Telah bertahun-tahun Baginda Raja menikah dengan permaisurinya. Meski begitu belum mempunyai seorang anak pun. Untuk mengisi kesepiannya mereka memelihara seorang anak kecil bernama Kandi. Hingga gadis kecil itu beranjak dewasa. Gadis itu sudah bisa disuruh kesana-kesini untuk melayani sang raja dan permasuri. Hanya si Kandilah orang yang paling dekat dengan Baginda Raja dan permaisuri.
Usai menunaikan shalat, mereka memohon kepada Allah supaya dikaruniai seorang anak. Jangan sampai tidak ada anak yang kelak menggantikannya menjadi raja. Jika tak mempunyai keturunan, Baginda Raja khawatir kekuasaannya akan diambil dan dijadikan rebutan orang. Jangan sampai hari tuanya hidup sendiri, sebab perlahan-lahan nanti si Kandi akan menemukan jodohnya dan hidup dengan pasangannya. Jika mereka tidak beranak maka hidupnya akan kesepian, tidak ada yang melayani makan minum dan merawat mereka di kala sakit.
Sang raja bertanya ke sana-ke sini. Kepada dukun-dukun obat. Mereka mengatakan tubuhnya sehat tak ada cacat cela. Hanya Tuhan saja belum mengaruniakan anak. Raja bertanya kepada alim ulama mengapa sebab dirinya belum juga berketurunan. Alim ulama menyuruhnya senantiasa bersabar.
Setelah menunggu-nunggu beberapa lama, suatu hari dengan takdir Allah Tuan putri pun menghadap Baginda Raja, mengadukan sesuatu yang terjadi dalam perutnya. Sudah berhari-hari, putri merasa seorang jabang bayi tengah menghuni perutnya.
“Tuanku, sekarang hamba telah berbadan dua. Sudah sebulan ini hamba merasakannya!” kata Tuan Putri.
Begitu mendengar perkataan sang putri, Baginda Raja sangat gembira.
“Benarkah?” kata Baginda Raja sambil memeluk istrinya.
“Ya Allah, berilah kepada kami anak yang benar-benar anak kami, menjadi anak mengenal orang tuanya, ayahnya, bundanya. Berikanlah kami anak laki-laki yang patuh berbakti!”
Baginda Raja sungguh bahagia, hatinya berbuga-bunga sebab menantikan anak yang diimpi-impikannya sepanjang siang dan malam. Sebagai hamba Allah, dunia begitu kecil rasanya, semua ada di tangannya. Atas takdir-Nya pula doanya terkabul.
Semakin hari, kasih sayang kepada sang putri bertambah-tambah. Kandungan sang putri bertambah besar. Bulan berganti bulan, satu bulan sebesar kuman, dua bulan berganti sebesar biji saga, tiga bulan mempunyai sifat, empat bulan menjadi manusia, bulan keempat Allah meniupkan nyawa, bulan kelima banyak yang diinginkan sang putri.
Sejak memasuki bulan kelima sampai menjelang enam bulan, sang putri sering merasa badannya sakit-sakit. Memasuki bulan ketujuh Baginda Raja mengundang rakyatnya untuk kenduri, tasyakuran di istana. Banyak sekali orang kampung berbondong-bondong mendatangi istana. Itulah permintaan sang putri supaya sekalian rakyat diajak serta menikmati kegembiraan itu.
Suatu sore Tuan Putri sedang duduk di atas batang kayu di taman istana ditemani si Kandi.
“Kandi, bagaimana pesta kenduri semalam? Apakah banyak rakyat yang datang?” Tanya sang putri.
“Ampun Tuanku, banyak sekali rakyat datang berbondong-bondong dari kampung dan kota. Mereka bertumpah ruah di halaman istana, turut merayakan kegembiraan sang putri!” jawab Kandi.
“Rasanya belum cukup dengan kenduri berbagi sedekah saja. Masih banyak kienginan yang kutahan Kandi!” kata Tuan Putri.
“Apa lagi Tuan putri, jika hamba dapat mencarikannya maka akan hamba cari!” jawab Kandi.
“Cobalah cari Daulat Tuanku! Dimana beliau, suruhlah kemari!”
“Baik Tuan Putri!”
Kandi buru-buru meninggalkan taman, mencari sang raja. Baginda Raja sedang berada di pelataran, dihadap para abdi-abdi istana. Melihat kedatangan Kandi, Baginda Raja segera menyambutnya. Jika Kandi datang pasti ada sesuatu dengan permaisuri.
“Ada apa Kandi, mengapa datang kemari?”
“Daulat Tuanku, Tuan Putri ingin bertemu sebentar!”
“Baiklah!” Baginda Raja segera meninggalkan tempat itu, turun ke taman menemui permaisurinya.
Tuan putri sedang duduk berangin-angin di bawah pohon, menghadap kolam ikan dengan ikan-ikan kecil berwarna-warni hilir mudik di dalam kolam. Kadang melemparinya dengan remah-remah makanan.
“Adinda!” kata Baginda Raja tiba-tiba.
“Oh, Kanda! Hamba ingin bertemu! Kanda, hamba ini sudah menujuh bulan. Banyak sekali keinginan mengiang-ngiang dalam pikiran dan hati hamba. Kadang ingin sekali memakan buah rumbia, ingin kacang panjang, ingin buah kedondong. Pokoknya semua sudah dipenuhi Kakanda. Namun, kali ini lain sekali keinginan Adinda. Entah mungkin ada atau tidak, tapi rasanya hamba menginginkan sekali, atau mungkin jabang bayi hamba yang menginginkan. Tak ada habis-habisnya!”
“Adinda, apa yang kau inginkan aku pasti akan penuhi!” kata Raja.
“Tadi, usai sembahyang dhuhur, hamba menginginkan sekali daging rusa. Sampai sekarang ingin sekali!” kata Tuan putri seraya memohon-mohon kepada raja.
Baginda Raja terdiam, memikirkan keinginan permaisurinya.
“Mudahkan dicari daging rusa itu? Kalau ada dimana bisa mendapatkannya, Kanda?” Tuan Putri terus mendesak.
“Daging rusa! Pasti ada di hutan negeri ini! Akan kucoba menemukannya untukmu?” jawab Raja yakin, “Sebab kata oang tua kalau keinginan wanita yang sedang hamil tidak dipenuhi maka anaknya kelak sampai besar akan keluar air liurnya terus menerus. Aku tidak menginginkan putraku demikian. Jikalau anak kita lahir, harus dalam keadaan baik!”
“Ya, pada pikiran hamba juga begitu! Tapi, terserahlah Kakanda!” kata permaisuri.
Malam hari, ketika Kandi sedang tidur istirahat di dalam biliknya, seorang pembantu mengetuk pintu biliknya.
“Kandi, Kandi!”
“Ya!”
“Kamu dipanggil Tuan!”
“Ya, baiklah!”
Kandi segera bersiap-siap menghadap Raja.
Raja sedang menunggu di belakang ruang penghadapan.
“Duduklah di sini, Kandi! Aku ingin bicara!”
Kandi segera duduk di hadapan Baginda Raja.
“Ada apa titah Tuanku!”
“Begini, sore tadi kau memanggilku supaya menghadap ibumu! Begini, sekarang ini ibumu mengidam sesuatu yang tidak dapat diketemukan di istana ini! Ibumu mengatakan ingin sekali makan daging rusa! Daging rusa jelas tak ada di dalam istana! Kandi, apakah kau sayang kepada ibumu?”
“Ya, Tuanku, tentu saja saya menyayangi Ibunda Tuan Putri!”
“Nah, kalau begitu. Esok temani aku mencari daging rusa. Kita bawa empat ekor anjing penjaga rumah itu. Untuk apa jika ditaruh di dalam rumah saja. Besok kau temani aku, kita bawa keempat anjing itu! Kau juga sudah besar, kuat larimu. Jangan hanya pandai memburu babi saja, besok kita coba memburu rusa. Bagaimana menurutmu! Sebab ibumu sedang hamil besar. Jika tidak diturut nanti kita menyesal!” kata Baginda Raja.
“Baiklah Baginda Raja, hamba akan menemani Baginda mencari rusa!”
“Baiklah, besok lusa kita berangkat!”
Usai menghadap Baginda Raja, Kandi kembali lagi ke dalam biliknya. Barang keperluan yang akan dibawa besok lusa sudah dipersiapkan dari malam itu.
Esok paginya Kandi bertemu dengan Tuan Putri, “Tuan putri, besok kami akan berangkat ke hutan, mencari rusa supaya dapat diambil dagingnya untuk Tuan Putri. Saat ini sudah hamba siapkan barang-barang yang dibawa! Kami bawa kapak seorang satu dan parang seorang satu.”
Saat itu Kandi sedang mengasah parang hingga tajam. Melihat persiapan itu Tuan Putri gembira sekali. Sore harinya Tuan Putri membantu Kandi menyiapkan bekal makanan yang akan dibawa.
Mereka menyembelih seekor ayam untuk lauk-pauk. Kandi menyiapkan bekal makanan untuk keempat anjingnya.
“Tuan putri, besok bungkuskan empat bungkus nasi dan satu bungkus besar untuk anjing-anjing yang kami bawa. Sebab mereka tentu lapar dalam perjalanan!”
Malam harinya Kandi tak dapat tidur nyenyak, membayangkan perjalanan esok hari sampai berburu rusa ke dalam hutan. Sepanjang berburu di hutan belum pernah sekali melakukan perburuan terhadap rusa. Menangkap dan membunuh babi baginya cukup mudah. Tapi kali ini yang harus ditemukan adalah rusa dan diambil dagingnya.
“Semoga rusa mudah ditemukan. Sepanjang berada di hutan negeri ini aku belum pernah menemukan seekor rusa pun berjalan di hutan!” gumamnya.
Keesokan harinya, pukul lima pagi Tuan Putri telah selesai menyiapkan bekal yang akan dibawa. Ayam yang disembelih kemarin sore sudah dimasak menjadi gulai, nasi dibungkus dengan daun pisang. Tuan Putri menambahkannya dengan ikan goreng, dibungkus dengan rapi lalu dimasukkan ke dalam tas. Wadah air sudah diisinya dengan penuh. Tak lupa senter dan karung serta dibawanya.
Setelah semuanya siap, pada pukul tujuh mereka siap-siap berangkat. Raja dan Kandi berpamitan kepada Tuan Putri, “Kalau kami terlambat kembali ke istana janganlah bersedih. Kadang dengan mudah kita menemukan rezeki yang kita cari, tapi kadang juga tidak. Kalau hari ini ketemu rusa itulah rezeki kita, kalau belum menemukan apa boleh buat, kita menunggu di hutan sampai besok. Oleh sebab itu, Adinda jangan bersedih hati. Doakan saja mudah-mudahan Allah cepat mempertemukan rezeki kita.”
“Baik, Baginda!”
Tuan Putri pun melepas kepergian Kandi dengan Sang Raja. Mereka menaiki dua ekor kuda yang cepat jalannya. Kedua ekor kuda itu melesap cepat bagaikan kilat. Tak lama kemudian mereka telah lenyap ditelan ujung jalan.
“Ya Allah, mudah-mudahan mereka kembali dengan selamat dan mendapatkan yang kuinginkan!” ucap Tuan Putri.
Kandi dan Baginda Raja bergerak cepat menuju ke hutan yang ada di perbatasan negeri. Dalam waktu singkat sampailah mereka di pinggir hutan. Kuda mereka berhenti.
“Kandi, lewat jalan mana kita masuk!”
“Baginda, sebaiknya kita lewat sebelah sana, meski jalannya agak susah. Kata pemburu di sana banyak rusanya. Jika melewati hutan ini hamba yakin tak ada seekor rusa pun. Sebab selama hamba berada di hutan sebelah sini tak sekalipun hamba melihat seekor rusa!”
“Baiklah kita lewat sebelah sana!”
Mereka segera menyebrak lagi kuda-kuda mereka. Kedua ekor kuda itu berjalan lagi menuju sisi hutan sebelah Barat. Keempat anjingnya berlarian mengikuti.
Ketika sampai di pintu hutan mereka segera meringsek masuk merambah hutan. Hutan lindung itu begitu lebat. Belum ada jalan setapak yang diciptakan manusia. Kuda mereka terpaksa membuat jalan sendiri, meringsek jauh ke dalam hutan, menembus semak-semak dan rerumputan tinggi.
“Perhatikan dengan baik, jika ada seekor rusa melintas, cepatlah lesapkan panahmu!” Suruh Baginda Raja.
“Baik Raja!” kata Kandi sambil memegang erat tali kekang kudanya.
Di punggungnya menempel anak panah yang tajam, siap dihunus jika sewaktu-waktu melihat kelebat seekor rusa.
Sampai jauh meringsek ke dalam hutan, tak ditemui juga seekor kijang pun. Monyet-monyet yang bergelantungan di atas pohon menguik-nguik melihat kedua orang itu memasuki hutan dan membuat gaduh. Burung-burung hutan melompat-lompat beterbangan karena terkejut. Baru sekali ini ada manusia berani merambah ke hutan itu. Mereka naik turun gunung, mendaki bebukitan yang lebat. Tak dijumpai seekor rusa pun.
“Sebaiknya kita istirahat dulu!” kata Baginda Raja.
“Baiklah!” jawab Kandi.
Mereka segera turun dari kudanya, duduk di bawah pohon besar. Kandi mengeluarkan bekal yang dibawanya.
“Sebaiknya kita minum saja dahulu, kita tunda makan siang. Perjalanan kita kelihatannya masih panjang sebab dari tadi tidak terlihat seekor rusa pun! Kabarnya di hutan sebelah sini banyak dijumpai rusa-rusa. Kenapa sekarang tidak ada lagi!”
“Mungkin para pemburu telah menangkap semuanya, sehingga susah lagi kita temukan!”
Setelah mereka puas minum, Baginda Raja mengajak meneruskan perjalanan.
“Mari kita pergi, selagi hari masih siang! Jika tak ada rusa di sini, baiknya kita berjalan lagi ke arah sana!”
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Mereka naik gunung, turun lembah, memeriksa jejak-jejak binatang dalam hutan, barangkali ditemui jejak rusa. Tak ada tapak rusa atau binatang yang lain. Lama-kelamaan badan Sang Raja menjadi lelah.
“Sekarang sudah pukul satu. Kita telah tersesat jauh, tak tahu arah, belum ada juga rusa yang kita dapat. Sebaiknya kita makan di sini saja. Tempatnya lumayan lapang. Semoga ada seekor rusa lewat mendekat!”
Kandi menurunkan bekalnya. Sambil makan, Baginda Raja bersandar di bawah pohon rindang sambil sesekali melayangkan pandangan ke sekeliling.
Bungkusan yang dibawa dari istana dibuka semuanya, lalu mereka makan dengan lahap, begitu pula dengan keempat anjing yang ikut dibawa.
Siang itu matahari bersinar sangat terik, angin bertiup lemah lembut. Baginda Raja mulai mengantuk.
“Kandi, setelah makan saya jadi mengantuk benar. Bagaimana kalau aku tidur barang sejenak!”
“Baiklah Tuanku, hamba akan menjaga!”
“Kalau aku terlambat bangun, cepatlah bangunkan! Kalau tidak kau bangunkan aku takut terlelap dan tak bangun-bangun. Jangan sampai pulang terlampau sore. Nanti susah menemukan jalan pulang! Aku tidur kira-kira satu jam! Ingat, kalau melampaui satu jam cepatlah bangunkan!”
“Baiklah Tuanku!”
“Kalau begitu duduklah saja di situ, jangan ribut supaya saya bisa tidur. Jangan pergi kemana-mana!”
Baginda Raja segera terlelap tidur. Hari begitu panas. Di bawah pohon kayu dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi basah.
Kira-kira satu jam Kandi berjalan mondar-mandi kesana-sini. Tak betah rasanya duduk-duduk saja sambil menunggui Baginda Raja. Sambil melempar pandangan ke segala penjuru, barangkali ada seekor rusa yang bisa dipanahnya. Kandi berjalan, berdiri tak jauh dari tempat Baginda Raja tertidur. Ketika sedang termenung-menung, tiba-tiba dikejutkan suara seekor burung yang bertengger di atas ranting yang berada di atas kepalanya. Kandi segera mendongak ke atas. Dilihatnya seekor burung kecil entah apa namanya, bulunya indah cantik menarik. Suaranya merdu memikat.
Kandi tertarik dengan burung itu, keindahan bulunya dan nyaring jernih alunan suaranya, “Hai burung, mengapa engkau bercericip sepanjang waktu. Dari tadi engkau ribut, tidak melihat Baginda Raja sedang tertidur pulas!”
“Hai Kandi!” sapa burung itu tiba-tiba.
“Hai, kau tahu namaku!”
“Ya, aku tahu namamu, ada yang akan kusampaikan kepadamu! Pesan yang penting!” kata burung itu seraya terbang merendah mendekati Kandi.
“Pesan apa yang ingin kau sampaikan?”
“Begini. Aku sudah tahu, kamulah satu-satunya orang yang paling dekat dan dikasihi raja dan permaisuri. Tentu kau sangat menyayangi mereka, bukan? Sekarang ini musim kemarau, lihat itu dedaunan kering, ranting-ranting banyak yang meranggas, sebagian pohon menjadi kering, sumber air mengering. Jika Raja mencari rusa maka tak akan didapatkan. Hutan ini kering, darimana mereka mendapat makanan! Sebaiknya kau tak usah pergi lagi. Lebih baik pulang saja! Dari tempat ini sampai ke rumah ada lima bahaya besar yang bakal menghadang langkah kalian!”
Kandi menyimaknya. Burung cantik itu mengatakan kelima bahya besar yang bakal menghadang mereka.
“Jika Raja bertemu dengan kelima bahaya besar itu maka Baginda Raja akan binasa. Tidak sempat pulang dan kau akan terlantar!” kata burung itu sambil menatap Kandi dengan mata tajam.
“Lalu, aku harus bagaimana?” Tanya Kandi dengan cemas.
“Nah, kusampaikan ini kepadamu, karena kau sangat menyayangi sang raja. Jika kamu tidak menghalangi kelima bahaya besar itu maka raja akan binasa. Kamu bisa mencegah terjadinya bahaya itu. Jika kau mampu niscaya kalian berdua akan tiba selamat sampai di istana. Tetapi, jika raja terbangun jangan sampai mengetahui kelima bahaya itu. Jika kamu mengatakannya maka kau akan binasa, sedangkan raja akan tetap hidup. Tapi, akibat lain sungguh luar biasa. Lebih baik kau pilih agar kalian semuanya selamat. Oleh karena itu, tak usah kau beritahu Sang Raja. Carilah jalan supaya kalian selamat, cegahlah setiap bahaya itu!”
Kandi termenung-menung.
“Benarkah itu burung cantik? Apakah aku bisa mencegah bahaya itu?” Tanya Kandi dengan raut muka sedih.
“Percayalah, kau pasti bisa!”
“Bagaimana caranya?”
“Hanya kau yang tahu caranya. Sudahlah, hanya itu pesan yang kusampaikan padamu! Kau pasti punya cara bagaimana mencegahnya!”
Setelah berkata-kata burung cantik itu terbang ke angkasa, perlahan-lahan lenyap dari pandangan mata. Si Kandi temenung, badannya lemah lunglai, seakan kehilangan daya hidup.
Pada saat itu juga tiba-tiba Baginda Raja terbangun. Laki-laki berperawakan tinggi besar itu terkejut, seperti dibangunkan dari mimpi. Keringatnya keluar membasahi sekujur tubuhnya.
“Hai, Kandi dimana engkau?” katanya sambil kebingungan mencari Kandi.
“Hamba disini Tuanku!” jawab Kandi sambil berjalan mendekati Raja.
“Di mana air minumku. Panas sekali, aku haus sekali!”
Begitu Kandi mendengar ucapan sang raja, terpikir olehnya bahaya pertama yang akan dihadapi.
Kandi menggeledah bekalnya, telah habis air dalam wadah yang dibawanya dari rumah.
“Tak ada lagi, Tuanku. Sebaiknya ditahan dulu. Tundalah sampai kita sampai di desa di pinggir hutan ini. Hamba yakin ada penduduk yang sudi memberi kita air minum yang jernih! Sebaiknya kita pulang saja! Hari sudah terlampau sore, sebentar lagi menjelang lingsir matahari. Hutan ini akan menjadi gelap, Tuanku! Mungkin belum rezeki kita rusa itu. Lain hari kita datang ke sini lagi mencari rusa itu! Sekarang marilah kita pulang saja!” kata Kandi dengan lembut.
“Ya!” Baginda Raja menahan rasa hausnya.
Akhirnya mereka pulang. Kira-kira seratus meter mereka berjalan, Baginda Raja melihat sebuah kolam jernih di depan mereka. Kandi pura-pura tidak melihatnya.
“Hei. Lihatlah Kandi. Ada kolam kecil mungil di tengah hutan ini. Airnya bening sekali. Akhirnya, terobatilah rasa hausku!” kata Baginda Raja sambil mendekati kolam itu.
Si Kandi kebingungan, teringat pesan yang disampaikan burung cantik, “Aduh, bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan!” pikirnya sambil diliputi perasaan cemas.
Tiba-tiba sebuah cara melintas di benaknya. Sebelum Baginda Raja sampai kepada kolam itu, Kandi buru-buru berlari mendahuluinya. Ketika sampai di kolam itu Kandi segera jongkok lalu kencing. Waktu Raja melihatnya, Raja segera berseru, “Hai Kandi, sudah aku katakan aku haus sekali. Mengapa kamu kencing di kolam itu! Bagaimana aku dapat meminum air ini!” katanya dengan marah.
“Ampun Tuanku, tak tahan lagi hamba ingin kencing sejak tadi!”
“Bagaimana aku dapat meminum air yang sudah kaukencingi?” Tanya Baginda Raja dengan muka merah padam.
“Tuanku, sebaiknya jangan minum di sini. Lebih baik kita berjalan lagi. Mungkin di sana ada lagi sumber air!” jawab Kandi dengan lega sebab Raja tidak meminum air kolam itu.
“Sudah saya katakan aku kehausan sejak tadi! Sungguh anak tak ada pikiran. Mana mau aku minum air kolam yang sudah dikencingi!’ Baginda Raja mengomel di sepanjang jalan.
“Ampun Tuanku, hamba sudah terlanjur! Hamba mau kencing tadi terasa malu karena dekat dengan Baginda Raja!”
Mereka terus berjalan, mencari celah-celah jalan menuju ke luar hutan. Ketika mereka berjalan, tiba-tiba di hadapan mereka telah menghadang seekor rusa betina dengan anaknya yang masih menyusu.
“Hai Kandi, lihatlah ada seekor rusa dengan anaknya!” kata Baginda Raja dengan wajah berbinar, seolah menemukan bintang yang jatuh dari langit.
“Itulah yang kita cari akhirnya kutemukan!”
Kandi pura-pura tidak melihat rusa itu, “Mana Tuanku rusa itu?” Tanya Kandi.
“Itu tepat di hadapan kita. Bukankah matamu tidak buta?”
“Jangan Baginda, rusa itu sedang menyusui anaknya!” cegah Kandi.
“Tidak bisa! Anaknya belum cukup kuat berjalan. Lebih baik aku panah anaknya. Biarkan induknya lari!” kata Baginda Raja sambil menyiapkan busur panahnya.
Kandi kebingungan. Bahaya kedua sedang berada di depannya. Kandi buru-buru melompat turun dari kudanya, diambillah sebilah ranting lalu dilemparkan kepada rusa itu. Rusa itu segera lari, belum sempat Baginda Raja meluncurkan anak panahnya.
“Kandi, bagaimana kamu ini? Sejak tadi yang kita cari adalah rusa. Itu rusa di depan mata kita. Kamu melemparnya begitu saja. Sekarang lari rusa itu. Apa yang sebenarnya kita cari? Mengapa kamu lalukan itu?” Tanya Baginda Raja dengan geram sambil menyarungkan anak panahnya.
“Ampun Tuanku, hamba tadi melemparnya supaya kaki rusa itu patah. Saya lempar anaknya tetapi terkena induknya sehingga mereka lari! Ampun Tuanku!”
“Sungguh keterlaluan dirimu. Saya menjadi benci kamu! Yang kita cari rusa, kamu menghalang-halangi maksudku. Apa yang akan kita bawa pulang untuk Tuan Putri kalau bukan rusa?” kata Baginda Raja sambil melotot menatap Kandi. Baginda Raja terlihat begitu marah.
Kandi terdiam, badannya gemetar. Selama mengikuti Baginda Raja belum pernah dirinya dimaki-maki seperti itu.
“Saya tidak suka lagi kepadamu!”
Kandi tetap diam saja. Mereka berjalan lagi menyusuri hutan itu. Belum sampai juga ke pinggiran hutan. Perlahan-lahan kejengkelan sang Raja menjadi hilang karena Kandi selalu mengajaknya bicara dengan lemah lembut.
“Jikalau belum rezeki kita maka sesuatu akan sulit didapat, jika menjadi rezeki kita pasti sesuatu dengan mudah akan didapat!” kata Kandi.
“Ya, benar katamu Kandi!”
Dalam perjalanan itu, tiba-tiba Baginda Raja melihat sekuntum bunga hutan yang sangat indah tumbuh di lereng tak jauh dari tempatnya berjalan.
“Hei, bunga itu harus kita petik. Mungkin menjadi rezeki kita! Harus ada sesuatu yang kita bawa pulang!” kata Baginda Raja.
Kandi kebingungan. Bahaya ketiga menghadang mereka. Raja segera turun dari kudanya, bermaksud naik ke lereng untuk memetik bunga itu.
“Hamba saja yang memetiknya, Tuanku!” kata Kandi sambil melompat dari kudanya.
Kandi berlari menaiki lereng. Kandi pura-pura akan memetiknya. Kandi tersandung lalu merebahkan tubuhnya di atas bunga itu. Ketika Kandi bangun bunga itu sudah hancur tak berbentuk indah lagi.
“Hei, bodoh sekali Kandi!” Baginda Raja geleng-geleng kepala, amarahnya membuncah-buncah.
“Kamu ini betul-betul anakku yang tidak setia! Pengkhianat! Janganlah lagi ikut berjalan denganku! Sejak aku kehausan, kau kencingi air kolam yang akan kuminum, ada rusa jelas-jelas berdiri di depan kita kamu usir rusa itu. Sekarang di depan kita nampak bunga yang indah, kamu hancurkan! Jangan kamu ikuti langkahku!” kata Baginda Raja memaki-maki.
Si Kandi membisu, “Ampun Tuanku. Hamba bermaksud memetik bunga itu untuk Tuan Putri, tiba-tiba kaki hamba tersandung dan jatuh. Akhirnya bunga itu hancur. Bukan rezeki kita bunga itu Tuanku!”
“Kalau begitu, jangan lagi kau mengikutiku! Sejak tadi tak ada lagi kesetiaanmu kepadaku. Kalau kau tidak menghalang-halangi maksudku pasti dapatlah rezeki kita! Jengkel sekali aku melihatmu! Kau kini menjadi anak yang menyebalkan! Mulai sekarang janganlah lagi tinggal di istanaku! Manusia tidak tahu membalas budi, air susu dibalas dengan air tuba. Benar kata orang daripada menyantuni anak saudara sendiri lebih baik anak orang lain; beruk di hutan diberi susu, saudara sendiri diberi tetek. Mana patut perbuatanmu itu? Itukah balasanmu kepadaku? Jangan lagi kamu tinggal di dalam istana! Setelah ini pergilah dari istanaku, bawalah barang-barang milikmu? Jangan tinggal di dalam istanaku!” Baginda Raja mencaci-maki Kandi.
Kandi meunduk terdiam. Kandi mengikuti langkah kuda sang Raja. Pada malam harinya mereka telah sampai di istana. Tuan Putri menyambutnyadi depan pintu.
“Sudah Pulang Kakanda?” sahut Tua Putri dengan gembira.
“Sudah. Rupanya kita memelihara anak kurang ajar!” kata Baginda Raja dengan wajah muram.
“Mengapa Kakanda? Siapa anak yang kurang ajar itu?” Tanya Tuan Putri.
“Kandi tidak patut lagi kita jadikan anak. Kita mengajaknya supaya mendapatkan apa yang kita cari. Di sepanjang jalan tadi, apa yang dilakukan malah sebaliknya. Anak kurang ajar!”
“Mengapa Kakanda katakan begitu? Apa salah Kandi? Apa yang dilakukannya?” Tanya Tuan Putri dengan heran.
“Hari ini, tak ada daging rusa kubawa pulang! Ketika aku haus dan ingin minum, air kolam tiba-tiba dikencingi. Setelah berjalan, ada rusa berdiri di depan kita, dilemparnya rusa itu supaya lari! Setelah itu aku melihat sekuntum bunga hutan indah sekali. Barangkali bisa untuk oleh-oleh Adinda. Tetapi, bunga itu sudah remuk hancur karena Kandi menindihkan tubuhnya kesitu!”
“Kalau begitu, sekarang telah berubah Kandi! Sekarang di mana Kandi?”
“Sudah saya katakan padanya supaya tidak lagi naik ke istana ini!”
Kandi belum juga meninggalkan istana itu. Gadis itu berada di bawah istana, sedang mendengar pembicaraan Baginda Raja dengan permaisurinya. Hatinya sedih karena Baginda Raja begitu membencinya, namun dirinya tak boleh mengatakan sebab musababnya. Kandi harus menyimpan rahasia itu.
Karena sangat lelah, Raja pergi shalat kemudian berangkat ke peraduannya. Sampai jam satu malam Kandi masih berada di bawah istana, merenung-renung mengenang kesedihannya. Tiba-tiba Kandi melihat seeko ular besar berjalan pelan merambat ke atas menuju istana. Kandi mengikuti ular itu. Ular itu menuju ke peraduan Tuan Putri dan Baginda Raja. Kandi berjalan mengikuti ular itu. Ketika ular itu menyelinap ke dalam peraduan, Kandi masih mengikutinya. Ketika ular itu hampir menyentuh kaki Tuan Putri, Kandi segera menghantamkan sebilah bambu, bermaksud memotong ular itu. Ular itu terkejut, tidak berhasil dipotong. Tetapi darahnya segera menyembur mengenai Tuan Putri yang sedang tertidur. Si Kandi terkejut. Dengan langkah pelan Kandi segera menuruni teratak kayu, diambilnya lap untuk menyapu darah yang membasahi perut Tuan Putri. Dengan cepat Kandi tiba di dalam bilik itu lagi, lalu disapunya perlahan-lahan perut Tuan Putri.
Tiba-tiba Raja terbangun dan melihat Kandi sedang duduk di pinggir peraduan. Baginda Raja terkejut ketika melihat perut Tuan Putri bersimbah darah.
“Anak kurang ajar! Malam ini nyawamu harus saya akhiri!” Teriak Baginda Raja.
Mendengar teriakan itu, Tuan Putri terkejut. Maka ia pun segera bangun.
“Oh, mengapa perutku berdarah-darah!” jeritnya.
Raja melihat seluruh badan Tuan Putri, “Tidak ada yang terluka. Tiada kita ketahui sebabnya! Tidak mungkin baju-baju menjadi basah darah semua!” kata Baginda Raja.
Kandi terdiam tertegun.
“Malam ini kamu akan saya bunuh!” kata Raja.
“Ampun Tuanku, janganlah hamba dibunuh. Hamba sangat menyayangi Baginda. Hamba sangat menyayangi Tuan Putri. Sebaiknya janganlah Tuan bunuh hamba! Hamba tidak bersalah!”
“Apa? Lihatlah apa yang kamu lakukan sejak tadi pagi? Masih saja mengaku tidak bersalah! Lihatlah malam ini, di sini begitu banyak darah!”
“Ampun Tuanku, hamba mohon, jangan bunuh hamba!”
“Kalau kau belum mati, maka hatiku belum akan puas!”
Raja segera mengambil tali dan parang.
“Baiklah, kalau kamu mengaku tidak bersalah. Katakanlah, apa yang kamu perbuat malam ini. Apa yang terjadi malam ini?” Raja memaksa Kandi supaya mengatakannya, sambil mengacungkan parangnya ke leher Kandi.
“Ampun Tuanku, hamba tidak bisa mengatakannya.”
“Kalau kau tidak mau mengatakan berarti ada sesuatu yang kau sembunyikan. Kamu pasti telah berbuat salah!”
Kandi tak tahan lagi dengan perkataan Raja. Sudah sekian banyak gadis itu dicaci-maki. Dengan air mata berlinang-linang Kandi memohon kepada Raja.
“Begini Tuanku. Jika Tuanku masih menyayangi hamba, jangan tanyakan apa yang telah terjadi. Jika Tuanku tidak sudi menganggap hamba anak lagi, tanyakanlah!” kata Kandi sambil berlinangan air mata.
“Kalau kamu tidak mengatakan apa yang terjadi malam ini, maka aku tidak sayang lagi kepadamu.”
“Baiklah Tuanku. Apakah Tuanku tidak menyesal setelah hamba nanti mengatakan semuanya?”
“Tidak!” sahut Raja dengan yakin.
“Hamba takut Tuanku akan menyesal jika hamba mengatakan semuanya!”
“Tidak! Aku tidak akan menyesal!”
“Jika Tuanku yakin tidak menyesal. Baiklah. Besok Tuanku bawa bekal nasi sebungkus seorang. Kita datang lagi ke hutan tempat Baginda tertidur. Jika Tuanku ingin mengetahuinya, baiklah di sana hamba akan mengatakan semuanya!” kata Kandi dengan sedih.
Pagi-pagi sekali Baginda Raja telah siap dengan bekal yang akan dibawanya. Dibangunkan pula Kandi. Dua ekor kuda telah siap menunggu di depan istana. Baginda Raja segera menaiki kuda yang telah disiapkan, diikuti Kandi. Mereka berangkat ke hutan.
Sebelum tengah hari mereka telah sampai di dalam hutan tempat mereka beristirahat.
“Kita sudah sampai di tempat ini. Katakanlah Kandi apa yang terjadi?”
“Ampun Tuanku, sebaiknya keluarkan dulu bekal kita. Hamba ingin sekali makan bersama Tuanku. Untuk terakhir kali. Setelah itu hamba akan mengatakan!”
Baginda Raja mengeluarkan bekal yang telah disiapkan Tuan Putri. Mereka makan bersama. Sambil melahap nasi itu tak henti-hentinya Kandi menitikkan air matanya.
Setelah selesai makan Kandi memohon kepada Raja, “Tuanku, hamba akan mengatakannya. Tetapi, hamba minta maaf segala dosa hamba mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut!”
“Baiklah, aku ampuni kesalahanmu! Kamu tidak berhutang dosa padaku lagi!”
“Kalau begitu, Tuanku marilah kita pergi ke sana. Hari kemarin, di sinilah Tuanku tertidur lelap. Saya berada di sini, duduk terpekur di sini!” kata Kandi sambil menunjuk tempat-tempat yang pernah ditempatinya.
“Jika hamba katakan, betulkah Tuanku tidak menyesal?” Tanya Kandi lagi, air matanya berlinang tak tertahan.
“Tidak akan menyesal!” jawab Baginda Raja.
“Tidak akan putus asa?”
“Tidak!”
Kandi kemudian bercerita, “Ketika Tuanku tertidur pulas di tempat ini datanglah seekor burung yang indah sekali. Burung kecil itu terus bernyanyi-nyanyi. Hamba dekati burung indah itu, ‘Mengapa kamu terus bernyanyi-nyanyi hai burung cantik?’ Burung itu menjawab, “Kandi, hari begitu panas, saat ini musim kemarau. Tak ada binatang yang hidup pada masa sekarang karena hutan telah mengering! Ajaklah Rajamu pulang ke istana. Nanti di perjalanan kau akan menemui empat bahaya besar. Lalu burung itu mengatakannya satu per satu kepada hamba, tetapi hamba dilarang untuk mengatakannya kepada Tuanku. Jika hamba mengatakannnya kepada Tuanku, maka bahaya besar itu akan menjadi lima, berbalik mengenai hamba. Jika hamba tdak mengatakannya maka bahaya besar akan menemui Tuanku. Hanya hamba yang dapat menyelamatkan Baginda Raja dari seluruh bahaya yang mengintai. Kata burung itu, jika hamba pandai mengusir bahaya itu, kita keduanya akan selamat. Bahaya-bahaya itu mulai terjadi ketika Tuanku bangun dari tidur dan merasakan haus. Di sebelah sana ada kolam dengan air jernih. Jika Tuan meminum air itu maka Tuanku akan binasa, sebab air jernih itu berisi racun bisa yang membahayakan Tuanku! Tuanku, hamba telah menuturkan satu hal. Inilah bahaya yang jatuh kepada hamba, lihatlah lutut hamba telah menjadi batu. Hamba tak dapat berjalan lagi!” kata Kandi.
Waktu melihat lutut Kandi, Baginda Raja menjadi iba. Timbul belas kasihnya kepada gadis itu. “Sudah Kandi, kau betul-betul anakku yang berbudi baik. Sudahlah, jangan katakan lagi, jangan ceritakan, anakku!” kata Baginda Raja.
“Ampun Tuanku, jangan menyesal lagi! Sejak di istana hamba sudah mengatakan. Jika hamba nanti berjalan pulang ke istana, sampai di sana hamba telah menjadi batu.”
Kandi segera melanjutkan ceritanya, “Bala kedua yang mengintai Tuanku adalah ketika kita temui dua ekor rusa induk anak di tengah jalan. Rusa itu hamba lempar karena kedua rusa itu jelmaan kejahatan yang akan mencelakakan Tuanku. Tuanku, lihatlah saya sudah menjadi batu hingga ke pinggang!” kata Kandi.
“Sudahlah Kandi, hentikan ceritamu!”
“Bala yang ketiga Tuanku, jika Tuanku sempat memetik dan mencium bunga itu maka Raja akan binasa di tempat itu, sebab bunga indah itu mengandung racun. Maka lebih baik bunga itu hamba hancur remukkan! Lihatlah Tuanku, hamba sudah menjadi batu hingga leher!” kata Kandi.
Baginda Raja meratap-ratap, memohon supaya Kandi menghentikan ceritanya, “Sudahlah anakku!”
“Bahaya keempat, semalam ada seekor ular besar hendak mematuk Tuan Putri. Ular itu hamba bunuh semalam. Darah itu menyembur ke perut Tuan Putri. Jika tidak hamba bersihkan pastilah Tuan Putri akan binasa sebab darah itu mengandung bisa. Ketika hamba bersihkan tiba-tiba Tuanku terbangun lalu memarahi hamba!”
Setelah Kandi mengatakan semuanya sekujur tubuhnya berubah menjadi batu. Kandi terdiam menjadi patung batu.
“Kandi…anakku!” Sang Raja menangis kelu, menyesal karena Kandi telah berubah menjadi patung batu.
KISAH ANJING DENGAN SAUDAGAR
Pada masa dulu hiduplah seorang saudagar kaya dengan seekor anjingnya yang setia. Sejak kecil anjing itu tinggal bersama saudagar. Jika Saudagar sedang makan, anjing itu pun diberinya makan. Jika Saudagar tertidur anjing itu menjaga di bawah kakinya. Jika Saudagar itu berkelahi maka anjing itu akan membelanya. Kemana saudagar itu pergi, dengan setia anjing itu mengikuti.
Pada suatu hari Saudagar berangkat ke Negeri Padang untuk berniaga. Sesampainya di Negeri Padang hari telah larut malam. Saudagar tinggal di sebuah penginapan di tengah kota Padang. Di bawah tempat tidurnya disimpan sebuah peti besar berisi perhiasan emas dan intan yang akan dijualnya esok hari.
Tanpa disadari, pada tengah malam datanglah gerombolan pencuri. Mereka masuk melalui atap penginapan. Pencuri yang telah mengintai Sudagar itu memasuki pintu bilik Saudagar. Saat itu anjing Saudagar tidur di luar penginapan. Saudagar tidur dengan pulas, tidak menyadari gerombolan pencuri telah mengambil petinya.
Setelah mendapatkan harta, para pencuri beramai-ramai mengangkat peti itu kemudian memindahkannya ke atas kereta yang berada di depan penginapan. Anjing Saudagar menyalak dengan keras ketika melihat peti tuannya dibawa kabur orang.
Mendengar anjingnya menyalak keras Saudagar segera terbangun. Saudagar itu mencari-cari peti emasnya. Alangkah terkejutnya ketika melihat peti itu telah raib dibawa kabur orang. Penginapan itu menjadi riuh, salak anjing bertalu-talu membuat penghuninya terbangun. Mereka beramai-ramai mengejar pencuri. Saudagar buru-buru keluar dari biliknya meraih seekor kuda sembrani. Anjingnya berlari menunjukkan jalan.
“Ayo kejar. Aku akan mengikutimu!” Suruh Saudagar kepada anjingnya.
Anjing dan Saudagar itu telah berjalan cukup jauh, namun para pencuri belum berhasil dikejarnya.
Sampailah mereka di tengah hutan. Ketika berada di tempat itu anjing itu menghentikan langkahnya. Hidungnya mengendus-endus tanah. Anjing itu menyalak-nyalak dengan garang di hadapan kuda yang sedang ditumpangi tuannya.
Kuda yang ditumpangi saudagar itu terkejut, mendadak anjing itu berhenti di hadapannya. Kuda itu meringkik sambil berdiri membuat Saudagar hampir terjatuh.
“Jangan menghambat jalan! Ayo kejar pencuri itu!” Teriak Saudagar kepada anjingnya.
Namun, anjing itu tidak bergeser sejengkal pun. Kakinya menggebak-gebrak tanah.
Saudagar diliputi perasaan cemas. Khawatir gerombolan pencuri semakin jauh membawa kabur perhiasannya. Saudagar itu menjadi marah melihat anjingnya menyalak-nyalak sementara pencuri semakin jauh kabur.
“Minggirlah, kalau kau tak mau lagi mengejar pencuri itu!” Suruh Saudagar.
Saudagar naik pitam, sementara anjingnya menyalak-nyalak sambil menggebrak-gebrak tanah.
“Anjing celaka! Mengapa kau menghambat langkahku? Kau tak setia lagi. Sama saja kau merelakan perhiasan daganganku hilang dibawa kabur pencuri-pencuri itu!”
Secepat kilat Saudagar menghunus pedang yang tersarung di pinggangnya. Anjing besar itu tetap menyalak. Saudagar mengayunkan pedangnya tinggi-tinggi. Dengan sekali tebas berhasil memancung anjingnya. Pedang panjang berkilat-kilat itu berhasil memotong tubuh anjing. Tepat mengenai perut hingga putuslah anjing itu menjadi dua bagian. Suasana sunyi senyap setelah anjing itu berhenti menyalak dan mati seketika.
Pedang saudagar tak hanya mengenai tubuh anjing saja, tetapi menembus tanah dan tersangkut sebuah benda keras. Saudagar menarik pedangnya, tapi tak berhasil.
Saudagar segera turun dari kudanya kemudian menarik pedang itu. Sekali lagi, tidak berhasil. Sudagar curiga, ada sesuatu yang telah dikenai pedangnya.
“Benda apa yang mengenai pedangku ini? Mengapa tak bisa terangkat oleh tanganku?” Gumamnya.
Akhirnya Saudagar mengggali tanah itu. Ketika telah digali alangkah terkejut dan kecewanya karena yang tertancap pedangnya adalah sebuah peti besi miliknya.
“Bukankah ini peti milikku? Rupanya para pencuri itu telah menguburkannya di sini!”
Peti itu segera diambil oleh Saudagar.
“Rupanya anjingku memberi isyarat supaya aku menggali tanah ini. Di sinilah letak petiku! Beginilah jika melakukan pekerjaan tanpa dipikir dahulu!” Saudagar itu menangis, timbul penyesalan yang dalam di hatinya.
Sumber: https://aning99.wordpress.com/page/2/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja