|
|
|
|
5_Kisah Putri Dewa Gunung Lumut Tanggal 20 May 2018 oleh Sobat Budaya. |
ALKISAH, di hulu sungai Sikurkuren di kawasan Parmonangan ada sebuah air terjun yang cukup tinggi dan seram karena berada di tengah hutan belantara yang sunyi sepi.
Suatu ketika sampailah seorang pemburu yang sehari-harian mencari binatang buruan tidak bersua barang seekor juga pun. Tiba-tiba terdengarlah suatu yang bertalu-talu, yang makin lama makin mengasyikkan dan mengesankan.
“Eh, suara apakah ini gerangan?” demikian pemburu bicara kepada dirinya. Teringatlah dia akan petuah orang-orang tua, bahwa di tengah hutan yang sunyi sepi tidak jarang orang bersua dengan kumpulan atau perkampungan jin. Tetapi orang-orang halus itu sangat takut akan anjing. Menurut yang empunya cerita wajah jin tersebut mirip dengan wajah manusia tetapi kakinya kecil-kecil dan betisnya menghadapa ke muka, sehingga jejak kakinya berlawanan dengan jejak kaki manusia.
Dengan hati-hati pemburu pun mengamankan anjingnya seraya diikat dengan rotan dan diisyaratkan kepada anjingnya agar jangan melolong. Dan terdengarlah suara gendang itu semakin jelas, meriah dan bertalu-talu. Segera diintipnya dari balik sebuah belukar yang agak rimbun. Terlihatlah olehnya para jin itu sedang menari dengan sangat meriah dan berpakaian lengkap seperti manusia layaknya.
Pada waktu puncak keramaian itu berlangsung, pemburu pun segera melepaskan anjingnya. Sekejap itu juga suara gendang pun senyap dan para jin itu lari pontang-panting bercerai-cerai tak tahu rimbanya meninggalkan semua alat. Setelah sang pemburu mendekat, alat-alat itu telah berobah menjadi batu biasa. Dicobanya memukul batu batu itu, tetapi alangkah herannya, suara batu itu lebih nyaring dan lebih merdu dari suara gendang biasa. Diambilnya sebuah dari yang terbaik suaranya karena tak mungkin dibawanya semua karena cukup berat.
Keesokan harinya pemburu bersama temannya pergi ke sana guna mengambil perkakas tersebut. Setelah dipukul ternyata tak ada lagi yang menyerupai suara gendang dan sudah berobah seperti suara batu biasa.
Demikianlah dalam waktu yang cukup lama batu yang satu itu tetap berbunyi sebagai gendang dan sering dipinjam orang waktu mau berpesta. Siapa saja yang meminjamnya selalu beroleh sukses dan rezeki yang besar.
Pada suatu waktu, pernah sekali Raja Singamangaraja datang ke desa tersebut ingin menyaksikan langsung bagaimana bunyi dan rupa gendang ajaib itu, karena sudah tersiar bahwa keanehannya sampai ke negeri Barus dan ke negeri Toba. Tetapi sayang, pemiliknya tidak mengakui.
“Tolonglah tuan, periksalah rumah ini tak ada apa-apa,” sahutnya kepada raja.
Sekembalinya Singamangaraja, desa itu pun terbakar habis Entah pun karena dusta sang pemburu tersebut yang mengakibatkan kebaran itu, tak seorang pun yang tahu. Hanya Tuhanlah yang pasti tahu keadaan itu. Sampai sekarang desa itu bernama “Lebuh Messeng” karena desa itu tetap kosong sampai sekarang ini . Dari sejak itu pulalah gendang itu tidak berbunyi lagi dan kembali seperti batu biasa. Dari desa inilah dulunya penduduk Parmonangan sekarang ini berasal . Sebelum agama monotheisme masuk ke Parmonangan, di tempat iini dulunya, penduduk menganut kepercayaan Sipelle Begu (menyembah dewa-dewa) yang bertempat tinggal di gunung-gunung dan di sungai.
Tersebutlah, dewa gunung Lumut, gunung Pagaraji dan gunung Tambunen. Sekitar gunung yang tiga inilah menurut anggapan mereka yang paling berkuasa dan sakti. Dewa sungai yang terkenal berada di sungai Persukaten dan sungai Garap.
Dahulu di Persukaten orang tak berani memakai baju merah karena takut disergap oleh dewa. Dan di Garap ada satu pohon pule besar yang pada cabangnya terdapat berpuluh-puluh sarang lebah yang warna-warni, merah dan hitam. Tentang ketiga gunung tadi, sering orang yang pergi ke sana menjadi kesasar dan tidak tahu jalan kembali. Dan orang itu merasa seperti berada pada sebuah negeri yang besar dan ramai adanya. Tetapi jika orang yang tersesat itu memohon pulang ke negerinya, cukup dengan memicingkan mata dan berpusing tujuh kali, dan alangkah ajaibnya… mereka telah sampai di halaman rumahnya sendiri.
Gunung Lumut dinamai demikian karena di sana ada di jumpai seekor kuda yang berbulu lumut, yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang seat di sekitar kawasan itu.
Gunung yang tiga tadi menurut orang btua-tua, penghuninya selalu kompak dan seia sekata. Ketiga-tiganya mempunyai adat dan lembagayang sama adanya. Dan ada lagi dua kawannya, yaitu; Sibahengku dan Sikurkuren. Jadi pada jaman dulu, jika orang Parmonangan berpesta memukul gendang maka dewa dari gunung yang lima inilah yang hinggap kepada dukunnya. Dan jika dewa yang lima itu telah hinggap kepada yang kesurupan itu, mereka akan merasa puas. Mereka percaya bahwa kesehatan dan kesejahteraan akan dapat mereka nikmati.
Ada satu adat lembaga bagi dewa-dewa dari kelima tempat ini. Mereka tidak dapat menerima persembahan yang haram-haram seperti daging babi dan anjing. Jadi menurut orang tua-tua, digunung Lumut, Pagaraji dan Tambunen, babi hutan pun tak berani mendekat karena diusir oleh dewa penghuni gunung-gunung itu.
Arkian pada suatu hari, dari negeri dewa yang lain muncullah seorang pemuda yang tampan dan gagah berkunjung ke negeri dewa, gunung Limut, lengkap dengan pakaian serba indah berkilawan. Dia memakai sebuah pedang emas yang cantik. Dan sang pemuda ini sangat pandai menyesuaikan dirinya dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat dewa gunung Lumut. Karena ketampanannya itu, maka tidak heranlah jika banyak diantara puteri dewa yang jatuh cinta padanya. Namun demikian puteri Lumut tidak mau bertindak lain kecuali dengan ijin raja dewa dan pengetua-pengetua dewa negerinya.
Suatu hari pemuda tersebut memberanikan diri menyampaikan hasratnya kepada raja dan pengetua gunung Lumut, bahwa dirinya ingin menjadi menantu raja gunung Lumut tersebut. Karena lamaran itu para dewa pun musayawarahlah. Putus kata, mereka menerima pinangan sang pemuda tampan itu tetapi dengan syarat bahwa sianak (puteri) dan menantu harus tinggal menetap di kawsan gunung Lumut sebab dikhawatirkan nanti akan memakan-makanan yang pantang bagi mereka. Dan jika berpesta, pestanya itu tidak akan memuaskan kalau tidak ada sajian daging babi.
Karena cinta yang telah mendalam terhadap puteri raja gunung Lumut, maka persyaratan menjadi penduduk negeri gunung Lumut diterimanya sehingga perkawinan pun berlangsunglah antara pemuda pendatang dengan puteri dewa gunung Lumut.
Suatu pagi, dengan rasa rendah hati, datanglah sang menantu kepada mertuanya untuk minta diri membawa isterinya ke tempat orang tuanya dengan maksud memperkenalkan isterinya itu. Lagi pula dirinya sudah begitu lama belum pulang-pulang sehingga orang tuanya itu selalu mencari- cari akan dirinya, apakah masih hidup atau sudah mati. Karena pandainya menyampaikan alasan disamping tutur bahasanya yang penuh sopan santun aka mertuanya pun menijinkan. Diberangkatkanlah anak dan menantunya itu dengan baik sebagaimana mestinya menurut adat dan lembaga yang telah menjadi kebiasaan bagi negrinya terhadap sanak famili. Pendek cerita, kedua pengantin itu pun sampailah ke negeri Dewa Rambe yang bernama gunung Samparungan (sebuah gunung yang tinggi menjulang ke langit). Dan ada pula sahabatnya yang bernama gunung Pinapan. Demikian baiknya mereka ini menerima kedatangan anak dan menantunya puteri gunung Lumut.
Tersebutlah kecantikan puteri dewa gunung Lumut yang sungguh jelita yang jarang dapat diimbangi oleh puteri gunung Samparun gan sendiri. Apa lagi kecantikan itu ditambah pula dengan tutur bahasa yang lemah lembut. Maka diumumkanlah akan segera memajang pesta selama tujuh hari tujuh malam untuk menyambut kedatangan si anak hilang yang telah bulang bersama menantu jelita yang berbudi luhur itu. Sebelum pesta dimulai, berbicaralah puteri gunung Samparungan.
“Wahai semua sanak keluargaku, semua famili yang jauh dan dekat! Kami akan segera kembali ke negeri mertuaku, negeri gunung Lumut, karena waktu kami berkunjung ke mari hanyalah seminggu saja. Akan hal mertuaku adalah penganut Parmalim, dan saya pun telah memasukinya. Karena itu kami tak boleh memakan makanan yang haram, yakni daging babi dan daging anjing. Sungguh suatu yang pantang benar bagi kami, jangankan memakannya menyentuh saja pun tak boleh,” katanya.
“Jika demikian adat dan lembaga negeri kalian, silakan, kami tidak akan melarangnya. Tetapi ini, di negeri kami, bukan demikian adat dan lembaganya. Kami yang punya anak dan kami yang punya menantu serta kami pula yang berpesta. Jika namanya pesta , semestinyalah harus dihidangkan daging babi. Jika tidak demikian, bukan pesta lagi namanya,” jadi tak ada lagi cara yang diketahui oleh menantu gunung Lumut untuk mengelakkan keadaan tersebut.
Dalam pesta itu dipaksanyalah sang putra itu memakan daging babi. Karena berhasil maka bersorak-soraklah mereka kegirangan. Berikutnya mereka mau memakan menantunya, tetapi tidak mau.
“Walau anda membunuh saja, namun memakan daging babi itu saya tidak mau,” katanya. Karena itu mengamuklah mertuanya.
“Jika engkau tidak menurut, tak usahlah jadi menantuku. Begitu banyak gadis-gadis disini berebut menjadi menantuku, dan tidak kurang jelitanya. Buat apa menantu macam kau ini begitu berani menentang perkataanku di tengah-tengah khalayak ramai? Habis engkau makan, kau bisa bersuci atau berlangir? Kan begitu banyak sungai di negeri kami ini?” Menangislah rasa kesal yang tak terhingga, terlebih lagi di negeri itu tak ada orang atau kenalan yan g datang membelanya.
Malamnya, waktu dewa-dewi sedang lelap tidur, larilah dia seorang diri. Dicobanya mengingat-ingat kembali jalan yang ditempuhnya beberapa hari yang lalu. Tetapi sayang di balik sayang, karena haus dan lapar serta capek yang tiada terkira sesampai di negeri dewa Lae Garap, meninggallah dia.
Tersebutlah cerita orang tua-tuz bahwa penduduk negeri Parmonangan ada melihat jenazah seorang putri jelita dibawah pohon pule (yang disinggung di atas tadi). Tetapi sewaktu orang hendak menguburnya secara adat manusia jenazah itu hilang raib dari pandangan mereka.
Dewa gunung Lumut telah lama menunggu kedatangan mereka kembali tetapi putri dan menantunya tak kunjung datang, padahal menurut janji semula selambat-lambatnya satu minggu sudah kembali. Oleh karena itu maka diutuslah seorang perantara raja dewa gunung Laumut ke negeri dewa Samparungan. Sesampai perutusan tersebut di sana, sedikitpun tak dihormati dan dipedulikan mereka.
“Kami tidak tahu entah di mana putri anda berada. Buat apa putri yang demikian itu, makanya saja pun harus pilih – pilih.
Pendeknya, tak tahu kami ke mana perginya. Tetapi jika adat mas kawinnya, walau dia tidak jadi menantu kami, kami rela membayarnya, sebab kami tidak kurang suatu apa. Berapa banyak kalian kehendaki buat mas kawinnya, kami tidak akan menolaknya kata pihak dewa Samparungan.
“Wahai, kami tidak gila emas dan gila harta. dapun kami terima lamaran anakanda itu, dahulunya kami menduga bahwa negeri anda ini berlaku sopan santun dan adat lembaga yang baik rupanya dugaan kami tidak sombong karena bagi kami budi luhur berada di atas segala-galanya,” sahut pihak gunung Lumut.
“Jangan sekasar itu anda bicara,” demikian pihak dewa Samparungan.
“Kalian pendatang tapi bicranya begitu lantang. Jika demikian,suruh siapa saja ke negeri kami ini,biar kami habiskan mereka. Tak pernah ada orang lain yang ikut campur tangan dalam mngurus negeri kami ini.” Berkatalah utusan dewa gunung Lumut.
“Asalkan tuan-tuan tidak mungkir janji, kami akan datang untuk memusnahkan negeri ini,” katanya.
“Tak usah terlalu lama tuan-tuan menunggu, kami segera datang. Harap diungsikan peremua dan anak-anak, jika tuan tidak ingin mampus semuanya,” demikian ancamannya. Maka kembalilah perutusan ke negerinya dengan rasa dendam yang menyala-nyala.
Seminggu antaranya, seseorang datang ke Sindabar (2 kilometer dari Parmonangan).
“Lusa, diharap jangan ada orang keluar rumah dari jam lima pagi hingga sekitar jam sembilan, sebab bal;a tentara akan berlaku,” demikian penegasannya. Tetapi tak seorangpun penduduk negeri Samparungan yang percaya mengingat negerinya itu cukup aman. Jadi sampai dengan hari yang dijanjikan penduduk Sindabar tetap bekerja sebagaimana biasa, para perempuan penumbuk padi pun pergi ke halaman menumbuk padi pada waktu masih pagi buta.
Tiba-tiba, tidak diketahui entah dari mana datangnya, negeri itu telah penuh sesak dengan bala tentara, semuanya berseragam merah. Keadaannya benar-benar seperti lautan api yang sedang menyala-nyala adanya. Larilah penduduk Sindabar tunggang-langgang. Banyak lesung yang jatuh berguling karena gugupnya para penumbuk padi tersebut. Kemudian bala tentara itu sampailah ke sebuah lubuk bernama Namotong. Tetapi heran bin ajaib, sejak dari sana orang tidak mengetahui ke mana bala tentara yang ribuan itu pergi. Tetapi sekira tengah hari, bala tentara berbaju merah itu telah mereka lihat berada di Sangga (di hilir Parajaan, 6 kilometer di sebelah Parmonangan). Ada diantara penduduk yang memeberanikan diri bertanya, yang menurut penjelasan bala tentara itu mereka menunju Tanah Rambe negeri gunung Samparungan.
Jadi diduga antara Sindabar dengan Sangga adanya terowongan besar yang tembus sepanjang kira-kira 10 kilometer. Dan pernah ada seorang secara iseng-iseng menjatuhkan dedak atas air berpusing pada Namatong Sindabar, dimana sebagaian dedak tersebut muncul di Sangga. Jadi rupanya jika melewati jalan bawah tanah tentara dewa tadi berobah menjadi ular. (Perlu diterangkan bahwa air Sindabar mengalir ke Cingkeru arah Utara, sedang Sangga adalah arah Timur).
Sore harinya, tiba-tiba, berbunyilah guruh tunggal, kemudian petir sambung-menyambung, datanglah hujan bagai dicurahkan dari langit dibarengi dengan topan dan badai, lalu menyala dan menyambar-nyambarlah api raksasa, bertiuplah puting beliung,dan disambarlah gunung Samparungan terpotong dua. Puncaknya terlempar ke daerah Barus. Saat itu nampaklah oleh penduduk Barus api tersebut bagai bintang yang gemerlapan. Sejak itulah kawasan tempat jatuhnya puncak gunung Samparungan itu disebut orang Sibintang.
Dua tahun lamanya kawasan Samparungan dan Sibintang mengeluarkan uap busuk yang memuakkan. Dan jika orang mendekatinya, mereka akan melihat beribu-ribu bangaki ular besar dan kecil.
Rupanya di waktu bala tentara itu sedang berperang mereka merobah dirinya menjadi ular, yakni tentara yang berbaju merah dari gunung Lumut dan gunung Samparungan.
Sumber: http://pedomanbengkulu.com/2018/05/kisah-putri-dewa-gunung-lumut/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |