Musang dan Ayam
(Cerita Rakyat Banjar)
Di siang hari yang terik, seekor musang dengan langkah lesu menyusuri jalan-jalan setapak di tengah rimba. Matanya yang tajam terlempar ke sana-sini. Telinganya dipasang lebar-lebar. Musang itu mencari-cari binatang yang bisa dimangsa untuk makan siang. Perutnya melilit-lilit karena sangat laparnya.
Tiba-tiba dari balik semak-semak musang mendengar suara anak-anak ayam yang mengeriyap-ngeriyap. Suaranya ramai dan gaduh. Musang memasang telinganya, meyakinkan bahwa yang didengar adalah suara anak-anak ayam.
“Kedengarannya benar! Pasti anak ayam!” gumamnya.
Musang tergerak untuk melihatnya. Musang berjalan mengendap-endap lalu menyibak semak-semak di hadapannya. Musang mengintai. Betapa girang hatinya ketika yang dilihatnya sekawanan anak ayam yang sedang lahap menyantap rayap-rayap kayu.
“Hei, benar. Anak-anak ayam! Usai sudah penderitaanku!” Gumam musang sambil menepuk perutnya yang kosong.
Ketika musang bersiap-siap akan menerkam, tiba-tiba datang seekor induk ayam yang besar dan berwajah galak mendekati anak-anaknya.
“Jika aku nekad menerkam tentu akan dilawannya, lebih baik bersabar dulu!” kata musang dalam hati.
Dengan pelan-pelan musang mendekati ayam-ayam itu. Melihat kedatangan musang, anak-anak ayam buru-buru mendekati induknya lalu bersembunyi di balik sayap induknya.
Induk ayam dengan sigap merentangkan sayapnya kemudian memeluk anak-anaknya dalam dekapan. Induk ayam memandang si musang dengan tatapan curiga, sambil bersiap siaga.
Musang dengan tenang mendekati induk ayam,“Tenang! Aku tak akan memakam kalian! Perutku sudah kenyang!” Kata musang berbohong sambil menepuk perutnya yang sebenarnya kosong.
“Lalu, apa maumu?” Tanya induk ayam galak. Dalam hatinya, jika seekor musang bertemu anak-anak ayam pasti akan dilahapnya.
“Aku ingin bersahabat denganmu!” Kata musang kemudian, “Bolehkah?” Tanyanya merajuk.
“Boleh…boleh…!” jawab induk ayam dengan ramah. Induk ayam mengetahui bahwa kedatangan musang membawa pertanda yang tidak baik. Sambil menerima persahabatan itu induk ayam bersiap siaga jika suatu saat musang melancarkan serangannya.
* * *
Suatu hari musang berjalan-jalan, lalu mampir ke rumah ayam. Mereka bercakap-cakap di dalam rumah ayam. Beberapa anak ayam berlari-lari melihat kedatangan musang itu. Buru-buru mereka memanggil induk ayam.
“Cepat Bu keluar, ada hantu datang…ada hantu…!” kata anak-anak ayam bercericit.
Induk ayam segera menerima kedatangan tamunya, “Maaf, anakku memang tidak sopan.” Kata induk ayam kepada musang.
“Ini bukan hantu, anak-anak. Sahabat ibu. Ibu musang! Kalian harus ramah kepadanya!” Kata Induk ayam kepada anak-anaknya.
“Hiii….!” Jawab anak-anak ayam serempak.
Sejak kecil mereka diajarkan bagaimana menyebut binatang musang, yaitu hantu. Sebab musang-musang itu musuh anak-anak ayam. Sering diucapkan untuk menakut-nakuti anak-anak ayam yang bandel.
Induk ayam menuntun musang, mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Mereka pun ngobrol. Induk ayam merasa bosan menunggui tamunya. Setelah berbincang sekian lama musang pun menyampaikan maksudnya.
“Sebenarnya aku ingin bermalam di rumahmu ini, Ayam!” kata musang dengan lembut, “kalau engkau mengizinkan!”
Induk ayam terkejut, menatap muka musang. Musang tersenyum ramah.
“Bukankah ini belum petang benar! Masih cukup terang. Tidak berbahaya jika kau berjalan pulang!” kata induk ayam.
“Kalau kau mengizinkan! Untuk mempererat persahabatan kita!” kata musang merajuk.
“Bagaimana dengan anak-anakmu? Siapa yang menjaga mereka?” Tanya induk ayam curiga.
“Ah, tidak masalah dengan anak-anakku! Ayahnya menjaga mereka!” jawab musang berbohong. Anak-anak musang tinggal di dalam rumah, menunggu musang membawa anak-anak ayam seperti yang telah dijanjikannya.
“Bagaimana, bisakah aku bermalam di sini?” Tanya musang lagi.
“Baiklah, aku tidak keberatan,” jawab Induk ayam, “Tapi kamu harus maklum anakku banyak sekali. Semuanya rewel-rewel dan nakal-nakal. Rumah ini tak pernah tenang, meskipun malam hari, ada yang mau kencing, buang air besar, minta makan, minta minum, menangis, bermain-main! Seperti itu setiap harinya. Dan tambah lagi anak-anakku tak tahu malu. Meski ada tamu menginap mereka kadang acuh tak acuh dan tidak sopan!” Kata Induk ayam kepada musang.
“Oh…tidak apa-apa, namanya juga anak-anak. Anak-anakku juga seperti itu!”
Musang dan ayam terus bercakap-cakap hingga larut malam. Sementara itu, anak-anak ayam tidak henti-hentinya mengganggu pembicaraan mereka. Ada yang berlari-lari di depan mereka. Ada yang minta gendong. Ada yang berkejar-kejaran. Ada yang bernyanyi-nyanyi. Keadaan itu membuat pembicaraan mereka terputus. Induk ayam harus mengatur anak-anaknya. Akhirnya musang merasa letih dan ingin beristirahat.
“Aku sudah letih! Aku mau tidur!”
“Ya, silakan!” Suruh induk ayam.
Musang berbaring di tempat yang telah disiapkan induk ayam. Induk ayam pura-pura mengatur petiduran anaknya.
Dengan berbisik induk ayam menyuruh anak-anaknya yang sudah besar.
“Carilah batu-batu. Bawa kemari! Jangan sampai musang itu melihat!”
Anak-anaknya yang masih kecil dibawanya ke peraduan. Anak-anak ayam dengan cepat membawa batu-batu itu ke dalam rumahnya. Induk ayam menaruhnya di bawah jerami dan rerumputan tempat mereka tidur.
Setelah mengumpulkan batu-batu, anak-anak ayam itu tak melanjutkan permainan yang tertunda. Ada yang bermain lempar-lemparan, ada yang bernyanyi-nyanyi di sudut rumah, ada yang berjalan-jalan mengintip musang yang sedang tidur melingkar.
Musang berbaring lesu sambil berpikir bagaimana cara agar anak-anak ayam itu tidak ribut lagi, maka dengan mudah akan disergapnya. Sementara anak-anak ayam itu seakan tak ada letihnya, tetap bermain-main mengganggu ketenangan tidur si musang. Akhirnya sampai larut malam musang tak tahan lagi mendengar suara berisik itu.
“Aku tak bisa tidur!” Katanya dengan sedikit keras. Perutnya keroncongan karena sejak pagi belum diisi makanan. Harapannya hanya satu: menyantap anak-anak ayam yang gemuk-gemuk itu.
Sejenak kemudian induk ayam menyuruh anak-anaknya supaya diam. Suara ceriyap ayam tak terdengar lagi. Baru saja musang merasakan lega tiba-tiba terdengar seekor anak ayam menangis karena melihat induknya mengepakkan sayap, disangkanya akan terbang.
“Wah baru saja diam sekarang ribut lagi! Ada apa sih?” tanya musang agak marah.
“Bukankah sudah aku katakan? Macam-macam di sini! Maklumlah anakku banyak. Kelakuannya macam-macam.” Jawab induk ayam sambil melirik musang yang tidur melingkar,” Tadi siang sudah aku katakan kau tak akan betah tinggal di dalam rumahku. Rumahku tak pernah sunyi. Tidak siang…tidak malam…sama saja!”
Mendengar jawaban induk ayam, musang pun terdiam. Suasana menjadi sunyi, musang menarik nafas lega, ada harapan sebentar lagi anak-anak ayam itu bakal dimangsanya. Tak lama kemudian terdengar suara induk ayam mengepakkan sayapnya.
Musang tak berani bersuara. Takut diusir induk ayam. Musang berusaha menyabarkan hatinya.
“Nah, anak-anakku akan kencing!” Kata induk ayam lalu mengepak-ngepakkan sayapnya disusul suara ceriyap anak ayam.
“Keterlaluan! Jika tahu begini aku tak akan bermalam di sini!” Kata musang dalam hati.
Sebentar kemudian terdengar lagi suara induk ayam mengepak-ngepakkan sayapnya, “Nah anak-anakku memang tak tahu malu semua! Sekarang yang ini mau buang air!” kata induk ayam, lalu dengan cepat mengepakkan sayapnya. Kejadian itu berulang-ulang. Musang semakin merasa sebal.
Musang merasa tenang setelah beberapa saat suara ribut-ribut anak ayam tak terdengar lagi. Semua anak ayam telah diungsikan oleh induk ayam. Sebab induk ayam telah menduga muslihat yang tersimpan di benak musang.
“Sekarang musang masih bisa bertahan. Lama-lama perutnya tak akan tahan lapar! Pasti anak-anakku akan disantapnya!” kata induk ayam dalam hati.
Keadaan rumah ayam benar-benar sunyi senyap. Suara ribut anak ayam tak terdengar lagi.
“Pasti anak-anak ayam itu telah letih dan tidur nyenyak! Tiba saatnya menyergap!” Musang tertawa dalam hati.
Perlahan-lahan musang bangun, menjejakkan kakinya di lantai. Dengan pelan-pelan mengendap-endap mendekati tempat tidur anak-anak ayam. Musang mengintai lalu dengan gerakan cepat menerkam tempat tidur ayam. Disangkanya anak-anak ayam itu tidur pulas di balik jerami-jerami yang telah diatur rapi.
Tanpa diduga yang terkena terkamannya adalah batu-batu yang telah disusun induk ayam. Musang kesakitan. Gigi tengahnya pun patah.
“Aduh, kurang ajar! Induk ayam itu telah menipuku!” Gumamnya.
Akhirnya dengan menahan kesakitan musang berjalan ke rumahnya.
Ketika pagi tiba musang sudah berada di depan rumahnya. Melihat induknya pulang, anak-anak musang bersorak-sorak riang. Mereka berteriak-teriak menyambutnya.
“Ibu pulang…ibu pulang!” teriak mereka serempak.
“Aku minta kepalanya!” Seru seekor anak musang.
“Aku mau hatinya!” seru anak yang lain.
“Aku mau tulang-tulangnya!”
Mereka menyangka ibunya pulang membawa anak-anak ayam yang telah dijanjikan.
“Minta kepala!” Jawab musang dengan marah-marah. Anaknya diam ketakutan.
“Jadi ibu tidak membawa anak-anak ayam itu?” Tanya anak musang yang paling besar.
“Tidak!” Jawab musang cetus, “Kalian tidak melihat orang tua kesakitan! Lihat ini, gigiku patah!” sambung musang terengah-engah.
Mulai hari itu musang tak pernah menjejakkan kakinya ke rumah ayam, bahkan selalu menghindar jika mendengar suara ceriyap anak-anak ayam.
Sumber: https://aning99.wordpress.com/