Pada zaman dahulu kala, tersebutlah kisah Bujang Lawa beristri dua. Istri pertama putih kuning kulitnya,istri kedua hitam manis.Keduanya amat cantik, karena itu digelari “bunga kampung”. Cuma sayang, mereka belum dikaruniai anak seorang pun juga.
“Mengapa?” Bujang Lawa bertanya pada dirinya sendiri. Ia kadang-kadang merasa heran, bahwa kedua istrinya itu tetap cantik juga, walau umurnya terus bertambah. Tentu sekali-sekali terbit pula rasa cemburu dihatinya, mengapa tidak? Pada setiap kali ada orang melahirkan, baik istri tua maupun istri mudanya itu suku betul keluar rumah. Pulangnya pun kerap sampai larut malam pula. Padahal istrinya itu bukanlah bidan.
Konon, suatu senja bermohonlah kedua istri Bujang Lawa tersebut.
“Abang,izinkanlah kami berdua ke Kampung Hilir. Ada teman sedang melahirkan disana. “Moga-moga dapat contohya juga, kami pun akan melahirkan seorang anak buat abang,” kedua istrinya itu merayu-rayu, sehingga Bujang Lawa tidak merasa keberatan mengizinkannya.
Tetapi kali ini ia terus mengikuti gerak gerik kedua istrinya itu, tidak seperti biasa melepaskan dengan setulus hati.
“Ehm, curiga juga rasanya hatiku.Munkin mereka berdua ada janji dengan laki- laki lain, berbuat serong dibelakangku,” pikir Bujang Lawa sambil mengintip-intip tingkah laku kedua istrinya itu.
Ia pun naik ke atas loteng rumahnya, sebab dari situ dapat melihat segenap penjuru. Dapat mengawasi istri-istrinya itu keluar rumah, biar kearah manapun mereka pergi. Detak jantung Bujang Lawa semakin kencang. Sebabbegitu saja matahari terbenam, istri tua dan mudanya naik keatas loteng juga. Istri tua berkulit putih kuning menuju ke bumbung rumah barat, danistri yang muda hitam manis kebumbungan sebelah timur.
Kedua istri Bujang Lawa itu menguraikan rambutnya masing-masing. Mereka sama-sama melilitkan rambutnya pada kayu bumbungan rumahnya. Kemudian kedengaran suara mendesis .
“Sssst..” dikuti dengan gerakan tubuh menggeliat sekuat tenaganya. “Hiuuuup..blas..”
Tampaklah kepala dua istri-istrinya itu terpenggal dan melayang keluar lubang bumbungan rumah.
“Klepak…klepak..” masing-masing terbang dengan telinganya, mengembang selebar telinga gajah. Terbang merayap-rayap, setinggi semak belukar. “Klepak..klepak..” bunyinya, sementara matanya melotot dan menyorot terang ke depan seperti lampu senter. Perut dan ususnya terseret memburai sambil mengeluarkan cahaya gemerlap bagaikan seribu kunang-kunang.
“Astaga,” Bujana Lawa Bangkti. Ia turun dari atas loteng rumahnya.
“Mesti kuikuti kemana saja mereka pergi. Sebab kedua istriku itu, ternyata jadi hantu nanggal…jadi setan,”
Sambil menuruni tangga loteng, Bujang lawa masih bertanya. “Hendak kemana mereka? Awas…kuikuti kalian,” gumamnya seraya menyambar penyapu lidi satu-satunya alat terletak didekat tangga loteng,dibawa sebagai penangkal diri. Dalam perjalan ia berpikir.
“Baiklah, akan kutandai dimana-mana saja tempatnya yang disinggahi, dengan lidi-lidi ini,”
Ketika itu juga Bujang Lawa merasa ikut terlayang kea lam lain yang ajaib, berada dalam pengaruh setan. Ia seakan-akan terbawa kesebuah negeri yang bagus pemandanganya, lengkap dengan tanaman bunga-bungaan ditaman. Terdapat pulasebuah tasik pemandian.
“Waduuuh asyik sekali..” katanya terbata-bata, kagum luar biasa.
Dalam keadaan tercengang-cengang itu, datanglah seorang juru hidang dan menyajikan makanan serba lezat cita rasanya. Istri tua dan istri muda Bujang Lawa itu pun menyantapnya dengan lahap sekali. Sementara juru hidang pun menyuguhkan pula kue kepada Bujang Lawa sendiri. Ia duduk disudut gelap, sehingga tidak kelihatan oleh istri-istrinya yang berwujud “Nanggal” sedang berpesta pora saat itu.
“Silakan makan Encik..” juru hidang menyilahkan, tetapi Bujang Lawa enggan mencicipinya. Perasaanya was-was saja, karena mengingat prilaku kedua istrinya. Entah hantu entah setan mempengaruhinya, karena kelihatan terlalu suka cita seperti itu.
Tiba-tiba sampailah waktunya bulan terbit di ujung kelam. Pada saat cahaya bulan itu terpantul, kedua istrinya yang berwujud “nanngal’ itu bergegas terbang. Mereka seperti berlomba-lomba dengan sinar bulan akhir kelam tengah malam. Bujang Lawa pun bergegas pulang kerumahnya, dan langsung berpura-pura tengah tidur pulas.
Singkat ceritanya secara diam-diam bujang lawa besok harinya menjajaki tempat yang ditandai dengan lidi-lidi penyapu malam tadi.
“ Masya Allah,” ia terperangah karena terkejut melihat negeri yang indah yang ditandainya itu, ternyata limbahan. Air selokan pekarangan rumah dipenuhi darah seorang ibu baru melahirkan. Hidangan lezat cita rasanya, tak lai daripada tembuni bayi yang meninggal dunia pada saat dilahirkan.
“Iiiih…menjijikkan. Rupanya kedua istriku menjadi “nanggal” hantu orang beranak,” pikir Bujangh Lawa.
“Patut selama ini banyak orang beranak dan bayi-bayi yang dilahirkan meninggal dunia. Karena mereka kehabisan darah, dihisa “nanggal” kata Bujang Lawa dalam hatinya.
Konon tidak lama setelah kejadian itu, kedua istri Bujang Lawa pun meminta izin lagi. Mereka akan menjenguk orang beranak pula sebagaimana biasa, dan Bujang Lawa pura-pura mengizinkanya.Tetapi setelah hari malam, iapun naik ke atas loteng. Dipertukarkannya dua tubuh tidak berkepala itu. Istrinya yang tua berkulit putih kuning, diletakkan dekat bumbungan timur. Sementara tubuh istri muda yang hitam manis dialihkan kebumbungan sebelah barat.
Betapa setelah besok paginya, istri pertama yang putih kuning bertubuh hitam. Sebaliknya istri kedua Bujang Lawa yang hitam manis bertubuh putih kuning. Mereka bertukar tubuh karena tergesa-gesa menyarungnya, merebut waktu sebelum matahari terbit.
“Abang, tolonglah kami,” kedua istri Bujang Lawa itu meratap.
“Matilah kami, kalau tidak dikembalikan kewujud semula.” Pinta mereka mangiba-iba. Namun keadaannya sudah berubah. Mereka itupun terkulai lemah, sebab dengan kepala dan tubuh yang berlainan manusia sukar bernafas. Tercengap-cengap dalam keadaan nestafa.
“Abang,” bisik mereka pada akhir hayatnya.
“sebagai pembalas kasih saying abang, kami titipkan ilmu dukun beranak. Ilmu penangkal “nanggal” supaya ibu yang melahirkan dan bayinya selamat. Tidak dihisap darah dan dimakan tembuninya sehingga mereka meninggal dunia,” bisik mereka perlahan sekali, Cuma terdengar oleh Bujang Lawa sendiri.
Konon sejak itulah ada dukun beranak penjaga setiap bilik bersalin. Pada dindingnya diselipkan duri limau purut dan daun terap berpalang kapur sirih. Sedangkan dibawah bilik orang beranak dirumah panggung, diletakkan batu hitam berpalang kapur sirih juga. Persyaratan itu dipercayai masyarakat Bunguran atau Natuna besar, sebagai penangkal “Nanggal” yang menghalau hantu penghisap darah ibu sedang melahirkan, dan memakan tembuni bayi sehingga meninggal dunia pada saat dilahirkan.
sumber: Natuna Sastra (https://natunasastra.wordpress.com/2016/12/15/cerita-rakyat-dongeng-dua-hantu-nanggal/)
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang