Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur Flores Timur
Tonu Wujo
- 30 Maret 2020

Alkisah, pada jaman dahulu kala hiduplah tiga orang bersaudara. Anak pertama yang bernama Soba Warat Braha Tana, tinggal di Lela Riang Sina Goran Lewo Jawa. Anak kedua yang bernama Haja Lino Kenawe Rere (yang menurunkan Ama Koten) tinggal di Blepa Riang Sina Kehule Rera Gere. Anak ketiga yang bernama Boki Lewotala Pelatin Waitiu,dan biasa dipanggil Boki Bisu yang tinggal di Lewotala. Pada masa kelaparan yang melanda, ketiga bersaudara ini pergi mencari daerah tempat tinggal masing-masing. Boki Bisu yang masih kecil dipanggil oleh Ama Daton untuk tinggal bersama mereka di Wailolong. Di Wailolong, Boki Bisu diajarkan cara untuk mengiris tuak, berkebun dan berburu. Setelah dirasa cukup untuk hidup mandiri Boki Bisu dipanggil pulang oleh saudari mereka, Tupa Woli Hadun Horet dan tinggal bersamanya di Lewo Kena’a Duli Sabu Sosa Peli Lusi Gile atau Huwu matan. Boki Bisu kembali dengan membawa serta perlengkapan berburu dan anjingnya. Boki Bisu bekerja sebagai pengiris tuak. Ketika mengiris tuak manis, Nawi (tempat tuak yang terbuat dari bambu) penuh dan meluap dan membentuk sungai.

Pada suatu hari, ketika sedang mengiris tuak, anjing Boki Bisu menyalak dan mengejar sesuatu. Boki Bisu mengambil busur dan panah dan mengikuti anjing yang mengejar buruan tersebut. Boki bisu mendapati anjingnya sedang menyalak sesuatu, namun Boki Bisu tidak melihat apapun. Kejadian itu berlangsung beberapa hari. Boki Bisu penasaran dan pada suatu hari Boki Bisu berniat untuk mengikuti kemana perginya anjing buruannya yang terus menyalak tersebut. Akhirnya Boki Bisu mendapati anjingnya sedang menyalak ke arah serumpun buluh di suatu tempat yang bernama Wulo Saso. Boki Bisu memotong sebatang buluh dan membawa pulang dan membuat sebuah suling (rure). Pada malam harinya sebelum tidur, Boki Bisu meniup suling tersebut dan sulingnya berbunyi “Tonu lali bao mete haka, Golu lali golo mete gere” yang artinya “Tonu terapung semakin datang, Golu datang semakin naik”.

Keesokan harinya, setelah mengiris tuak, Boki Bisu pergi berburu. Anjingnya menyalak sesuatu di Duan Toko, sebuah daerah di gunung Kedeka, sebelah barat desa Lewotala. Boki Bisu mengikuti anjing tersebut, namun anjingnya menyalak dan berlari mengikuti sesuatu yang disangka binatang buruan ke arah pantai Kewuta, daerah pantai di Waitiu, Boki Bisu mendapati kubangan bekas mandi binatang di daerah berair di pantai Kewuta, di kubangan tersebut Boki Bisu mendapatkan sebuah cincin mas. Cincin tersebut diambil dan dikenakan di jarinya. Boki Bisu terus mengikuti arah salakan anjingnya melalui lembah, naik turun gunung, ke pantai dan naik lagi ke gunung. Boki Bisu tiba di sebuah perkampungan Paji. Boki Bisu menanyakan pada orang-orang di kampung tersebut ke mana arah pergi anjingnya tersebut. Orang-orang di kampung tersebut menunjukkan ke mana arah anjingnya. Boki Bisu mengikutinnya. Sesampainya di suatu tempat Boki Bisu mendapati anjingnya sedang menyalak sesuatu. Boki Bisu memasang anak panah pada busurnya dan bersiap untuk memanah buruannya, namun tidak didapati apa-apa. Boki Bisu mendongak ke atas pepohonan dan dilihatnya seorang perempuan yang memakai kewatek me’a (sarung tenun khusus perempuan) dan labu senuji (baju adat yang dikenakan kaum perempuan berwarna hitam dan disulam bunga dengan benang warna-warni) sedang duduk di atas pohon wa’o. perempuan itu turun mengatakan bahwa ia sedang mencari saudaranya, ia memperkenalkan dirinya sebagai Tonu Wujo. Boki Bisu dan Tonu Wujo berpelukkan dan Boki Bisu membawa Tonu Wujo pulang.

Dalam perjalanan pulang, Tonu Wujo menanyakan nama-nama tempat yang dilalui mereka. Pada suatu tempat yang bernama “Klibang” Mereka beristirahat. Tonu Wujo meminta Boki Bisu untuk mendirikan mera, (menhir atau tugu batu, yang masih ada sampai saat ini, dan merupakan tempat upacara irun bae, upacara mengantar padi yang yang ditaruh dalam rahan, tempat yang dibuat dari anyaman daun lontar dan ada tutupnya dengan nyayian adat). Tonu Wujo berpesan bahwa tempat tersebut harus menjadi tempat upacara sebelum musim tanam padi dan setelah memanen padi dan membawa masuk ke keba, semacam rumah tempat menyimpan padi). Sesampainya di kampung pada malam harinya mereka berdua tidur di korke, dan karena Boki Bisu masih lajang maka pada malam itu terjadi hubungan suami istri antara Boki Bisu dan Tonu Wujo. Karena kejadian itu Tonu Wujo pergi, tetapi Tonu Wujo mengandung seorang anak perempuan dari hubungannya dengan Boki Bisu yang kemudian diberi nama Sabu Dora Gile Em Peni Warat Ina. Keesokan paginya Boki Bisu tidak mendapati lagi Tonu Wujo, tetapi terlihat tujuh butir padi di atas kain alas tidur mereka. Boki Bisu mengayam sebuah hora (tempat terbuat dari ayaman daun lontar tetapi lebih kecil dari kara, ne’e atau rahan. Tonu Wujo pergi ke daerah Lamanabi, di Tanjung Bunga, meninggal di sana dan jiwanya menjelma ke dalam sebuah batu yang disebut Wua Wato.

Pada persiapan musim tanam pada tahun itu, Boki Bisu membuka kebun di Klibang, sesudah membakar lahan, Boki Bisu membuat upacara Ape naha’ dengan mengorbankan seekor kambing. Pada saat waktu menanam, Boki Bisu mengambil tujuh butir padi tersebut dan menanamnya. Dari tujuh butir padi tersebut Boki Bisu mendapatkan panen yang berlimpah. Pada saat itulah masyarakat Lewotala mengenal taha’ (padi). Semua padi tersebut dijual oleh Boki Bisu di Wulen peli Oke Ono Raran Duan Wutun. Karena menjual padi tersebut maka terjadilah kelaparan selama tujuh tahun lima bulan. Sementara anak dari Tonu Wujo dan Boki Bisu, Sabu Dora telah kembali ke kampung halaman ibunya, di Ende dengan membawa serta Wua Wato. Sabu kembali dari Ende dengan menggunakan perahu layar dan sampai di pantai Walang, di Kawaliwu dan melanjutkan perjalananya ke Kuma Ono, sebuah tempat di sebelah Riang Belido, kampung lama dari Lewotala sekarang ini. Sabu Dora pergi ke Doa Hurit dan Baku Sogen. Sabu Dora menyerahkan Wua Wato Em Peni Warat Ina ke Baku Sogen yang disimpan sebagai pusaka suku Sogen sampai saat ini. Sejak adanya Wua Wato yang dimiliki oleh suku Sogen ini, panenan padi di Lewotala semakin berlimpah. Konon batu Wua Wato tersebut bisa berbunga. Satu bunga dari Wua Wato mengisyaratkan panen padi nantinya akan mendapat satu kara ata lema (tempat padi dari anyaman daun lontar yang lingkarannya dapat dipeluk 5 orang dewasa). Karena panenan padi yang berlimpah maka didirikan keba (rumah atau pondok tempat menyimpan padi)

Oleh karena itu di kecamatan Lewolema, desa Bantala khususnya, dikenal istilah ma witi, ma nikoleun dan ma nikodore, yang merupakan kebun yang dikerjakan oleh satu atau beberapa orang dengan upacara atau seremonial adat tanam, di samping kebun-kebun pribadi yang tidak disertai oleh upacara adat. Biasanya pada saat memetik padi disuguhi sirih pinang, wajak wu’a malu, sebagai penghormatan kepada Tonu Wujo

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline