Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat NTB
Asal Mula Pohon Enau
- 10 Oktober 2014

Pada zaman dahulu kala ada sebuah keluarga yang mempunyai seorang anak bernama Dedara Nunggal. Ketika Dedara Nunggal menjelang dewasa, kedua orang tuanya bercerai. Sejak itu Dedara Nunggal tinggal bersama ayahnya. Namun, setelah ayahnya kawin lagi, ia mulai mengecap kehidupan pahit dan penuh dengan penderitaan. Ibu tirinya menganggap semua pekerjaan yang dilakukannya selalu salah. Dedara Nunggal pun sering bercekcok dengan ibu tirinya.

Melihat anaknya selalu bertengkar dengan ibu tirinya, sang ayah pun menjadi kesal. Ia kemudian memarahi anaknya, “Anakku Dedara Nunggal, mengapa engkau selalu bercekcok dengan ibu tirimu. Kau memang anak yang nakal dan tebal telinga. Mulai saat ini, enyahlah dari rumah ini. Tinggallah bersama ibu kandungmu!”

“Mengapa ayah sampai hati mengusirku. Bukankah aku darah daging ayah satu-satunya?” jawab Dedara Nunggal.

“Pergi kataku. Jangan kau bicara lagi!” hardik ayahnya.

“Baiklah ayah, aku akan tinggal bersama ibu,” kata Dedara Nunggal sambil berjalan meninggalkan rumah.

Satu jam kemudian, tibalah Dedara Nunggal di rumah ibunya. Di sana ia hanya bertemu dengan ayah tirinya, karena ibunya sedang mencuci pakaian di perigi. Kepada ayah tirinya itu ia berkata, “Ayah, aku telah diusir dari rumah ayah kandungku. Bolehkah aku menetap di sini? Aku akan siap membantu segala pekerjaanmu, ayah.”

“Ah, Dedara Nunggal. Mustahil anak perempuan semacam engkau dapat melakukan pekerjaanku. Kukira kau akan selalu menyantap ocehanku dan bukan nasi yang kau peroleh. Oleh karena itu, sebaiknya kembalilah kepada ayahmu. Aku tak sanggup mengurusmu di sini.”

“Baiklah ayah. Bila ayah tak sanggup menolong, aku akan kembali kepada ayah kandungku.”

“Ya, kembalilah!” jawab ayah tirinya.

Dengan perasaan sedih, Dedara Nunggal akhirnya kembali pulang ke rumah ayah kandungnya. Namun, ketika sampai di depan rumah, dari serambi sang ayah sudah menghadang sambil berkata, “Mengapa kau kembali lagi?”

“Maafkan aku ayah. Ayah tiriku tidak mengizinkan aku tinggal di rumahnya,” Jawab Dedara Nunggal.

“Jadi kau mau kembali tinggal di rumah ini? Tunggulah, akan kumintakan persetujuan ibumu.”

“Mengapa ayah harus meminta persetujuan ibu tiriku?”

“Ayah tak mungkin memutuskan sendiri. Bukankah dia adalah isteriku?” Kata ayahnya sambil berjalan masuk ke rumah. Sampai di dalam, ia bertanya kepada isterinya, “Anakmu Dedara Nunggal ingin kembali tinggal bersama kita. Bagaimana pendapatmu?”

“Ah, aku tak sanggup hidup serumah dengannya. Lebih baik kau usir lagi dia dari rumah ini. Mataku sudah sangat jemu melihatnya,” jawab isterinya.

Sesudah itu suaminya keluar lagi dan berkata kepada anaknya, “Anakku Dedara Nunggal, ibumu tidak mau lagi menerimamu. Ayah sudah tak dapat berpikir lagi. Sekarang, pergilah kau dari rumah ini.”

“Baiklah, kalau ayah sudah memutuskan seperti itu,” kata Dedara Nunggal sambil berjalan perlahan meninggalkan rumah ayahnya.

Ia berjalan tanpa tujuan ke arah utara menyusuri Sungai Jangkok. Beberapa jam kemudian, sampailah ia di sebuah batu besar yang ada di tepi sungai itu. Di atas batu itulah ia akhirnya duduk melepaskan lelah sambil meratapi nasibnya, “Ah, mengapa demikian buruk suratan takdir atas hidupku. Ibu dan ayah membenciku. Mereka bahkan mengusirku. Sudah tak berarti lagi rasanya hidupku ini. Lebih baik aku menerjunkan diri ke sungai ini, agar tamatlah riwayatku dan tidak lagi mengotori dunia.” Lalu ia menceburkan diri ke dalam sungai.

Saat seluruh tubuh Dedara Nunggal telah tenggelam di air, secara tiba-tiba ia berubah menjadi sebatang pohon dan kemudian hanyut di dibawa air sungai. Pohon itu hanyut ke arah hilir dan mengenai oleh seorang pemuda yang sedang mandi. Terkejut merasakan ada sebatang pohon aneh yang masih lengkap akar dan daunya mengenai tubuhnya, si pemuda berteriak, “Ah, siapakah yang menghanyutkan pohon ini? Tak punya perasaan, tak menghiraukan orang yang sedang mandi di hilir. Mengganggu saja!”

Tiba-tiba ia mendengar suara, “Hai pemuda, tolonglah aku”

“Eh, suara siapakah itu?” tanya pemuda itu agak terkejut karena tidak ada orang lain yang ada di dekatnya.

“Akulah yang bersuara. Aku adalah pohon yang mengenai tubuhmu. Bila kau berkenan menolongku kelak aku akan membalas budi baikmu.”

“Baiklah, tetapi siapa namamu?”

“Namaku Dedara Nunggal.”

Tanpa banyak berkata lagi, pohon itu segera dinaikkan ke darat kemudian ditanam di tepi sungai. Sesudah ditanam pemuda itu bertanya, “Siapakah kau sebenarnya, Dedara Nunggal?”

“Engkaulah satu-satunya orang bersedia menolongku. Aku adalah makhluk malang yang tak dapat menguasai diri. Aku buang tubuhku ke Sungai Jangkok ini. Namun, atas kehendak Tuhan, tubuhku berubah bentuk menjadi sebatang pohon. Nah, sekarang aku harus berbuat kebaikan kepada umat manusia, sebab kukira sekaranglah tubuhku ini punya arti. Ketika aku masih berwajah manusia aku sama sekali tak berarti. Demikianlah riwayatku. Semua telah kuceritakan kepadamu.”

“Lalu, bagaimana caramu berbuat kebaikan kepada umat manusia?” tanya pemuda yang bernama Teruna Nunggal itu.

“Nanti apabila bungaku telah muncul, di saat itulah aku akan akan membalas budi baikmu yang telah rela menolongku. Dan, di saat itu pulalah aku akan berbuat kebaikan pada umat manusia”

“Apa yang harus aku lakukan bila bungamu telah muncul?” tanya Teruna Nunggal.

“Kalau aku sudah berbunga, sering-seringlah datang kemari. Panjatlah batangku dan ayunkanlah bungaku itu. Selanjutnya, pukullah batang bungaku dengan pelepah batang kelapa serta bacalah mantra ini:

O, meme, o, bapa
Anta gini anta gina
Lilir ambika
Beang pianake mayusu
Ane madan Mas Sundari Muncar1

Bila kau telah selesai melakukan hal itu, selipkanlah pemukul itu di antara batang bungaku dengan badanku. Itulah syarat yang harus kau lakukan agar bungaku dapat memberikan air lebih banyak. Nah, bila bungaku mekar, potonglah dengan didahului mantra:

Nah, janji pacangbukak tiang danggul nyaine
Ane kaja, ane Kelod, Kangin, Kauh
Apang meresidayang maan pianak nyaine manyonyo
Ane madan mas Sundari Muncar2

Apabila bungaku sudah mulai mengalirkan air, setiap kau hendak memanjat batangku sebutlah namaku dengan sebutan Sundari Bungkah. Sebab setelah bungaku dipotong, aku berganti nama menjadi Sundari Bungkah. Dan, apabila engkau sudah memanjat, jangan lupa untuk menyuntingkan lip (lidi ijuk) agar aku tidak terkejut. Nah, agar pemberitahuanku lengkap, apabila ada orang hendak merusak kelancaran jalan airku dengan ilmu hitam, pergunakanlah mantra ini untuk menolaknya:

Segara penulak
Keneh anake ngusak yeh Mas Sundari Bungkah
Upet-upet
Segara kelod segara kangin
Palik pinulak Batara Wisnu3

Air yang engkau tampung itu kegunaan utamanya adalah untuk dijadikan gula. Cara membuatnya, mula-mula masaklah seperti engkau memasak air. Setelah airku berbentuk seperti bubur, tuangkanlah pada tabung bambu atau tempurung kelapa. Bila telah kering ia akan menjadi gula yang dapat dipergunakan untuk berbagai kebutuhan.

Di samping untuk gula, airku dapat pula kau minum seketika karena rasanya manis. Dan, bila kau ingin membuat airku menjadi tuak, rendamlah akar kayu bajur di dalamnya. Tetapi, air itu tak lagi terasa manis, dan berubah warna menjadi kemerah-merahan. Dapat juga kau minum, tetapi hendaklah hati-hati jangan melampaui batas. Bila melewati batas dapat menyebabkan mabuk dan lupa kepada kebenaran.”

Demikianlah, sejak saat itu Dedara Nunggal yang telah menjelma menjadi pohon, dapat dimanfaatkan oleh manusia menjadi gula ataupun tuak. Ia saat ini juga dikenal sebagai Sundari Bungkah atau yang lazim dikenal dengan nama pohon enau.

 

1. Mantra ini dinyanyikan bila seorang penarep sedang memukul batang bunga enau. Penarep adalah orang yang pekerjaannya mengusahakan air nira (enau). Mantra ini terjemahan bebasnya:

O, ibu, O, ayah,
Anta Gini, Anta Gina,
Lilir Abika,
Berilah anakmu menyusu,
Yang bernama Mas Sundari Muncar.

2. Terjemahan bebasnya:

Nah, sekarang batang bungamu akan kupotong,
Yang menghadap ke utara, selatan, timur maupun barat,
Agar anakmu yang bernama Mas Sundari Muncar,
Dapat mengisap air susu.

3. Terjemahan bebasnya:

Lautan penolak, niat orang yang merusak airmu,
Tutuplah tutup,
Lautan selatan, maupun timur,
Inilah penonok dari Batara Wisnu.

 

Sumber: http://indotim.wordpress.com/2013/04/29/asal-mula-pohon-enau/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline