Dahulu kala, di pesisir pantai selatan Jawa Timur terdapat sebuah kampung yang damai dan tenteram. Kampung itu terkenal dengan nama Kampung Nelayan karena hampir seluruh penduduknya bekerja sebagai nelayan. Kampung Nelayan dipimpin seorang yang adil dan bijaksana. Semua yang dia lakukan untuk kesejahteraan penduduknya.
Kesejahteraan dan kemakmuran Kampung Nelayan mengundang decak kagum dari kampung di sekitarnya. Tetapi juga menjadi incaran orang-orang jahat yang iri dan serakah.
Suatu hari kampung tersebut diserang oleh kawanan perompak.
“Jangan biarkan perompak menghancurkan kampung ini. Kita harus berjuang demi Kampung Nelayan! Majuuu!” dengan gagah berani, Kepala Kampung memimpin melawan perompak.
Dalam perlawanan itu, Kepala Kampung terbunuh. Begitu juga sebagian besar para lelakinya.
Beberapa lelaki yang tersisa, membawa putri Kepala Kampung yang bernama Dewi Jembarsari dan para wanita meningggalkan Kampung Nelayan.
Mereka mengungsi di hutan perbukitan, dekat Sungai Bedadung yang jernih. Bahu-membahu mereka membuka hutan untuk dijadikan perkampungan baru dan belajar bercocok tanam. Pelan namun pasti, hasil kerja keras mereka bisa dinikmati. Hasil panen dari sawah dan kebun yang berlimpah. Daerah baru itu pun berkembang pesat dan besar dikenal dengan nama Kampung Baru.
Dewi Jembarsari tumbuh menjadi gadis yang cantik dan pandai. Dia juga bijaksana seperti almarhum ayahnya. Penduduk sangat hormat dan segan pada Dewi Jembarsari. Mereka meminta dia untuk memimpin Kampung Baru.
“Apakah kalian sudah memikirkan baik-baik untuk memilihku menjadi pemimpin kampung ini?”
“Kami percaya dan yakin, Dewi bisa memimpin kampung ini dengan adil dan bijaksana seperti ayah Dewi dahulu.”
Dewi Jembarsari berpikir dan menimbang permintaan penduduk.
“Baiklah, aku terima kepercayaan kalian padaku. Tetapi aku meminta bantuan kalian untuk berjuang bersama memajukan kampung baru kita ini.”
“Terima kasih, Dewi Jembarsari!”
Penduduk sangat gembira. Mereka menerima permintaan Dewi Jembarsari dengan sukarela. Sejak dipimpin Dewi Jembarsari, Kampung Baru berkembang sangat pesat. Jalan pemukiman diperbaiki, begitu juga jalan yang menghubungkan dengan kampung di sekitarnya. Membangun saluran irigasi yang berpusat di Sungai Bedadung. Pertanian berhasil melimpah. Penduduk selalu bergotong-royong untuk melakukan pembangunan rumah warga, gardu kampung, balairung pertemuan dan menggarap sawah. Mereka juga selalu bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah bersama.
Dewi Jembarsari dan penduduk sangat ramah dan terbuka menerima kedatangan orang-orang dari luar kampung mereka. Kedatangan mereka sebagian besar adalah untuk berdagang. Pendatang dan pendagang banyak yang akhirnya memilih menetap di Kampung Baru.
Wilayah Kampung Baru semakin luas. Banyak kampung kecil disekitarnya yang bergabung di bawah kepemimpinan Dewi Jembarsari. Termasuk Kampung Nelayan. Penduduk di sana tidak suka dengan kepemimpinan perompak yang kejam dan semena-mena.
Kecantikan dan kepandaian Dewi Jembarsari membuat banyak pemuda yang jatuh cinta. Banyak yang melamarnya untuk dijadikan istri. Tapi Dewi Jembarsari selalu menolak dengan halus. Dia hanya ingin mengabdikan hidupnya untuk kesejahteraan Kampung Baru.
Suatu hari kawanan perampok yang terkenal kejam mencegat rombongan Dewi Jembarsari yang sedang dalam perjalanan kunjungan. Pimimpin mereka ingin memperistri Dewi Jembarsari.
“Hai Dewi Jembarsari! Kamu harus mau jadi istriku.”
“Maafkan saya! Saya tidak bisa memenuhi permintaan itu,” jawab Dewi Jembarsari tetap dengan nada lemah lembut.
“Kenapa kamu tidak mau menjadi istriku? Aku pemimpin yang kuat dan ditakuti, berdua kita akan menguasai seluruh wilayah,” kata pemimpin itu lagi.
“Saya masih mengemban tugas melindungi dan mensejahterakan penduduk Kampung Baru. Tidak sepatutnya jika saya mendahulukan kepentingan pribadi. Lagipula saya tidak tertarik dengan kekuasaan.”
Pemimpin perampok tidak terima atas tolakan Dewi Jembarsari. Dia marah besar dan merasa disepelekan. Dia memerintah anak buahnya untuk menyerang rombongan Dewi Jembarsari. Pertempuran tidak bisa dielakkan. Dengan sekuat tenaga, Dewi Jembarsari dan pengawalnya membela diri. Apalah daya, kekuatan tak seimbang. Mereka kalah. Dewi Jembarsari gugur dalam pertempuran.
Penduduk Kampung Baru berduka. Pemimpin yang mereka cintai dan sayangi telah pergi untuk selamanya.
Untuk mengenang jasa Dewi Jembarsari, penduduk sepakat mengganti nama Kampung Baru menjadi Jembarsari. Setiap ada pertanyaan asal daerah, dengan bangga mereka akan menjawab, “Kami dari Jembarsari.”
“O … dari Jembar.”
Lama-kelamaan Jembarsari terkenal dengan nama Jembar. Yang kemudian berubah menjadi Jember.
Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/asal-usul-jember/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja