Saat itu salah satu keponakanku sedang kupakaikan baju bodo’ (sebutan baju adat Sulawesi-Selatan) sembari menghiasi wajah rupawannya. Bagiku, untuk menghadapi seorang gadis jelita berumur 5 tahun butuh sedikit kesabaran karena prosesinya agak rumit. Biasanya anak seumuran ia kelakuannya sangat lincah, mulai dari cerewet, rewel dan tidak bisa diam. Belum lagi banyak item-item atau aksesoris sebagai pelengkap baju adat tersebut. Aku teringat pada seorang seniorku, ia mengatakan “Malebbi sekali kuliat pake baju bodo’ saat aku memposting kegiatan itu di salah satu akun sosial mediaku.
Banyak tahap-tahap yang harus dilakukan dalam tradisi mappaselleng seperti, si anak terlebih dahulu dibimbing untuk wudhu karena ia harus dalam keadaan bersih, kemudian dimasukkan ke dalam kamar tempatnya di katte’, di sana sudah ada sanro ana‘ sedang menuggunya beserta wadah yang ia siapkan yang telah di isi beras, gula merah, kelapa, satu tandan pisang, dan lilin, dalam bahasa bugis di sebut mappatudang werre’.Si gadis kecil itu akan melakukan tradisi “lae paselleng” (di Islamkan) orang bugis biasa menyebutnya “lae katte” atau khitanan untuk anak perempuan. Aku sempat bertanya kepada sanro ana’, tolak ukur apa yang digunakan sehingga si anak bisa di katte’? beliau menjawab “Yang penting pintarmi mengaji”.
Setelah itu sanro ana’ akan membacakan ayat-ayat al-qur’an dan kemudian membimbing si anak membaca dua kalimat syahadat sebanyak 3 kali, lalu memotong/menggoreskan sedikit pisau pada daging di daerah intimnya (seperti hanyalnya khitanan pada anak laki-laki) dan menyalakan lilin sambil menggenggamnya untuk di putar depan badan si anak sebanyak 3 kali, setelah itu si anak diarahakan meniup lilin tersebut. Terakhir prosesinya di tutup dengan salah seorang kerabat membopong si anak keliling rumah.
Karena tanggal mappaselleng yang diadakan itu bertepatan dengan kelahiran nabi Muhammad saw, maka keluarga Pak aji (sebutanku untuk bapak) merangkaikannya dengan acara maulid atau dalam bahasa bugis disebut Mammaulu’
Di pelosok Indonesia mungkin banyak yang melakukan tradisi ini dengan cara yang berbeda, namun ada juga beberapa orang yang tidak melakukannya. Di Indonesia sendiri proses khitanan pada perempuan masih kontroversi. Ada wacana yang mengatakan bahwa khitanan pada anak-anak laki-laki diwajibkan sedangkan khitanan pada anak-anak muslimah (perempuan) hanya sunnah bukan wajib. Serta bukan tanpa alasan sama sekali orang tua tidak mau melakukan khitanan untuk anak perempuannya, tentu ada tolak ukur sehingga beberapa orang tua yang tidak ingin melakukan seperti alasan medis.
Tapi bagiku, prosesi ini merupakan salah satu bentuk simbolis dalam mengislamkan si anak gadis karena dalam prosesinya ada ritual di mana si anak mengucapkan dua kalimat syahadat serta tradisi turun temurun yang mengandung unsur adat. Entah khitanan pada anak perempuan diperbolehkan atau tidak, itu semua kembali kepada diri kita masing-masing yang kita sandarkan pada Allah Swt. (wallahualam).
Sumber : http://sempugi.org/tradisi-meng-islam-kan-si-gadis-kecil-di-kabupaten-sidrap/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja