Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Legenda Jawa Timur Jawa Timur
Asal Mula Tradisi Tiban - Jawa Timur - Jawa Timur
- 28 Maret 2018

Tidak ada yang lebih ditakuti rakyat Kadiri selain sang raja. Meski hidup makmur, dengan hasil panen melimpah dan ternak yang beranak-pinak, mereka tidak bahagia.

Raja mereka adalah pemimpin sombong yang kejam. Begitu sombongnya, dia bahkan memerintahkan rakyat untuk menyembahnya sebagai dewa.

“Akulah yang paling pantas untuk disembah. Akulah dewa kalian!” serunya lantang.

Dan seperti biasa, seiring dengan diterapkannya suatu aturan, raja juga menetapkan hukuman yang berat bagi siapa saja yang melanggar. Rakyat Kadiri yang malang. Mereka terpaksa menaati perintah itu meskipun dalam hati menentangnya.

Sejak saat itu, segala macam persembahan hanya ditujukan bagi raja. Rakyat tak lagi berdoa, mengadakan upacara, ataupun memasang sesaji untuk para dewa. Arca-arca dewa di kuil maupun candi diruntuhkan. Sebagai gantinya, patung-patung sang raja dibangun dengan megah.

Para dewa akhirnya murka.

“Mengapa manusia di Kadiri tidak lagi menyembah kita?” geram Dewa Siwa.

“Mereka sudah punya dewa baru. Raja mengangkat dirinya sendiri sebagai dewa dan memerintahkan rakyat untuk menyembahnya,” kata Dewa Brahma.

“Lancang sekali!” seru Dewa Siwa, “apa hebatnya raja itu? Apakah dia bisa meniup angin yang mengantarkan kapal-kapalnya ke lautan? Apa dia juga bisa menerbitkan dan menenggelamkan matahari?”

Begitu marahnya dewa-dewa itu, hingga mereka memutuskan untuk memberi pelajaran pada raja dan rakyat Kadiri. Matahari dibiarkan bersinar lebih lama dan terik di atas wilayah Kadiri. Awan mendung ditiup jauh-jauh sehingga hujan urung turun. Kemarau bertahan sepanjang tahun. Tanaman dan ternak mati kekeringan. Rakyat bertahan hidup dengan persediaan makanan dalam lumbung mereka saja. Pada akhirnya persediaan itu pun menipis. Keadaan semakin parah karena paceklik itu diikuti dengan munculnya berbagai jenis penyakit. Korban berjatuhan begitu cepat.

Kepala desa Purwokerto1 sangat prihatin dengan keadaan warganya. Dia menduga rentetan kejadian itu adalah bentuk kemarahan para dewa karena ditinggalkan oleh pemujanya. Lelaki bijak itu kemudian melakukan tapa pepe2 untuk memohon ampun pada para dewa.

Berhari-hari dia menjemur diri di bawah terik matahari. Peluhnya bercucuran dan badannya memerah disengat panas. Tapi lelaki tua itu dikuatkan oleh tekad. Tidak sekali pun dia berhenti dari semedinya. Beberapa laki-laki dewasa yang melihat keteguhannya merasa iba. Mereka pun mengikuti jejak kepala desa untuk bertapa pepe.

Suatu hari kepala desa mendengar sebuah suara samar berbisik di atas kepalanya, “Manusia telah berbuat dosa karena sombong, merasa paling kuat dan kaya. Manusia juga berbuat dosa karena menyembah sesamanya. Tebuslah dosa dengan cambukan lidi aren, maka dosamu akan diampuni.”

Kepala desa bangun dari tapa dan menceritakan petuah gaib itu pada pengikut-pengikutnya.

“Semua harus mengumpulkan lidi aren. Kita berkumpul lagi di sini untuk mencambuk tubuh dengan lidi itu,” kata kepala desa.

Mereka pun bergegas pergi ke kebun masing-masing, mengambil lidi dari tulang daun aren, dan merangkai lidi-lidi itu menjadi cambuk. Setelah masing-masing memegang sebuah cambuk, mereka berkumpul kembali di halaman rumah kepala desa.

Bersama-sama mereka memohon pengampunan dan dibebaskan dari penderitaan, kemudian mencambuki tubuh masing-masing. Setelah beberapa lama, punggung dan dada mereka penuh dengan bekas cambukan. Mereka berusaha menahan perih. Namun, tidak ada tanda-tanda pengampunan dalam bentuk apa pun.

“Mungkin kita tidak mencambuk dengan sungguh-sungguh karena dalam hati kita tidak mau merasa sakit. Sebaiknya kita saling mencambuk saja. Dengan begitu kita tidak akan mencambuk dengan setengah hati,” usul seorang lelaki.

Akhirnya orang-orang itu mencambuk satu sama lain. Kali ini mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh. Dan benar saja, tidak lama kemudian mendung hitam berarak mendekat. Udara menjadi sejuk. Kemudian, seperti dicurahkan, hujan deras turun dari langit. Warga bersorak kegirangan, “Udane tiba! Udane tiba!”3

Upacara melecut diri dengan cambuk lidi aren itu kemudian dinamakan dengan Tiban. Sejak saat itu juga, tiap kali kemarau panjang tidak kunjung usai, masyarakat di daerah itu melakukan upacara Tiban untuk mendatangkan hujan.

Warga kembali memeluk kepercayaan lamanya. Raja marah sekali karena rakyat berani membangkang perintahnya. Dia memerintahkan prajurit kerajaan untuk menghukum siapa pun yang dianggapnya melanggar perintah. Akan tetapi rakyat tidak lagi takut pada sang raja. Mereka sadar bahwa raja bukan dewa. Dan murka raja tidak ada apa-apanya dibandingkan kemarahan para dewa.

Beberapa orang bahkan berani melakukan pemberontakan dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan sang raja. Pemberontakan ini meluas ke berbagai daerah di Kadiri sehingga sulit bagi raja untuk menghentikannya. Pada akhirnya raja yang kejam ini melarikan diri dan rakyat Kadiri pun hidup bebas, makmur, dan damai.



 

Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/asal-mula-tradisi-tiban/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline