Dalam adat suku Wuna (Muna), setiap anak perempuan yang akan memasuki usia remaja diwajibkan menjalani tradisi pingitan (Karia) selama empat hari empat malam atau dua hari dua malam, tergantung kesepakatan antara penyelenggara Karia dengan pomantoto. Tradisi ini bertujuan untuk membekali anak-anak perempuan dengan nilai-nilai etika, moral dan spiritual, baik statusnya sebagai seorang anak, ibu, istri maupun sebagai anggota masyarakat. Sesuai proses pingitan, diadakanlah selamatan dengan mengundang sanak keluarga, kerabat dan handai taulan. Dalam prosesi selamatan ini digelar Tari Linda yang menggambarkan tahap-tahap kehidupan seorang perempuan mulai dari melepaskan masa kanak-kanak lalu memasuki masa remaja, kemudian masa dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Dalam adat suku Muna, setiap anak perempuan yang akan memasuki usia remaja diwajibkan untuk menjalani tradisi pingitan (Karia) selama empat hari empat malam, dua hari dua malam, atau sehari semalam tergantung kesepakatan antara penyelenggara karia dengan tetua adat (pomantoto), atau disesuaikan dengan tingkat sosial atau kasta dalam masyarakat Muna.
Menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tua di Muna untuk mendidik anak perempuan mereka dengan pengetahuan dasar sebelum memasuki masa dewasa dan kehidupan berumah tangga. Seperti dalam sebuah ungkapan filosofi orang tua Muna “kadekiho polambu, ane paeho omandehao kofatawalahae ghabu” yang berarti jangan engkau menikah, sebelum engkau memahami empat penjuru/sisi dapur.
Budaya karia tidak hanya terbatas pada proses dan konsep urutan-urutan pelak-sanaannya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana pemahaman dan pendalaman nilai-nilai dari setiap sesi kegiatan dan simbol-simbol yang ada di dalamnya.
Karia dalam pengertian “kari” yang artinya sikat/alat pembersih mengandung pengertian secara filosofi yaitu merupakan proses pembersihan diri seorang perempuan menjelang dewasa atau peralihan dari remaja ke dewasa. Proses ini dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah disyarati dengan ritual karia maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki.
Berdasarkan filosofi adat Muna bahwa ritual karia sebagai proses pembersihan diri, maka, ritual ini sejalan dengan konsep pendidikan seumur hidup (long life education) Hal ini dapat diliaht dalam proses upacara karia bahwa pelaksanaannya bukan hanya sekedar upacara ritual, tetapi merupakan proses pembinaan mental, moral agama, dan perilaku agar kelak memperoleh benih-benih keturunan yang berakhlak mulia.
Prosesi Karia
Ritual karia disamping sebagai proses pembersihan diri, juga merupakan bagian dari pendidikan kaum perempuan dalam menghadapi bahtera kehidupan berkeluarga. Berikut prosesi pelaksanaan karia terdiri dari 8 prosesi yakni:
a) Kafoluku; yaitu peserta dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus tempatkaria yang disebut suo khusus bagi putri-putri raja dan songi untuk golongan masyarakat umum. Tahapan ini merupakan analogis bahwa manusia berada di alam arwah yaitu tempat gelap gulita hanya Tuhan yang dapat mengetahuinya.
b) Proses Kabhansule; yaitu proses perubahan posisi yang dipingit. Awalnya posisi kepala sebelah barat dengan baring menindis kanan selanjutnya posisinya dibalik kepala ke arah timur, kedua tangan di bawah kepala tindis kiri. Kondisi ini diibaratkan pada posisi bayi yang masih berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah arah atau posisi.
c) Proses Kalempagi; diawali dengan proses debhalengka yaitu membuka pintu kaghombo(pingitan). Secara filosofi kalempagi berarti pelampauan atau melewati yaitu proses peralihan dari remaja ke usia dewasa. Oleh karena itu menurut tradisi di Muna bahwa yang dikaria harus usia remaja yang menjelang dewasa.
d) Kafosampu; (Pemindahan peserta karia dari rumah ke panggung) Pada hari keempat menjelang maghrib, para gadis pingitan siap dikeluarkan dari rumah atau ruang pingitan ke tempat tertentu yang disebut bhawono koruma (panggung). Pada waktu mereka diantar ke panggung tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah.
Gadis-gadis yang mendampingi peserta karia harus yang masih hidup kedua orang tuanya. Mereka bertugas memegang sulutaru, yaitu semacam pohon terang yang terbuat dari kertas warna-warni dan di puncaknya dipasangkan lilin yang menyala. Pengertian lain darisulutaru adalah merupakan isyarat, harapan dari peserta karia agar ke depan memperoleh jalan hidup yang lebih cerah. Oleh karena itu, nyala lilin di puncak sulutaru menjadi simbol masa depannya.
e) Katandano Wite; adalah langkah keempat dalam proses karia. Katandano wite yaitu sentuhan tanah pada ubun-ubun, dahi, dan selanjutnya seluruh persendian hingga pada telapak kaki para peserta karia
f) Linda; Setelah rangkaian acara selesai maka pomantoto atau pemandu melakukan tarilinda sebagai pendahuluan yang kemudian disusul oleh peserta karia secara berurutan yang dimulai dari putri tuan rumah dan seterusnya disusul oleh peserta yang lain secara bergiliran berdasarkan urutan duduknya.
g) Kahapui (Membersihkan); Esok harinya setelah acara kafosampu diadakanlah acarakahapui, yaitu acara ritual pemotongan pisang yang telah ditanam atau disiapkan di depan rumah penyelenggara acara karia. Pemaknaan pohon pisang dalam proses ini merupakan simbol bahwa kehidupan pisang yang silih berganti, bila dipotong satu maka akan tumbuh yang lain sebagai penggantinya.
h) Kaghorono Bhansa; sebagai penutup dari rangkaian acara upacara karia adalahkaghorono bhansa. Pada acara ini, bhansa/mayang pinang yang dipakai untuk memukul-mukulkan badan peserta karia dihanyutkan ke dalam sungai. Filosofi dari acara ini adalah melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta karia.
Kaghoro Bhansa oleh sebagian orang tua di Muna dijadikan isyarat jodoh, nasib, dan takdir peserta karia. Misalnya, pada saat dilakukan kaghoro bhansa, kondisi mayang pinang ada yang tenggelam, terapung, dan ada pula yang hanyut terbawa air. Berdasarkan pemaknaan orang tua bahwa kondisi mayang pinang berkaitan dengan masa depan peserta karia baik jodoh maupun rezeki. Tetapi itu hanya sebatas praduga dan kebenarannya tidak dapat dipastikan. (DAM)
Sumber:
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja