Pada zaman dahulu kala, di kampung Tambang Danau, hiduplah seorang janda serta seorang anaknya laki-laki, yang bernama Bowak. Setelah Bowak berusia kurang lebih dari dua belas tahun, ia tidak lagi turut serta ibunya pergi ke ladang, tetapi tinggal menjaga rumah sambil membuat makanan babi. Tiap petang babi dan ayam-ayamnya diberinya makan.
Tiap-tiap hari apabila matahari sedang naik, duduklah si Bowak mengiris-iris keladi dan ubi kayu, lalu memasaknya dicampurkan dengan dedak untuk makanan babi-babinya yang sangat banyak itu. Kalau babi sudah cukup besar, dan ada yang memerlukan, babi itupun dijualnya. Sedangkan hasil penjualannya dipergunakan Bowak dan ibunya membeli keperluan hidup sehari-hari, seperti pakaian, keperluan dapur serta memperbaiki kerusakan-kerusakan rumah mereka.
Sambil memotong-motong keladi, Bowak berpantun-pantun dan menyanyi-nyanyi, katanya
"Memotong-motong burung Tingan tidak berselang hari.
"Mencincang-cincang naga putih setiap panas hari".
Pantun itu diulanginya berkali-kali, selama ia memotong-motong keladi dan ubi kayu. Pada suatu hari sambil memotong-motong keladi dan ubi kayu, Bowak tak lupa berpantun dan menyanyi "Memotong-motong burung Tingan tidak berselang hari, mencincang-cincang naga putih panas hari."
Nyanyian dan pantun Bowak ini merdu sekali, merayu-rayu dan menawan hati. Suaranya sayup-sayup terdengar dibawa hembusan angin, sampai ke negeri Lewu Telu (Kayangan) tempat kediaman Tempo Telon dan Sangguang. Penghuni Lewu Telu gempar setelah mendengar alunan irama nyanyian dan pantun Bowak yang merayu-rayu, dinyanyikannya setiap hari, terdengar bersama hembusan angin.
Penduduk Kayangan segera mengadakan rapat, membahas arti pantun dan nyanyian itu. mereka berusaha menafsirkan dan berkesimpulan bahwa manusia di dunia ini mempunyai banyak kelebihan dari pada penduduk Lewu Telu, karena setiap hari makan daging burung Tingang dan daging Naga putih, tak bosan-bosan.
Rapat itu memutuskan mengirim seorang utusan ke bumi ini, supaya menyaksikan langsung kepandaian, kebijaksanaan dan keperkasaan manusia di dunia, yang katanya tiap hari menyembelih burung Tingang dan Naga putih.
Pada suatu hari, sesuai dengan hasil permufakatan dalam rapat, diberangkatkanlah tujuh orang utusan turun ke dunia manusia, berkendaraan "lasang Kilat Panangkaje Andaw" (pesawat udara tercepat). Hanya dalam waktu beberapa jam lamanya mereka terbang dari Lewu Tempo Telon, yang juga bernama kayangan atau Batang Danum Sangiang, sampailah mereka di sungai Kahayan dan singgah di kampung Tumbang Danau.
Pada saat itu Bowak sedang duduk asyik memotong keladi dan ubi kayu, sambil bernyanyi dan berpantun sebagaimana yang dilakukannya setiap hari. Demikianlah mengikuti arah datangnya suara nyanyian dan pantun itu mereka bertujuh langsung masuk ke rumah Bowak.
Ketujuh orang itu segera menangkap Bowak, lalu membawanya menuju Lasang Kilat Panangkaje Andaw, langsung membawanya terbang menuju Batang Danum Sangiang. Tidak berapa lama sampailah mereka di Batang Danum Sangiang yaitu Lewu Telu. Mereka langsung membawa Bowak ke Balai Hai, yang dinamakan Balairung.
Banyaknya orang laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya datang berkumpul di muka Balairung, untuk melihat paras Bowak anak manusia yang suaranya merdu merayu dibawa angin terdengar sampai Kayangan. Yang setiap harinya makan daging burung Tingang dan daging Naga Baputi. Hampir semua penduduk Kayangan datang berkumpul, ingin melihat Bowak, anak yang asalnya dari bumi.
Menghadapi kejadian ini, Bowak sama sekali tidak takut. Ia berjalan hilir mudik di dalam Balairung itu, dan memandang kepada orang banyak yang berkumpul di halaman itu, dan ingin menyaksikannya dari dekat.
Lelaki Kayangan yang membawanya terbang bersama Lasang Kilat Panangkaje Andaw tadi, kemudian mengatur kamar Balairung untuk tempat Bowak menginap, dan menuruh Bowak mengganti pakaian dengan memakai pakaian Kayangan, yang telah disediakan untuknya. Bowak mengganti pakaiannya. Ia segera dapat menyesuaikan diri dengan penduduk kayangan. Nama Balairung tempat tinggal Bowak, ialah "Balai Palangka Nahalambang Tambun Sali Buyung Antang Nahutu Penyang".
Rawing Tempo Telon segera datang menjumpai Bowak dan bertanya: "Bowak, apakah arti nyanyian dan pantun yang berbunyi, mencingcang burung Tingang setiap hari dan mencingcang Naga putih setiap hari panas?". Jawab Bowak: "Tidak apa-apa hanya sekedar menghibur hati, sambil bekerja setiap hari memasak makanan babi".
Rawing Tempo Telon berkata kepada orang banyak katanya: "Hai kamu sekalian, kini Bowak anak manusia itu telah ada diantara kita orang di bumi Kayangan ini. Oleh sebab itu, saya minta kepada kalian dan kita semua, Bowak ini adalah manusia, tidak sama dengan kita orang di Kayangan ini. Oleh karena itu selama Bowak berada di Kayangan ini harus dijaha baik-baik, karena ia tidak sama dengan kita".
Bowak tinggal dan menginap di Balairung, dikawal oleh Sahawung Bulaw Buang Penyang, yakni orang Kayangan yang menjemputnya dari Tumbang Danau, sehari yang lalu atas perintang Rawing Tempo Telon. Malam itu adalah malam pertama Bowak menginap di Kayangan bersama-sama dengan Sahawung Bulaw. Setelah larut malam, sebelum keduanya tidur nyenyak, terciumlah oleh mereka bau gaharu dan kemenyan, tersebar ke mana-mana ke setiap penjuru. Bau itu makin lama makin dekat dan makin terasa dengan jelas sekali.
Kemudian mereka melihat tujuh orang wanita cantik berdiri di depan mereka berdua dan berkata: "Kami ini, adalah utusan Temanggung Caca, kepala kampung Tumbang Danau yang berada di bumi. Kami bertujuh bernama Putir Bawin Tawar. Kami di suruh mencari Bowak, karena penduduk kampung Tumbang Danau sangat bersedih hati karena Bowak lenyap seketika tidak tentu ke manah arah tujuannya, entah mati atau hidup. Karena secara tiba-tiba ia pergi, ketika ibunya berada di ladang, tiada seorang pun penduduk Tumbang Danau yang mengetahui ke mana perginya.
Orang Kayangan merencanakan untuk mengadakan sejenis ujian ketangkasan bagi Bowak selama ia berada di Kayangan. Beberapa orang yang pemuda sebaya di Kayangan dengan Bowak diperintahkan bersiap-siap untuk pergi memancing Tambun Baputi dan menyumpit burung Tingang supaya dapat diketahui siapa diantara mereka yang mendapat hasil terbanyak.
Keesokan harinya, pagi-pagi setelah selesai sarapan pagi merekapun berangkatlah. Pertama kali mereka menuju "Batang Lunuk Jayang Tingang Baringen Sempeng Tambarirang" untuk menyumpit burung Tingang di tempat itu. Bowak melihat bahwa burung yang bernama burung Tingang menurut orang Kayangan tidak lain adalah burung Endu, yang sudah tidak asing lagi bagi si Bowak karena ia sudah biasa menyumpit burung itu di kampungnya, Lewu Tumbang Danau.
Bowak berhasil menyumpit banyak sekali burung endu dan ketika mereka berkumpul kembali dengan kawan-kawannya pemuda Kayangan, ternyata hasil sumpitan Bowak jauh lebih banyak. Segera mereka kembali ke kampung. Hari berikutnya pagi-pagi sekali berangkatlah mereka menuju Danau Batanding yang terkenal banyak Tambun Baputi. Setelah Bowak melihat apa yang mereka sebut Tambun Baputi, tidak lain ialah ikan Lele. Ia tidak perlu ketempat yang dalam airnya, akan tetapi ia melihat upon parukat atau rombak hukap, yaitu lobang tempat ikan lele bersembunyi, terdapat diantara akar-akar kayu. Ia tidak menombak ikan lele tetapi langsung menangkapnya di dalam lobang tempat persembunyian ikan-ikan lele itu.
Banyak sekali ikan-ikan yang dapat ditangkap Bowak, bakul besar yang disediakan untuk tempat ikan-ikan hampir penuh. Setelah dihitung-hitung jumlah yang diperoleh mereka masing-masing ternyata Bowak jauh melebihi dari pada kawan-kawannya pemuda Kayangan. Dalam pertandingan-pertandingan yang diadakan itu, ternyata Bowak dengan mudah merebut juara.
Setiap malam Putir Bawin Tawur, yaitu tujuh orang puteri itu datang menjumpai Bowak dan menyuruh Bowak cepat-cepat kembali ke kampungnya, karena penduduk Tumbang Danau sangat bersedih hati mengenangkannya. Pada hari berikutnya Rawing Tempo Telon mengundang rakyatnya berkumpul di Balairung tempat tinggal Bowak, karena merencanakan untuk mendirikan "Mihing Panataw." Banyak orang yang hadir dalam rapat itu, rapat dipimpin oleh Tempo Kanarean bersama Tempo Telon.
Pada saat rapat berlangsung, Bowak dikurung dalam sebuah kamar di Balairung itu bernama "Lawang Tambarirang Tempon Telon, agar dia tidak dapat menyaksikan dan mendengar apa yang dibicarakan dalam rapat itu.
Setelah bahan-bahan untuk mendirikan Mihing Panataw telah berkumpul semuanya, seperti kayu, rotan, bambu kuning dan sejenis bambu kecil serta panjang, maka ditentukanlah pula saat untuk memulai pekerjaan dan tempatnya tepat di depan Balairung itu. Ketika diadakan rapat pembagian tugas, Bowak dibawa oleh Sahawung kepada Parung Raja Panyarawan Katingan, selanjutnya diperintahkan untuk tinggal di dalam kamar Tambarirang susun telo, agar ia tidak dapat melihat pekerjaan mereka membuat Mihing itu.
Setelah pekerjaan hari itu selesai, Sahawung mendatangi Bowak, mengeluarkannya dari kamar tempatnya dikurung, lalu bertanya "Kahurung (saudara) Bowak; tahukah kamu apa yang kami kerjakan hari ini tadi?". Jawab Bowak; "Ya tahu semuanya. Kamu sekalian mendirikan sapundu (tonggak tempat mendirikan hewan korban) dari kayu Banuang, tabulus dan tawe. Saya lihat kamu berjalan-jalan mengatur dan memperhatikan cara pemasangan tiang sepundu itu." Sahawung berkata, "Benar apa katamu itu" Sebabnya ialah, ketika mereka bekerja semua pembicaraan dan perintah diantara para pekerja itu, didengar oleh Bowak dengan jelas karena suara mereka nyaring.
Pada hari berikutnya Bowak dikurung lagi di dalam kamar lain, yang menurut perkiraan mereka lebih aman dari kamar dahulu, supaya Bowak tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan mereka pada hari itu. Ketika sore hari Bowak dikeluarkan dari dalam kamarnya dan menanyainya, apa pekerjaan mereka hari itu, Bowak menjawab sesuai dengan apa yang didengarnya, ketika mereka sedang bekerja, karena suara mereka nyaring sekali kalau memberi petunjuk atau perintah kepada kawan-kawannya. Jawab Bowak ternayata benar dan tidak meleset. Demikianlah kejadiannya berulang-ulang dari hari ke hari.
Berkatalah Rawing Tempo Telon kepada rakyatnya; "Besok kita akan membuat suatu pekerjaan yang paling penting dalam pembuatan ini. Oleh karena itu pinjamlah jala kepunyaan Mantir Mama Luhing Bungay, yang disirat dari Balaw Anduh Nyahu, untuk menyelubungi tubuh Bowak, agar ia tidak dapat melihat dan mengetahui apa yang kita akan kerjakan."
Pagi-pagi benar pada keesokan harinya rakyat pun berkumpullah serta membawa Balaw Anduh Nyahu itu. Bowak segera disuruh duduk di lantai ditengah-tengah Balairung, kemudian ia ditutupi dengan jala. Bowak menangis tersedu-sedu kerena katanya, ia tidak dapat lagi menyaksikan pekerjaan mereka. Mendengar tangis Bowak, orang banyak yang berkumpul pada saat itu, mereka gembira sekali, segeralah mereka mulai bekerja. Tetapi sebenarnya Bowak sangat senang karena ia lebih bebas melihat dan mengetahui apa yang dilakukan orang banyak pada waktu itu.
Pada saat itu mereka sedang melakukan pekerjaan membuat kahut sampalaki bahuya yaitu nama ikatan khusus untuk Mihing, membuat anjung-anjung, memasang jongkong baleda (balok berbentuk lengkung) dan pekerjaan-pekerjaan lain yang penting dalam konstruksi Mihing tersebut.
Bowak duduk diam diselubungi jala, dan terus memperhatikan cara membuat Mihing serta mendengarkan pembicaraan mereka yang sangat ramai waktu sedang bekerja. Apabila semua orang melihat kepadanya, Bowak pura-pura bersedih, hampir-hampir menangis. Tetapi bila orang-orang itu sibuk dan lengah, iapun dengan tekun dan teliti memperhatikan cara membuat Mihing itu.
Pada hari-hari selanjutnya, setelah Mihing itu selesai, maka mulailah harta benda berdatangan. Balanga, Halamaung, Basir, benda-benda keramik seperti piring mangkuk, pada berdatangan berduyun-duyun dari hulu-hilir menuju Mihing tersebut. Hampir semua penduduk Lewu Telo, kaya karena harta kekayaan yang berdatangan menuju Mihing itu. Pada waktu Mihing itu menarik segala harta dengan cara yang aneh itu. Bowak tetap dalam selubung jala. Semua peristiwa pekerjaan itu dapat dilihatnya dengan jelas. Dalam hatinya ia berkata "Nanti kalau aku sudah kembali ke bumi, akan aku buat pula barang yang seperti itu. Cara membuat, bahan-bahan serta jenis kayu-kayuan sudah ku kenal. Kayu sejenis itu banyak terdapat disekitar kampungku Tumbang Danau."
Setelah penduduk Lewu Telo itu semuanya mendapatkan harta yang mendatangi Mihing itu, setiap keluarga, setiap rumah bersuka ria karena semuanya menjadi kaya dan memiliki harta benda yang banyak. Lalu Sahawung Bulaw Tempun Buang Penyang, Rawing Tempon Telon dan Indang Kameloh Temouan Tajawun, memerintahkan orang banyak membongkar Mihing. Kemudian membuang kayu-kayuan yang menjadi bahan untuk membuat Mihing itu. Agar supaya ia tidak mampu lagi menarik harta benda. Mihing itu berhentilah mengumpulkan harta, penduduk di seluruh Lewu Telo itu bersuka ria, makan, minum bermabuk-mabukan disetiap rumah berpesta ria karena telah menjadi kaya.
Di dalam hatinya Bowak selalu mengingat-ingat cara membuat Mihing; Hapambuk Lamiang, Hakakut Garing, Hagandang Garantung, Hasamben Lamiang, Hauulay Semat Timpung, Hakuling Lelet Jarati, Habatang Gandang, Habalimbung Hinting Santagi Haulay Netek Lambayung, Hanjung-anjung Uey Sambelom, Halingkaw Ragam, Hasampalaki Bahuya Inyirat Sakalat. Setelah pembuatan selesai, rawing Tempon Telon menghamburkan beras, dan tidak lama kemudian, kelihatanlah harta benda mendekat Mihing itu.
Pada hari ketujuh selama Bowak tinggal di bumi Sangiang (Kayangan), Rawing Tempon Telon menyuruh sahawung Bulaw Tempun Biang Penyang mengantar Bowak pulang ke kampungnya Tumbang Danau yang letaknya di bumi ini, sebab sudah cukup lamanya ia tinggal di Kayangan. Lagi pula sudah lama penduduk Tumbang Danau dalam keadaan berduka cita mengenang Bowak. Selama ia berada di Kayangan telah banyak melalui ujian, jadi banyaklah pengetahuan Bowak bertambah, walaupun pengetahuan itu tidak diajarkan kepada Bowak, sebuah guci antik "Kampilin" untuk dibawa pulang ke kampungnya. Lalu mereka terbang memakai Lasang Panangkajo Andaw turun dari langit ke bumi ini.
Mihing Yang Pertama kali dibuat di bumi. Penduduk kampung Tumbang Danau sangat gembira menyambut kedatangan Bowak yang tiba-tiba berdiri berjalan raya dengan sebuah guci disisinya. Mereka tidak melihat apa selain dari Bowak dan tempayan itu. Orang berkumpul mengerumuni Bowak dan bertanya-tanya kemana perginya lenyap seketika dan bagaiamana memperoleh tempayan yang sangat indah itu. Bowak menceritakan segala sesuatu yang dialaminya kepada mereka itu. Dari jalan raya ia pindah tempat masuk ke dalam rumah, tetapi orang banyak, terus mengikutinya ingin mendengarkan cerita tentang pengalaman Bowak.
Bermacam-macam tanggapan mereka, sebagian menganggap Bowak sudah gila, akan tetapi ada pula yang mempercayai cerita Bowak, karena melihat keindahan tempayan yang dibawanya jarang sekali ada tempayan di bumi ini yang seindah tempayan Bowak, jadi besar kemungkinan tempayan itu adalah pemberian Sanguang, Rawing Tempo Telon dari Kayangan. Akhirnya semua orang percaya akan cerita Bowak, penduduk kampung Tumbang Danau itu, mufakat guna membantu itu Bowak mengadakan pesta besar, sebagai ucapan syukur, karena Bowak kembali dengan selamat.
Setelah pesta berakhir, Bowak mengundang penduduk untuk membuat Mihing, seperti yang dilihatnya di dunia Lewu Telo. Penduduk setuju dan bersedia menuruti kata Bowak. Mereka mulailah membuat Mihing di tengah jalan kampung Tumbang Danau. Beberapa hari kemudian selesailah pekerjaan membuat Mihing itu. Setelah Bowak menaburkan beras, seperti yang dilakukan Rawing Tempo Telon, pada waktu itu juga berdatanganlah segala guci antik. Benda kerajinan tangan dan ukiran uras perak, kuningan dan segala macam piring mangkuk yang mahal harganya menuju Mihing tersebut.
Penduduk kampung bersorak kegirangan menangkap harta benda, lalu membawanya pulang ke rumahnya masing-masing menjadi miliknya. Orang-orang di bumi Sangiang, gempar karena harta kekayaan mereka bergerak-gerak dan merayap, kemudian lenyap dari dalam rumah mereka, terbang menuju dunia ini. Akhirnya Rawing Tempo Telon memerintahkan kepada Sahawung Bulaw, Tempung Buang Penyang, mereka tujuh orang banyaknya mendatangi bumi ini, guna menjumpai Bowak. Kata mereka itu, "Tidak salah lagi, pasti pekerjaan ini pekerjaan Bowak, anak manusia itu. Ia membuat Mihing. Kalau tetap dibiarkan, habislah harta kekayaan kita kelak, sebab itu mari kita segera ke bumi, merombak dan merusakkan Mihing Bowak."
Dan benarlah. Sementara orang-orang di kampung Tumbang Danau bersorak-sorak kegirangan, mengejar dan memungut benda yang menuju Mihing itu. Lasang Kilat Panangkaje Andaw yang ditumangi oleh Rawing Tempo Telon dan tujuh kawannya mendarati dekat Mihing itu. Bowak terkejut melihat Rawing Tempo Telon dan ketujuh kawannya berdiri di sana. Orang lain tidak dapat melihat kehadiran mereka, kecuali Bowak sendiri. Rawing Tempo Telon dan ke tujuh orang kawannya sangat marah kepada Bowak, karena ternyata ia bisa membuat Mihing itu.
Setelah Mihing itu jatuh ke sungai, orang-orang melihat kawanan ikan besar, kecil, pada berkerumun di situ. Orang banyak sangat heran, menyaksikan Mihing itu tiba-tiba berangkat sendiri dan terjun masuk ke dalam air, dan kawanan ikan lalu berkumpul di situ. Perhatian orang segera beralih, bukan lagi menangkap harta benda, tetapi menangkap berjenis-jenis ikan, seperti sapan, jelawat, patin, tabiring, balida dan banyak lagi jenis ikan yang lain. Bukan main banyaknya ikan yang diperoleh penduduk pada waktu itu.
Sebelum Rawing Tempo Telon dan kawan-kawannya terbang pulang ke Kayangan, mereka berpesan kepada Bowak, katanya; "Apabila kamu manusia di dunia ini akan membuat Mihing lagi, janganlah membuatnya di daratan, supaya kamu jangan saling membunuh, memperebutkan harta kekayaan yang datang berkumpul pada Mihing itu. Kalau mau membuat Mihing buatlah olehmu di sungai saja, supaya dapat menarik untuk makananmu".
Begitulah nasehat Rawing Tempo Telon dengan ketujuh kawannya kepada Bowak. Hanya Bowak sendirilah yang dapat melihat dan dapat bercakap-cakap dengan Rawing Tempo Telon dan kawan-kawannya Penduduk kampung Tumbang Danau, tidak dapat melihat orang-orang dari bumi Sangiang itu. Ketujuh orang itu kemudian terbang dengan menumpang Lasang Kilat Panangkaje Andaw, pulang ke asalnya, Lewu Telo, di bumi Sangiang. Begitulah cerita penduduk di tepi sungai Kahayan, pandai membuat Mihing untuk menangkap ikan. Tidak ada orang lain di dunia ini yang bisa membuat Mihing seperti itu, selain orang yang diam ditepi sungai Kahayan.
Biarpun orang-orang yang berasal dari daerah Kahayan, membuat Mihing di tempat lain dan bukan di tepi sungai Kahayan, ikan-ikan tidak ada yang menghampiri Mihing, dan banyak lagi halangan lain, sehingga maksud membuat Mihing itu tidak tercapai (gagal). Hal itu sesuai pesan dari orang-orang yang berasal dari bumi Sangiang kepada Bowak, sebagai orang pertama di dunia ini yang bisa membuat Mihing.
Pantangan lain dari Mihing itu ialah : Wanita tidak boleh mendekati Mihing itu, dan sebagai sangsinya maka apabila Mihing itu tahan lama, tidak rusak atau terbongkar, maka wanita itu akan mati berdarah (mati diwaktu melahirkan). Tetapi kalau wanita itu panjang umur, maka seketika itu juga Mihing akan terbongkar dan rusak.
Jenis dan letak kayu; nama ikatan dan tempatnya masing-masing tidak boleh tertukar. Rotan untuk pengikat dan penyimpai, hanyalah jenis rotan yang khusus untuk membuat Mihing, dan terdapat di hutan rimba. Tidak boleh memakai rotan sembarang rotan, apalagi memakai tali atau paku, tidak boleh sama sekali. Batu pemberat (jangkar) memang ditentukan, yakni batu yang dipakai ketika Bowak membuat Mihing pertama pada zaman dahulu kala, walaupun hanya berupa pecahannya yang terkecil sekalipun.
sumber:
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...