Alkisah, hiduplah sebuah keluarga dengan seorang anak lelakinya bernama I Karma. Setiap fajar menyingsing, Pan Karma (ayah I Karma) dan I Karma selalu pergi ke ladang mereka yang letaknya di tepi sebuah hutan. Sesampai di ladang, keduanya berpisah. Pan Karma langsung mengambil cangkul dan mulai mencangkul ladangnya, sedangkan I Karma meneruskan perjalanannya ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah siang, I Karma akan kembali ke ladang untuk makan siang yang dibawa oleh Men Karma (ibu I Karma). Apabila hari telah sore, mereka pun pulang. Begitulah kegiatan keluarga itu setiap harinya.
Setelah tanaman ladang yang berupa padi ladang berumur empat bulan, maka tibalah waktu untuk mengetam. Men Karma yang selalu menghitung hari sejak padi mulai ditanam hingga telah berumur empat bulan pun bertanya kepada suaminya, “Pak, kapankah kita akan mulai mengetam?”
“Dua hari lagi,” jawab Pan Karma.
Dua hari kemudian, sebelum fajar menyingsing, Men Karma telah sibuk di dapur mempersiapkan bekal untuk bekerja di ladang. Setelah semuanya siap, berangkatlah mereka ke ladang. Sesampainya di ladang, Men Karma, Pan Karma dan I Karma mulai mengetam padi. Namun hingga hari telah senja, ternyata pekerjaan itu belum selesai. Oleh karena itu, Pan Karma bersama isteri dan anaknya memutuskan untuk bermalam di pondok yang ada di ladang itu. Tidak berapa lama kemudian, karena terlalu lelah, mereka pun telah tertidur lelap.
Saat tengah malam, ketika sedang tidur lelap, Pan Karma didatangi oleh seorang kakek. Ia dibangunkan dan disuruh duduk di depan kakek itu. Setelah itu, si kakek berkata, “Nah, Pan Karma, terimalah pemberianku ini yang berupa sebotol minyak untuk menjaga rumah. Gantungkanlah di atap rumahmu. Minyak itu dijaga oleh seorang perempuan.” Setelah mengucapkan kata-kata dan memberikan sebotol minyak, kakek itu lenyap dengan tiba-tiba.
Keesokan harinya, pekerjaan menyekam padi dilanjutkan kembali. Setelah selesai, mereka bersiap-siap untuk membawa padi itu pulang. Sebelum berangkat mereka pun beristirahat. Sambil beristirahat Pan Karma menceritakan pengalamannya semalam kepada isterinya, “Men Karma, semalam aku memperoleh anugerah dari seorang kakek berupa botol minyak untuk menjaga rumah. Kakek itu mengatakan bahwa minyak ini hendaklah dipelihara baik-baik dan digantungkan di atap rumah kita.”
“O, baik benar kakek itu. Hendaklah kita simpan minyak itu dengan baik, agar dapat diwariskan kepada anak ataupun keturunan kita selanjutnya,” kata Men Karma.
Setelah agak sore, mereka pun berangkat pulang. Dan setiba di rumah, Men Karma dan I Karma segera memasukkan padi mereka ke lumbung yang ada di samping rumang. Sedangkan Pan Karma segera masuk ke dalam rumah untuk menggantungkan minyak itu di atap rumah. Setelah menggantung minyak pemberian si kakek, ia keluar dan ikut membantu isteri dan anaknya memasukkan padi ke lumbung.
Demikianlah kehidupan mereka. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun pun berganti tahun. Suatu ketika, Pan Karma akhirnya meninggal dunia. Dan, tidak berapa lama kemudian Men Karma pun ikut meninggal dunia.
Sebelum Men Karma meninggal, ia sempat berpesan kepada anaknya, “Anakku, kukira umurku sudah tak lama lagi. Ada suatu hal yang harus ibu wasiatkan kepadamu. Bila ibu sudah tiada lagi, ingatlah pesanku ini. Ayahmu meninggalkan sebotol minyak dan digantung pada atap rumah. Simpanlah minyak itu baik-baik. Ia akan menemanimu menempati rumah ini, bila ibu sudah tiada lagi.”
“Minyak apakah itu ibu?” tanya I Karma.
“Bila nanti ibu meninggal, di sanalah saatnya kau mengetahui isi botol itu.”
Setelah memberikan penjelasan seperti itu, beberapa hari kemudian Men Karma pun meninggal dunia.
Setelah kedua orang tua I Karma meninggal dunia, I Karma semakin giat bekerja di ladang. Pagi-pagi benar ia telah berada di ladang, dan bila hari sudah mulai senja ia pun pulang. Begitulah hari demi hari dijalani oleh I Karma, sampai suatu ketika, setelah tiba di rumah, ia menjumpai hidangan yang telah siap untuk dimakan, lengkap dengan nasi dan lauk pauknya.
Melihat hidangan lezat itu, I Karma pun berpikir, “Siapakah yang mempersiapkan hidangan ini? Kelihatannya sangat istimewa. Siapakah yang mempersiapkannya? Ah, sebaiknya kumakan saja apa yang ada, bukankah ini rumahku?”
Keesokan harinya, seperti biasa, pergilah I Karma ke ladang lagi. Dan bila senja telah tiba ia pun pulang. Setelah tiba di rumah ia merasa sangat heran. Semua peralatan kotor yang ditinggalkannya telah bersih dan teratur rapi. Dan, sebelum ia sempat berpikir, telah dilihatnya pula hidangan yang lengkap tersedia untuk dimakan. Ia pun berpikir dalam hati, “Siapa yang menyediakan hidangan ini. Ah, lebih baik besok akan kuintip, agar kutahu siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan ini.”
Demikianlah, keesokan harinya I Karma bersiap-siap untuk ke ladang. Tetapi setelah sampai di tengah perjalanan ia segera kembali pulang untuk mengetahui siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan itu. Setelah di rumah ia mulai mengintip. Dan ia sangat terkejut ketika di dapur melihat seorang perempuan cantik sedang sibuk memasak. Kemudian I Karma perlahan-lahan mendekatinya dan tiba-tiba menangkap pinggang perempuan cantik itu.
Terasa ada sentuhan di badannya, wanita itu terkejut sambil melirik dan segera bertanya dengan suara lembut, “Siapakah yang berani memegang tubuhku?”
“Aku, I Karma.”
“Tolong lepaskan aku.”
“Aku tak mau melepaskanmu. Siapakah kau sebenarnya?”
“Aku bernama Ni Utami.”
“Apabila aku lepaskan, apakau kau akan meninggalkan aku?”
“O, tidak. Aku tak akan meninggalkan engkau. Aku selalu sedia melayanimu, karena engkau sudah memergoki aku.”
“Jadi kau bersedia menemani aku. Benarkah katamu itu? Aku sangat berterima kasih padamu.”
“Ya, benar. Aku berjanji untuk mendampingimu. Tetapi ingatlah. Bila aku sudah mendampingimu, tidakkah kau berniat memperisteriku?”
“Jika mungkin, aku memang akan mengharapkan agar engkau bersedia berumah tangga dengan aku.”
“Ya, baiklah. Aku bersedia. Tetapi ingatlah. Bila aku telah mempunyai seorang anak, berhati-hatilah menjagaku serta menjaga anakku. Demikianlah permintaanku kepadamu. Tepatilah sungguh-sungguh.”
“Baiklah. Aku akan selalu mentaati apa yang telah kau katakan itu.”
Singkat cerita, I Karma dan Ni Utami pun menikah dan beberapa tahun kemudian mereka mempunyai seorang anak.
Pada suatu hari, I Karma teringat akan wasiat ibunya mengenai botol minyak yang digantung di atap rumahnya. I Karma kemudian naik ke atap rumah dan mengambil botol tersebut. Namun isi di dalam botol itu telah tiada, sehingga I Karma bertanya kepada isterinya, “Mengapa botol minyak itu kosong? Adakah kau pergunakan isinya?”
“Tak ada. Aku tak pernah mempergunakan minyak. Tidakkah botol itu memang kosong?”
“Ah, tak apa. Mungkin memang sudah menguap karena terkena panas,” jawab I Karma.
Setelah percakapan itu I Karma menuju ke ladang untuk menanam padi. Siang harinya datanglah Ni Utami bersama bayinya ke ladang mengantarkan makan siang. Saat bertemu I Karma, sambil menggendong bayinya Ni Utami berkata, “Istirahatlah dulu. Aku mengantarkan hidangan untukmu.”
“Baiklah. Tunggulah sebentar. Aku hendak menyelesaikan pekerjaan ini,” jawab I Karma.
“Nanti disambung lagi, hari sangat terik,” kata Ni Utami.
I Karma tidak menghiraukan kata-kata isterinya, ia tetap bekerja. Beberapa saat kemudian, karena haus I Karma menyuruh isterinya mengambil air pada sebuah mata air yang letaknya agak jauh dari ladang mereka.
Mula-mula isterinya menolak, “Janganlah aku disuruh mengambil air. Hari amat panas. Aku tidak tahan kepanasan.”
“Kalau kau tak tahan mengapa datang ke mari. Lebih baik pulanglah. Bukankah kau tahu di ladang memang panas,” kata suaminya bernada marah dan mendesaknya terus untuk segera pergi mengambil air.
Karena tak tahan oleh desakan itu, akhirnya Ni Utami berangkat menuju ke mata air, sambil meninggalkan pesan, “Baiklah, aku akan pergi. Tetapi kau akan menyesal.”
Selanjutnya, Ni Utami berangkat menyusuri pematang menuju ke sebuah mata air. Jalannya sempoyongan dan tiba-tiba tersungkur jatuh ke mata air. Saat jatuh itu badannya hancur, meleleh terpencar di atas permukaan air. Ni Utama sebenarnya adalah penunggu botol minyak yang diberikan oleh si kakek misterius kepada Pan Karma sewaktu bermalam di ladang. Jadi, tubuh Ni Utami meleleh karena ia memang berasal dari minyak kelapa.
Karena telah lama ditinggalkan di ladang bersama ayahnya, anak Ni Utami merasa haus dan mulai menangis. I Karma terkejut melihat anaknya menangis. Karena tak tahan mendengar tangisan, ia pun mengambil anak tersebut serta memanggil isterinya, “Utami, Utami. Di manakah kau. Lama benar kau pergi.”
Namun, karena panggilan tersebut tidak juga dijawab oleh Ni Utami, I Karma lalu berangkat menyusul isterinya. Saat sampai di dekat mata air, tiba-tiba ia terkejut melihat minyak kelapa terpencar di atas permukaan air. Dan, teringatlah ia akan wasiat ibunya sebelum meninggal, bahwa ayahnya meninggalkan minyak di dalam botol. Ia baru sadar bahwa minyak yang dirawiskan oleh ayahnya itulah yang menjelma menjadi isterinya. I Karma merasa menyesal menyuruh isterinya mengambil air pada saat sinar matahari sedang panas menyengat.
Sementara itu, anak yang digendongnya terus saja menangis tak henti-hentinya. Segala usaha untuk membuatnya berhenti menangis tidak berhasil. I Karma tiba-tiba naik darah. Ia lupa akan dirinya. Dengan cepat dijangkaunya parang yang ada dipinggangnya, dan langsung mencincang bayi itu. Setelah itu lapanglah dada I Karma.
Beberapa bulan kemudian, karena merasa kesepian ditinggal anak dan isterinya, I Karma menikah lagi. Singkat cerita, setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Suatu hari, ketika sedang berada di kamar mereka, isterinya berkata, “Suamiku, mengapa kita tak bisa mempunyai anak. Aku sangat menginginkannya.”
“Jika demikian, marilah kita pergi memohon kepada Tuhan di tempat-tempat suci. Semoga kita berhasil memperoleh anak,” jawab I Karma.
“Baiklah, aku akan membuat canang genten (sejenis sesajen). Untuk sesajen di tempat suci. Semoga Tuhan memberkahi kita,” kata isterinya.
Setelah semuanya selesai, esok paginya berangkatlah mereka menuju ke sebuah tempat suci untuk memohon seorang anak. Sebelum sampai di tempat suci yang dituju, di tengah jalan bertemulah mereka dengan seorang bayi yang sedang menangis keras karena ingin menyusu.
“Suamiku, mengapa ada bayi menangis di selokan itu seorang diri. Lebih baik kita ambil dan kita bawa pulang. Rupanya permohonan kita telah terkabul.”
“Baiklah, ambil dan bawa pulang anak itu,” kata suaminya.
Isterinya pun lalu mengambil dan menggendongnya. Setiba di rumah, anak itu dibaringkan di kamar tidur. Isteri I Karma kemudian ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Saat menunggu makanan siap, I Karma merasa mengantuk dan ia langsung masuk ke kamar, berbaring di samping bayi yang baru ditemukannya itu. Akhirnya I Karma tertidur lelap.
Saat I Karma tertidur lelap, bayi pungutnya itu terbangun karena haus. Ia kemudian merayap mendekati puting susu I Karma. Namun, secara tiba-tiba, bayi tersebut berubah menjadi lintah sebesan bantal dan langsung menghisap darah lewat puting susu I Karma. Dan, tidak berapa lama kemudian, I Karma meninggal karena darahnya habis dihisap oleh lintah tersebut.
Itulah cerita tentang asal usul adanya lintah, yang merupakan penjelmaan seorang bayi setelah dicincang oleh ayahnya sendiri dan dilemparkan ke berbagai penjuru. Daging anak tersebut berubah menjadi lintah. Daging bayi yang terlempar ke air menjelma menjadi lintah dan yang terlempar ke daun-daun menjelma menjadi lintah darat.
Referensi:
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja