Alkisah Rakyat ~ Menurut cerita orang-orang tua, tuturang datuk moyang, putri Ngiangnilighide bersemayam di suatu tempat yang berbukit batu. Pada suatu waktu saudaranya yang bernama Araro dan Makakundai sibuk membuat perahu di tempat yang bernama Singkaha (dekat dusun Ataurano sekarang). Yang menemani putri Ngiangnilighide pada saat itu hanyalah saudaranya yang bernama Dalinsar dan hambanya Wuso.
|
ilustrasi : puteri ngiangnilighide |
Sekonyong-konyong nampaklah rombongan penyerang dari Siau, raja Himbawo (pada waktu itu berkedudukan di Pehe) dan pahlawannya yang terdiri dari Mehade, Limbe dan hambanya Wuso. Setelah puteri Ngiangnilighide melihat perahu rombongan penyerang yang berada di laut itu ia merasa takut dan cemas sehingga ber"Kelantok"lah ia sebagai berikut:
"Hai Araro, tidakkah anda bermimpi,
Hai Kundai, tidakkah anda berangan,
Tidak mengimpikan saudari,
Tidak mengangankan putri,
Mahligai 'kan hanyut,
Puri 'kan terbawa arus,
Terhanyut oleh seruling,
Terbawa oleh siulan?"
Raja Himbawo bersiap untuk mendarat dengan penuh harapan akan hasrat hatinya yang menjadi idaman sepanjang hari dan impian sepanjang malam yakni ingin mempersunting seorang putri yang cantik. Ber"Kelantok"lah ia kepada Mahade agar turun kedarat demikian :
"Berserulah hai rekan Mahade
Menyeranglah hai Rumingang Solang
Terjunlah ke depan
Meloncatlah duluan
Terjunlah ke medan perang”
Setelah Mahade mendengar "Kelantok" yang dibawakan raja Himbawo ia segera terjun melawan Dalinsar. Mahade tewas dibunuh Dalinsar dan mayatnya dibujurkan Dalinsar di atas pertahanan batu. Sementara itu berkelantoklah dan bersyairlah raja Himbawo melepaskan perwiranya.
"Bertepiklah hai kawan Limbe
Menyerbulah hai Lumbalung
Terjunlah ke muka
Meloncatlah pertama
Terjunlah ke gelanggang tempur"
Limbe pun memasuki medan pertempuran, tetapi tiba-tiba kembalilah ia, surutlah langkahnya dengan cepat karena dilihatnya Mahade telah terbunuh dan terletak di atas susuan batu. Setelah raja Himbawo melihat Limbe kembali maka mulailah ia dan berkelantok:
"Kutetak kau Limbe
Kusayat kau Limbalung
Limbe lari kecemasan
Pontang panting ketakutan".
Limbe pun segera menjawab, menyampaikan pembelaannya.
"Tidaklah lari kecemasan, pontang-panting katakutan Tuan. Tapi datang menyampaikan warta, Kembali mempersembahkan berita mengkhabarkan rekan Mahade, telah tewas medan bakti."
Setelah mendengar peristiwa tersebut raja Himbawo berkelantok memanggil Mawal :
"Terbanglah hai teman Mawal, sergaplah hai Manensundang. Meloncatlah ke awal, terjun ke arena pertarungan."
Si Mawal segera melibatkan diri dan Dalinsar tewas oleh tangannya.
Sesudah Dalinsar terbunuh, Wuso melarikan diri. Dengan demikian maka putri Ngianghilighide ditawan Himbawo, muat ke dalam perahu dan dibawa ke Siau. Namun karena Ngianghilighide sakti, setelah tiba di Pehe menjelmalah ia menjadi air. Seluruh diinya melebur menjadi cair. Untung dapat diselamatkan ditadah dalam piring Maluku (piring pusaka kerajaan).
Kembali kepada Araro dan Makakundai, kita lihat bahwa pada waktu itu pada Araro dan Makakundai telah sampai bertentang ditawannya saudara perempuan mereka oleh Himbawo. Dengan serta merta mereka menyusul ke Pehe bersama hamba mereka Wuso. Wuso menyamar sebagai wanita. Berkain, membawa puan, bersanggul bagaikan datuk leluhur, rambutnya menarik. Benar-benar sebagai seorang wanita dan untuk buah dad*nya digunakan tempurung.
Ketika ia tiba di Pehe, hari telah malam. Di sana banyak orang tengah bernyanyi-nyanyi sambil memukul gendang memuja untuk membangkitkan gairah seolah-olah membangunkan Ngianghilighide menjagakannya menjadi manusia biasa lagi lepas dari penjelmaannya menjadi air itu.
Pada waktu itu mereka berkumpul di istana Himbawo. Ketika Wuso terlihat oleh raja Himbawo, ia langsung ditegur ditanyakan entah ia abdi dari mana atau pelayan siapa. Wuso menjawab, bahwa ia hamba dari Ulu, pesuruh dari pedalaman datang mengikuti bunyi gendang, menurut gema tabuh, terhimbau oleh irama gendang raja. Himbawo mengatakan bahwa mereka sedang memuja si putri yang telah menjelma menjadi air. Mendengar hal tersebut Wuso bersembah, memohon kepada raja Himbawo agar diberi izin untuk mendekati putri. Permintaannya dikabulkan raja Himbawo.
Dihampirinya piring itu seraya berkata: "Inilah hambamu, inilah abdimu Wuso." Setelah mendengar dan melihat hambanya Wuso berada di samping, tiba-tiba air itu berubah menjadi telur. Tak ayal lagi telur itu di jemput Wuso, disembunyikannya dalam saku bajunya. Pada saat itu juga Wuso meminta kepada raja agar suasana diheningkan. Selain hamba, Wuso ternyata mempunyai kesaktian juga. Setelah mendekati Tuannya, Sang Puteri, maka raja Himbawo beserta orang banyak itu menjadi diam hingga mereka tertidur.
Telur yang dijemputnya dari piring Maluku dan yang dimasukkan dalam bajunya itu dibawanya keluar untuk diberikan kepada Araro saudaranya. Namun Wuso masih juga mencoba melihat apakah benar raja Himbawo bersama orang banyak itu telah tertidur lenyap. Diambilnya lesung, disentak-sentaknya dalam istana, tapi tak seorangpun yang terjaga.
Telur itu dibawa oleh Wuso ke Ulu dan bertemulah ia kembali dengan Araro dan Makakundai. Diceritakannya bahwa Ngiangnilighide telah kembali namun sudah berubah menjadi sebutir telur. Ia segera mengajak mereka berangkat pulang tapi segera pula menambahkan, "Baik kita urungkan sebentar karena saya ingin memeriksa perahu-perahu di pantai Ulu ini apakah masih lengkap alat-alatnya dan kuat. Dan memang benar ada beberapa perahu yang kuat dan dirusakkannya perahu-perahu itu. Setelah selesai mereka bergegas meninggalkan Ulu menuju Sangir.
Tersebutlah raja Himbawo dan orang banyak terbangun dari tidur mereka. Melihat piring Maluku sudah kosong timbullah pikiran mereka bahwa yang membawa atau mencurinya pasti orang yang bernama Wuso karena ia tak nampak lagi. Mereka bersepakat untuk memburunya.
Pengejaran terjadi dari darat hingga ke lautan. Rombongan Araro dan Makakundai bersama hamba mereka Wuso dapat di kejar di antara Batunang dan Saling. Disana mereka saling membunuh. Wuso tewas dan raja Himbawo beserta rombongannya habis menemui ajal, mereka di bunuh oleh Araro dan Makakundai.
Demikianlah cerita orang-orang tua dahulu kala mengenang Ngiangnilighide ditawan Himbawo raja Siau.
Referensi Saya : Berbagai Sumber
Sumber: http://alkisahrakyat.blogspot.co.id/2015/11/cerita-puteri-ngiangnilighide-ditawan.html