Alkisah Rakyat ~ Pada suatu malam Lembu Mangkurat bermimpi bahwa almarhum ayahanda menceriterakan kepadanya bahwa Raja Majapahit dengan bertapa mendapat seorang putera yang layak untuk menjadi suami Raja Puteri Tunjung Buih. Di dalam mimpi, baginda mendapat nasehat dari seorang tua supaya bertapa di gunung di daerah Majapahit dan kelak bidadari dari kayangan akan memberikan baginda seorang putera. Jika baginda menjaga anak ini baik- bai, maka kekeuasaan dan lemasyhurannya akan bertambah meluas. Lain daripada itu sebagai tganda rakhmat kebahagiaan akan lahir lagi enam orang anak. Pada keesokan harinya Raja Majapahit berangkat untuk bertapa ke gunung.
Sesudah empat puluh hari lamanya beliau bertapa, baginda benar-benar mendapat karunia seorang putera yang diberi nama Raden Putera. Kemudian Baginda kembali ke istana. Sesudah beberapa lama benarlah lahir enam orang anak, tiga orang putera dan tiga orang puteri. Kekuasaan Majapahit kian hari bertambah besar. Demikianlah ceritera yang disampaikan oleh Almarhum ayahanda didalam mimpi. Berdasarkan mimpinya itu maka Lembu Mangkurat pun memerintahkan dengan segera untuk menyiapkan kapal Si Prabajaksa dan kapal-kapal lainnya.
Selain dari Wiramarta, ikut pula empat orang Patih sertra sepuluh orang nakhoda, Puspawana, Wangsanala, dan Sarageni. Rombongan ini berangkat dari NEGARADIPA, yang langsung dipimpin oleh Lembu Mangkurat. Tidak lama kemudian sampailah mereka di pelabuhan Majapahit. Ketika Syabandar Pelabuhan Majapahit menerima khabar tersebut, maka ia pun pergi ke pangkalan untuk menyaksikan sendiri orang asing manakah yang datang itu? Betapa terkejut hatinya ketika melihat begitu banyak kapal-kapal yang berlabuh, sehingga terkeluar dari mulutnya: "Selama orang-orang asing datang ke sini, belum pernah seperti ini"! Syahbandar Pelabuhan Majapahit segera kembali dengan membawa khabar, bahwa orang-orang asing itu adalah dari Negaradipa di bawah pimpinan Lembu Mangkurat. Mereka datang dengan maksud hendak mengunjungi Raja Majapahit. Dengan segera syahbandar pelabuhan pergi ke istana kerajaan Majapahit dan menyampaikan laporan kepada Patih Gajahmada. Dan kemudian Patih Gajahmada menyampaikan berita ini kepada Raja Majapahit. Berita kedatangan Lembu Mangkurat ini menimbulkan kekhawatiran Raja Majapahit. Raja yang tidak pernah menaruh gentar kepada Raja asing manapun. Meskipun demikian beliau mempersilakan juga Lembu Mangkurat untuk menghadap.
Dengan berpakaian kebesaran yang gemerlapan, berangkatlah Lembu Mangkurat menunggang kuda putih yang didampingi oleh pengawal yang bersenjata pedang. Para patih, hulubalang dan nakhoda-nakhoda brbaris pula mengikuti dengan berpakaian kebesaran yang indah-indah. Paling belakang terdapat barisan dari lima ratus tentara yang berjalan kaki dan limaratus orang yang menunggang kuda. Arak-arakan seindahitu belum pernah terlihat di Majapahit. Sesudah tiga hari, barisanpun sampai di dalam kota. Di Sitiluhur, telah menunggu Patih Gajahmada. Arya Dilah, Arya Jamba, Rangga Lawe, Arya Sinom, Kudapihatan, Hajaran Panolih dan Dipati Lampur.
Sejurus kemudian maka terdengarlah dentuman senapan yang memberikan tanda bahwa Raja akan keluar dari istana. Dengan diiringi bunyi gamelan, Raja berjalan keluar. Diatas panggung terdengar gamelan membunyikan lagu lokananta sedang di Paseban terdengar dibunyikan lagu galaganjar. Tombak upacara, bendera dan panji-panji fi bawa ke hadapan Raja.Beberapa rombongan masing-masing terdiri dari empat puluh orang, datang berbaris dengan memekai pakaian seragam yang indah. Kemudian Raja dududk di Sitiluhur, sedang untuk pengawalan ditempatkan sekeliling istana 400 orang Singanegara (polisi). Dihadapan Raja duduk pula 200 wanita dengan memakai sarung yang berwarna keemas-emasan. Mereka adalah para pengiring yang diwajibkan untuk membawa keperluan-keperluan Raja, seperti tikar, kendi, alat merokok dan sebagainya. Lembu Mangkurat dipersilahkan masuk le ruang tamu istana. Beliau didampingi oleh 4 orang patih yang duduk di belakangnya. Tak lama kemudian Patih Gajahmada memasuki ruang tamu. Beliau menyalami tangan Lembu Mangkurat. Kemudian menanyakan maksud kedatangannya.
"Kami datang untuk menghadap Raja Majapahit"! kata Lembu Mangkurat. Kemudian Patih Gajahmada menanyakan lagi apa gerangan yang diinginkan Lembu Mangkurat dari Raja Majapahit. Kemudian Lembu Mangkurat menyampaikan permintaannya, yani kalau dapat diperkenalkan membawa anak Raja ke Negaradipa untuk dikawinkan dengan Raja Puteri Tunjung Buih, Raja dari kerajaan Negaradipa. Sesudah itu Lembu Mangkurat juga menyampaikan bingkisan-bingkisan yang berharga. Patih Gajahmada kemudian menerangkan bahwa Baginda tidak mempunyai anak lagi. Enama orang putera-pteri telah kawin semuanya. Kemudian Lembu Mangkurat menerangkan bahwa ia hanya menghendaki putera Raja yang diperoleh dari bertapa.
Akhirnya Raja berjanji akan menyerahkan sesudah tujuh hari. Kemudian Raja meninggalkan ruang tamu dengan diiringi bunyi gamelan. Patih Gajahmada ditunjuk menjamu Lembu Mangkurat beserta pengiringnya. Tujuh hari tujuh malam terus-menerus diadakan perayaan untuk menghormati tamu dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan seperti topeng, wayang orang, wayang purwa, wayang gedog dan sebagainya. Juga diadakan pula pertandingan ketangkasan keperajuritan. Setelah tiba waktunya, benarlah Raja dengan ikhlas menyerahkan Putera baginda, yang bernama Raden Putera. Banyak hadiah yang dibawa, antara lain dua payung besar, dua payung kertas, dua bedil cocorong, satu keris Jaka piturun, satu gamelan Si Rarasati, satu babande Si Macan, satu pepatuk Si Mundaran.
Raden Putera pun diusung di dalam tandu dibawah menuju ke palabuhan. Iring-iringan kapal berangkat dengan segera dan di dalam empat hari sampailah di Pendamaran. Angin tiba-tiba berhenti bertiup, reda, teduh dan laut menjadi tenang. Apapun juga diperbuat, kapal yang ditumpangi oleh Raden Putera tidak juga bergerak. Semuanya telah berputus asa. Ketika itu berkatalah Raden Putera bahwa ada beberapa naga putih yang merupakan rakyat dari Puteri Tunjung Buih berlekat dan menahan kapal. Raden Putera menerangkan bahwa ia bersiap melompat ke dalam laut untuk mengusirnya. Sekarang dengan ikhlas Lembu Mangkurat mengakui kelebihan Raden Putera. Dan Lembu Mangkurat yang terhadap Raja Majapahit tidak menunjukkan ketakutan, kini menghatur sembah kepada Raden Putera.
Raden Putera meminta supaya menunggu tiga hari kepadanya. Jika ia sesudah tiga hari belum timbul juga, maka haruslah dilaukan puja bantan, karena dengan berbuat demikian tentu ia akan segera timbul kembali. Dengan mengenakan pakaian seragam kuning. Raden Putera terjun ke dalam laut, dan seketika itu juga terasa kapal si Prabajaka dapat bergerak yang menimbulkan perasaan gembiea kepada semua anak buah kapal. Dengan hati yang berdebar-debar ditunggu sampai tiga hari lamanya. tetapi karena sudah tiga hari Raden Putera belum juga timbul, maka Wiramartaspun diutus lebih dahulu untuk mengambil kerbau, kambing dan ayam di Negaradipa. Juga ia diwajibkan untuk membawa Menteri-menteri untuk menyambut segala hadiah dari Raja Majapahit. Setelah Wiramartas datang di Negaradipa membawa berita, maka Arya Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa pun memerintahkan Menteri-menteri berlayar ke Pendamaran.
Sesudah diadakan upacara puja bantan tujuh hari tujuh malam lamanya, maka tampaklah dengan tiba-tiba Raden Putera di permukaan air dengan muka berseti-seri dan bercahaya, memakai baju sutera kuning yang indah dan menakjubkan serta kaki Raden Putera bertindak diatas sebuah gong besar. Setelah Raden Putera naik diatas geladak kapal, maka Lembu Mangkurat mengait gong besar itu dengan paradah dan oleh karena itulah gong besar itu sampai sekarang tetap terkenal dengan nama Si Rabut Paradah. Raden Putera selanjutnya bergelar SURYANATA. Surya artinya matahari, nata artinya Raja. Tempat berhenti dan memuja di Pendamaran itu sampai sekarang ini dinamai Perbantanan.
Kemudian pelayaran diteruskan menyusur sungai menuju Negaradipa SURYNATA mendapat tempat tinggal di istana yang pernah didiami oleh Empu Jatmika.Dari daerah Tabalong, Barito,Alai,Hamandit, Balangan, Pitap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sabanga, Mendawai, Sampit dan Pembuang datanglah rakyat berduyun -duyun menyampaikan penghormatan kepada SUryanata. Empat puluh hari, empat malam lamanya diadakan perayaan dan pertunjukkan wayang, to[eng,rakit, joget. Pada tengah malam pemuda-pemudi para pembesar kerajaan mendirikan padudusan (tempat upacara mandi), sedang orang-orang yang disebut "kadang haji" diperintahkan untuk mengambil air guna upacara perkawinan. Istana, panggungan, Sitiluhur dan Paseban dIhiasi dengan indahnya. Dari segala pelosok membanjirlah rakyat yang hendak menyaksikan dan mengagumi kemeriahan upacara perkawinan Raja Puteri Tunjung Buih dengan Raden Putera SURYANATA.
Pada hari upacara padudusan, Suryanata memakai pakaian upacara perkawinan, demikian pula halnya dengan Raja Puteri Tunjung Buih. Puteri Tunjung Buih bderpakaian sengan hanya boleh dihadiri oleh empat puluh orang gadis dan wanita-wanita dari pembesar istana. Sebagai selendang dipakaikan kain yang dikenakan ketika baru timbul dari dalam air. Puteri Tunjung Buih mempunyai pengiring empat puluh orang gadis yang jelita. Semuanya memakai baju sutera kuning, sedang pengiring buat Suryanata adalah anak-anak para Menteri yang diwajibkan antara lain membawa alat-alat merokok, alat menginang, tikar dan sebagainya.
Baik kaki mempelai perempuan maupun kaki mempelai laki-laki dibungkus dengan sutera kuning. Setelah Suryanata selesai berpakaian maka ia pun melangkah keluar, dan tiba-tiba terdengarlah suara: "Oh Raden Suryanata, janganlah turun sebelum memakai Mahkota dari langit. Mahkota ini sebagai tanda menjadi Raja lebih besar dari pada raja-raja di bawah angin"! Selanjutnya suara gaib itu menerangkan pula, bahwa mahkota itu mempunyai sifat kesaktian yaitu dapat menjadi lebih berat atau lebih ringan, atau menjadi lebih besar atau menjadi lebih kecil. Hanyalah kepada siapa mahkota ini cocok, dapat menjadi Raja. Dengan sangat khidmat Raden Suryanata mendengarkan suara itu dan kemudian dengan kain kuning yangdibuat oleh para gadis disambutnyalah mahkota itu dan diletakkan di kepala.
Raden Suryanata kemudian duduk di dalam sebuah usungan. Dengan disertai oleh bunyi gamelan dan rentetan dentuman bedil serta tepik soak dari rakyat, maka usungan pun diusung menuju istana mempelai perempuan. Sampai di sini maka Puteri Tunjung Buih pun dijemput dan arak-arakan terus menuju ke padudusan. Kedua mempelai turun dari usungan dan duduk di atas empat kepala kerbau dan kemudian naik di panggung yang didirikan untuk uacara itu di balai Patani. Kemudian datanglah pemimpin-pemimpin negara terkemuka dan penghulu dari bujangga-bujangga di padudusan.
Dengan penuh hormat dan khidmat Lembu Mangkurat mula-mula menyiramkan air mandi di atas ubun-ubun mempelai laki-laki dan perembpan. Sesudah itu menyusulArya Megatsari. Tumenggung Tatahjiwa, dan penghulu tertinggi dari bujangga-bujangga, yang melakukan sambil mengucapkan mantera dan
doa selamat. Ketika telah selesai dengan upacara itu maka ditaburkanlah beras kuning dan mata uang berpuluh-puluh ribu banyaknya, sedang bunyi gamelan dan rentetan dentuman senapan terdengar pula dengan hebatnya.
Kedua mempalai dibawa ke istana. Di sini kedua pengantin makan bersama-sama dengan nasi adap-adap, sedangkan menteri-menteri pun mendapat bagiannya pula. Sesudah berlangsung tiga hari tiga malam, barulah kedua mempalai berkumpul, pada waktu subuh. Untuk merayakan kejadian menggembirakan ini, gong Si Rabut Paradah dipalu., sedang parancakan Si Rarasati dibunyikan dan senapan-senapan ditembakkan berdentam-dentum. Kebiasaan sepertyi ini masih terus berlaku terutama pada upacara perkawinan kaum bangsawan. Masih tujuh hari, tujuh malam parayaan diteruskan bertempat di Paseban. Rakyat bersuka ria dengan permainan rakit, mengadu ayam, wayang, topeng, dan kecakapan bermain senjata. Ke empat puluh orang anak dara mendapat kewajiban masing-masing, diantaranya menjadi parakan, penjogetan, penjaga tempat tidur, makanan, minuman, sirih pinang, dan alat-alat perhiasan.
Tiap-tiap hari Sabtu Raja memberikan kesempatan untuk menghadap dengan bertempat di Sitiluhur. Tidak berapa lama kemudian, permaisuri hamil. Karena permaisuri mengidam, ingin sekali memakan buah jambu dipa, maka dikirimlah utusan ke Majapahit untuk mengambil buah yang diinginkan itu. Sebagai sekedar bingkisan untuk Raja Majapahit dikirim : Lilin, damar, rotan, tikar dan lagi dua buah intan yang besar. Kapal berlayar dibawah pimpinan nakhoda Lampung, yang segera sampai di Majapahit. Dengan perantaraan Patih Gajahmada, beliau dibawa menghadap Raja Majapahit. Raja sangat girang setelah mendengar berita yang menggembirakan itu dan dengan segera menitahkan menyerahkan buah-buahan yang diinginkan dengan ditaruh di dalam kotak emas. Nakhoda Lampung segera bermohon dan berlayar kembali dengan membawa hadiah-hadiah yang berupa beras, kelapa, gula, minyak kepala, asam kamal, bawang, rempah-rempah dan kain-kain batik yang indah.
Datang di Negaradipa, ia dianugerahi pula oleh Maharaja Suryanata karena telah berhasil dengan baik menjalankan perintah yang dititakan kepadanya. Setelah cukup bulannya, dan harinya, maka permaisuripun melahirkan seorang putera, yang diberi nama RADEN SURYAGANGGAWANGSA. Peristiwa ini dirayakan dngan membunyikan si Rabut Paradah, gamelan Sirarasati dan senapan-senapan. Kebiasaan ini masih diadakan pada tiap-tiap hari lahirnya anak raja. Kemudian permaisuri melahirkan lagi seorang putera yang dinamai RADEN SURYAWANGSA.Di Jaman itu yang takluk kepada Maharaja Suryanata adalah raja-raja Sukadana, Sanggau, dan Sambas, kepala-kepala daerah Batang Lawai, dan Kotawaringin. Juga Raja-raja Pasir, Kutai, Karesikan, dan Berau tunduk pula kepada Negaradipa. Pada suatu hari Raja mengadakab pesta untuksegala ponggawa-ponggawa. Ramai orang bersuka ria. dengan senda-gurau dan gelak tawa. Tetapi dengan sekonyong-konyong Raja mengkhabarkan berita yang mengejutkan mereka sekalian, bahwa Raja dengan permaisuri akan "kembali ke asal."
Oleh karena itu kedua putera dipercayakan dibawah pimpinan Lembu Mangkurat. Rakyatnya diperingatkan supaya jangan meniru pakaian bangsa-bangsa lain, dan diperingatkan adat dan susunan pemerintahan hendaklah menurut di Jawa. Sebab tidak ada satu daerah dibawah angin yang akan dapat menyaingi Jawa. Jadi janganlah menyimpang dari adat Majapahit. Selanjutnya raja mengulangi peringatan raja yang terdahulu jangan menanam lada untuk perdagangan karena ini berarti membawa runtuhnya negara. Pun jangalah sekali-sekali menangkap orang-orang yang celaka oleh kekaraman kapal. Setelah mengucapkan amanat dan pesan itu, maka dengan tiba-tiba lenyap, gaiblah Raja dan permaisuridari pemandangan rakyat yang merasa heran dan takjub. Seluruh negara turut bersedih dan berkabung.
Sumber : Lembu Mangkurat (Ceritera Rakyat dari Kalimantan Selatan)
http://alkisahrakyat.blogspot.co.id/2017/04/cerita-raden-putera.html