|
|
|
|
5_Kera yang Sombong Tanggal 19 May 2018 oleh Sobat Budaya. |
Di tengah hamparan rimba belantara terdapat sebuah telaga kecil yang berair jernih. Mata air berasal dari sebuah ceruk di balik sebuah batu besar yang dicengkeram akar-akar sebuah pohon kesturi yang sangat besar. Permukaan telaga terdiri dari kerikil-kerikil berwana hitam, merah, putih berwarna-warni. Pohon-pohon rindang berdiri berjajar mengelilingi telaga. Siang itu, hanya bagian tengah telaga saja yang terkena sinar matahari. Sedangkan pinggiran telaga diteduhi dengan dedaunan yang tumbuh lebat. Semak-semak perdu mengelilingi telaga itu. Serta bunga-bunga kecil berwarna-warni tumbuh di sela-selanya.
Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Ada seekor itik berjalan. Tanpa sengaja dia melihat telaga itu. Itik menyibak semak-semak itu. Dilihatnya sebuah telaga kecil yang menyilaukan mata.
“Ada telaga indah sekali! Bukankah pandangan mataku tidak salah? Bukan mimpikah ini?”
Dengan langkah perlahan-lahan Itik segera mencebur ke dalam telaga. Kaki dan sayap merasakan sejuknya air telaga. Dia segera berenang-renang berkeliling telaga sambil mengepak-ngepakkan sayap dengan riang. Kecipak-kecipak air berbunyi nyaring. Itik bernyanyi-nyanyi dengan senang.
Bunyi kecipak air yang semakin santer itu didengar oleh seekor kera yang sedang tidur di atas ketinggian pohon yang ada di atas telaga. Kera itu segera bangun. Telinganya gatal mendengar suara seekor itik bernyanyi-nyanyi.
Kera itu segera melongok ke permukaan telaga. Dilihatnya seekor itik sedang mandi dengan riang di telaganya. Kera itu sangat marah. Telaga itu miliknya. Setiap binatang yang ingin mandi harus seizinnya. Kini dilihatnya seekor itik yang mandi sambil bernyanyi-nyanyi. Itik tidak menyadari kedatangan kera tua itu. Dia tidak mengetahui telaga itu milik kera, digunakan kera untuk mandi. Kera itu berdiri di pinggir telaga sambil terus memperhatikan Itik yang sedang berenang-renang. Selama beberapa saat Itik tidak juga memperhatikannya.
Dengan muka sebal kera itu berseru memanggil Itik. “Hei Siapa kau? Lancang sekali mandi di telaga kera?”
Itik seketika menghentikan gerakannya lalu menoleh ke pinggir telaga. Dilihatnya Kera berdiri melotot memandangnya.
“Aku yang mandi!” Jawab Itik seraya melayangkan senyum kepada Kera itu.
“Kamu? Siapa?” Tanya Kera dengan suara keras.
“ Itik!” Jawab Itik, tubuhnya mengapung di atas telaga.
Kera semakin jengkel karena Itik itu tidak segera bangun lalu meninggalkan telaga, malah berdiri saja di tengah telaga sambil mengayunkan ekornya perlahan-lahan.
“Binatang lamban! Kaki dempet, sayap kajang. Mata sipit seperti kutu busuk. Ekor seperti kipas, paruh seperti sendok nasi! Kalau jalan melenggak-lenggok! Cepat pulang! Jangan mandi di telagaku!”
Mendengar ejekan kera itu Itik merasa malu. Dia tidak berani menjawab. Memang benar, keadaan dirinya seperti yang dikatakan kera itu. Dengan sedih dia meninggalkan telaga itu. Itik menangis tersedu-sedu.
Melihat Itik menangis, kera langsung tertawa tergelak-gelak.
“Ha..ha..ha…begitu saja kau menangis! Itulah akibatnya jika mandi di telagaku tanpa izin!” Seru kera dengan sombong.
Itik menangis di sepanjang jalan. Tak ada seekor pun teman-temannya yang dijumpainya siang itu.
Dari ranting sebuah pohon, seekor burung pipit betina melihat itik tak henti-hentinya menangis. Suaranya menggelitik telinga.
“Hei…mengapa Itik menangis!” Pikir pipit. Pipit segera terbang menuruni ranting pohon. Setelah tiba di atas tanah dia memanggil itik.
“Hai, Itik mengapa kamu menangis?” Tanya Pipit dengan lembut.
Itik berhenti berjalan. Berdiri di hadapan Pipit.
“Hei, mengapa kamu menangis, Sahabatku?” Tanya Pipit lagi. Itik belum juga mau menjawab, “Apa yang kamu tangisi? Apakah teman-temanmu hilang?” Tanya Pipit menduga-duga.
“Tidak! Sejak tadi aku bermain sendirian!”
“Lalu apa? Mengapa menangis?” Pipit melembutkan suaranya.
“Aku diejek kera”, jawab Itik sambil mengusap air matanya yang hampir melewati lobang hidung.
“Wah, apa sebabnya kera menghinamu, Sahabatku?” Tanya Pipit dengan lembut.
“Begini, “ Dengan bulir-bulir air mata yang menetesi pipinya Itik segera bercerita, “Tadi, tanpa sengaja aku menemukan telaga indah. Disana. Sewaktu aku mandi tiba-tiba datang si kera tua lalu mengatakan bahwa kakiku dempet, sayapku seperti kajang, mataku sipit seperti kutu busuk, paruhku ini seperti sendok nasi, juga dikatakan jalanku melenggak-lenggok dan lamban. Aku sangat malu, Pipit. Aku sedih sekali”. ujar Itik dengan isak tangisnya.
Mendengar cerita sahabatnya itu, Pipit tertegun sejenak, mencari cara untuk menenangkan hati Itik.
“Sudahlah, jangan sedih sahabatku. Dengarkan aku baik-baik. Esok hari, mandilah lagi kau di telaga itu. Bangunkan si kera. Pasti dia akan terganggu dan mendekatimu. Kalau dia mengejek lagi, kamu harus membalasnya. Begini…!” Pipit segera mengajari Itik untuk menirukan ucapannya.
“Hei, kamu itu tidak berkaca kera! Apa kamu kira kera yang paling ganteng? Badanmu hitam berbulu, keningmu mengkerut selalu bergerak-gerak ke atas ke bawah. Kepalamu itu seperti buah binjai. Buntutmu seperti penjolok sagu. Kalau berjalan bisanya meloncat-loncat. Hi yaya..!”
Setelah mendengar nasihat Pipit, Itik berhenti menangis.
“Terimakasih pipit atas bantuanmu!” Itik pun segera berpamitan pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, Itik bangun pagi-pagi. Setelah makan pagi, dia segera berjalan menuju telaga indah yang ditemukannya tempo hari. Di tengah perjalanan, Itik menghafal kata-kata yang telah diajarkan Pipit.
“Pasti sakit hati dan maluku akan terbalas!” Gumam Itik.
Tak lama kemudian itik telah sampai di pinggir telaga itu. Matahari belum terik. Hanya sinar lembayung muda yang menembus sela-sela pepohonan.
“Indah sekali telaganya. Aku tak sabar ingin mandi dan memanggil kera tua itu!” Itik segera mencebur.
Itik berenang-renang, bunyi kecipak air lebih keras dibanding sebelumnya. Suara nyanyiannya pun semakin nyaring. Itik sengaja ingin membangunkan kera yang masih tidur.
Mendengar suara ribut itu kera merasa terganggu. Kera itu menggeliat, ketika membuka matanya ternyata hari telah pagi. Dengan cepat dia melihat ke bawah. Dilihatnya seekor itik sedang mandi di telaga itu. Suaranya begitu keras, kecipak airnya begitu nyaring. Kera segera melompat, menuruni pohon itu lalu berdiri di pinggir telaga. Dengan berkecak pinggang dia berteriak memanggil Itik.
“Hei, siapa lagi yang berani mandi di telagaku tanpa izinku?” Teriak kera.
Itik pura-pura tidak mendengar, terus berenang-renang mengelilingi telaga, sambil memetik bunga-bunga kecil yang tumbuh di pinggir-pinggirnya.
“O, rupanya kamu lagi? Tidak tahu malu, kaki dempet, sayap kajang, mata sipit seperti kutu busuk, paruh sendok nasi, ekor hiiihhhh seperti kipas mainan. Tidak tahu malu!” ejek kera.
Itik segera berenang. Dia berada tepat di hadapan kera tua itu.
“Hei, kamu tidak sadar kalau lebih jelek dariku?” Jawab itik dari dalam telaga.
“Lihat itu, badanmu berbulu, kulitmu hitam legam, keningmu selalu bergerak-gerak, mengkerut-kerut ke atas ke bawah. Kepalamu seperti buah binjai. Ekormu seperti penjolok sagu. Kalau jalan melompat-lompat. Bisanya jalan lompat…Hi…Tidak malu juga?” Itik tertawa mengejek.
“Hmm, kamu menantang saya ya?” Kata kera dengan marah. Setelah mendapat ejekan itu kera menjadi naik darah.
“Tidak. Aku tidak pernah menentangmu!” Jawab Itik pelan.
“Siapa yang mengajarimu berkata-kata seperti tadi?” Tanya kera.
“Sahabatku, Pipit”. Jawab Itik.
“Heh, Pipit? Di mana Pipit itu sekarang?” desak kera.
“Di sana! Di pohon pinang yang berbaris,” kata Itik sambil menunjuk ke sebuah arah.
Setelah mendengar Itik, timbullah marah hatinya kepada pipit yang telah mengajari Itik untuk balas mengejeknya.
Itik terkejut ketika kera tiba-tiba melompat meninggalkannya, bergerak ke arah pinang berbaris.
“Hei, akan kemana kau?” Tanya Itik dengan cemas.
“Tak perlu campur! Biar kuhajar pipit itu!|” Jawab kera dari atas pohon.
Kera berayun-ayun, melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Ia mencepatkan lompatannya ketika dari ketinggian dilihatnya daun-daun pinang melambai-lambai.
“Nah, sudah dekat. Tunggu pembalasanku!” kata kera dengan geram.
Selang beberapa lama, kera tiba di barisan pohon-pohon pinang itu. Dia segera melompat dari satu pinang ke pinang yang lain sambil memasang tajam telinga dan matanya. Tak seekor pun terlihat burung pipit yang terbang. Ketika kera mendarat pada pohon pinang yang berdaun lebat dan rimbun terdengar suara anak pipit mengeriap-ngeriap.
Kera segera menyibak daun-daun pinang itu, ditemukan sebuah sarang berisi dua ekor anak pipit. Kedua anak pipit yang sedang bermain-main itu terbeliak ketika melihat seekor kera menggoyang-goyangkan sarangnya. Kedua anak pipit itu segera bersiap-siap terbang. Namun kera dengan tangkas manangkap dengan kedua tangannya yang berbulu hitam itu. Kedua anak pipit itu kini dalam genggaman tangan kera.
Karena sangat marah kepada pipit, kedua anaknya itu segera dimain-mainkan dengan tangannya.
“Tidak bertemu indukmu, maka anaknya pun sama saja. Hmm…!” Kata kera sambil menakut-nakuti kedua anak pipit itu.
“Ampun…ampun…!” Seru kedua anak pipit itu.
Kera lalu memasukkan kedua anak pipit itu ke dalam mulutnya. Namun, kera tidak menelannya, melainkan hanya dihisap-hisapnya saja.
“Baru sekarang kau tahu siapa diriku!” Kata kera dengan sombong.
Karena tidak ditelan, kedua anak pipit itu tetap hidup. Kedua anak pipit itu merasa sesak di dalam mulut kera yang pengap dan basah. Bulu-bulunya telah basah terkena liur kera.
“Aku sedih. Tempatnya gelap gulita!” Kata anak pipit yang kecil.
“Aku pun basah kuyup, tempatnya pengap, tanpa lubang angin!” Jawab kakaknya.
Mereka membayangkan induknya yang sedang mencari makan telah pulang ke sarang membawa biji-bijian.
“Bagaimana ibu bapak kita?” Tanya Pipit yang kecil.
“Wah, mereka pasti sedang asik bergurau, sedang makan sambil bermain cubit-cubitan. Kita di sini basah kuyup dan kegelapan!” Jawab kakaknya.
“Hmmm…..!” Sahut kera sambil menahan geli. Kedua anak pipit itu mendesak-desak tempat tinggalnya yang sesak, sehingga lidah, gigi, dan gusi si kera serasa digelitik.
“Apa yang dikerjakan ibu dan bapak di dalam rumah!” Kata anak pipit yang kecil sambil pura-pura menangis.
“Tenang adikku. Mereka akan datang menolong kita!” Pipit yang besar menghibur.
Mendengar pembicaraan kedua anak pipit itu, kera merasa iba sekaligus merasa geli. Kera itu tak dapat menahan tawanya. Dia tertawa terbahak-bahak, lupa bahwa di dalam mulutnya tersimpan dua ekor anak pipit. Melihat mulut kera yang terbuka kedua anak pipit itu segera mengepakkan sayap kecilnya lalu terbang keluar dari mulut kera.
“Huh, kurang ajar!” Kera terkejut melihat kedua anak pipit itu terbang dari mulutnya.
“Huh, kotorannya tidak enak!” kata kera kemudian.
Sebelum meninggalkan mulut kera itu, kedua anak pipit sempat kencing dan buang air besar di dalam mulut kera.
Kera menjadi marah dan meludah-ludah. Dengan cepat kera segera memanjat pohon pinang itu. Sarang pipit segera diraih kemudian dicabik-cabik hingga hancur. Setelah puas hatinya maka dia meninggalkan pinang berbaris itu.
Keterangan:
Kajang: anyaman bambu untuk atap pedati
Binjai: buah seperti mangga, rasanya masam.
Sumber: https://aning99.wordpress.com/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |