|
|
|
|
Anjir dan Handil Tanggal 04 Jan 2019 oleh Aze . |
Pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) diperkirakan telah terjadi sejak zaman kerajaan Majapahit, abad ke-13 masehi ketika kerajaan tersebut melakukan perluasan pengaruhnya hingga ke Kalimantan khususnya wilayah pantai selatan pulau tersebut.
Rektor Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Prof. Ir HM Rasmadi, MS mengatakan, sebenarnya warga Banjar yang tinggal di Provinsi Kalsel sudah memanfaatkan lahan rawa sejak zaman kerajaan hingga zaman kolonial lalu.
Sistem yang dikembangkan untuk membuka lahan rawa menjadi lahan pertanian adalah dengan sistem Anjir dan Handil, katanya ketika seminar nasional mengenai rawa di Banjarmasin, Selasa (5/8) lalu. Anjir adalah yang menghubungkan dua buah sungai besar dan sebelah kiri dan sebelah kanan anjir dikembangkan menjadi lahan pertanian.Handil adalah kanal kecil yang dibuat memotong atau tegak lurus sungai atau anjir sejauh 1-2 kilometer. Sama halnya dengan sistem anjir, di sebelah kiri dan kanan handil dikembangkan menjadi lahan pertanian.
Masyarakat pahuluan (kawasan enam kabupaten Utara Kalsel) Kalsel sebagian bermigrasi ke daerah rawa yang baru dibuka dan menempati wilayah sepanjang anjir atau handil dan membangun peradaban baru sesuai dengan kondisi wilayah.
Seringkali nama pemukiman baru dinamai dengan daerah asal mereka atau nama tokoh masyarakat. Pengalaman mengembangkan lahan rawa ini akhirnya melahirkan kearifan lokal (indigeneous knowledge) seperti menajak, memuntal, mencacah, serta lain-lainnya.
Kemampuan mengikuti irama alam dan kearifan lokal yang dimiliki ternyata juga diterapkan di daerah lain ketika masyarakat Banjar bermigrasi ke daerah lain, seperti ke sepanjang Timur Sumatera Banyak dijumpai masyarakat asli Banjar, seperti di daerah Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
Setelah pengelolaan rawa terus berkembang dengan baik maka akhirnya lahan yang dulunya dianggap tak bernilai karena kadar keasaman air yang tinggi berubah menjadi lahan yang subur.
Dalam seminar yang diikuti ahli lahan rawa Indonesia tersebut terungkap bahwa perkembangan pemanfaatan rawa di Kalsel dimulai ditepian Sungai Martapura dan Sungai Barito.
Guna memenuhi kebutuhan pangan maka diusahakanlah lahan rawa itu dengan cara pembuatan saluran-saluran air yang dapat mengatur ketersediaan air untuk tanaman dan kebutuhan sehari-hari, serta sebagai sarana transportasi masyarakat setempat.
Pada masa awal, banyak masyarakat zaman dulu yang tinggal di daerah rawa-rawa di tepi sungai sehingga mereka bisa memahami manfaat dari gerakan air pasang surut. Waktu pasang air sungai masuk rawa-rawa dan waktu surut air kembali ke sungai.
Tanah rawa tepi sungai ini makin lama makin habis atau dengan kata lain semakin jauh dari tempat tinggal penduduk, maka mulailah penduduk meluaskan pengaruh pasang surut itu ke arah pedalaman, dengan membangun parit-parit, dari sungai masuk ke dalam daerah rawa dengan harapan agar air sungai bisa keluar masuk daerah rawa melalui parit-parit tersebut.
Dengan proses aliran air pasang surut tersebut, makin lama tanah sekitar parit menjadi baik dan subur hingga bisa ditanami padi.
Pada tahun 1890 Anjir Serapat sepanjang 28 kilometer yang menghubungkan Sungai Kapuas (wilayah Kalimantan Tengah) dan Sungai Barito (wilayah Kalsel) dimulai digali. Pertama-tama penggalian dilakukan dengan tangan, tujuan utama dari penggalian Anjir ini adalah untuk jalur lalu-lintas air.
Pada tahun 1935 Anjir ini diperlebar dan diperdalam dengan kapal keruk. Sebagai dampak positif dari pembangunan Anjir ini maka tata air di daerah sekitarnya menjadi baik dan cocok untuk persawahan. Sejak saat itulah secara spontan banyak orang yang membuka persawahan di sekitar saluran Anjir tersebut dan akhirnya menjadi pemukiman penduduk, khususnya petani yang menggarap lahan sawah di sekitar rawa-rawa Anjir.
Sementara itu pembukaan jalan raya di sekitar Kota Banjarmasin pada era tahun 1920-an dengan cara menggali dan mengurug hasil galian untuk badan jalan akhirnya terbentuk jaringan saluran air atau drainase daerah sekitar pembuatan jalan tersebut.
Karena tersedianya saluran air dan jalan maka mulailah warga saat itu tertarik bertempat tinggal di tepi jalan dan daerah drainase lalu membuka pertanian lahan rawa, khususnya mengembang padi.
Usaha pertanian ini berkembang baik dan membuat kawasan tersebut menjadi sentra persawahan yang sangat subur dan dikenal sebagai “gudang”-nya beras Kota Banjarmasin yaitu yang disebut daerah Gambut yang dikenal memang daerah lahan bergambut.
Akibat hasil padi yang melimpah itulah maka daerah Gambut yang sekarang menjadi wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar dinamakan daerah “Kindai Lumpuar”(lumbung penuh padi).
Melihat kenyataan bahwa orang jaman dulu berhasil memanfaatkan rawa pasang surut maka mulai tahun 1957 pemerintah diputuskan membuka persawahan pasang surut secara besar-besaran di tanah air. Saat pertama pembukaan lahan pasang surut dipakai sistem kanalisasi, pelaksanaan proyek kanalisasi dimulai wilayah Kalteng dan Kalsel.
Disamping kanal yang merupakan saluran primer pemerintah menggali pula saluran sekunder dengan harapan drainase di daerah itu dapat berjalan lancar.s ebagai proyek percontohan adalah “Proyek Basarang” kemudian tahun 1969 ditetapkan oleh pemerintah sebagai awal dari pembukaan persawahan pasang surut secara besar-besaran di tanah air yang membuka lahan 5.2 juta hektare sawah di Sumatera dan Kalimantan.
Satu juta Ha
Khusus di wilayah Kalsel, seperti diungkapkan Kepala Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kalsel Ir HM Arsyadi terdapat sejuta hektare lahan rawa yang terhampar luas di wilayah propinsi ini menunggu digarap untuk meningkatkan produksi pertanian.
“Jumlah lahan rawa Kalsel tercatat 1,4 juta hektare, tetapi 400 ribu hektare sudah dikelola tinggal sejuta hektare lagi yang menunggu dikembangkan,” kata Arsyadi di tengah seminar itu.
Dengan jumlah lahan rawa yang luas tersebut bisa dikembangkan menjadi lahan pertanian maka akan bisa meningkatkan penambahan pangan nasional, karena bukan hanya bisa dikembangkan tanaman padi juga ubi-ubian, kacang-kacangan, hortikultura lainnya, termasuk sayuran. Itu bisa dilihat dari 400 ribu hektare lahan rawa yang sudah dikembangkan di Kalsel ternyata telah menghasilkan produksi pertanian yang tidak sedikit.
Hanya saja diakui tingkat produktivitas lahan rawa yang sudah dikelola tersebut belakangan ini agak menurun makanya perlu direvitalisasi lagi, serta pengembangan budidaya rawa yang lebih maju, agar lahan rawa tersebut bisa meningkat produksinya dari yang sudah-sudah.
Oleh karena itu, ia berharap seluruh pakar rawa bisa mengkaji lebih dalam bagaimana agar lahan rawa tersebut produksi hasil pertaniannya bisa sebanding dengan lahan kering, lahan tadah hujan atau lahan beririgasi lainnya. Mengingat di lahan rawa ada kandungan asam yang tinggi, makanya perlu pengelolaan lahan secara baik dan benar agar tingkat keasaman lahan tersebut berkurang, hingga lahan subur bisa ditanami tanaman pertanian apa saja.
Harapan Ir Arsyadi tertuju kepada pakar di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin yang sudah lama mengkaji soal lahan rawa tersebut, dan kalau bisa Unlam menjadi perguruan tinggi pioner dalam hal pengkajian lahan rawa tersebut
Pengkajian mengenai lahan rawa itu dinilai penting untuk masa depan bangsa ini, mengingat terdapat sekitar 39 juta hektare lahan rawa di Indonesia masih belum digarap maksimal.
Padahal lahan yang menyebar di berbagai wilayah tersebut potensial dimanfaatkan khususnya untuk pertanian, lebih khusus pengembangan tanaman padi guna menambah cadangan pangan nasional. Dari luas 39 hektare lahan rawa tersebut sebanyak 24 juta hektare potensial untuk tanaman padi.Rawa tersebut terdiri dari rawa pasang surut sekitar tujuh juta hektare dan rawa non pasang surut sekitar 32 juta hektare.
Dilihat dari penyebarannya di tiap pulau, Sumatera sekitar 13 juta hektare, Kalimantan 12 juta hektare, Sulawesi 0,5 juta hektare, serta wilayah Irian Jaya sekitar 12 juta hektare. Luas lahan rawa tersebut dibandingkan luas seluruh daratan di empat pulau tersebut diatas sekitar 168,4 juta hektare adalah sekitar 23,4 persen.
Rektor Unlam ingin menjawab tantangan itu, karena tambahnya Unlam dengan pola ilmiah pokok atau keunggulan lahan basah berkepentingan dengan sumberdaya rawa.
Jumlah penelitian dengan topik lahan rawa terus meningkat. Dalam lingkup pendidikan tinggi, sejak tahun 2007-2010 Unlam dipercaya untuk menerapkan konsep pengembangan rawa terpadu melalui proyek IMHERE (Indonesia Managing Higher Education Relevance and Efficiancy). Disamping itu, Unlam telah membangun Stasiun Rawa di daerah Jajangkit yang dikelola oleh lembaga penelitian Unlam.
sumber :http://www.wacana.co/2009/03/kearifan-lokal-suku-banjar-lahirkan-kebijakan-rawa-nasional/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |