×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Cerita Rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Jawa Barat

Asal Daerah

Purwakarta

Asal Mula Nama Wanayasa

Tanggal 09 Jul 2018 oleh Deni Andrian.

Menurut sumber tradisional setempat, baik yang berupa cerita rakyat maupun babad, nama Wanayasa berasal dari kata Wana yang berarti “leuweung” (hutan) dan yasa yang berarti “didamel lembur” (dijadikan perkampungan). Wanayasa berarti “hutan yang dijadikan perkampungan”.

Munculnya asal-usul nama Wanayasa tersebut berkaitan dengan terbentuknya Kabupaten Wanayasa, yang disebut “kabupaten anu madeg mandiri” (kabupaten yang berdiri sendiri), untuk membedakan dengan masa ketika daerah Wanayasa menjadi bagian dari Kabupaten Karawang, dan sempat dijadikan ibukota Kabupaten Karawang. Menurut Babad Wanayasa, leluhur Wanayasa barasal dari Mataram, yakni Susuhunan Mangkurat. Susuhunan Mangkurat mempunyai seorang putra bernama Pangeran Dipati Katwangan. Ia menikah dengan Putri Pangeran Madura dan mempunyai dua orang anak, yang laki-laki bernama Pangeran Pancawara dan yang perempuan bernama Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya menikah dengan Panembahan Girilaya dari Cirebon. Ketika Ratu Harisbaya diboyong suaminya ke Cirebon, Pangeran Pancawara juga mengikuti ke Cirebon serta menikah dengan adik Pangeran Girilaya. Pangeran Pancawara mempunyai dua orang putra, yakni Dalem Putera Kelasa dan Dalem Aria Suradikara. Dalem Suradikara I bertempat tinggal di Lengkapura Sumedang, mempunyai anak Dalem Giriperlaya. Dalem Giriperlaya mempunyai seorang anak bernama Dalem Diraparaya, dan Dalem Diraparaya pun mempunyai seorang anak bernama Raden Raksanagara.

Menurut cerita babad tersebut, Dalem Aria Suradikara-lah yang menjadi pendiri cikal bakal Wanayasa. Hal itu bermula dari Ratu Harisbaya yang bercerai dengan Panembahan Girilaya, lalu menikah lagi dengan Pangeran Geusan Ulun dari Sumedang Larang. Mempunyai dua orang anak, yakni Dalem Suriadiwangsa dan Dalem Kusumadinata. Ketika Pangeran Geusan Ulun wafat, para sesepuhdi Nagara Sumedang memohon kepada Susuhunan Mataram untuk menunjuk pengganti Geusan Ulun. Susuhunan Mataram ternyata menunjuk Dalem Kusumadinata sebagai Bupati Sumedang penggati Geusan Ulun. Dalem Suradiwangsa sebagai anak tertua, merasa kecewa dengan pilihan Susuhunan Mataram tersebut. Kemudian ia melarikan diri dari Nagara Sumedang sambil membawa 80 somah. Sampai di Surian, ia meninggalkan 17 somah, kemudian melanjutkan lagi perjalanan, sampai di Sanca dan meninggalkan 19 somah. Lalu berjalan lagi ke arah barat, sampai di Kali Cocokbubu meninggalkan 30 somah. Yang dibawa terus berjalan sisanya hanya 23 somah.

Sementara dari Sumedang, Dalem Aria Suradikara dan Dalem Raksanagara menyusul Dalem Suradiwangsa yang meloloskan diri. Tiba di seberang (tepi barat) Sungai Citarum, Dalem Suradiwangsa pun tersusul. Namun Dalem Suradiwangsa menolak diajak kembali ke Sumedang. Ia hanya menyerahkan 10 somah kepada Dalem Aria Suradikara dan Dalem Raksanagara. Lalu dengan hanya diiringi 13 somah, Dalem Suradiwangsa melanjutkan perjalanannya ke Banten. Dalem Aria Suradikara dan Dalem Raksanagara tidak kembali ke Sumedang. Ia mendapatkan daerah baru untuk dijadikan perkampungan, lalu dijadikan kampung dan diberi nama Tanjungpura. Tidak lama kemudian, pindah ke sebelah selatan, membuka daerah baru lagi yang diberi nama Kasumedangan. Dan yang memimpin Kasumedangan adalah Dalem Raksanagara. Sedangkan Dalem Aria Suradikara kembali lagi ke timur. Sampai di Kali Cocokbubu bertemu dengan 30 somah yang ditinggalkan oleh Dalem Suradiwangsa.

Selanjutnya Dalem Aria Suradikara membuka daerah baru di sebelah selatan Kali Cocokbubu dan diberi nama Babakan. Tak lama kemudian, pindah lagi ke sebelah barat Kali Agung, dan membuat desa baru yang diberi nama Wanayasa pada tahun 1107 H. Kemudian pergi ke Mataram menghadap Susuhunan Mangkurat Agung, meminta persetujuan yang berkenaan dengan daerah yang baru dibukanya. Datanglah restu dari Mataram, sekaligus mengangkat Dalem Aria Suradikara menjadi Regen Nagari Wanayasa.

Kisah lain tentang asal-usul daerah bernama Wanayasa yang terletak di sebelah timur Sungai Citarum ini, masih berkaitan dengan Mataram. Bermula dari kegagalan pasukan Sultan Agung ketika melakukan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 M. Pasukan tentara Sultan Agung yang kalah perang, tidak semua kembali ke Mataram, tapi mereka tinggal dan menetap di sebuah hutan yang berada di kaki Gunung Burangrang. Kemudian daerah yang didiaminya itu dinamai Wanayasa, yang diambil dari dua kata bahasa Jawa, Wono yang berarti “hutan” dan Yoso artinya “berjasa”. Oleh lidah orang Sunda, disebut Wanayasa yang mengandung arti “hutan yang berjasa”. Mereka tinggal di sekitar Wanayasa, kawin-mawin dengan penduduk setempat, dan akhirnya menjadi orang Wanayasa. Daerah Wanayasa yang semula merupakan daerah baru yang terdiri dari beberapa rumah saja, kemudian menjadi kampung, dan akhirnya menjadi sebuah desa. Dan untuk beberapa kemudian, Wanayasa menjadi pusat kegiatan dan pemerintahan.

Versi ketiga masih berkaitan dengan “hutan yang berjasa”, namun kali ini tentu berbeda kisahnya. Nama Wanayasa dalam versi ini berhubungan dengan para pengungsi dari Kerajaan Pajajaran pimpinan Sembah Dalem Jayaprakosa (Pangeran Singadilaga), ketika Kerajaan Pajajaran menghadapi saat-saat keruntuhannya sekitar tahun 1579 M.
Saat itu Kerajaan Pajajaran sedang dikepung oleh pasukan Banten. Ketika Sembah Dalem Jayaprakosa memasuki istana, tampak istana dalam keadaan kosong. Rupanya raja terakhir Kerajaan Pajajaran, yakni Prabu Suryakancana sudah meloloskan diri dari Pulosari (Cilegon) bersama keluarganya melalui pintu rahasia. Kemudian Jayaprakosa pun memimpin pasukannya untuk segera keluar meninggalkan istana. Maksudnya untuk menemui ayahnya, yakni Prabu Siliwangi.

Menurut cerita tersebut, Prabu Siliwangi ditakdirkan berusia panjang, sehingga dapat menyaksikan saat-saat terakhir Kerajaan Pajajaran yang pernah dipimpinnya. Saat itu Prabu Siliwangi sedang bertapa untuk mencapai kesempurnaan di daerah Pangrereban, yang kemudian berubah menjadi Panaruban, sebuah daerah di sebelah timur Wanayasa. Di daerah tersebut terdapat dua aliran sungai, yang satu berhulu dari Gunung Tangkuban Parahu dan diberi nama Cimuja Wetan, sedangkan yang satu lagi berasal dari Gunung Burangrang dan diberi nama Cimuja Kulon. Prabu Siliwangi bertapa di daerah di antara kedua sungai itu.

Ketika akan pergi ke Pangrereban, Sembah Dalem Jayaprakosa dan rombongannya tidak melalui jalan-jalan umum, namun menerobos hutan belantara di kaki Gunung Burangrang. Pasalnya, jalan-jalan umum dan daerah berpenduduk di sebelah timur sungai Citarum sudah dikuasai oleh pasukan Cirebon. Karena hutan-hutan di daerah seputar kaki Gunung Burangrang tersebut dianggap telah berjasa menyelamatkan pelariannya sampai ke Pangrereban, maka dinamailah Wanayasa yang berarti “hutan yang berjasa”. Dari Pangrereban rombongan pun melanjutkan perjalanannya ke Sumedang Larang.

Ketiga kisah asal-usul nama Wanayasa tersebut di atas, memang perlu dikaji lebih mendalam. Yang pertama, Wanayasa yang bermakna “hutan yang dijadikan perkampungan” bersumber pada cerita babad, yaitu Babad Wanayasa. Pengertian babad secara umum adalah “cerita yang menurut penulisnya adalah sejarah”. Oleh karena itu, para ahli sejarah sepakat bahwa babad bukan merupakan rujukan utama. Babad hanya sebagai pelengkap, itu pun jika diperlukan. Data-data yang terdapat dalam cerita babad perlu diperbandingkan lagi dengan hasil-hasil penelitian yang lebih valid atau dengan sumber sejarah lain yang dianggap lebih mendekati tingkat akurasinya.
Dari segi etimologis, mungkin tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa nama Wanayasa mengandung arti “hutan yang dijadikan perkampungan” atau “hutan yang berjasa”. Namun jika diperbandingan dengan data-data yang ada, menimbulkan beberapa pertanyaan susulan. Betulkah daerah Wanayasa, sebelum menjadi “kabupaten mandiri” merupakan hutan belantara? Betulkah sebelumnya tidak ada orang yang mendiami daerah Wanayasa?

Jawaban atas pertanyaan pertama dapat dilihat dari catatan yang terdapat dalam naskah kuno Bujangga Manik. Teks berbahasa Sunda Kuno yang menuturkan perjalanan spiritual Bujangga Manik tersebut, awalnya ditemukan dalam koleksi Bodleian di Oxford. Tersimpan di sana sejak tahun 1627 M. diperkirakan ditulis antara tahun 1400 – 1500 Masehi. Artinya pada masa-masa akhir Kerajaan Pajajaran, yang runtuh pada tahun 1579. Dalam naskah tersebut antara lain disebutkan:
“meuntas aing di Citarum,
Ngalalar ka Ramanea.
Sanepi ka bukit Se(m)pil.
ka to(ng)gongna bukit Bongkok,
sacu(n)duk ka bukit Cungcung,
na jajahan Saung Agung,
ku ngaing geus kaleumpangan
leu(m)pang ngaing nyangwetankeun
me(n)tasing di Cilamaya”

Yang artinya :
“aku menyeberang di Sungai Citarum,
berjalan lewat Ramanea.
Setibanya ke Gunung Sempil,
ke punggungnya Gunung Bongkok,
yaitu daerah Saung Agung,
semua itu telah kulewati,
aku berjalan kea rah timur,
kuseberangi Sungai Cilamaya.”

Menurut J. Noorduyn, peneliti naskah kuno dari Belanda, daerah Saung Agung adalah nama daerah di antara Sungai Citarum dan Sungai Cilamaya, yang diidentifikasi sebagai daerah Wanayasa sekarang. Kemudian ia mengutip keterangan F. de Haan, bahwa Wanayasa adalah sebuah daerah (kabupaten) dengan batas-batas wilayah: sebelah timur Sungai Cilamaya, sebelah selatan Sungai Cisomang, sebelah barat Sungai Citarum.
Bahwa pada jaman Kerajaan Pajajaran ada kerajaan wilayah bernama Saung Agung, dikabarkan pula oleh naskah kuno Carita Parahiyangan. Pada naskah unikum yang diperkirakan ditulis pada abad ke-16 tersebut, ditulis :
“Disilihan inya ku Prebu Surawisesa. Inya nu surup ka Padaren,kasuran, kadiran, kuwanen.
Prangrang limawelas kali henteu eleh, ngalakukeun bala
sarewu.
Prangrang ka Kalapa deung Arya Burah. Prangrang ka
Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi. Prangrang ka Wahanten
Girang. Prangrang ka Gunungbatu. Prangrang ka Saung Agung.
Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka
Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan.
Prangrang ka Mu(n)tur. Prangrang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi.
Prangrang ka Medangkahiyangan.”

Artinya :
“Diganti oleh Prabu Surawisesa, yang meninggal di Padaren.
Ratu gagah perkasa, teguh dan pemberani.
Perang limabelas kali tidak kalah. Dalam menjalankan
Peperangan kekuatan pasukannya seribu orang.
Perang ke Kalapa dengan Arya Burah. Perang ke Tanjung.
Perang ke Ancol kiyi. Perang ke Wahanten Girang. Perang ke
Simpang. Perang ke Gunungbatu. Perang ke Saung Agung. Perang ke
Rumbut. Perang ke Gunung. Perang ke Gunungbanjar. Perang
Ke Padang. Perang ke Pagoakan. Perang ke Muntur. Perang ke
Hanum. Perang ke Pagerwesi. Perang ke Medangkahiyangan.”

Catatan teks naskah kuno itu membuktikan, bahwa pada jaman Kerajaan Pajajaran pun di daerah yang sekarang bernama Wanayasa sudah ada kehidupan. Bahkan sudah ada pemerintahan berbentuk kerajaan wilayah, yang berada di bawah Kerajaan Pajajaran ketika diperintah oleh Prabu Surawisesa antara tahun 1521 – 1535 Masehi.
Bahwa di daerah yang sekarang bernama Wanayasa, sebelum menjadi “kabupaten mandiri” sudah terdapat kehidupan dan pemerintahan, tercatat juga dalam artikel “Cukcrukan Robahan-robahan Pamarentah di Tanah Priangan” karya Suria di Raja. Dalam tulisan tersebut ditulis, yang sekarang bernama Wanayasa, pada zaman Kesultanan Mataram adalah sebuah keumbulan bernama Ukur Aranon yang dipimpin seorang umbul berpangkat ngabei, yakni Ngabei Martawana. Ukur Aranon bersama dengan Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang (di luar wilayah Kabupaten Karawang saat itu) disebut Ukur Nagara Agung, yang merupakan daerah kekuasaan Tatar Ukur di bawah kekuasaan Dipati Ukur Wangsanata. Ukur Nagara Agung berada di luar Bumi Ukur yang terdiri dari enam kaumbulan, yaitu Ukur Bandung, Ukur Pasirpanjang, Ukur Biru, Ukur Curug Agung, Ukur Batulayang, dan Ukur Kahuripan. Kesembilan kaumbulan yang berada di bawah Tatar Ukur tersebut dikenal dengan sebutan Ukur Sasanga, karena terdiri dari sembilan kaumbulan. Lalu Tatar Ukur dibubarkan dan oleh penguasa Mataram wilayahnya kemudian dijadikan kabupaten baru dengan nama Kabupaten Bandung. Bupatinya adalah Tumenggung Wira Angun-angun. Maka bekas kekuasaan Tatar Ukur pun menjadi wilayah kekuasaan Kabupaten Bandung, termasuk Ukur Aranon. Namun belum didapat keterangan nama umbulnya saat itu.

Memang Noorduyn ketika memetakan perjalanan Bujangga Manik menduga bahwa yang dinamakan Ukur Aranon adalah wilayah yang dicatat sebagai Eronan oleh Bujangga Manik, yakni di sebelah timur kawasan Puncak, di sebelah barat Sungai Citarum. Jika dugaan J. Noorduyn benar, paling tidak ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, daerah Wanayasa saat itu merupakan bagian dari Ukur Sagalaherang jika batas kaumbulan Sagalaherang adalah Sungai Citarum. Kedua, Wanayasa merupakan bagian dari Ukur Krawang yang disebut sebagai “sisanya” dari Kabupaten Karawang, jika batas dari wilayah “sisanya” Kabupaten Karawang itu adalah Sungai Cilamaya. Kemungkinan kedua sepertinya sulit diterima, karena ketika itu Sungai Citarum selalu menjadi batas wilayah permanen, pun ketika Tatar Sunda terbagi dua antara Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Kecuali pada masa penjajahan Belanda. Adapun penamaan Ukur Nagara Agung untuk ketiga kaumbulan yang berada di luar Bumi Ukur, patut diduga memiliki hubungan dengan nama daerah tersebut sebelumnya, yaitu Saung Agung.

Keterangan di atas sekaligus menegaskan, anggapan bahwa ketika Wanayasa sebelum menjadi kabupaten (1680-an) adalah “hutan belantara yang dijadikan perkampungan” sepertinya sulit pula diterima. Tetapi mungkin saja Kampung Babakan, yang didirikan oleh Dalem Aria Suradikara (menurut Babad Wanayasa), merupakan sebuah kampong baru saat itu, sesuai dengan arti “babakan” dalam bahasa Sunda, yakni “kampung baru”. “Ngababakan” berarti “mendirikan kampung baru”. Namun tidak berarti bahwa di sekitar kampung tersebut tidak ada kampung lain. Mungkin saja salah satu di sekitar “kampung baru” itu bernama Wanayasa.

Sementara itu, bahwa Wanayasa mempunyai arti “hutan yang berjasa” dalam kaitannya dengan pelarian tentara Mataram, perlu dikaji lebih dalam dan dibandingkan dengan data-data yang lebih akurat. Memang harus diakui, tak hanya di Wanayasa, asal-usul tempat yang berhubungan dengan tentara Mataram ini banyak ditemui di sekitar daerah Wanayasa dan Purwakarta. Tak sedikit pula yang mengaku leluhurnya yang berasal dari Mataram.

Kemudian berkaitan dengan kisah pelarian Jayaprakosa, tidak didukung pula oleh data-data atau keterangan lain yang lebih valid. Walaupun cerita rakyat lainnya mengisyaratkan, bahwa nama Wanayasa yang berada di kaki Gunung Burangrang ini, sudah dikenal sejak awal abad ke 17, diduga sebelum berdirinya Kabupaten Cianjur sekitar tahun 1640. Kisah ini berhubungan dengan Prabu Jampang Manggung alias Pangeran Sanghiyang Borosngora, putra kedua Adipati Singacala dari Panjalu, ketika mengunjungi daerah-daerah kabuyutan di Tatar Sunda sepulang menunaikan ibadah haji dari Mekkah. Sanghiyang Borosngora yang kemudian berjuluk Syekh Haji Sampulur Sauma Dipa Utama, menjadi penyebar agama Islam di daerah Cianjur dan sekitarnya, hingga ke Sancang (Pameungpeuk – Garut sekarang) dan Jampang (Sukabumi). Pada windu pertama perjalanannya, Sanghiyang Borosngora berziarah ke Wanayasa Raja Mantri.

Sekali lagi, para ahli sepakat, bahwa cerita rakyat dan atau babad memang tidak bisa dijadikan rujukan utama dalam teori penulisan sejarah, karena kesahihan data didalamnya yang meragukan. Kendati demikian, dari kisah itu mengisyaratkan bahwa nama Wanayasa memang sudah dikenal sebelum tahun 1680-an, meski secara administratif pemerintahannya masih menggunakan nama lain. Diperkirakan bahwa daerah yang bernama Wanayasa saat itu sudah menjadi bagian dari kaumbulan Ukur Aranon atau kaumbulan lain. Dan jika diteliti dari perkembangan pemerintahannya, patut diduga jika Wanayasa ini merupakan pusat pemerintahan atau ibukotanya. Antara lain ditandai dengan dipilih nama daerah ini sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Wanayasa (1684 – 1789), ibukota Keresidenan Priangan (1816 – 1829), dan ibukota Kabupaten Karawang (1821 – 1830).

Demikian pula dari segi waktu atau peristiwa sejarahnya, menurut cerita babad, bahwa hutan yang kemudian diberi nama Wanayasa mulai dibuka pada tanggal 7 Rabiul Awal 1107 Hijriah. Jika dikonversikan menjadi tahun masehi, maka akan jatuh pada tahun 1694 atau 1695 Masehi. Hal ini tentu tidak sesuai dengan catatan F. de Haan. Menurut F. de Haan, Wanayasa dipersiapkan menjadi kabupaten pada tahun 1680 dan baru diresmikan pada sebagai Kabupaten Wanayasa pada tanggal 16 Agustus 1684 Masehi, dengan bupati pertamanya Demang Suriadikara.

Masalah lain yang terdapat dalam cerita babad adalah berkaitan dengan peristiwa sejarah, baik yang terdapat dalam cerita babad itu sendiri maupun dengan catatan sejarah yang memiliki hubungan dengan Wanayasa, seperti Sejarah Tatar Sunda, Sejarah Sumedang, dan Sejarah Kerajaan Mataram (Islam). Jika dibandingkan dengan data-data dan catatan yang terdapat dalam Sejarah Tatar Sunda, misalnya, ada beberapa perbedaan mendasar, antara lain soal kesesuaian peristiwa, tokoh, serta waktu kejadiannya. Tentu saja Sejarah Tatar Sunda yang merupakan hasil penelitian para ahli sejarah tersebut, layak untk dijadikan rujukan utama, di samping tentu hasil penelitian lainnya yang lebih komprehensif. Hal itu akan diuraikan pada lanjutan dari tulisan ini.

2. Nama Wanayasa Berdasarkan Sumber-sumber Lain

Keterangan lain yang perlu mendapat perhatian ihwal asal-usul nama Wanayasa ini, salah satunya pendapat Prof.Dr. Edi S. Ekadjati. Menurut salah seorang ahli sejarah Sunda ini seperti yang diungkap dalam buku yang berjudul “Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat” (Saleh Danasasmita, dkk ;1984), bahwa nama Wanayasa merupakan bentuk pengulangan (reduplikasi) dari nama-nama tempat yang berada di daerah Cirebon. Teori reduplikasi tersebut, meski belum menjadi ikhtiar akhir, namun cukup memberi peran dalam memperkaya khasanah sejarah Wanayasa.

Pada buku itu disebutkan, pada saat keruntuhan Kerajaan Pajajaran (1579 M), Kerajaan (Kesultanan) Cirebon telah menguasai pantai utara Jawa Barat. Di daerah ini, cukup banyak nama tempat yang merupakan reduplikasi nama-nama tempat di kawasan Cirebon. Nama Wanayasa pun dibawa oleh mereka ke sana. Di Wanayasa (Purwakarta) ini ditemukan pula naskah Nitisastra dari abad ke-17 yang berhuruf dan berbahasa Cirebon. Naskah itu berisi pedoman ringkas untuk pemegang pemerintahan. Kemudian pada bagian lain keterangannya, bahwa Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan wilayah Pajajaran terakhir yang ditaklukkan oleh Cirebon.

Dengan munculnya teori reduplikasi ini, ada kemungkinan saat itu Wanayasa cukup memiliki peranan politis di tengah berkecamuknya pertikaian dan ketegangan hubungan antara Kerajaan Pajajaran dengan Kesultanan Cirebon. Sebagai daerah yang berada di kawasan pedalaman, namun cukup mudah untuk dijangkau dari arah pesisir utara Jawa serta berada pada jalur utama Kerajaan Pajajran saat itu, jatuhnya Wanayasa ke tangan Kerajaan Cirebon turut “memperlemah” posisi Kerajaan Pajajaran. Kendati demikian, pengaruh Kerajaan Pajajaran masih melekat kuat di kalangan masyarakat Wanayasa saat itu. Seperti yang kita ketahui, Kerajaan Pajajaran terutama di masa Prabu Jayadewata atau lebih dikenal dengan Sribaduga Maharaja (Prabu Siliwangi), harus diakui memiliki pengaruh dan kemampuan luar biasa dalam mengikat kesetiaan raja-raja wilayahnya. Maka tak heran, jika hingga hari ini, hubungan emosional masyarakat Jawa Barat dengan Pajajaran masih tetap lestari. Prabu Siliwangi seakan menjadi simbol dari ingatan kolektif masyarakat Jawa Barat dengan kehidupan masa silamnya.

Setelah dikuasainya daerah-daerah di kawasan pantai utara Jawa Barat, maka Karawang, Wanayasa hingga Sumedang dijadikan salah satu pintu masuk alternatif dari arah timur Sungai Citarum bagi pasukan Cirebon dalam usaha menaklukkan kerajaan-kerajaan wilayah yang berada di bawah Kekuasaan Pajajaran. Dapat dipahami, dari upaya penaklukkan itu, maka secara perlahan pengaruh Cirebon mulai begitu tampak. Termasuk diantaranya dengan cara memberikan nama-nama tempat yang berhasil dikuasai dan ditaklukkannya.

Memang tidak bisa dipungkiri, di wilayah bekas Kabupaten Wanayasa banyak nama tempat yang diduga kuat merupakan reduplikasi dari nama-nama tempat di kawasan Cirebon saat itu, yang meliputi Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Di daerah Wanayasa sekarang saja, terdapat nama-nama; Wanayasa, Gandasoli, Cibuntu, Ciracas (di Cirebon: Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibeber (di Cirebon: Beber, di Majalengka: Cibeber), Cibakom (di Cirebon: Bakom), Cipulus, Karanganyar, Panembahan, Lemah Duhur, Depok, Cikubang, Cirahayu, Cipondoh, Nangewer, dan Leuwihujan. Kemudian di daerah Kabupaten Purwakarta sekarang, ada pula nama-nama tempat yang merupakan pengulangan nama tempat dari Cirebon,seperti: Sindangkasih, Gembong (Gembongan), Bunder, Plered, Citapen, Karoya, Maniis, Palumbon (Plumbon), Gandasoli, Munjul, Bongas, Cipanjur, Cidahu, dan sebagainya.

Umumnya lokasi tempat-tempat tersebut hampir mirip, walaupun tentu saja ada kekecualian. Wanayasa dekat dengan Cibuntu, Cibeber (Beber), dan Ciracas (Caracas). Kemudian Plered tidak jauh dari Gandasoli; Karoya berdekatan dengan Palumbon (Plumbon) dan Maniis. Di selatan Wanayasa (Cirebon) tepatnya di daerah Kuningan, terdapat kawasan segitiga bernama Bakom-Karanganyar-Cipulus. Hal yang sama juga terdapat di selatan Wanayasa (Purwakarta), bedanya Bakom menggunakan “Ci” sehingga menjadi Cibakom-Karanganyar-Cipulus. Walaupun demikian, tidak persis sama seperti itu, misalnya saja antara Wanayasa dengan Sindangkasih. Di daerah Cirebon, Wanayasa dengan Sindangkasih adalah bertetangga. Sedangkan di Purwakarta, antara Wanayasa dengan Sindangkasih berjarak sekitar 23 KM. Di Cirebon, Leuwihujan merupakan kawasan pesantren, tak jauh bedanya dengan di Wanayasa. Daerah penghasil keramik, namanya juga sama dengan di Plered, yaitu Anjun atau Panjunan.

Lalu di Kecamatan Sukatani (Purwakarta) terdapat gunung yang bernama Gunung Sembung. Menurut cerita rakyat setempat, Gunung Sembung tersebut merupakan sambungan dari Gunung Sembung yang berada di kawasan Cirebon. Bahkan diduga kuat bahwa nama Gunung Sembung tersebut merupakan reduplikasi dari nama Gunung Sembung di Cirebon. Di Gunung Sembung Sukatani, terdapat makam yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat, yakni Makam Embah Kuwu atau Syekh Natawali, yang konon adalah penyebar agama Islam yang berasal dari Cirebon. Gunung lain yang memiliki nama kembar adalah Gunung Karung. Yang satu di Maniis (Purwakarta), sedangkan yang satunya lagi di Luragung (Kuningan).

Selain Kerajaan Cirebon, harus diakui Kerajaan Mataram juga memberikan sumbangan terhadap nama-nama tempat di Wanayasa dan sekitarnya. Nama Kampung Krajan, misalnya, terdapat di hampir seluruh kecamatan di Purwakarta. Nama yang sama juga terdapat di Cirebon, Indramayu, Subang dan Karawang. Ternyata nama Kampung Krajan juga ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Provinsi Banten. Oleh karena itu, ada dugaan bahwa Kampung Krajan merupakan kampung tua, yang namanya berasal dari Kerajaan Mataram. Nama-nama lain, selain Wanayasa, masuk ke Wanayasa itu, apakah langsung dari Cirebon atau merupakan pengaruh dari Mataram sepertinya memang membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Teori reduplikasi ini pun didukung oleh hasil-hasil penelitian terkini oleh para ahli genetis, sebut saja misalnya, Paul Michel Munoz. Dalam bukunya yang berjudul “Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula” (2006), Munoz menegaskan, bahwa persoalan kesukuan tidak selamanya membuktikan adanya kesamaan leluhur. Kesukuan ternyata seringkali dibentuk oleh adanya kepentingan sosio-politik yang sama. Dan pada tahap selanjutnya, akan turut memunculkan kesamaan-kesamaan dalam berbahasa, bertradisi, dan berkepentingan. Penegasan tersebut sekaligus menandakan, bahwa proses pembauran antar-suku dan daerah sesungguhnya telah lama terjadi di bumi nusantara ini. Proses akulturasi tersebut disebabkan adanya migrasi penduduk dalam jumlah dan pengaruh yang cukup memungkinkan terjadinya pembauran itu. Beberapa faktor yang mendorong terjadinya migrasi itu, diantaranya untuik membuka lahan penghidupan baru, bencana alam, masalah politik, persaingan sosial, atau kebijakan kerajaan (pemerintah) dalam upaya menciptakan pemerataan pembangunan. Dalam catatan Munoz tersebut juga disebutkan, bahwa proses migrasi sering pula disertai dengan pemberian nama daerah yang baru ditempati, sesuai dengan nama daerah asalnya. Maka dengan mudah dapat ditemui nama-nama daerah yang sama. Dan proses ini akan terus berlangsung seiring bergulirnya jaman.

Kesimpulan sementara dari beberapa catatan di atas, antara lain:
(1). Wanayasa sudah dipergunakan sebagai nama tempat di sebelah timur Sungai Citarum ini sebelum menjadi nama kabupaten “mandiri”, yaitu Kabupaten Wanayasa. Dan bukan tidak mungkin nama Wanayasa di daerah ini, sudah ada sejak masa-masa akhir menjelang keruntuhan Kerajaan Pajajaran tahun 1579 Masehi.
(2). Nama Wanayasa tersebut merupakan reduplikasi dari nama Wanayasa yang berada di Cirebon, dibawa oleh pasukan Cirebon ketika berupaya menaklukkan Kerajaan Pajajaran, yang menjadikan daerah di sisi timur Sungai Citarum sebagai pintu gerbang untuk memasuki wilayah Kerajaan Pajajaran.
(3). Sebelum Wanayasa diresmikan sebagai kabupaten “mandiri” tanggal 16 Agustus 1684 Masehi, di daerah ini sebelumnya sudah ada kehidupan dan pemerintahan yang berbentuk kerajaan Wilayah bernama Kerajaan Saung Agung. Kemudian diikuti oleh kaumbulan di bawah Tatar Ukur dan Kabupaten Bandung.***

Dari “Rintisan Penelusuran Sejarah Wanayasa” (2010) oleh Budi Rahayu Tamsyah & Didin Syafrudin
Diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Atas kerjasama Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, Cabang Jawa Barat dan Palataran Damar Sewu Wanayasa

 

Sumber: https://pemdeswanayasa.wordpress.com/2016/02/12/asal-mula-nama-wanayasa/

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...