Di sebuah tempat yang berada di Pulau Morotai, terdapat sekelompok penduduk yang hid up dari hasil bercocok tanam. Lahan perkebunan ini ban yak mereka tanami dengan tanaman kelapa. Karena butuh perawatan, maka mereka lebih cenderung untuk tinggal di sekitar lahan perkebunan ini. Di samping itu, mereka juga menangkap ikan di laut sekitar permukiman mereka.
Tempat itu dahulu merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Moro yang berpusat di Mamuya, tepatnya di Pulau Halmahera bagian utara. Disebut Morotai karena wilayah Kerajaan Moro berada di seberang laut.
Jika ingin makan ikan sebagai teman nasi atau ubi atau pisang, mereka pergi ke laut untuk manangkap ikan. Setelah itu, mereka akan kembali ke rumah yang berada di kebun mereka. Pertemuan sesama kelompok pemukiman ini terjadi hanyalah pada waktu mereka akan membuka lahan perkebunan yang baru. Tiap-tiap kelompok ini akan diundang untuk bergotong-royong membuka lahan baru karena sis tern pertanian mereka sering berpindah-pindah. Selain itu, untuk berkumpul biasanya diadakan pesta, baik pesta perkawinan maupun hajatan yang lain.
Hidup mereka tenang dan damai. Tidak pemah terjadi perselisihan antara penduduk satu dengan yang lain. Mereka sangat dimanja oleh alam Morotai yang subur dan laut yang menyediakan ikan berlimpah.
Hal ini terjadi dari generasi ke generasi selama berabadabad. Hidupnya masih di dalam hutan yang dijadikan perkebunan. Bel urn ada pemikiran untuk membentuk sebuah perkampungan yang utuh. Kalaupun ada, hanya sebagian kecil saja yang membangun rumah mereka di sekitar pesisir pantai.
Di tempat itu mereka tidak hidup sendiri. Di tempat-tempat tertentu yang tidak jauh dari permukiman penduduk, hidup juga beberapa kelompok jin yang sering mengganggu kehidupan manusia. Jika salah satu dari penduduk yang memasuki wilayah jin ini tidak berhati-hati dengan mengotori tempat itu atau membuat keributan, maka mereka akan disembunyikan dan dibawa ke tempat para jin tersebut. Hal ini bisa terjadi selama berhari-hari. Bahkan, ada yang sampai tidak pulang lagi ke rumahnya. Mereka bisa dikembalikan jika diadakan ritual untuk memanggil orang yang hilang tersebut dengan berbagai macam sesajian sesuai dengan permintaan jin.
Sampai saat ini pun kejadian-kejadian seperti itu masih sering dialami para penduduk. Menurut masyarakat setempat, hal itu sudah biasa terjadi karena menurut legendanya, Pulau Morotai adalah pusat pemerintahan jin. Penduduk setempat menamai jin tersebut dengan sebutan mora. Masyarakat setempatsangat menghormati keberadaan moro atau jin. Mereka yakin jika melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh para moro akan mendatangkan hal-hal yang buruk bagi penduduk.
Untuk menjaga keutuhan kerajaannya, Raja Moro yang berada di Mamuya sering mengutus para prajuritnya untuk mengadakan pengawasan dan juga melihat tingkat kehidupan rakyatnya yang berada di seberang lautan. Tak jarang Baginda Raja turun langsung menyaksikan kehidupan rakyatnya.
Suatu ketika Baginda Raja kembali mengutus para prajuritnya untuk melakukan tugas pengawasan sampai ke Negeri Morotai. Mereka membawa beberapa bahan makanan sebagai bekal, misalnya pisang yang merupakan makanan pokok penduduk Kerajaan Moro dan ubi-ubian serta labu. Mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu yang besar yang dinamakan kora-kora. Beberapa buah korakora mulai bertolak dari Mamuya menuju ke Pulau Morotai. Beberapa saat kemudian mereka tiba di salah satu desa yang penduduknya amat jarang. Desa tersebut bel urn mempunyai nama karena penduduknya hidup jauh ke pedalaman. Di pesisir pantai hanya terdapat beberapa buah rumah.
Di ujung desa tersebut berdiri sebuah rumah yang sudah sangat tua. Letaknya di tepi sebuah kolam yang airnya sangat jernih, tidak jauh dari pantai. Para prajurit kerajaan akhirnya memutuskan untuk berlabuh dan beristirahat beberapa hari di desa tersebut. Mereka tinggal di rumah tua itu. Pada saat beristirahat, salah seorang prajurit yang bernama Kampong ditugasi untuk memasak. Dia mengambil labu untuk dibuat semacam kolak. Labu tersebut dicampur dengan santan kelapa dan gula enau. Setelah masak dan seluruh prajurit kerajaan menikmati makanan tersebut, Kampong membersihkan sisa makanan tersebut. Biji labu dengan tidak sengaja dia buang di sekitar rumah tua itu dan ampas kelapanya dia buang ke pantai.
Beberapa hari kemudian, ampas kelapa yang dibuang oleh Kampong terbawa arus laut dan sampai ke sebuah tanjung di sebelah tern pat berlabuhnya para prajurit Kerajaan Moro. Demikian banyaknya am pas kelapa tersebut sehingga pantai di sekitar tanjung itu amat kumuh. Akhirnya, penduduk setempat dan juga penduduk di sekitar tanjung tersebut menyebut pantai itu dengan igo mangowo, yang artinya ampas kelapa. Dari igo mangowo ini akhirnya jadilah tempat itu dengan nama Sangowo, yang merupakan nama sebuah desa di Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai.
Beberapa tahun kemudian penduduk yang masih berada di perkebunan mulai menetap di pesisir pantai, tempat para prajurit kerajaan berlabuh. Rumah tua yang pernah dipakai untuk beristirahat oleh para prajurit telah ditumbuhi labu yang berbuah sangat lebat hingga menutupi rumah tersebut.
Suatu ketika, para prajurit kembali lagi melakukan tugas pengawasan ke Pulau Morotai. Merekapun kembali berlabuh di tempat yang sama. Namun, prajurit yang diutus kali ini bukanlah para prajurit yang terdahulu. Pada suatu sore ada seorang prajurit yang berjalan-jalan di sekitar desa. Prajurit ini bertemu dengan seorang wanita yang menggendong bayinya. Ibu muda itu memberi nama bayinya dengan Kampong, sesuai dengan nama salah satu prajurit kerajaan yang pernah datang ke desanya.
"Apa nama desa ini, Bu?" tanya prajurit itu dengan ramah.
"Kampong, Pak," jawab ibu muda itu dengan tenang. Ternyata, wanita itu salah mendengar pertanyaan dari prajurit tersebut. lbu muda itu menyangka bahwa prajurit ini menanyakan nama anaknya. Karena terjadi salah pengertian, prajur itu pun berkata kepada wanita itu.
"Kalau begitu kita namakan tempat ini dengan Kampong (kampung). Karena di sini ada sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi jalan, kita namakan dengan Kampong Gotalamo. Sedangkan di ujung sana kita namakan dengan Kampong Sambiki."
Gotalamo adalah bahasa daerah setempat yang artinya pohon besar, sedangkan sambiki adalah sebutan untuk labu. Demikianlah awal mula nama dari dua desa yang berada di Pulau Morotai, yaitu Desa Sambiki dan Desa Sangowo. Saat ini kedua desa tersebut adalah bagian dari Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja