Hingga saat ini, sudah cukup banyak babad di Lombok yang sudah dikenali bahkan sudah dtranskripsi ke dalam tulisan latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antara babad-babad tersebut misalnya; babad Lombok, babad Seleparang, Babad Sakra, Babad Praya dan lain-lain. Pada umumnya, babad-babad tersebut mengungkapkan peristiwa penting yang pernah dialami ditempat-tempat tertentu, misalnya, Babad Sakra yang menceritakan penyerangan Karangasem ke daerah Sakra, atau babad Praya yang menceritakan penyerangan yang dilakukan Karangasem ke Praya.
Babad Lombok menceritakan tentang riwayat dari Nabi Adam hingga hancurnya dua kerajaan besar di Lombok yakni Pejanggik dan Seleparang, sementara Babad Seleparang hanya mengambil sebagian dari rentang peritiwa tersebut yakni kehancuran Pejanggik dan Seleparang.
Babad Lombok secara keseluruhan memuat 1218 bait (Suparman, 1994 : VIII)13. Isi babad tersebut secara secara umum; dari bait pertama hingga bait 977 berisi uraian sejarah penulis babad, sejarah dari Nabi Adam hingga menyebar dan menjadi penghuni paling awal yang menurunkan masyarakat Lombok. Pada bagian berikutnya, dimulai dari bait 978 sampai bait 989, kedudukan Arya Banjar Getas di Seleparang mulai muncul.
Mulai bait 990 sampai bait 1060, babad Lombok beralih mengupas pengangkatan raja baru menggantikan prabu Seleparang yang sudah tua, pengganti Prabu Seleparang sendiri berasal dari Bayan, hal ini terjadi karena Prabu Seleparang hanya memiliki puteri, akhirnya beliau kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada menantunya yang selanjutnya bergelar Prabu Mraja Anom. Peralihan kekuasaan tersebut dilakukan setelah raja menggelar prosesi pernikahan puterinya dengan pesta yang sangat meriah hingga tujuh hari-tujuh malam.
Selesai menjelaskan upacara pernikahan tersebut, bait-bait selanjutnya dalam babad Lombok menguraikan kemakmuran Kerajaan Seleparang, penataan wilayah sekitar kerajaan yang dilakukan Prabu Mraja Anom, pembangunan tempat ibadah (masjid), hingga kemudian beliau tua, puteri beliau memiliki putera dan akhirnya beliau mangkat.
Nama Arya Banjar Getas yang sudah berganti menjadi Raden Wira Candra mulai muncul lagi pada bait 1061 hingga bait 1217, pergantian nama Arya Banjar Getas menjadi Wira Chandra berkaitan dengan pelarian Arya Banjar Getas dari Seleparang dan meminta perlindungan di Pejanggik. Pada perkembangan selanjutnya, Arya Banjar Getas menjadi orang terdekat Raja Pejanggik.
Dalam Babad Seleparang yang keseluruhan baitnya berjumlah lebih dari 670 bait, nama Arya Banjar Getas semasa di Seleparang bernama Arya Sudarsana, muncul mulai dari bait 2 hingga bait terakhir. Walaupun mengungkapkan sosok yang dianggap sama, diantara kedua babad tersebut terdapat perbedaan dalam menguraikan kedudukan dan peran Arya Banjar Getas, secara lebih rinci perbedaan tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini;
Alasan di usir dan digempurnya Arya Banjar Getas oleh Raja Seleparang, di dalam babad Lombok disebutkan pada Bait 979. Adapun alasan tersebut adalah karena puteri raja tergila-gila pada Arya Banjar Getas sehingga Raja kemudian marah. Pada Babad Seleparang alasan tersebut terdapat pada bait ke 5, dalam bait tersebut menguraikan pengusiran dan penggempuran Arya Banjar Getas oleh raja Seleparang disebabkan karena ketika akan menghadap kepada raja, kedatangan Arya Banjar Getas beserta 100 orang pasukannya telah menimbulkan keramaian luar biasa di kerajaan. Semua orang ingin melihatnya, tidak terkecuali permaisuri keraton. Dalam kesempatan itu, Arya Banjar Getas beserta pasukannya sebenarnya juga berniat melakukan acara sawur paksi (pelepasan burung dara). Sebelum niat sawur paksi dan dilanjutkan menghadap raja tersampaikan, terjadi tragedi di istana. Permaisuri yang mencoba melihat acara tersebut dengan menaiki dinding istana menggunakan tangga terjatuh dan pingsan. Kejadian ini mengakibatkan raja menjadi murka dan memerintahkan bawahannya untuk menangkap Arya Banjar Getas.
Babad Lombok memandang, kedekatan puteri raja dengan Arya Banjar Getas yang menyebabkan Arya Banjar Getas diusir oleh raja, sementara dalam babad Seleparang, tragedi yang dialami oleh isteri raja yang menjadi penyebab. Mengenai kedudukan Arya Banjar Getas selama di seleparang, kedua babad cenderung sepaham.
Persoalan yang menjadi pemicu pemberontakan Arya Banjar Getas terhadap Raja Pejanggik dalam babad Lombok diuraikan mulai dari Bait 1067 dan 1068. Dalam bait tersebut menyebutkan bahwa raja sangat terpesona melihat kecantikan isteri Raden Wira Candra (Arya Banjar Getas). Agar bisa mendekati isteri Wira Chandra, raja kemudian memerintahkan Raden Wira Chandra untuk pergi ke Bali, menghadap kepada Raja di Kelungkung untuk meminta kebutuhan dapur, karena Raja berniat hendak menyelenggarakan pesta. Dari bait 1089- 1093 masih pada babad Lombok menguraikan, sepeninggal Arya Banjar Getas, Raja Pejanggik kemudian memanggil seluruh istri pembesar istana, termasuk Lala Junti istri Arya Banjar Getas untuk menenun di kerajaan. Kegiatan tersebut berlangsung sampai sore, ketika isteri-isteri pembesar yang lain pulang, Lala Junti tidak diperkenankan untuk pulang. Pada malam harinya, raja kemudian memperkosa Lala Junti. Ketika hal itu disampaikan lewat surat kepada Arya Banjar Getas, dia tidak serta-merta mempercayai isterinya, tetapi ketika berburu dengan raja sekembalinya dari Kelungkung, secara tidak sengaja dia melihat selendang isterinya digunakan di dalam baju Raja, Arya Banjar Getas kemudian marah dan melakukan pemberontakan.
Pada babad Seleparang, pemicu pemberontakan Arya Banjar Getas terhadap Pejanggik adalah faktor keluarga. Mulai bait 392 dijelaskan, sekembalinya dari Bali dalam menunaikan titah Raja Pejanggik, Arya Banjar Getas tidak langsung pulang ke Tapon (tempat dia bersama isterinya tinggal. Dari Pejanggik ke Tapon jaraknya sekitar 3 KM-pen), tetapi singgah terlebih dahulu untuk menemui isterinya Lala Cindra yang tinggal bersama adik mertuanya di Bayan. Lala Cindra sendiri ke Bayan ketika Arya Banjar Getas diserbu untuk kesekian kalinya oleh pasukan Seleparang ketika masih di Perigi. Di saat kekuatan pasukannya waktu itu kian melemah, pasukan wanita Arya Banjar Getas kemudian melarikan Lala Cindra menuju Bayan. Arya Banjar Getas sendiri melarikan diri ke Memelak (Praya sekarang-pen). Sejak saat itu, Arya Banjar Getas tidak pernah bertemu lagi dengan Lala Cindra hingga ketika dia kembali dari Bali, dia memutuskan tidak langsung kembali ke Pejanggik, tetapi singgah terlebih dahulu selama dua bulan mengunjungi Lala Cindra.
Sekembalinya dari Bayan, Arya Banjar Getas kemudian menyampaikan keberadaan istri tuanya kepada Lala Junti (isteri mudanya), sekaligus meminta ijin kepada Lala Junti untuk kembali ke Bayan dan tinggal di sana selama 1 bulan lagi. Hal itu kemudian membuat Lala Junti menjadi sangat marah dan mengusir Arya Banjar Getas. Arya Banjar Getas kemudian pergi meninggalkan Tapon dengan tujuan ke Bayan. Sesampainya di Ampenan, tidak satupun perahu yang akan ke Bayan yang dia temukan. Dengan terpaksa dia akhirnya menumpang ke Bali dengan niat, di Bali dia akan mencari perahu yang akan ke Bayan untuk menumpang. Sesampai di Bali, dia bertemu dengan salah seorang temannya I Gusti Bagus Alit yang kemudian mengajaknya menghadap ke Raja Karangasem. Raja Karangasem kemudian mengingatkannya tentang peristiwa pengusirannya dari Seleparang dan menyarankannya untuk membalas kejadian tersebut dengan terlebih dahulu menyerang Pejanggik.
Babad Lombok memandang kebusukan Raja yang hendak memperkosa isteri Arya Banjar Getas sebagai pemicu munculnya persekongkolan Arya Banjar Getas dengan Karangasem menyerang Pejanggik, sementara Babad Seleparang memandang latar belakang pemberontakan didasari faktor internal Arya Banjar Getas yang sedang galau menghadapi konflik keluarganya dengan Lala Junti. Mengenai kedudukan Arya Banjar Getas selama di Pejanggik, kedua Babad cenderung seragam.
Dari keragaman dan ketidakseragaman antara uraian dalam Babad Lombok dan Babad Seleparang tersebut sepertinya yang perlu dicatat adalah tiga kali penyerangan ke Lombok (Seleparang) yang dilakukan oleh Bali melalui Gelgel selalu gagal (1520, 1530 1677, dan 1678 (Lukman 2003: 18 dan 20). Dengan demikian peran Arya Banjar Getas dapat dipandang telah meretas tembok kukuh pertahanan kerajaan di Lombok.
Keberhasilan kerja sama Arya Banjar Getas dengan Bali (Karangasem) pertama kali ketika menyerang kerajaan Pejanggik hingga runtuh (sekitar 1722). Setelah keberhasilan tersebut, Arya Banjar Getas kemudian membangun kerajaan di Memelak (kerajaan Arya Banjar Getas). Tidak lama setelah kemenangan atas Pejanggik, Arya Banjar Getas bersama dengan Kerajaan Karangasem kemudian menyerang Kerajaan Seleparang hingga runtuh pada tahun 1725.
Kerajaan Memelak yang di bangun Arya Banjar Getas terletak di Praya saat ini. Arya Banjar Getas sendiri menyandang gelar Arya Banjar Getas I. Raja Arya Banjar Getas I selanjutnya menurunkan trah raja-raja kerajaan Arya Banjar Getas mulai dari Raja Arya Banjar Getas II hingga Arya Banjar Getas VII.
Di sisi lain, pasca runtuhnya dua kerajaan besar di Lombok tersebut, karib Arya Banjar Getas I yakni Kerajaan Karangasem yang telah membangun perpanjangan kekuasaannya di Mataram bernama Kerajaan Singasari (berkedudukan di Cakranegara sekarang-pen). Perlahan namun pasti, mulai menggerogoti kekuasaan Arya Banjar Getas, bahkan cenderung hendak menguasainya. Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya sekitar tahun 1841, tepatnya pada masa pemerintahan Arya Banjar Getas VII, kerajaan Arya Banjar Getas runtuh.
Meskipun kedudukan dan perannya cukup banyak dikupas dalam Babad Lombok maupun Babad Seleparang, tetapi tidak seperti raja-raja Lombok lainnya, Arya Banjar Getas dalam banyak hal masih menjadi misteri yang belum bias terjawab dengan jelas hingga saat ini.
Dalam catatan di Babad Lombok maupun di Babad Seleparang, tidak sedikitpun informasi yang menjadi titik terang untuk mengusut asal-usul Arya Banjar Getas. Tulisan berbentuk tafsiran dikemukakan oleh Azhar. Dalam bukunya, Azhar (2003: 21) menyebutkan Perigi-Wanasaba (Lombok) sebagai asal-usul Arya Banjar Getas, argumentasi yang dikemukakan oleh Azhar, bahwa di daerah tersebut hingga saat ini, ditemukan desa bernama Desa Banjar Getas.
Dalam Babad Arya Gajah Para, ditemukan nama Arya Getas, yang merupakan keturunan arya kediri kelima dari Sri Kameswara, ayah dari Sri Tunggul Ametung, dengan runutan sebagai berikut; Sri Kameswara berputra empat orang yakni Sri Kerta Dharma, Sri Tunggul Ametung, Dewi Ghori Puspa dan Sri Airlangga. Sri Airlangga kemudian menurunkan Sri Jayabaya dan Sri Jayabasha. Sri Jaya Baya memiliki tiga orang putera yakni Sri Dangdang Gendis, Sri Jayakatong dan Sri Jayakatha. Selanjutnya dari Sri Jayakatha menurunkan tiga orang anak yakni Arya Wayahan Dalem Menyeneng, Arya Katnagaran dan Arya Nudhata. Dari turunan inilah kemudian menurunkan Arya Gajah Para dan Arya Getas yang kemudian di dalam babad Arya Gajah Para disebutkan setelah kembali dari Jawa, menetap hingga memiliki keturunan 3 (tiga) orang, oleh raja Gelgel kemudian Arya Getas diperintahkan menyerang Seleparang.
Jika merunut dari geneologi raja-raja Singasari-Majapahit maka keturunan ke empat (kelima dari orang tua Tunggul Ametung) yang setara dengan Arya Getas adalah Jayanegara dengan angka tahun saka (1231-1250/1309-1389 M) Jafar (2009: Lampiran II).
Dalam keterangan sejarah, ketika abad ke-14 yakni masa pemerintahan Raja Hayamuruk, memang terdapat informasi bahwa sekembalinya dari sebuah pertemuan dengan raja-raja se Nusantara di kerajaan Majapahit, Raja Gelgel di berikan 40 orang pakadan (orang biasa) yang beragama Islam. Oleh raja Hayamuruk. Oleh raja, orang-orang tersebut selanjutnya ditempatkan di Desa Gelgel (Wawancara dengan tokoh agama Islam Desa Gelgel dan dr. Tjokorda Ratu Putra dari Puri Kelungkung, Dalam acara TVRI (Gema Azan Berkumandang di Desa Gelgel), direkam pada tanggal 21 Agustus 2009). Apakah Arya Getas adalah salah satu yang ikut diantara 40 orang yang kini menurunkan warga Desa Gelgel, tentu hal ini memerlukan penelitian lebih jauh.
Dari sumber yang termuat dalam babad Arya Gajah Para, ada beberapa hal yang perlu untuk diperjelas. Masa sebagaimana perkiraan tahun yang dibuat berdasarkan urutan geneologi merujuk pada genealogi raja Singasari-Majapahit menunjukkan bahwa masa Arya Getas dalam Babad tersebut adalah sekitar abad ke 14, sementara keruntuhan Pejanggik dan Seleparang yang melibatkan Arya Banjar Getas terjadi antara tahun 1722-1725.
Sumber lain, dikemukakan oleh Agung , yang sepertinya merujuk kepada Babad Arya Gajah Para “Treh dari Arya Gajah Para (Arya Getas-pen-) di Bali. Keberadaannya di Lombok ialah menjadi telik tanem (mata-mata) raja Bali (dalem) Gelgel untuk mengetahui keadaan dan perkembangan di Lombok (dalam Azhar, 2003:22).
Bagaimanapun rancunya keterangan mengenai sosok Arya Banjar Getas, yang perlu menjadi catatan adalah, kehadiran Arya Banjar Getas dalam catatan sejarah Lombok kemudian menjadi langkah awal bagi keberhasilan Bali mencengkramkan penjajahannya hingga hampir dua abad di Lombok, bahkan dalam banyak hal, telah memasukkan juga unsur-unsur kebudayaannya dalam tradisi masyarakat Lombok semisal pembagian kasta dan ritual perkawinan (dari melaik, sorong serah aji karma), bentuk pakaian ada dan sebagainya. Dengan demikian, perlu kiranya untuk segera melirik kembali masa lalu guna meninjau apa saja yang masih tersisa dan apa saja yang merupakan adopsi dan adaptasi dalam kebudayaan sasak yang berkembang di Lombok saat ini, dengan demikian, segala persoalan baik keterbelakangan ekonomi, pendidikan, pertentangan internal etnis sasak dan beragam persoalan lain yang menghimpit generasi Sasak saat ini bisa dirunut akar persoalannya untuk kemudian secara bersama menatap masa depan dengan lebih baik.
v Ringkasan Babad Sakra
Babad Sakra yang ditulis oleh Raden Barak dari Desa Kuripan ini memulai tuturnya tentang situasi politik di desa Sakra. Dikisahkan, sebagai akibat berkuasanya Raden Surya Jaya yang sebenarnya belum dianggap tepat, banyak memberikan andil atas kekalahan dan kehancuran desa Sakra. Dalam kemudaannya di bidang usia, ilmu pengetahuan, dan siasat, serta sikap, Raden Surya Jaya telah menyeret Sakra kepada situasi yang begitu rumit dan akhirnya berakibat fatal. Ia kurang mempedulikan nasehat-nasehat para tetua, baik dari pemuka Agama atau para sesepuh yang telah memiliki banyak pengalaman hidup, ilmu kearifan dan ilmu siasat yang tinggi. Berulang kali kemenangan hampir diraihnya, akan tetapi akibat “tingkah kemudaannya” ia telah jatuh kembali dan mengalami kekalahan.
Pada bagian tengah dari babad ini bertutur mengenai situasi Kerajaan Mataram di Karang Asem Sasak, seperti yang terdapat pula pada babad Praya. Bagian ini bercerita tentang perang saudara antar Kerajaan Mataram dengan Karang Asem Sasak. Di bagian ini diceritakan pula tentang latar belakang kehancuran Kerajaan Karang Asem Sasak (Singasari) yang diperintah oleh seorang raja wanita yang bernama Dewa Cokorda yang bergelar Dewa Agung. Tingkah laku Dewa Agung yang kurang terpuji karena paham kebebasan sex (free sex) yang dianutnya. Ia berpaham bahwa siapa pun bebas melakukan hubungan sex dengan siapa pun. Hal ini telah menjerumuskan Kerajaan Karang Asem Sasak ini ke jurang kehancurannya. Bermula dari perbuatan adiknya, Ayu Putri yang menikah dengan putra Raja Mataram, akan tetapi ia melakukan penyelewengan dengan Gusti Gde. Hal inilah yang kemudian menjadi puncak kemarahan Mataram karena Dewa Agung melindungi perbuatan tercela adiknya dan tidak mengizinkan Ida Ratu Mami Ayu Putri untuk menghukum (membunuh) Gde Dangin. Perang saudara pun tak dapat dielakkan lagi antara Singasari dengan Mataram. Dalam peperangan ini ditonjolkan peranan beberapa orang-orang yang dianggap pahlawan, seperti Gde Bonaha Mumbul, Neneq laki Batu dan Neneq Laki Galiran (dua bersaudara dari Kuripan), Gusti Gde Wanasari,dan anak Agung Ketut Karang. Namun Laki Batu kemudian membuat gara-gara sampai menimbulkan perang dengan Pagutan. Pada saat itu Mataram telah memperoleh kemenangan. Pagutan yang dahulunya pernah membantu Mataram dihancur leburkan oleh Mataram hanya karena masalah Wanita (perkawinan yang gagal).
Melalui tutur yang berliku-liku dan panjang, akhirnya Babad Sakra sampai pada kisah pertempuran besar-besaran (pemberontakan) Sasak terhadap kerajaan Mataram Lombok. Tutur babad Sakra pada bagian yang disebut terakhir ini terdapat pula pada babad Praya dengan ulasan yang meskipun berbeda versinya, akan tetapi pokok isinya sama.
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...