|
|
|
|
Angklung, Kesenian Tradisional Penuh Nilai Kehidupan Tanggal 16 Aug 2018 oleh OSKM_16518342_ASIYA MUFIDA YUMNA. |
Angklung, Kesenian Tradisional yang Penuh Nilai Kehidupan Alat musik tradisional ini tidak dipukul ataupun dipetik, melainkan digetarkan agar mengeluarkan bunyi. Bernada ganda dan terbuat dari pipa-pipa bambu dalam berbagai ukuran, masyarakat lebih mengenalnya dengan nama "Angklung". Dalam Dictionary of the Sunda Language (1862), Jonathan Rigg memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai angklung. Ia menjelaskan bahwa angklung merupakan sebuah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi.
Catatan mengenai keberadaan angklung muncul pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16), dan hingga kini alat musik tersebut telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Sunda (Priangan). Berdasarkan catatan yang ada, angklung tercipta karena pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokok dan meyakini keberadaan Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan. Karenanya mereka kemudian membuat angklung sebagai bagian dari ritual penyembahan atau keagamaan, yang akan dimainkan untuk mengawali musim penanaman padi. Seiring berjalannya waktu angklung mengalami pergeseran fungsi menjadi alat musik dan bagian dari kebudayaan tradisional. Berdasarkan kisah yang beredar dalam masyarakat Sunda pada masa kebesaran Pajajaran (kerajaan di Pasundan) disamping sebagai alat musik upacara pertanian, angklung biasa digunakan sebagai alat musik angkatan bersenjata, seperti Marching Band. Ini membuat angklung dikenal pula sebagai musik militer, karena selain menggairahkan dan menggembirakan musiknya dipandang dapat menimbulkan semangat perjuangan dan mistik. Keyakinan akan pengaruh musik angklung pada emosi pendengar membuat pemerintah Hindia Belanda menerbitkan larangan terhadap permainan angklung pada pertengahan abad XIX, sebab mereka khawatir musik angklung akan memicu semangat juang rakyat Indonesia dan berujung pada pemberontakan. Ini menyebabkan derajat musik angklung turun dari alat musik militer dan alat musik upacara yang dianggap sakral menjadi alat musik yang biasa digunakan oleh pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan dari belas kasihan orang. Bahkan setelah larangan tersebut dicabut, angklung tidak lagi menarik bagi masyarakat selain sebagai alat musik dalam pertunjukan rakyat.
Popularitas musik angklung kembali terjaga berkat usaha Daeng Soetigna (1973), seorang Guru di Kuningan kelahiran Garut. Setelah berbagai eksperimen yang ia lakukan, Daeng sampai pada satu kesimpulan bahwa angklung dapat kembali popular bila disesuaikan dengan selera generasi muda, yaitu diubah tangga nadanya dari pentatonis menjadi diatonis. Alat musik angklung dalam nada diatoniskromatis, seperti tangga nada pada alat-alat musik barat, yang inilah yang kemudian membuat angklung mudah diterima oleh masyarakat global dan membuat mereka jatuh cinta pada karakter suara yang dihasilkannya. Bahkan sejak November 2010 Angklung telah terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO.
Seni angklung di Indonesia sendiri tidak hanya menarik bagi orang tua, namun menjadi seni yang cukup populer di kalangan remaja-dewasa. Aspek musikalitas dalam angklung membuat banyak orang jatuh cinta kepada alat musik tradisional ini. Salah satunya adalah Gilang Muhammah Iqbal (33 tahun), yang berasal dari Bandung. Gilang menuturkan bahwa dirinya telah berkecimpung dalam dunia kesenian selama 17 tahun, dan hingga saat ini ia masih terpikat pada keindahan musik angklung. "Karakter angklung sangat berbeda dengan alat musik lainnya. (Angklung) perlu penanganan khusus yang cenderung eksklusif dan ribet, namun saat dimainkan dengan baik, keajaibannya sungguh luar biasa menggetarkan hati." ujar Gilang. Menurut Gilang ada banyak hal yang bisa dipelajari dari kesenian angklung sebab angklung memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang filosofis dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai filosofis angklung terlihat dari bentuknya yang terdiri dari dua tabung, tabung besar (indung/ibu) dan tabung kecil (budak/anak), dimana coak/sayatan tabung indung selalu menghadap ke tabung budak dan coak tabung budak mengikuti arah coak tabung indung. Ini menunjukkan bahwa indung selalu dan terus menerus melihat, memerhatikan, dan pedulis terhadap budak-nya. Namun budak biasanya tidak peduli terhadap indung (re: orang tua), namun akan peduli terhadap anaknya sendiri kelak (angklung dengan 3 tabung, tabung ke-tiga yang paling kecil akan menghadap ke arah yang sama seperti tabung-tabung sebelumnya).
Selain itu musik angklung bukan lah seni yang dapat dimainkan seorang diri, terutama angklung pak daeng. Perlu banyak orang untuk menciptakan musik yang indah melalui alat musik angklung, dan dari sinilah kita dapat belajar mengenai kebersamaan, kekompakan, kerjasama, dan tenggang rasa. Sebab sedikit saja rasa egois dapat merusak keharmonisan nada yang tercipta. Hal ini pun diutarakan oleh Roswita Amelinda (31 tahun), CEO Founder Angklung Kita yang bergerak dalam bidang edukasi dan kolaborasi musik angklung. "Berbeda dengan alat musik lain yang dapat memainkan berbagai macam nada secara tunggal, Angklung unik karena satu buah alat hanya menghasilkan satu nada, membuat ia cenderung harus dimainkan secara berkelompok. Ini membuat angklung mengajarkan kita tentang keterampilan-keterampilan social seperti kerjasama, pengendalian diri, kepemimpinan, dan sebagainya." tutur Roswita. Selain digunakan untuk membawakan musik daerah-nasional, alat musik angklung dengan nada diatonis kromatis bisa digunakan untuk menampilkan musik modern. Ini membuat angklung menjadi alat musik tradisional pilihan untuk tampil di kancah internasional. Bahkan banyak sekolah di Eropa yang membuka kelas musik angklung bagi siswa-nya. Hal ini tentu sangat membanggakan bagi masyarakat Indonesia, angklung bukan hanya menjadi alat musik, melainkan juga identitas, pemersatu, harta, dan senjata semangat anak bangsa. (AMY)
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |