Alkisah, pada jaman dahulu kala hiduplah tiga orang bersaudara. Anak pertama yang bernama Soba Warat Braha Tana, tinggal di Lela Riang Sina Goran Lewo Jawa. Anak kedua yang bernama Haja Lino Kenawe Rere (yang menurunkan Ama Koten) tinggal di Blepa Riang Sina Kehule Rera Gere. Anak ketiga yang bernama Boki Lewotala Pelatin Waitiu,dan biasa dipanggil Boki Bisu yang tinggal di Lewotala. Pada masa kelaparan yang melanda, ketiga bersaudara ini pergi mencari daerah tempat tinggal masing-masing. Boki Bisu yang masih kecil dipanggil oleh Ama Daton untuk tinggal bersama mereka di Wailolong. Di Wailolong, Boki Bisu diajarkan cara untuk mengiris tuak, berkebun dan berburu. Setelah dirasa cukup untuk hidup mandiri Boki Bisu dipanggil pulang oleh saudari mereka, Tupa Woli Hadun Horet dan tinggal bersamanya di Lewo Kena’a Duli Sabu Sosa Peli Lusi Gile atau Huwu matan. Boki Bisu kembali dengan membawa serta perlengkapan berburu dan anjingnya. Boki Bisu bekerja sebagai pengiris tuak. Ketika mengiris tuak manis, Nawi (tempat tuak yang terbuat dari bambu) penuh dan meluap dan membentuk sungai.
Pada suatu hari, ketika sedang mengiris tuak, anjing Boki Bisu menyalak dan mengejar sesuatu. Boki Bisu mengambil busur dan panah dan mengikuti anjing yang mengejar buruan tersebut. Boki bisu mendapati anjingnya sedang menyalak sesuatu, namun Boki Bisu tidak melihat apapun. Kejadian itu berlangsung beberapa hari. Boki Bisu penasaran dan pada suatu hari Boki Bisu berniat untuk mengikuti kemana perginya anjing buruannya yang terus menyalak tersebut. Akhirnya Boki Bisu mendapati anjingnya sedang menyalak ke arah serumpun buluh di suatu tempat yang bernama Wulo Saso. Boki Bisu memotong sebatang buluh dan membawa pulang dan membuat sebuah suling (rure). Pada malam harinya sebelum tidur, Boki Bisu meniup suling tersebut dan sulingnya berbunyi “Tonu lali bao mete haka, Golu lali golo mete gere” yang artinya “Tonu terapung semakin datang, Golu datang semakin naik”.
Keesokan harinya, setelah mengiris tuak, Boki Bisu pergi berburu. Anjingnya menyalak sesuatu di Duan Toko, sebuah daerah di gunung Kedeka, sebelah barat desa Lewotala. Boki Bisu mengikuti anjing tersebut, namun anjingnya menyalak dan berlari mengikuti sesuatu yang disangka binatang buruan ke arah pantai Kewuta, daerah pantai di Waitiu, Boki Bisu mendapati kubangan bekas mandi binatang di daerah berair di pantai Kewuta, di kubangan tersebut Boki Bisu mendapatkan sebuah cincin mas. Cincin tersebut diambil dan dikenakan di jarinya. Boki Bisu terus mengikuti arah salakan anjingnya melalui lembah, naik turun gunung, ke pantai dan naik lagi ke gunung. Boki Bisu tiba di sebuah perkampungan Paji. Boki Bisu menanyakan pada orang-orang di kampung tersebut ke mana arah pergi anjingnya tersebut. Orang-orang di kampung tersebut menunjukkan ke mana arah anjingnya. Boki Bisu mengikutinnya. Sesampainya di suatu tempat Boki Bisu mendapati anjingnya sedang menyalak sesuatu. Boki Bisu memasang anak panah pada busurnya dan bersiap untuk memanah buruannya, namun tidak didapati apa-apa. Boki Bisu mendongak ke atas pepohonan dan dilihatnya seorang perempuan yang memakai kewatek me’a (sarung tenun khusus perempuan) dan labu senuji (baju adat yang dikenakan kaum perempuan berwarna hitam dan disulam bunga dengan benang warna-warni) sedang duduk di atas pohon wa’o. perempuan itu turun mengatakan bahwa ia sedang mencari saudaranya, ia memperkenalkan dirinya sebagai Tonu Wujo. Boki Bisu dan Tonu Wujo berpelukkan dan Boki Bisu membawa Tonu Wujo pulang.
Dalam perjalanan pulang, Tonu Wujo menanyakan nama-nama tempat yang dilalui mereka. Pada suatu tempat yang bernama “Klibang” Mereka beristirahat. Tonu Wujo meminta Boki Bisu untuk mendirikan mera, (menhir atau tugu batu, yang masih ada sampai saat ini, dan merupakan tempat upacara irun bae, upacara mengantar padi yang yang ditaruh dalam rahan, tempat yang dibuat dari anyaman daun lontar dan ada tutupnya dengan nyayian adat). Tonu Wujo berpesan bahwa tempat tersebut harus menjadi tempat upacara sebelum musim tanam padi dan setelah memanen padi dan membawa masuk ke keba, semacam rumah tempat menyimpan padi). Sesampainya di kampung pada malam harinya mereka berdua tidur di korke, dan karena Boki Bisu masih lajang maka pada malam itu terjadi hubungan suami istri antara Boki Bisu dan Tonu Wujo. Karena kejadian itu Tonu Wujo pergi, tetapi Tonu Wujo mengandung seorang anak perempuan dari hubungannya dengan Boki Bisu yang kemudian diberi nama Sabu Dora Gile Em Peni Warat Ina. Keesokan paginya Boki Bisu tidak mendapati lagi Tonu Wujo, tetapi terlihat tujuh butir padi di atas kain alas tidur mereka. Boki Bisu mengayam sebuah hora (tempat terbuat dari ayaman daun lontar tetapi lebih kecil dari kara, ne’e atau rahan. Tonu Wujo pergi ke daerah Lamanabi, di Tanjung Bunga, meninggal di sana dan jiwanya menjelma ke dalam sebuah batu yang disebut Wua Wato.
Pada persiapan musim tanam pada tahun itu, Boki Bisu membuka kebun di Klibang, sesudah membakar lahan, Boki Bisu membuat upacara Ape naha’ dengan mengorbankan seekor kambing. Pada saat waktu menanam, Boki Bisu mengambil tujuh butir padi tersebut dan menanamnya. Dari tujuh butir padi tersebut Boki Bisu mendapatkan panen yang berlimpah. Pada saat itulah masyarakat Lewotala mengenal taha’ (padi). Semua padi tersebut dijual oleh Boki Bisu di Wulen peli Oke Ono Raran Duan Wutun. Karena menjual padi tersebut maka terjadilah kelaparan selama tujuh tahun lima bulan. Sementara anak dari Tonu Wujo dan Boki Bisu, Sabu Dora telah kembali ke kampung halaman ibunya, di Ende dengan membawa serta Wua Wato. Sabu kembali dari Ende dengan menggunakan perahu layar dan sampai di pantai Walang, di Kawaliwu dan melanjutkan perjalananya ke Kuma Ono, sebuah tempat di sebelah Riang Belido, kampung lama dari Lewotala sekarang ini. Sabu Dora pergi ke Doa Hurit dan Baku Sogen. Sabu Dora menyerahkan Wua Wato Em Peni Warat Ina ke Baku Sogen yang disimpan sebagai pusaka suku Sogen sampai saat ini. Sejak adanya Wua Wato yang dimiliki oleh suku Sogen ini, panenan padi di Lewotala semakin berlimpah. Konon batu Wua Wato tersebut bisa berbunga. Satu bunga dari Wua Wato mengisyaratkan panen padi nantinya akan mendapat satu kara ata lema (tempat padi dari anyaman daun lontar yang lingkarannya dapat dipeluk 5 orang dewasa). Karena panenan padi yang berlimpah maka didirikan keba (rumah atau pondok tempat menyimpan padi)
Oleh karena itu di kecamatan Lewolema, desa Bantala khususnya, dikenal istilah ma witi, ma nikoleun dan ma nikodore, yang merupakan kebun yang dikerjakan oleh satu atau beberapa orang dengan upacara atau seremonial adat tanam, di samping kebun-kebun pribadi yang tidak disertai oleh upacara adat. Biasanya pada saat memetik padi disuguhi sirih pinang, wajak wu’a malu, sebagai penghormatan kepada Tonu Wujo
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...