Ampaha adalah nama sebuah tempat di desa Mangaran, yang artinya aliran sebuah sungai air terjun karena hulunya terletak pada suatu tanah ketinggian aliran airnya deras sehingga jadilah air terjun yang sangat indah. Air terjun ini terjadi oleh suatu peristiwa alam pada zaman dahulu, dimana kepulauan Talaud tidak lepas dari gangguan bajak laut yang datang dari kepulauan Sulu Mindanow selatan yang dikenal ganas dan tidak berprikemanusiaan. Karena sudah bosan dengan perlakuan para bajak laut ini, leluhur Mangaran mencoba menghadapi para bajak laut ini dengan tidak memperhitungkan kalah atau menang. Setelah mereka mencoba melawan bajak laut ini ternyata senjata yang mereka gunakan berhasil menembus tubuh para bajak laut sehingga darahnya memancar dari tubuhnya dan akhirnya mati. Dengan kejadian ini maka tempat itu diberi nama Ampaha yang artinya, napam pahan nu rasya atau tempat memancarnya darah orang Balangingi.
Kisah ini berawal dari, kedatangan suku Balangingi di kepulauan Talaud dengan tujuan merampok dan membunuh. Orang Talaud pada waktu itu tidak ada yang berani melawan, karena suku Balangingi dikenal sakti dan tidak mempan senjata apa pun. Untuk menghindari satu-satunya cara hanya dengan lari dan mencari tempat persembunyian untuk menghindar dari malapetaka. Pada suatu hari tiba-tiba muncul sebuah perahu Balangingi di pelabuhan Mangaran, melihat itu masyarakat menjadi panik dan berlarian mencari tempat perlindungan. Balangingi mendarat dengan senjata di tangan menyelinap ke kampung mencari mangsa, akan tetapi kampung sudah kosong. Hati para pelaut ini pun semakin panas bagaikan harimau lapar mereka mencari mangsanya, namun tempat persembunyian penduduk belum juga ditemui. Setiap kali melihat ada Balangingi panduduk bersembunyi dan menyalamatkan diri di Watuhalawo.
Watuhalawo berarti batu besar yang berbentuk atap rumah dan dibawahnya terdapat bubusan atau terowongan yang didalamnya mengalir sungai Ampaha menembus tanah dan batu raksasa yang diatasnya membentang jalan setapak.
Mereka tidak pernah mengira, bahwa sudah sejak lama leluhurnya bernama Wawasyodia yang terkenal pemberani sudah menyusun rencana dan mengatur siasat untuk mengadu kekuatan dan kesaktian dengan Belangingi yang setiap kehadirannya mendatangkan kengerian seluruh warga Wawosyodia mengingatkan kepada beberapa orang temannya agar Bara’a selalu siap ditangan kanan Alungga di tangan kira. Tetapi apa bila mendengar komando serang lontarkan pertama adalah alait, setelah alait melayang menuju sasaran langsung diikuti dengan lompatan tepat ketubuh lawan tertancap atau tidak alait, langsung membabat dengan bara’a agar musuh tidak mempunyai kesempatan untuk meraih alait yang kesasar, lain pihak menggugupkan lawan agar lawan tidak diberi peluang mengambil panah membalas serangan, biarlah dengan kekuatan terakhir menghantam lawan agar dapat ditentukan menang atau kalah.
Suatu saat Belangingi mulai muncul satu persatu dengan gerakan yang mencemaskan Wawasyodia bersama anak buahnya, namun mereka diam menunggu komando pimpinannya untuk menyerang. Wawasyodia masih membisu membuat perhitungan sampai seluruh pasukan Belangingi sudah lewat agar mudah untuk mengepung. Tetapi setelah tiba pada terowongan watuhalawe kurang lebih tujuh meter ke muara watupuianna, tiba-tiba pimpinan Belangingi berhenti dan memikirkan kondisi tempat mereka berjalan sebab di kiri kanan sungai jurang yang dalam setinggi kurang lebih sepuluh meter dan dibawahnya terhampar batu sungai yang runcing. dengan kecewa mereka memaki-maki . Setelah mereka lewat pasukan Wawasyodia berteriak dengan komando kejam “Pamata e alaita” yang artinya lontarkan tombak. Serentak alait melayang mencari sasaran. Belangingi terkejut dan lari kalang kabut menyelamatkan diri, tetapi malang tiga orang pasukan Belangingi menjadi sasaran alait diantaranya hulubalang Maumbang sebagai pimpinan. Berbagai uasaha untuk mencabut alait dari tubuhnya tetapi sia-sia sebab alait adalah alat perang yang mempunyai sangga. Karena usahanya sia-sa maka ia berteriak memerintahkan anak buahnya untuk melarikan diri menuju perahu dan langsung pulang ke Mindanow. Sepanjang sejarah para bajak laut ini baru sekarang di Mangaran ada orang yang berani melawan Belangingi.
Keampuhan senjata Mangaran bila sudah tertancap di tubuh sulit untuk dicabut karena sangganya mengait daging dan kulit. Ketiga orang yang kena tancapan alait kemudian meninggal di Mangaran. Hanya disesalkan tulang-tulang Belangingi yang menjadi korban tidak diamankan oleh leluhur Mangaran sehingga mereka kehilangan bukti dari peristiwa itu. Hanya menjadi bukti adalah tambacca atau bambu runcing yang dipancangkan oleh Wawasyodia di atas watuhalawo dan tumbuh hingga sekarang, dan ada suatu keanehan setiap bertumbuh hanya sebatang dan sebesar tombak dan tidak pernah menjadi besar, bila sudah tua akan mati dan diganti lagi dengan tunas baru demikian seterusnya.
Cerita ini mengandung makna agar para generasi penerus meneladani jiwa kepahlawanan para leluhurnya dalam memberantas kejahatan.
sumber:
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.