Banyak peneliti setuju bahwa rumah-rumah tradisional Nias (Omo Hada) termasuk diantara contoh-contoh terbaik dari arsitektur vernakular di Asia. Rumah-rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku dan jauh lebih mampu menahan gempa kuat, daripada rumah-rumah modern. Ada variasi dalam arsitektur dan gaya di seluruh pulau. Rumah Nias ditinggikan dari tanah dan dibangun untuk pertahanan, karena orang-orang Nias dulu tinggal dalam peperangan abadi. Banyak arsitek dan antropolog dari seluruh dunia telah mengunjungi Nias untuk mempelajari gaya bangunan unik rumah adat ini. Banyak orang tua Nias dilahirkan di rumah-rumah seperti ini. Tetapi karena biaya dan usaha untuk mempertahankan rumah tradisional ini menjadikan mereka semakin-semakin langka. Pengunjung dapat melihat banyak contoh dari rumah-rumah tradisional di seluruh pulau, khususnya di daerah selatan yang mempunyai beberapa desa yang sangat terpelihara.
Ribuan tahun lamanya, dua suku utama di Nias hidup di atas pohon (suku Ono Mbela) dan di dalam gua (keturunan Laturadanö/Laturedanö/Ba’uwadanö). Selama itu tak ada berita tentang arsitektur.
Akses melalui tradisi lisan Nias
Owo (perahu) – omo (rumah) – gomo (nama sungai dan daerah, kecamatan Gomo). Mereka mencapai Pulau Nias, tempat baru mereka, dengan naik perahu (owo), membuat tempat tinggal (omo), di salah satu wilayah di Nias yang disebut Gomo.
Suatu Teori
Berbeda gaya-gaya rumah telah dikembangkan di Nias. Perbedaan utama adalah bentuk rumah dan struktur desa. Secara kategorisasi sederhana, arsitektur Nias bisa dibagikan ke gaya di bagian utara dan gaya di bagian selatan. Di bagian utara, rumah-rumah tradisional adalah berbentuk lonjong dan berdiri sendiri, sementara di selatan rumah-rumah adalah berbentuk persegi panjang dan dibangun dinding ke dinding dengan rumah-rumah tetangga.
Bahkan ada tiga jenis rumah-rumah yang berbeda di Nias, dengan beberapa variasi dalam setiap gaya:
Catatan penting: Istilah Nias Selatan dipakai disini bukan sesuai dengan peta pemerintahan Nias Selatan yang cukup luas, melainkan hanya untuk Kepulauan Batu dan 4 wilayah adat (öri) di ujung Selatan dari Nias: Mazinö, To’ene, Onolalu dan Maniamölö. Di lima daerah ini agak menyatu bahasa, budaya, adat dan arsitektur.
Semua rumah adat Nias terbuat dari kayu yang bergabung bersama tanpa menggunakan paku. Mereka dibangun di atas tiang yang kuat dari batang kayu dan atap sisi dilapisi daun rumbia. Bagian dalam rumah dibagi menjadi ruang publik besar di depan dan kamar pribadi kecil di belakang. Kebanyakan rumah tradisional Nias memiliki ukiran kayu yang rumit di dalam dan di luar rumah.
Karena getaran gempa sering terjadi di wilayah ini, masyarakat Nias telah muncul dengan cara yang unik untuk membuat rumah mereka menahan gempa. Semua rumah adat Nias pakai Ndriwa, yaitu penyokong yang dipasang secara diagonal di antara tiang-tiang vertikal di bawah rumah. Ndriwa ini penyokong rumah ke 4 arah. Tiang-tiang berdiri di atas lempengan batu bukannya dipancangkan ke dalam tanah. Ini menciptakan struktur yang sangat kuat, namun tetap fleksibel yang bisa menahan gempa bumi yang signifikan. Karena rumah tidak dipancangkan ke tanah, itu sering ditimbang oleh batuan atau pengaturan rumit batang-batang kayu secara tegak miring di bawah rumah. Ini untuk mempertahankan rumah dari bergerak selama badai atau gempa bumi.
Sebuah struktur serupa dengan balok vertikal dan diagonal menahan atap. Biasanya tidak ada plafon bagian dalam, dan rumah dibagi menjadi bagian dengan dinding-dinding. Barang rumah tangga dan peralatan lainnya sering disimpan di atas, di antara balok atap. Di atap depan ada pembukaan jendela di bagian atap sebagai ventilasi. Fitur ini juga unik untuk Nias dan tidak ditemukan di rumah-rumah vernakular lainnya yang menggunakan atap daun rumbia.
Karena budaya perang di Nias, rumah dibangun dengan cara yang bisa dilindungi. Semua rumah ditinggikan diatas pilar dan di beberapa daerah setinggi dua sampai tiga meter. Pintu masuk dicapai dengan tangga yang bisa dipindahkan, mengarah ke pintu kokoh. Muka bangunan rumah yang miring ke arah luar dengan jendela berjerajak. Ini membuatnya sangat sulit untuk orang lain mendobrak ke dalam, sementara pada saat yang sama memungkinkan warga untuk mengamati gerakan musuh dari atas. Pada malam hari rumah tegas terkunci, dan kadang-kadang ada juga barikade antara ruang umum dan pribadi.
Rumah tipe di ujung selatan Pulau Nias dan di Kepulauan Batu dengan jelas merupakan perkembangan dari tipe di Gomo. Para leluhur dari masyarakat Nias Selatan menjelang 500 tahun yang lalu sudah meninggalkan tempat asal mereka di Gomo. Rumah-rumah di selatan adalah bentuk persegi panjang dan sering mempunyai tambahan perluasan ke belakang. Mereka dibangun saling menempel dinding ke dinding dengan rumah-rumah tetangga dan hanya terbuka di depan dan belakang. Dinding papan di sisi kiri dan kanan pada rumah ini berdiri tegak dan memikul atap. Dalam rumah bangsawan di ruang umum di depan, persis di pertengahan, terdapat 1 atau 2 tiang yang di Gomo disebut handro mbatö atau handro lawa-lawa, di Nias Selatan namanya kholo-kholo. Tiang itu selalu pakai ukiran.
Muka bangunan miring ke arah luar dan memiliki bukaan berjerajak yang memungkinkan warga untuk melihat ke jalan di bawah. Jumlah tiang dalam deret depan rumah ini selalu genap, entah 4 atau 6 tiang. Balok panjang melintang di atas tiang-tiang, di deret kiri dan kanan rumah. Di bagian depan ujungnya melengkung ke atas, disebut Ewe, dan dihias dengan ukiran-ukiran seperti ayam jantan, biawak, ukiran hiasan emas, matahari dlsb. Di Nias Selatan Ewe ini disebut Sikhöli, dan hiasan hanya seperti ornamen. Bentuk Ewe ini sering menyerupai depan sebuah perahu.
Rumah dikerjakan dengan sangat teliti. Dinding rumah biasanya polos, hanya di rumah bangsawan terdapat panel dinding yang diukir dengan sangat teliti. Masih ada beberapa contoh rumah Omo Zebua terawat baik di Nias Selatan hari ini.
Gaya rumah Nias Tengah juga adalah persegi panjang, tapi tidak dibangun dinding ke dinding seperti di selatan. Rumah di Gomo dikerjakan agak rustikal dan pakai berbagai ukiran “primitif”. Rumah-rumah ini sering lebih dihiasi daripada rumah-rumah di selatan dan utara. Jumlah tiang dalam deret depan selalu ganjil, entah 5 atau 7 tiang. Sering kelihatan satu lengan keluar dari tiang yang dengan tangan terangkat memberi Salam. Rumah di Gomo sering memakai satu balok panjang yang melintang di atas kediaman rumah, persis dalam pertengahan rumah. Balok ini dibentuk dari satu pohon yang bersama dengan akar pohon digali dari dalam tanah. Balok ini disebut hulu, dan ujungnya yang dibentuk dari akar pohon itu disebut balö hulu (ujung punggung). Balö hulu biasanya penuh ukiran. Rumah-rumah bangsawan (Omo Sebua) di wilayah Gomo lebih besar dan lebih dihiasi daripada rumah biasa, tetapi tidak spektakuler seperti di selatan.
Rumah-rumah di Nias Selatan di bagian utara dari Gomo sedikit berbeda dari rumah lainnya di Nias Selatan. Rumah-rumah disini menunjukkan variasi besar dan membuktikan kreativitas para penduduk di kecamatan-kecamatan yang berbeda: Lölömatua, Lölöwa’u, Bawölato dan Idanoi (Holi). Dasar juga rektanguler, tetapi lebih ke arah quadrat. Dan semua rumah yang bervariasi masih tetap memakai Ewe, balok panjang di sisi kiri dan kanan rumah. Model-model rumah juga memperhatikan iklim dan lokasi rumah, entah itu di atas gunung dengan suhu lebih dingin atau di lembah. Di lokasi yang lebih panas, mungkin ada bukaan jendela di semua tiga sisi depan, sesuatu yang tidak pernah dilakukan di wilayah lain rumah-rumah Nias Selatan atau Nias Tengah.
Rumah Nias Utara berbentuk lonjong yang sangat tidak biasa di dunia arsitektur vernakular. Rumah ini tidak dibangun secara dinding ke dinding tapi berdiri bebas. Rumah-rumah memiliki sisi panjang menghadap jalan di desa. Di ruang depan lantai di sepanjang dinding umumnya sengaja ditinggikan dan sebuah bangku diletakkan menempel sepanjang dinding. Seringkali ada satu atau lebih tambahan perluasan ke rumah. Pada salah satu ujung biasanya ada tangga ke pintu masuk rumah dengan serambi kecil. Di rumah-rumah yang lebih besar mungkin ada dua pintu masuk, satu pintu besar ke ruang umum, dan satu yang sederhana untuk ke tempat tinggal pribadi di ujung lainnya. Di belakang biasanya ada ruang perpanjangan atau bangunan tambahan untuk dapur.
Hari ini banyak keluarga yang benar-benar tinggal di rumah-rumah Nias Utara telah membangun tambahan perpanjangan beton yang modern ke rumah adat mereka. Rumah adat digunakan sebagai ruang umum dan bagian baru adalah tempat tinggal pribadi. Tiang-tiang pendukung disini diatur dengan cara yang berbeda daripada di selatan. Balok-balok diagonal tidak bersandar terhadap satu sama lain di tanah, tetapi disangga oleh balok-balok kayu yang berselang lintas di tengah. Rumah Nias Utara biasanya menggunakan pemberat batu dalam ruang yang diciptakan oleh balok-balok yang berselang lintas. Tidak ada dinding papan di dua sisi rumah yang memikul atap rumah tetapi 4 tiang utama yang memikul seluruh atap. Nama ke-4 tiang adalah silalö yaŵa (yang menuju ke atas artinya). Di atas 2 silalö yaŵa sebelah kiri dalam rumah dan begitu pula di sebelah kanan dalam rumah melintang satu balok yang disebut alisi (pundak). Rumah bangsawan biasanya lebih besar dan lebih dihias, tetapi jauh lebih kurang spektakular daripada rumah Omo Sebua di selatan.
Sumber: http://www.museum-nias.org/arsitektur-nias/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja