Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Sulawesi Tengah Sulawesi Tengah
5_Orang Miskin dan Ketang
- 21 Mei 2018
Orang Miskin dan Ketang ~ Ada seorang yang sangat miskin, ia diasingkan pada suatu tempat yang terpencil. Kemudian disana dibuatkan pondok dengan tujuh lantai. Pekerjaan sehari-hari orang miskin ini hanya menumbukkan padi untuk raja. Sebagai upahnya ia diberi butir-butir beras kecil (sisanya) oleh raja. Suatu ketika sesudah kembali dari rumah raja, ia pun pergi mengambil sayur kangkung. 
 
 
Sementara ia memetik kangkung, ia menemukan seekor ketang (kepiting). Maka dibawanyalah ke rumah dan diletakkannya ketang tersebut ditempat yang berisi air. Setiap hari dipeliharanya dengan baik. Dan tiap hari pula ia pergi menumbuk padi di rumah raja. Begitulah seterusnya, hingga ketang tersebut menjadi besar seperti keranjang ukuran dua ratus tongkol. Suatu ketika lalu ketang tersebut menyuruh kepada orang itu agar meminang seorang dari anak raja untuknya.

"Maukah engkau pergi meminang?"

Jawabnya. "Apakah hal ini tidak memalukan?" Itu bukan urusanmu. Kalau disuruh, pergilah, engkau jangan hanya pergi menumbuk padi, itu hanya melelahkan tubuhmu. Kita biar tidak makan, tetap akan merasa kenyang. Kita harus menyerahkan diri kepada Tuhan, karena semua Tuhan yang mengaturnya. Kalau kita takabur, Tuhan akan marah. Kalau kita kikir Tuhan akan membatasi pemberiannya."

Lalu pergilah ia ke rumah raja. "Apakah maksudmu datang ke mari ini?", tanya anak raja.

Saya datang membawakan amanat dari seekor ketang. "Saya tidak mau menerima bawaan dari ketang itu. Bawalah kembali kepada ketang itu."

Maka pulanglah orang miskin tersebut. Setelah kembali ditanyakanlah orang miskin itu oleh ketang, "Bagaimana permintaan kita? Diterima atau tidak?" "Belum", jawabnya. 

"Engkau pergi kembali besok." Maka pergilah orang miskin tersebut esok harinya untuk meminang. Setibanya di tempat yang dituju, maka raja menanyakan maksud dan tujuan. Orang miskin tadi menjawab bahwa ia membawa amanat dari ketang.

"Inilah bentuk amanatnya," katanya. Tetapi pinangan orang miskin itu tidak diterima bahkan ia diperintahkan untuk segera kembali.

Akhirnya sampailah pada anak yang terakhir, yang dipinang ialah anaknya yang ketujuh. Ketika sampai di rumah raja ia ditanya. "Barangkali ada perlu orang miskin?"

"Membawa amanat dari ketang."

"Dimanakah engkau putri yang ketujuh? Keluarlah kemari. Ini ada amanat dari ketang." Berkatlah anak raja yang ketujuh itu. "Orang miskin ini sudah lelah kesana-kemari. Bagaimana pendapat ibu dan ayah, lebih baik terima saja amanat yang dibawa orang itu. Barangkali memang itulah penentuan dan jodoh saya." Diterimalah pinangan itu. Maka berkatalah orang miskin tersebut. "Karena sudah diterima pinangan tersebut, saya akan pulang segera." Raja saat itu memakai mahkota dan orang miskin itu pun menangislah sambil berjalan menunju rumahnya. Ketika sampai dirumah, maka berkatalah ketang. "Mengapa engkau menangis orang miskin?" "Bahwa pinangan kita sudah diterima." jawab si miskin.

"Sesungguhnya engkaulah pembawa rezeki, maka tunggulah rezeki pemberian Tuhan yang menjelma tidak langsung. Sabarlah menunggu. Buatlah rencana. Pergilah sekali lagi kesana untuk menanyakan berapa seharusnya beban yang harus kita pikul dalam pelaksanaan pesta perkawinan nanti." Maka pergilah orang miskin tersebut. Ditanyakan berapa seharusnya beban yang harus diberikan sebagai biaya dalam pelaksanaan pesta tersebut. Dijawab oleh raja. "Kalau hanya itu maksud kedatanganmu, orang miskin, dua belas kereta yang akan memuat beras, sapi tiga ratus ekor, kambing tiga ratus ekor, kerbau tiga ratus ekor juga. Intan yang dipergunakan sebagai hiasan tak terhitung banyaknya." Maka pulanglah orang miskin tersebut ke rumahnya dan memberitahukan ketang berapa yang harus diusahakan dalam pesta perkawinan tersebut.

Setelah mendengar keputusan dari pihak perempuan itu, bermohonlah ketang ini kepada yang Maha Kuasa. "Kalau betul-betul saya ini orang sakti, akan datang dengan sendirinya rumah lengkap, lengkap dengan perlengkapannya bersama gudang-gudang, kandang sapi. Semuanya jatuh dari langit." "Permohonan diterima dan semua perlengkapan itu dibawa ke rumah perempuan. Ketang ini juga dibawa bersama keranjang. Dalam upacara kolontigi lalu diulurkannya tangan penjepitnya untuk memberikan tanda.
 
 
Setelah perkawinan mereka sudah berlalu, tempat ketang selalu dalam keranjang. Lalu digantung berdekatan dengan tempat tidur isterinya. Air sebanyak tujuh tempayan bahkan delapan tempayan semuanya habis untuk mandi si ketang.

Maka berangkatlah  kakaknya yang enam oang itu kepada adiknya. Kau apakan air, semuanya habis. Kau apakan air sebanyak itu? Untuk membersihkan kotoranmu." Maka setelah tujuh malam, isterinya berhati-hati mengintip. Ketika ketang akan mandi. Dirabanya keranjang yang digantung itu. Tidak  ada lagi ketang di dalam keranjang itu hanya benda menyerupai ketang. Benda itu dilemparkannya ke tanah. Ketika hari hampir siang dengan cepat-cepat isterinya menuju  tempat tidurnya. Dilihatnya seorang laki-laki gagah, sedang tidur disana.

Rupanya ia adalah jelmaan ketang yang kulitnya telah dibuang ke tanah oleh isterinya. Mereka pun tidur bersama. Sudah tengah hari mereka belum lagi bangun. Lalu kakaknya yang sulung  masuk ke kamar adiknya. Ketika dilihatnya seseorang yang sedang tidur bersama adiknya, diperiksanya keranjang yang digantung itu tidak ada lagi ketang disana.

Akhirnya bangunlah isterinya. Kemudian ia minum kopi. Sementara ia minum kopi, berkatalah Lagaligo begitu nama suaminya. "Besok saya akan pergi ke penyabungan ayam." Maka pergilah ia ketempat penyabungan ayam tersebut. Setelah suaminya pergi keenam kakaknya memberi petunjuk kepada adiknya. Kalau ingin rumah tanggamu berkelanjutan, bila ia sudah datang kerumah, gorenglah jagung dan hamburkanlah jagung goreng yang masih panas itu di tepat tidurnya, di atas  kasur. Adiknya pun melakukan petunjuk itu ketika suaminya datang. Maka berkatalah Lagaligo itu. "Engkau tidak bersihkan tempat tidur ini. Hanya dijadikannya tempat kotoran saja dengan jagung yang panas." Keesokan harinya pergi lagi ia kepenyabungan ayam itu. Maka berkata pula saudaranya itu. "Kalau kau ingin rumah tanggamu berkelanjutan, janganlah diatur kasur tempat tidurnya itu. Kalau sudah dilihat ia datang, pasanglah jarum mesin itu dikasur. Apalagi Lagaligo itu parasnya sangat gagah. Ketika Lagaligo datang berkatalah ia kepada isterinya. "Engkau tidak bersihkan kotoran yang ada di tempat tidur itu seperti rumput yang melekat di kasur itu." Keesokan harinya pergi lagi Lagaligo ketempat penyabungan ayam. Maka berkata lagi saudaranya. "Kalau engkau ingin berkelanjutan berumah tanggamu. kalau engkau sudah lihat datang suamimu bakarlah kapak itu sampai merah, lalu gantung di tengah pintu masuk kamar." Ketika suaminya datang dan kapak yang digantung itu menyentuh keningnya namun tidak berbekas sedikitpun jua. Maka berkatalah ia, "Mengapa engkau tidak keluarkan sarang laba-laba yang ada di pintu itu. Besok saya tidak lagi pergi ke tempat penyabungan ayam. Saya akan pergi berdagang."

Karena rencananya untuk pergi berdagang itu, maka bertanyalah isterinya, "kira-kira berapa lama pergi berdagang itu."

"Diperkirakan tujuh bulan lamanya." jawabnya. Maka disuruh buatlah perahu sebesar tiga ton muatannya. "Kapan waktu keberangkatannya?" Kalau hari ini seleai pembuatan perahunya, besok saya akan berangkat." Orang yang membuatnya begitu banyak. Tidak diketahui, orang dari mana semua yang datang. Karena orang itu sakti, maka tibalah waktunya ia kan berangkat. Setelah sekian lama dalam perjalanan, tiba pula waktunya akan kembali ke rumahnya dengan membawa seekor ayam jantan yang bernama Yapute. Maka menyanyilah ayam yang dibawanya dengan lagunya:
O Lagaligo, O Lagaligo
Jambe Yapitu tidak ada lagi.
Tidak ada lagi sudah jatuh.
Ada rambut tujuh helai untuk gantuangan ayunan anak, putus sehelai.
O Lagaligo, O Lagaligo
Jambe Yapitu matilah sudah..
Kuk, kuru uwa, kokok ayam itu. Yapitu sudah tidak ada lagi. Lalu disuruhlah orang yang bernama Copulu untuk menangkap ayam tersebut. Diusahakannya menangkap ayam itu, tetapi tidak tertangkap. Kata Lagaligo, "Biarkanlah, tidak usah ditangkap. Biarkan saja bertengger di tiang layar itu." Maka ayam itu tidak ditangkap lagi, lalu turunlah ayam itu dan hinggaplah di pahanya. Maka berkatalah ayam tersebut kepada Lagaligo. "Saya ini hanya dipanggil oleh kakak saya mengayun. Ayunan rusak, sehingga saya terlempar di laut ini. Ayam itu kemudian dimasukkan ke dalam peti lalu dikuncinya dibawa serta. Pada bahagian luar peti itu dipasang pisau.

Maka datang semua mereka untuk menjemputnya di tepi pantai. Semua orang ingin memikul peti yang dipasang pisau itu sehingga terjadi rampas-merampas. Kakak yang sulung sudah luka. Luka karena tusukan pisau di peti itu. Begitulah peti itu dalam keadaaan tertutup dan di kunci.

Ketika sampai, kata Lagaligo, "Inilah kuncinya. Bukalah, barangkali apa gerangan isinya di di dalam. Kalau dapat keluarkan semua isinya. Baru saja dibuka, tangan mereka terputus. Maka kata Lagaligo, "Marilah saya yang membukanya, kamu semua ini sama sekali tidak mengetahui caranya. Begitu dibuka maka keluarlah Yando (seorang anak laki-laki). Demikianlah kesudahannya karena mereka sudah sampai di rumah.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tengah
http://alkisahrakyat.blogspot.co.id/2016/03/orang-miskin-dan-ketang.html

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline