Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Sulawesi Tengah Sulawesi Tengah
5_Penyuling, Cerita Rakyat Sulawesi Tengah
- 21 Mei 2018
Penyuling, Cerita Rakyat Sulawesi Tengah ~ Ada seorang laki-laki bertempat tinggal di suatu kampung. Berseberangan dengan kampungnya, tinggal pula seorang anak perempuan. Kedua orang itu bertunangan. Laki-laki itu bernama Mpo Lalove. Ia selalu berkunjung ke kampung tunangannya.
 

Pada suatu hari Mpo Lalove mengajak tunangannya pergi berpesta. Ibu perempuan itu tinggal di rumah, menyapu di bawah kolong. Ketika keduanya pulang dari pesta, ibunya masih belum selesai menyapu.

"Ibu di mana?" tanya anak perempuan itu. "Aku di sini, dibawah kolong, sedang menyapi." jawab ibunya.

"Bu, naiklah kemari dahulu!" kata anaknya dari atas kolong.

"Nanti dulu aku sedang sibuk menyapu," jawab ibunya pula.

"Sebentar sajalah bu. Ada hal yang penting yang akan kutanyakan," kata anaknya lagi dari serambi rumahnya.

"Katakan sajalah. Ibu dengarkan dari sini," jawab ibunya.

"Apakah yang paling memalukan bagi seorang wanita, Bu?"

"Bagi seorang wanita yang paling memalukan ialah jika ia kentut, na vuu dan nompanggede. Itulah yang paling memalukan wanita di dunia ini. Mengapa hal itu kau tanyakan?"

"Ah, tidak apa-apa. Teruslah menyapu," kata anaknya. Dan ibunya pun melanjutkan pekerjaannya.

Anak perempuan itu lalu membentangkan kasur dikamarnya. Tiga lapis tebalnya, dan diatasnya dibentangkan pula sehelai tikar. Kemudian ia mengambil pisau dan dibawanya berbaring di atas kasur. Di situ ia menikam dirinya dengan pisau, dan darah mengalir jatuh ke kolong.

Maka ibunya berteriak. "Nak, rupanya tempat ludah terguling. Mengapa?" Tapi anaknya tidak menyahut, ia telah meninggal. Maka naiklah ibunya ke rumah dan terus masuk ke dalam kamar. didapatinya anaknya sudah terlentang berlumuran darah, jenasah tidak bernyawa lagi. Pisau telah menembus perutnya. Seketika itu "Bencana, bencana telah datang menimpa,

Kau telah meninggal Jirimai, menyesal sekali aku jirimai, memberiahkan kepadamu Jirimai, sangat menyesal aku, Jirimai, menyebutkan apa yang memalukan bagimu, bencana, O, bencana menimpamu, anakku, aku tak akan melihatmu lagi nanti, O, Jirimai, bawalah aku mati, nasibmu telah ditakdirkan Tuhan, dan aku akan merana."

Kemudian ia memanggil orang banyak; O, dimana orang-orang semua, datang datanglah kemari, datang dan tengoklah, anakku sudah mati.

Maka berdatanglah orang-orang ke rumahnya. Gendang kematian dibunyikan. Makin banyak orang yang datang. Mereka bertanya sebab kematian anak itu. Ibu si mati lalu menceritakan asal mulanya kepada yang hadir.

"Tidak anakku pergi berpesta. Setelah ia kembali lalu menanyakan kepadaku, tentang apa yang paling memalukan perempuan di dunia. Dan kujawab bahwa yang paling memalukan perempuan ialah jika ia no pudi, no vuu dan nomanggede. Itulah yang menjadikan perempuan merasa malu di dunia. Dan keteranganku itulah yang menyebabkan anakku  lalu bunuh diri.  Mungkin dalam pesta ia telah melakukan hal yang memalukan itu, sehingga disuruh turun meninggalkan pesta oleh Mpo Lalove, tunangannya.
 
 
Menurut adat jaman dahulu bila orang meninggal dalam keadaan luka harus dilumu. Upacara dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Kemudian kata si ibu kepada orang banyak, "Meskipun anakku meninggal dengan luka, janganlah anakku dilumu."

"Memang, tidak perlu dilumu. Hal itu terserah pada orang tuanya saja. Walaupun menurut adat dahulu ia harus dilumu." ujar salah seorang yang hadir.

"Saya harap jenasah anakku dapat dikebumikan hari ini juga." kata si ibu.

Maka segera dipersiapkan segala keperluan pekuburan. Papan, usungan serta penggalian kuburan. Mereka menebang pohon besar untuk membuat papan-papan. Mpo Lalove sibuk membuat suling. Cukup sulit pekerjaan itu dan memerlukan waktu lama. Pembuatan usungan sudah selesai, tapi Mpoi Lalove masih juga belum siap dengan sulingnya. Papan-papan telah siap semuanya. Lubang kubur sudah pula selesai digali.

Maka berkatalah Mpo Lalove, "Berhubung penggalian kuburan sudah selesai, aku akan pergi memeriksanya lebih dahulu." Mpo Lalove lalu pergi menuju ke kuburan. Ia turun ke dalam liang. Disitu ia menyadarkan diri pada dinding liang, duduk berjongkok sambil memegang sulingnya. Sesudah itu ia naik, keluar dari dalam liang, dan terus pulang. Sambil menunggu kedatangan orang banyak, luka perempuan itu ditutup dengan kapas yang mengandung perekat agar darahnya tidak keluar, perekat itu dibubuhkan pada luka sebelah menyebelah. Perekat tersebut dibuat dari pohon kayu supaya tidak basah kena darah pembungkus mayat. Sesudah habis semuanya kemudian dibungkuslah mayat itu. Lalu diturunkan ke tempat usungan. Sementara diturunkan dari usungan maka menyanyilah ibunya:

Terakhir aku melihat engkau Jirimai

Tinggal sendiri aku Jirimai, orang pun siap mengusungnya. Berkatalah orang banyak, "berhentilah menangis. Masuklah ke dalam usungan bersama mayat itu."

Kemudian ibu si mati ikut dipikul. Maka Mpo Lalove menjinjing sulingnya. Berkatalah Mpo Lalove bahwa sesungguhnya ia adalah isterinya, bukan hanya tunangannya. Katanya lagi, "Saya memintakan kepada hadirin sekalian bahwa saya akan memakan sirih dahulu diturunkan jenazah itu keliangnya," demikian kata Mpo Lalove. Maka jawab orang yang memikul,"Kalau demikian biarlah ditunggu sampai engkau selesai makan sirih. "Selesai sebentar kemudianlah Mpo Lalove makan sirih.

Dengan selesainya ia makan sirih, maka berjalanlah orang semua menuju pekuburan. Setelah tiba di kuburan orang pun turunlah ke bawah. Sesudah yang lainnya turun, maka berkatalah Mpo Lalove, saya akan dibagian kepalanya; yang berdiri dikepalanya naiklah. Saya yang menggantikan. Sengaja ia dikepalanya untuk menjemputnya di dalam kubur itu. Diletakkannya di pahanya mayat itu.  Orang yang lainnya sudah naik semua dari lubang kubur, tinggal Mpo Lalove sendiri. Ia tidak mau naik dari kubur itu.

Katanya kepada orang banyak, "Ini saat bagi terakhir kami berjumpa dengan semua yang hadir. Sayalah yang menjadi sebab sehingga ia meninggal. Saya penyebabnya. Sekarang tutuplah papan itu dan turunkanlah tanahnya. Walau bagaimanapun orang banyak memanggilnya, ia tetap bertahan di dalam kubur lagi ia bersama parangnya, orang semua takut. Maka ditutuplah kubur itu, kemudian mulailah ia meniup suling yang dibawanya keliang kubur itu.

Sudah tujuh malam lamanya ia dalam kubur, Mpo Lalove bersama perempuan yang membunuh diri itu. Sesudah tujuh malam lamanya bunyi suling itu pun agak lemah suaranya. Kesepuluh malamnya tinggal satu-satu kedengaran suaranya. Sesudah empat belas malam lamanya suaranya pun hilanglah. Maka berkatalah si ibu bahwa sudah cukup empat puluh empat malam diadakan upacara pembacaan doa, sehingga selesailah upacara kedukaan itu. Lalu berkatalah ibu perempuan itu kepada anak-anak di pesta, bagaimana asal mulanya sampai ada yang dikatakan memalukan perempuan. Hal ini sudah terbukti No pudi, na vuu atau nompanggede, itulah yang memalukan perempuan. Kalau tidak membawa korban mati, ia akan terus mengganggu perasaan. Laki-laki pun tidak menyukainya. Itulah asal mula hal yang memalukan perempuan.   

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tengah
http://alkisahrakyat.blogspot.co.id/2016/03/penyuling-cerita-rakyat-sulawesi-tengah.html

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Vila Van Resink
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Gereja Kristen Jawa Pakem Kertodadi
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Cepet Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Potro
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Sambal Matah
Makanan Minuman Makanan Minuman
Bali

Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati

avatar
Reog Dev