pulau Langkeban Selangkapuri. Para penonton yaitu masyarakat kebandaran Putih yang dikerahkan ikut berdoa dan mengiringi. Minak Senawow ke pantai, sangat riang melihat kejadian itu. Minak Senawow tidak mengalami kesulitan untuk mencapai pantai pulau Langkeban Selangkapuri. Dialah yang lebih dahulu sampai dari pada ketiga lawannya.

Mula-mula dia berlabuh di suatu tempat yang teluknya besar dan airnya tenang yang kelak tempat ini bernama Sawangbalak. Disitu dia menemukan buah kelapa berserakan di pantai, terpikir olehnya. "Aku harus menanamkan biji kelapa ini, di sini dan di lain tempat yang ku jalani, sebagai tanda bahwa aku telah menduduki pulau ini." Lalu ditanamkannyalah beberapa biji di pantai Sawangbalak. Pelayarannya dilanjutkan menuju arah timur yang berombak sangat besar, dia berlabuh di Kurapati. Di situ ditanamnya pula biji kelapa.

Kemudian dia terus ke pantai Karang Kelapa (Kakhang Kelapa), disebut demikian karena batu karang di tempat itu sebesar buah kelapa. Lalu ditanaminya pula kelapa. Terakhir dia berlabuh di Karang Buah, karena batu karang di situ terbesar sebesar buah pinang.

Setelah itu dia berjalan kaki mendaki bukit yang ada ditengah pulau itu. Sesampainya di puncak bukit itu barulah dia merasa haus dan lapar. Dia beristirahat sebentar, kemudian dia kembali melanjutkan perjalanannya karena hatinya belum puas kalau belum menjelajahi seluruh pulau. Bukit itu dinamakan Pematang Kapaluh. Sesampainya dikaki bukit itu, dia merasa sangat lelah dan tak mampu lagi melanjutkan perjalanannya, dia duduk bersandar di batang kanaga untuk melepaskan lelah. Baru saja dia duduk tidak disangka-sangkanya, terbanglah seekor tabuhan besar di atas kepalanya dan bertengger di dahan kayu kanaga yang disandarinya, seraya berkata dengan  gerangnya, "Hai manusia, siapa engkau? Alangkah gegabah dan beraninya engkau masuk ke daerahku. Engkau tahu bahwa semenjak dunia ada, sampai sekarang belum pernah ada seorang manusia pun yang berani menginjakkan kakinya ke daerah ini, kecuali engkau. Apakah engkau ingin mati kena sengatan kami bangsa tabuhan penunggu pulau ini?" Minak Senawow tidak diberinya kesempatan menjawab, amarahnya dilanjutkannya dan berkata, "Hai manusia jangan kau kira kami berupa tabuhan akan menyerahkan pulau ini ke tanganmu sebelum kita berperang, rakyatku cukup banyak, engkau akan kami sengat bersama-sama supaya mampus. Jika kami kalah berperang melawanmu, barulah pulau ini dapat engkau kuasai dan pengikutku yang ada dipulau ini akan menjadi pengikutmu pula. Kau dengar?"

Saat Minak Senawow menghadapi bahaya yang mengancam dirinya itu, rupanya dengan ilmu kebatinannya. Sitapak Jubang di pantai Putih mengetahui keadaan kakaknya yang sangat gawat itu dan memerlukan bantuannya segera. Tanpa berpikir panjang Sitapak Jubang lalu menghamparkan cokennya sambil berdoa kepada Tuhan agar dapat selamat dan segera bertemu dengan kakaknya. Allah Maha Pemurah, permintaan Sitapak Jubang terkabul. Dalam sekejap mata dia sudah dapat berlabuh di pantai Karang Buah, dan disana dia menemukan bekas orang menanam kelapa. Dia berpikir, pasti kakaknyalah yang menanam kelapa itu, dia lalu memekik sekuat-kuatnya untuk mengetahui dimana arah abangnya. Pekikannya didengar oleh Minak Senawow, segera dijawabnya karena dia tahu bahwa adiknyalah yang datang itu.

Dengan ilmu Gayung Anginnya, Sitapak Jubang berjalan mendaki bukit Kapaluh, maka dengan tifak berapa lama sampailah dia ke tempat abangnya berada. Namun belum sempat mereka berbicara apa-apa, segera terdengar sambaran ngung-nguung-nguuuuuuuuung, tabuan besar beserta rakyatnya menyerang Minak Senawow. Dengan cepat Minak Senawow mengelak ke kiri dan ke kanan, menunduk dan menangkis, melompat, menerkam sambil menerjang tabuan itu. Demikian juga Sitapak Jubang membantu kakaknya.

Setelah beberapa lama kemudian, Minak Senawow berhasil menangkap kepala rombongan tabuan itu yang sebesar ibu jari kaki. Dengan ilmu gaibnya, tabuan yang digenggam Minak Senawow itu mati dan dijadikannya batu. Melihat kejadian itu, tabuan-tabuan lainnya terbang mengaku kalah.

Keadaan hening sebentar, Minak Senawow dan Sitapak Jubang saling berpandangan belum dapat berkata-kata karena terlalu lelah. Kemudian barulah Sitapak Jubang berbicara, "Maafkan aku Bang, aku datang terlambat. Kedatanganku ini sengaja untuk membantu abang yang dalam keadaan berbahaya tadi". Mendengar kata-kata adiknya, barulah Minak Senawow sadar akan keadaannya dan dia menjawab, "Oh, tidak engkau tidak terlambat adikku, karena pekikanmu kudengar sebelum binatang ini menyerangku". Dia lalu membuka genggamannya, yang ternyata tabuan tadi telah menjadi batu. "Sudahlah", katanya. "Kini kita menang, pulau ini sudah menjadi milik kita, sekarang kita beristirahat sambil duduk bersandar di batang Kenaga ini dulu". Kata Minak Senawow. Sambil duduk itu Minak Senawow menceritakan pengalannya sejak awal dia sampai di pulau itu diserang oleh binatang tabuan, kepada adiknya. Sitapak Jubang mendengarkan dengan terharu.

Selanjutnya Minak Senawow berkata, "Pulau Langkeban Selangkapuri ini sudah milik kita, karena engkau juga datang ke mari, maka pulau ini akan kubagi dua, sebagian untukku dan sebagian untukmu. Cara pembagiannya begini, cobalah ambil bait (sejenis akar pengganti tali). Pergilah Sitapak Jubang mencari bait itu, setelah dapat diserahkannya kepada kakaknya, "Nah", kata kakaknya, "Batang Kenaga ini sebagai batas. Batang ini kita ikat dengan bait dan kita beri nama Kenagabusingkil. Dari Kanagabusingkil ini sampai ke timur dan ke laut di sebelah barat, adalah milikmu, yaitu Karang buah dan Karang kelapa. Dari Kanagabusingkil ini ke Kurapati ke Bawangbalak adalah milikku. Pembagian ini turun-temurun. Pulau Langkeban Selangkapuri ini akan ku usulkan kepada Bandar agar namanya diubah menjadi "Pulau Tabuan", Sitapa Jubang setuju saja akan usul kakaknya itu.

Bagaimanakah nasib ketiga utusan lainnya, apakah mereka juga sampai ke pulau tujuannya atau tidak? Semua mereka sampai dan berlabuh, walaupun dari jurusan yang berbeda-beda. Mereka tidak banyak berbuat di pulau itu, karena mereka tiba hari sudah hampir malam.  Setelah masing-masing utusan itu merasa puas beristirahat pulanglah mereka ke daerah asalnya, kembali dengan cara seperti waktu mereka berangkat menuju pulau itu. Di pantai kebandaran mereka, disambut dengan gegap gempita, dengan gong, tala, serta hekhumong, serta tampak sorak dari masing-masing kebandaran itu.

Pagi keesok harinya akan diadakan sidang untuk menentukan siapakah yang berhak menjadi pemenang dalam pertandingan itu. Suara gong, tala, kheremong bertalu-talu memekakkan telinga, tabuh nyambai, sakhedap dan kuakhi khatong silih berganti. Balairung andak penuh dengan hiasan kebung dan tikhai warna-warni. Dipantai sudah disiapkan penyambutan khusus, setiap tamu datang harus dibunyikan meriam. Setelah tamu lengkap hadir dan para peserta pertandingan sudah pula duduk dibalairung, maka acara segera dimulai. Mulailah panjerwala menyatakan sidang dibuka dan mempersilahkan masing-masing utusan mengajukan hasil perjalanannya ke pulau Langkeban Selangkapuri.

Satu persatu utusan maju bersembah mengajukan laporannya. Ketiga utusan dari Kelumbayan. Limau dan Pertiwi menyatakan 'Kami telah sampai disana untuk beristirahat beberapa lamanya." Bekasnya pun masih ada sekarang. Sidang menerima laporan itu, dan terakhir Minak Senawow mengajukan laporan. Minak Senawow menyampaikan laporannya, demikian "Sikindua pekhwatin yang mulia, juga sampai di sana. Buktinya keempat penjuru pulau itu telah sikindua tanam kelapa, yaitu di Sawangbalak. Kurapati, Karangkelapa dan Karangbuah. Selain itu bukit ditengah pulau itu telah sikindua jelajahi dan sikindua beri nama Pematangkepaluh. Di kaki bukit itu ada sebatang Kanagabusingkil, yaitu tempat sikindua beristirahat dan merupakan batas pembagian dengan adik sikindua Sitapak Jubang. Disana juga tempat sikindua berperang dengan penunggu pulau Langkeban Selangkapuri itu yaitu benda ini. Ini tadinya adalah Tabuan yang menyerang sikindua, dapat sikindua tangkap dan sikindua jadikan batu seperti ini. Demikianlah, laporan sikindua kepada Pakhawatin yang mulia, dan terakhir sikindua mengusulkan agar nama pulau Langkeban Selangkapuri diubah namanya menjadi PULAU TABUAN.

Mendengar laporan Minak Senawow tersebut ada hadirin yang kagum dan keheranan, tetapi ada juga yang merasa kurang puas, terutama dari utusan-utusan lain yang ikut bertanding. Dengan demikian timbullah sanggahan-sanggahan, antara lain para utusan tersebut tidak mau mengakui kekalahannya, jika belum ada pembuktian lain dari Minak Senawow. Menurut pengakuan mereka, tidak ada mereka menemukan bekas penggalian penanaman kelapa yang baru di pulau itu. Salah seorang dari mereka bahkan mengatakan, "Sikindua sudah sampai ditengah-tengah bukit itu dan disanalah sikindua tidur. Sikindua melihat ke timur seluruh pantai Tanjung Tikus, kesebelah barat laut lepas yang tak ada batasnya, jadi tak ada Kanaga Busingkil di kaki bukit itu. Berkenaan dengan batu yang berbentuk Tabuan itu, dapat saja dibuat sebelum atau sesudah berangkat bertanding.

Minak Senawow tersenyum saja mendengar sanggahan tersebut Panjerwala menyilakan Minak Senawow memperkuat pernyataannya dengan bukti-bukti lain kalau ada. Dengan sabar Minak Senawow menjawab, "Jika sidang ini masih mengizinkan Sikindua menunjukkan bukti-bukti yang diminta, sikindua akan mencobanya." Sidang memperbolehkannya. Berpalinglah Minak Senawow menghadap ke sebelah barat arah pulau Selangkeban Selangkapuri. Dia bersiul dan melambaikan tangannya seolah-olah ada yang dipanggilnya. Tak lama kemudian hadirin heran dan ketakutan, karena balairung penuh dengan tabuhan besar kecil. Minak Senawow diam saja hanya tangannya memberi isyarat seolah-olah mengatakan bahwa tabuan-tabuan itu jangan bertindak apa-apa. Atas isyarat dari seekor tabuan yang paling besar dan tua, rombongan tabuan itu berkumpul di bagian atas balairung membentuk sebuah onggokan besar sebesar seekor kerbau tidur.

Setelah tabuan-tabuan tenang, berkatalah Minak Senawow kepada mereka, "Hai bangsa tabuan yang datang dari pulau Langkeban Selangkapuri, pada hari ini kami mengadakan sidang, seperti yang kalian lihat. Sidang belum percaya pada laporanku, aku sudah mengatakan semua kejadian dan yang kuperbuat di pulau itu selama aku berada disana. Sekarang siapa diantara kamu yang dapat menerangkan siapa sebenarnya kami yang terdahulu sampai di pulau itu dan siapa di antara kami yang berhak menguasai pulau itu."

Selesai berkata demikian Minak Senawow berkata kepada sidang, "Sidang yang saya muliakan, keputusan siapa yang menang dan yang kalah ada di tangan sidang, Cuma inilah bukti yang terakhir yang dapat sikindua berikan. Jika masih belum dapat diterima, sikindua mengaku kalah dalam pertandingan ini."

Panjerwala menyilakan wakil dari Tabuan untuk berbicara dalam sidang dan diharapkan mengajukan keterangan jangan ragu-ragu. Selesai Panjerlawa berkata, terbanglah seekor tabuan yang mewakili rombongannya dan hinggap di atas pundak Minak Senawow seraya menghaturkan sembah dan berkata, "Para peserta sidang yang mulia, kami bangsa Tabuan tidak pernah berdusta dan apa yang saya katakan ini adalah benar. Maka apa yang telah disampaikan oleh Minak Senawow dalam sidang ini tidak ada yang salah, kami bangsa tabuan menjadi saksinya. Kami sekarang telah tunduk kepadanya dan menjadi anak buahnya, karena kami diserahkan sebagai taruhan oleh ketua kami dalam pertarungan dulu di pulau Langkeban Selangkapuri." Setelah seleai berkata demikian, tabuan-tabuan itu terbang kembali ke tempat mereka.

Sidang di Balairung itu kemudian memutuskan bahwa pemenang pertandingan itu adalah Minak Senawow dan usul Minak Senawow mengganti nama Langkeban Selangkapuri menjadi pulau Tabuan disyahkan oleh sidang. Sejak itulah nama pulau Tabuan mulai dipakai, dan pulau itu menjadi daerah kekuasaan kebandaran Putih.

 

 

Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung. Depdikbud

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...