Dahulu, di Wekaburi atau yang kini dikenal dengan nama Desa Werabur, terdapat sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Air sungai itu menjadi sumber kehidupan bagi Suku Wekaburi yang mendiami daerah tersebut. Hal yang unik di tempat ini adalah rumah-rumah panggung milik penduduk setempat dibangun di atas aliran sungai itu.
Suatu ketika, warga Suku Wekaburi akan mengadakan pesta adat di kampung. Mereka segera mengadakan berbagai persiapan seperti membangun rumah untuk para tamu undangan, menyiapkan makanan, dan sebagainya. Pada hari yang telah ditentukan, para tamu undangan dari berbagai suku seperti Suku Kandami, Wettebosy, Sakarnawari, dan Torembi tiba di Kampung Wekaburi. Di antara para tamu yang hadir, tampak seorang nenek bersama cucu perempuan bernama Isosi. Nenek itu juga ditemani oleh seekor anjing.
Ketika hari sudah mulai gelap, acara adat pun dimulai. Acara itu awalnya berjalan lancar dan sangat meriah. Berbagai tarian dipertunjukkan di hadapan para tamu. Banyak di antara tamu yang ikut serta menari dengan riang gembira. Pada saat itulah, seorang penari tidak sengaja menginjak ekor anjing kesayangan si nenek yang sedang tidur nyenyak di dekat perapian. Tak ayal, anjing itu pun menggonggong dengan kerasnya.
Melihat peristiwa itu, si nenek menjadi marah. Ia lalu membawa anjingnya masuk ke dalam sebuah ruangan dan mengikatkan cawat pada tubuhnya. Setelah itu, ia keluar sambil memeluk anjingnya dan kemudian menari bersama penari lainnya. Nenek itu tahu bahwa perbuatannya telah melanggar adat. Menurut aturan adat, jika ada penduduk yang berbuat demikian akan mendatangkan kilat, guntur, dan disertai hujan deras. Si nenek memang sengaja melakukan hal tersebut karena ingin memberi hukuman kepada mereka yang telah menginjak anjingnya.
Nenek itu sadar bahwa perbutannya dapat menciptakan malapetaka. Oleh karena itu, sang nenek segera mengambil puntung api dan disembunyikan dalam seruas bambu agar tidak terlihat oleh orang lain. Potongan bambu itu nantinya akan dijadikan obor. Selanjutnya, nenek itu mengajak cucunya agar segera keluar dari kampung itu.
“Ayo, cucuku. Kita segera tinggalkan kampung ini,” ajak si nenek.
“Baik, Nek,” jawab Isosi.
Penerangan obor membantu si nenek bersama cucu dan anjing kesayangannya berjalan menuju ke Gunung Ainusmuwasa melalui jalan setapak. Namun tanpa mereka sadari, ada seorang pemuda yang bernama Asya mengikuti langkah mereka. Rupanya, Asya adalah kekasih Isosi, cucu si nenek.
“Tunggu, Nek!” serunya. “Bolehkah saya ikut bersama kalian?”
Mengetahui bahwa pemuda itu adalah kekasih cucunya, si nenek pun tidak keberatan. Setelah itu, rombongan si nenek kembali melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di puncak Gunung Ainusmuwasa. Dari atas gunung tampak cuaca mulai memburuk. Awan gelap mulai menutup langit di atas hulu Sungai Wekaburi. Selang beberapa saat kemudian, kilat yang disertai guntur terlihat menyambar-nyambar. Hujan deras pun akhirnya mulai turun.
Sementara itu, para penduduk Wekaburi serta tamu undangan masih asyik berpesta. Mereka tidak menyadari jika bahaya sedang mengancam. Semakin lama, hujan turun semakin lebat sehingga terjadilah banjir besar. Mereka baru sadar akan bahaya tersebut ketika air telah naik ke lantai rumah. Kepanikan akhirnya melanda para penduduk. Mereka lari kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun malang, semua sudah terlambat. Banjir yang dahsyat tersebut menghanyutkan semua yang ada.
Keesokan harinya, si nenek bersama Isosi dan Asya turun dari gunung untuk melihat peristiwa yang terjadi semalam. Tak satu pun rumah penduduk yang tersisa. Nasib yang sama juga terjadi pada para penduduk. Mereka banyak yang terbawa arus, bahkan sebagian yang lain menjelma menjadi katak dan buaya. Sementara itu, Sungai Wekaburi telah berubah menjadi sebuah telaga yang kemudian disebut Telaga Wekaburi. Hingga kini, telaga tersebut menjadi salah satu obyek wisata di daerah Teluk Wondama, Papua Barat.
Akibat peristiwa banjir yang telah menghanyutkan seluruh penduduk membuat si nenek merasa amat puas. “Itulah akibat dari perbuatan kalian! Kalian telah menginjak anjing kesayanganku,” kata nenek.
Si nenek kemudian mengawinkan Isosi dengan Asya dengan harapan bahwa kelak anak cucu mereka akan mengisi Wekaburi yang telah kosong itu. Setelah menikah, mereka kemudian membangun rumah besar dan panjang yang diberi nama Aniobiaroi.
Beberapa tahun kemudian, Isosi melahirkan banyak anak sehingga rumah itu semakin lama semakin penuh sesak. “Wah, rumah kita sudah penuh sesak, istriku. Rumah ini harus kita perbesar lagi,” ujar Asya. “Benar, Kakanda. Rumah ini harus kita perpanjang dan perbesar lagi.” jawab Isosi setuju.
Rumah Aniobiaroi akhirnya disambung lagi sehingga bertambah besar dan panjang. Rumah itu kemudian diberi nama Manupapami. Beberapa tahun kemudian, rumah itu kembali penuh sesak. Anak-anak sekaligus menantu mereka terus melahirkan banyak keturunan. Maka, Asya pun mengambil keputusan untuk menyambung rumah Aniobiroi. Rumah itu kemudian diberi nama Yobari.
Demikian seterusnya, rumah mereka tetap saja tidak mampu menampung seluruh keluarga. Oleh karena itu, mereka pun menyambung rumah itu hingga empat kali yang masing-masing diberi nama rumah Sonesyari dan Ketarana. Walaupun sudah empat kali disambung, rumah mereka tetap saja penuh sesak. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencarikan tempat yang baru bagi sebagian penghuninya dan membangun rumah untuk setiap keluarga.
Konon, anak keturunan Asya dan Isosi yang keluar dari rumah Manupapami tersebut kemudian menjadi Suku Wettebosi, sedangkan anggota keluarga yang keluar dari rumah Yobari menjadi suku Wekaburi. Adapun anggota keluarga yang keluar dari rumah Sonesyari dan Ketarana dikenal dengan nama Suku Torembi yang membangun rumah di atas air. Oleh karena itulah, kampung baru yang mereka diami tersebut dinamakan Kampung Werabur, yang berarti kampung yang terletak di atas air.
Referensi:
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja