HAINUWELE tumbuh dengan sangat cepat dan dalam tiga hari saja ia telah menjadi seorang puteri yang dalam bahasa daerah disebut mulua artinya putri yang cantik.
Hainuwele berbeda dengan putri-putri yang lain. Ia tidak seperti manusia biasa. Selain kecantikannya tiada bandingnya iapun mampu menyihir sesuatu sesuai dengan kehendak hatinya.
Dari seonggok lumpur, Hainuwele dapat menyihirnya menjadi barang-barang berharga seperti piring-piring dari Cina yang disebut porselin dan gong. Semua barang ini kemudian dijual dan lama-kelamaan ayahnya Ameta menjadi kaya raya.
Kecantikan Hainuwele pun semakin tersiar ke mana-mana dan menjadi buah bibir masyarakat seantero pulau Seram. Kelebihan ini membuat Hainuwele disenangi tetapi juga membuat banyak orang menjadi iri hati kepadanya.
Pada suatu hari diadakanlah pesta Tari Maro di Tamene Siwa. Pesta itu diselenggarakan oleh Sembilan keluarga yang direncanakan akan berlangsung selama Sembilan hari. Tari Maro adalah sebuah tarian besar yang akan ditarikan oleh Sembilan keluarga yang menyelenggarakan pesta itu.
Para penari membentuk Sembilan lingkaran besar dimana orang-orang perempuan duduk di tengah-tengah mereka yang sedang menari sambil menyuguhkan sirih pinang kepada setiap penari pria. Pesta berlangsung setiap malam dan tari dilakukan sampai pagi. Esok malam pesta dilanjutkan kembali tetapi tempat pesta telah dialihkan ke tempat lain. Begitulah acaranya selama Sembilan hari.
Hainuwele sebagai seorang perempuan cantik juga di undang dalam pesta Tari Maro itu. Ketika Hainuwele tiba di tempat pesta, ia langsung menjadi perhatian seluruh peserta pesta dan ketika para penari mulai menari, tiba-tiba saja Hainuwele berdiri di tengah-tengah lingkaran penari mulai dan menyuguhkan sirih pinang kepada para penari.
Anehnya, Hainuwele tidak menyuguhkan sirih dan pinang kepada para penari, tetapi ia menyuguhkan batu-batu karang sebagai pengganti sirih dan pinang.
Batu-batu karang tersebut berubah menjadi benda-benda yang indah yang mengeluarkan cahaya gemerlapan sehingga menyilaukan mata. Melihat Hainuwele terus membagi-bagikan batu-batu yang indah itu, semua orang yang hadir serentak berdiri dan sambil berdesak-desakan memintanya dari Hainuwele. Demikian tarian itu berlangsung sampai pagi dan Hainuwele terus membagi-bagikan batu-batu berharga itu.
Pada malam berikutnya, tari Maro dipentaskan kembali dan kembali lagi Hainuwele berdiri di tengah-tengah penari sambil membagi-bagikan sirih pinang. Kali ini yang dibagi-bagikan adalah piring-piring porselin yang disebut Hana. Setiap orang yang berdiri untuk menari mendapatkan hadiah sebuah piring.
Pada malam ke empat, Hainuwele kembali lagi menghadirkan piring-piring porselin Cina yang lebih besar lagi yang dinamakan Kina Batu.
Pesta malam ke lima, Hainuwele membagi-bagikan parang-parang panjang pengganti sirih dan pinang. Hari keenam ia memberikan kotak tempat sirih dari tembaga yang indah dan pada malam ketujuh masing-masing penari mendapat hadiah sebuah piring anting-anting emas.
Malam ke delapan, Hainuwele menghadiahkan gong-gong yang indah. Demikianlah jenis-jenis barang yang dibagi-bagikan oleh Hainuwele dari malam pertama sampai malam ke delapan. Hal ini membuat banyak orang menjadi senang kepada Hainuwele, namun ada pula yang menjadi sakit hati atau cemburu. Kelompok orang-orang yang menjadi sakit hati kepada putri yang cantik ini berencana untuk membunuhnya pada malam kesembilan.
Pada malam ke Sembilan, pesta tari Maro dilangsungkan dengan lebih meriah lagi, dimana para peserta tari semakin banyak karena malam ini merupakan malam terakhir dari pesta. Pada saat menari, Hainuwele kembali berada di tengah-tengah para penari untuk membagi-bagikan sirih pinang. Sementara itu orang laki-laki yang telah berencana untuk membunuhnya telah menggali sebuah lubang yang dalam.
Kelompok penari malam itu berasal dari keluarga Lesiela. Ditengah-tengah keasyikan menari sambil membagi-bagikan hadiah, tiba-tiba saja Hainuwele didorong masuk ke dalam lubang yang telah disiapkan. Serentak dengan itu pula para penari langsung menyanyikan lagu Maro dengan suara keras dan bernada tinggi untuk menutup jeritan suara Hainuwele yang sedang minta tolong dari dalam lubang yang gelap itu.
Sambil terus menari dan menyanyi, para penari menutupi lubang itu dengan tanah dan dengan cara menggerak-gerakkan kakinya dan menginjak-injak tanah di atas lubang tersebut sehingga lubang itu tertutup dengan tanah yang padat dan keras.
Ketika hari telah subuh pestapun usai para penari juga kembali pulang ke rumah masing-masing. Lain halnya dengan putri cantik Hainuwele, ia tidak pernah lagi kembali. Ayahnya Ameta dengan kesaktiannya yang tinggi langsung mengetahui bahwa anaknya telah dibunuh di tempat pesta tari Maro tadi malam.
Ameta langsung mengambil Sembilan batang lidi (tulang daun pohon kelapa yang keras) dan menuju tempat pembunuhan itu. Tiba disana, batang-batang lidi tersebut ditancap ke atas tanah di sekitar lubang tempat Hainuwele jatuh.
Selanjutnya Ameta melakukan mawe (meramal). Dari hasil mawe diketahui ada Sembilan lingkaran penari Maro berada di sekitar tempat itu. Ketika Sembilan batang lidi tersebut dicabut dari atas tanah, keluarlah darah diikuti dengan beberapa helai rambut Hainuwele.
Ameta menggali lubang itu dan menemukan jenazah puterinya. Ameta menjadi murka dan berusaha untuk membinasakan sembian kelompok penari. Gemparlah Tamene Siwa karena peristiwa itu.
Sejak saat itu situasi keamanan di daerah sekitar Tamene Siwa menjadi daerah yang tidak aman akibat sering kali terjadinya pembunuhan di antara kelompok-kelompok yang membunuh Hainuwele dan kelompok-kelompok yang menyayangi Hainuwele.
Terbentuklah dua kelompok masyarakat yang baru yaitu kelompok Patalima dan kelompok Patasiwa atau kelompok lima dan kelompok Sembilan.
Sumber: http://www.beritamalukuonline.com/2013/03/ceritera-rakyat-maluku-3-asal-mula.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja