|
|
|
|
Terjadinya Kampung Tablanusu Tanggal 05 Mar 2021 oleh Widra . |
Matahari baru saja turun dari peraduannya. Udara pagi menyebarkan kesegaran kepada setiap insan yang baru saja terbangun dari lelap tidur malam. Kicauan beraneka burung di atas pohon matoa menambah semarak pagi yang begitu indah dan damai. Tuhan Yang Mahaagung senantiasa membagikan rahmat tanpa henti-hentinya bagi hamba-Nya.
Syahdan, sekelompok manusia sedang mengadakan pelayaran dari Negeri Matahari Terbit (Papua New Guini). Pelayaran ini dipimpin oleh seorang lelaki yang gagah berani. Mereka adalah pelaut-pelaut ulung. Laut adalah rumah kedua baginya. Ketangguhan, keperkasaan, dan keberanian orang-orang ini adalah hasil tempaan alam. Perahu semang yang ditumpangi cukup kokoh untuk membawa para pengembara ini mengarungi lautan.
Angin berhembus melajukan perahu mereka dengan lancar. Ikan-ikan di laut kaget dan berloncatan di depan perahu. Burung camar melayang bebas di angkasa. Lima puluh meter dari kapal ikan lumba-lumba berlompatan seolah memberi arah. Para pengembara yang ada di dalam perahu merasa takjub. Mereka tak hentihentinya bersyukur atas nikmat ini. Tanpa disadari air mata meleleh mengagumi kebesaran Tuhan.
”Tuhan segala puji bagi Engkau. Dengan memujiMu ampunilah dosa-dosa kami,” doa para pelaut dari Negeri Matahari Terbit ini. Perahu berjalan dengan lancar. Tidak terasa hari telah beranjak siang. Orang-orang ini pun harus beristirahat. ”Pace (Pak), Mace (Bu), sebentar Kitong (Kita) masuk Kampung Nafri,” kata sang pemimpin rombongan. ”Matahari su persis ada di kitong pu ubun-ubun. Bagaimana kalu kitong istirahat sebentar,” usul seseorang di antara mereka. ”Baiklah,” jawab sang pemimpin rombongan. Para pengembara ini pun menepi ke sebuah kampung indah permai bernama Kampung Nafri. ”Mace, keluarkan kitong pu perbekalan sudah. Ko taroh di atas para-para itu. Kitong akan istirahat sejenak dan makan siang,” kata sang pemimpin rombongan. Bekal dikeluarkan. Ada bete (talas), betatas (ubi jalar), papeda (bubur sagu), dan ikan kuri. Setelah mencuci tangan dengan air laut, mereka berdoa. Mereka lalu menikmati makan siang ditemani deburan ombak Pantai Nafri. Mereka makan dengan lahap. Papeda yang terbuat dari tepung sagu tersebut dalam sekejap ludes tak tersisa. ”Mace ko pu (kamu punya) masakan enak sampee, ini papeda apakah?” tanya sang pemimpin rombongan. ”Oh, itu dari sagu tokokan terakhir. Waktu itu di hutan ada jenis sagu merah yang terkenal sangat enak untuk dibuat papeda. Kitong okok itu sagu dan kitong jadikan bekal. Tambah sudah. Itu ikan kurinya masih banyak.” ”Sa su (saya sudah) kenyang. Kalau kitong makan kekenyangan juga tidak baik. Sesuatu yang berlebihan pasti berakibat buruk. Sa pu orang tua pernah bilang untuk menyisakan ruang untuk udara dan air di dalam perut ketika kita makan. Sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk udara, dan sepertiganya lagi untuk air,” kata sang pemimpin rombongan kepada anak buahnya.
Sang pemimpin rombongan memang memiliki sikap dan perilaku yang baik. Ia memberi teladan lewat tutur kata, perbuatan, dan tingkah laku. Ia orang yang pantas untuk dicontoh karena ketinggian akhlaknya. Karena sifat-sifat tersebut, anak buah yang dipimpinnya merasa segan dan hormat kepadanya. Usai mengunyah pinang, sang pemimpin mengajak rombongan melanjutkan perjalanan.
”Kitong jalan sudah,” ujarnya. ”Iyo sudah,” jawab sang anak buah serempak. Mereka pun bangkit dan menyimpan kembali makanan yang tersisa dan memasukkannya ke dalam noken. ”Ambil sisa-sisa sampah yang masih tertinggal di pantai. Bersihkan kembali tempat ini seperti semula. Kitong mesti jaga tong pu alam. Karena dari alamlah kitong hidup dan menjalani kehidupan. Laut telah memberi kita berbagai macam ikan dan makanan laut lainnya. Tanah telah memberi kita berbagai macam sayur, buah, dan air. Udara telah memberi kita oksigen sehingga kita bernafas dengan leluasa. Oleh karena itu, menjaga kelestarian alam sebenarnya untuk kitong pu hidup sendiri.”
Perjalanan masih jauh. Pulau yang hendak mereka tuju masih jauh dari jangkauan, tetapi mereka tidak putus asa. Mereka meyakini bahwa dibalik semua kesulitan yang mereka hadapi pasti tersimpan hikmah yang dapat mereka petik.
”Tujuan kita selanjutnya ke Sentani. Perjalanan ini masih jauh. Jadi, bersabarlah. Kitong harus bekerja sama menghadapi setiap rintangan yang ada. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” kata sang pemimpin rombongan. Kata-kata yang bijak ini membuat rombongan bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Setiap rintangan akan dihadapi bersama-sama.
Perahu pun dikayuh kembali dan perjalanan dilanjutkan. Matahari sudah condong ke arah barat. Terik matahari telah tergantikan dengan kesejukan senja. Perlahan-lahan peluh mengering karena hembusan semilir angin. Sejenak, para pengembara terdiam menikmati kemegahan senja ini. Tiba-tiba keheningan ini dipecahkan oleh teriakan salah satu di antara mereka. ”Lihatlah, di sana terlihat daratan,” katanya. ”Oh, iyo,” sahut yang lainnya.
Laju perahu dipercepat. Semua orang sudah tidak sabar ingin segera mendarat. Semakin mendekati pulau yang hendak dituju maka semakin jelaslah keindahan yang terpampang. Gunung menjulang tinggi berpayung awan. Laksana paku bumi. Ia berdiri tegak menantang angin dan badai. Di bawahnya terdapat lembah yang sangat subur. Berbagai macam tanaman menyelimuti tempat ini. Dari jauh terlihat laksana permadani hijau yang menghampar. Tebing-tebing karang membentang menjadi pembatas antara lautan dan daratan. Beberapa kepiting laut merayap di pasir pantai putih nan bersih. Surga tersembunyi ini bernama Lembah Buper.
”Pace, mace kitong su sampe, turun sudah,” kata sang ketua rombongan. Mereka pun turun secara bergantian. ”Mari kitong kasih turun kitong pu barang dan taruh di bawah pohon bintanggur itu,” perintah salah satu perempuan di antara mereka. Setelah semuanya diturunkan, perahu semangpun disandarkan di antara batu karang yang agak tersembunyi. ”Kitong akan bermalam di sini. Siapkan api unggun sebagai penerangan dan persiapan membakar betatas dan ikan untuk makan malam,” perintah sang ketua rombongan kepada para lelaki. ”Iyo, sudah,” jawab mereka sambil berlalu.
Setelah mendapat perintah dari sang ketua rombongan, para lelaki terpisah dalam beberapa kelompok. Ada yang mencari kayu bakar dari ranting-ranting kering pohon bakau, ada yang membersihkan tempat untuk persiapan api unggun dan ada pula yang mulai membersihkan ikan. ”Kita akan tidur di mana?” tanya salah seorang di antara mereka kepada sang ketua rombongan. ”Kita akan mencari gua di sekitar sini. Cobalah mencari gua yang cukup luas dan aman bagi kita untuk beristirahat malam ini. Pastikan tidak ada ular dan binatang berbahaya di dalamnya. Lakukan sekarang selagi hari belum terlalu gelap,” perintah Sang Ketua Rombongan kepada lelaki tadi.
Matahari sudah kembali ke peraduannya. Hari telah berganti menjadi malam. Kegelapan telah memeluk jagad raya. Api unggun segera dinyalakan. Rantingranting kering pohon bakau yang telah dikumpulkan kini telah berubah menjadi bara. Beberapa lidah api meliuk-liuk tertiup angin yang datang dari laut. Mereka merapat ke arah api unggun untuk menghangatkan tubuh. Ikan yang telah dibersihkan ditusukkan ke kayu dan di bakar di atas bara api. Disusul kemudian betatas atau ubi jalar juga ikut dimasukkan ke bara api. Aroma ikan bakar memenuhi sekitar api unggun. Tidak lama kemudian kedua masakan tersebut telah masak.
Beberapa pelepah daun pisang telah dipersiapkan sebagai alas ikan bakar dan betatas yang telah masak. Mereka menikmati makanan tersebut dengan penuh rasa syukur. Api unggun suah muali redup. Hari pun sudah beranjak malam. sudah waktunya bagi mereka untuk beristirahat setelah bekerja keras. Beberapa hari lamanya orang-orang dari Negeri Matahari Terbit ini tinggal di sini. Setelah cukup bersitirahat, sebagian orang ada yang ingin melanjutkan perjalanan ke Lembah Deponpau.
”Kita sudah beberapa hari ini tinggal di lembah ini. Sudah waktunya bagi kita untuk melanjutkan perjalanan,” usul salah seorang di antara mereka. ”Aku sendiri yang akan membicarakan hal ini ke kitong pu ketua rombongan,” katanya. Ia segera berlalu dan menemui sang ketua rombongan. Dari kejauhan terlihat orang yang sedang dicarinya berdiri di atas bukit karang tertinggi. Kedua tangannya menengadah ke arah langit. Sepertinya ia sedang dalam konsentrasi penuh untuk menghadapkan hati dan pikiran kepada Tuhan. ”Akan aku tunggu sampai ia selesai berdoa.” Beberapa saat lamanya ia menunggu sang ketua rombongan menyelesaikan doanya. Ia melihat lelaki itu telah menuruni bukit karang. Kaki-kakinya yang kokoh lincah menelusuri lekuk-lekuk bukit. Begitu sampai di bawah ia segera menghampirinya dan mengutarakan keinginannya. ”Pace, kitong su cukup lama singgah di Bukit Buper ini. Sa akan melanjutkan perjalanan. Sa akan menuju Deponpau.” ”Apakah ko su siapkan orang-orang yang akan berangkat bersamamu?” tanya sang ketua rombongan. ”Iyo, semua su siap,” jawabnya. ”Kalau begitu berangkatlah.” Rombongan kemudian dibagi menjadi kelompokkelompok yang lebih kecil. Dari Deponpau mereka terbagi lagi, ada yang ke barat dan ada yang ke timur menuju wilayah Deponsero Utara.
Dari pembagian itu seorang yang bernama Siriwari Wai, sang ketua rombongan turun dan tinggal di pantai. Ia hidup seorang diri dan tinggal di tebing-tebing gunung batu karena tidak mendapat tempat tinggal yang layak untuk dihuni. Melihat keadaan tempat tinggalnya seperti itu, ia mulai berpikir dan merencanakan untuk membentuk satu kampung yang layak untuk tinggal dan berlindung.
Siriwari Wai pemimpin rombongan pelayaran dari Negeri Matahari terbit ini adalah lelaki yang gagah berani. Angin telah memahat kulitnya menjadi liat dan kuat. Sengatan matahari menempanya menjadi lelaki tangguh yang pantang mengeluh. Sementara itu, ganasnya ombak telah membimbingnya untuk berani mengambil risiko dan berani mempertanggungjawabkan keputusan yang telah ia ambil. Ketiga keunggulan itulah yang menjadikannya dipercaya menjadi kepala rombongan. Tuhan juga telah mengaruniai Siriwari Wai dengan ketampanan. Hidungnya mancung, matanya bulat dan tajam. Tulang rahangnya kokoh. Dengan badan tegap, kulit gelap, dan rambut keriting ikal sempurnalah ketampanan Siriwari Wai.
Setiap hari ia mengitari Lembah Buper. Sisi-sisi lembah, ngarai, dan sungai telah ia susuri. Penjelajahan dimulai dari matahari pagi menyingsing hingga matahari terbenam. Berbagai macam flora dan fauna ia temui di perjalanan. Burung cenderawasih yang mendapat julukan burung surga sedang bertengger pada sebuah ranting. Bulu cenderawasih jantan sangat indah laksana bidadari yang turun dari kayangan. Ia sedang memamerkan keindahan bulunya sambil meliuk-liukkan badan di ranting itu. Gerakan menari tersebut diselingi dengan nyanyian yang ia keluarkan dari paruhnya yang berbentuk bulan sabit. Siriwari Wai terpesona. Sejenak ia menghentikan langkahnya dan menikmati pemandangan tersebut.
Ketika sedang asyik menikmati keindahan tarian cenderawasih ia dikejutkan dengan sebuah gerakan di antara semak pohon pakis. ”Apa itu?” katanya. Ia segera menuju ke semak-semak itu. Ia mengikuti bekas tapak-tapak yang ditinggalkan binatang tersebut. Ternyata tapak-tapak itu berakhir pada sebuah gua. Mengendap-endap ia memasuki gua yang gelap. Hanya sedikit sekali cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk ke gua. Beberapa kelelawar kaget dan terbang. Lelaki dari Negeri Matahari Terbit (Papua New Guini) itu kahirnya menemukan binatang tersebut. Dengan bantuan sinar matahari yang menerobos ke dalam goa ia dapat melihatnya. Ekornya panjang. Ia berkaki empat dan berkuku taja,m. Sepintas ia mirip kadal raksasa. Badannya kasar dan berbintik-bintik.
”Oh, rupanya ia sedang mencari mangsa. Kelelawarkelelawar ini cukup menyediakan makanan baginya.” Siriwari Wai segera meninggalkan gua. Begitu keluar dari gua ia mengambil napas dalam-dalam. ”Akhirnya aku dapat bernapas dengan lega kembali.”
Ketika perjalanan hendak dilanjutkan kembali, di depan mulut gua ia mendapati kuskus yang berjalan sangat lambat. Binatang berkantung ini termasuk keluarga marsupiali. Ia berhenti pada sebuah cabang pohon yang kuat dan mengaitkan ekornya pada cabang tersebut sehingga badannya menggantung. Sang kuskus akan tidur karena ia termasuk binatang malam. Matahari bersinar cerah. Hari telah beranjak siang. Siriwari Wai merasa lapar. Setiap kali merasa lapar, dengan mudah ia akan mendapatkan ikan gastor di kali. Kelapa yang tumbuh subur di sepanjang lembah ini telah menyediakan air kelapa yang segar jika ia kehausan, tetapi ia merasa kurang karena lembah ini terlalu sunyi.
”Lembah ini sangat indah dan subur, tetapi mengapa aku merasa ada yang kurang. Apa ya?” gumamnya. ”Aku harus membuat sebuah kampung supaya tempat ini ramai,” kata Siriwai Wai pada suatu hari. Keputusan telah diambil. Ia bertekad untuk membangun sebuah kampung. Sayangnya, ia tidak mempunyai apa pun untuk membangun sebuah kampung. ”Aku tidak punya bekal apa pun untuk membangun sebuah kampung. Bagaimana ini?” ucapnya sambil berpikir. Ketika sedang berpikir, tiba-tiba ia teringat sesuatu. ”Aku mempunyai ilmu dan tiga buah alat sakti. Ketiganya dapat aku gunakan sebagai alat untuk mendirikan kampung di sini,” katanya. Siriwari Wai yakin bahwa ilmu adalah cahaya dalam kegelapan. Ilmulah yang akan mengarahkannya ke jalan yang benar. Sebagai cahaya, ilmu akan menjadi lentera dalam mengatasi permasalahan yang akan ia hadapi. ”Ah, selain ilmu aku masih mempunyai tiga alat sakti,” katanya bersemangat. Ketiga alat sakti yang dimiliki oleh Siriwari Wai itu adalah yaumau po, yakni sepotong kayu besi, ongkoi, yakni sebuah wadah yang dibuat dari pohon palem untuk menimbah air’, dan yepi, yakni ’lagu-lagu atau syair adat’. ”Akan aku gunakan ketiga alat itu sebaik-baiknya,” kata Siriwari Wai menyemangati diri.
Dengan ketiga alat itu, sang lelaki perkasa itu mulai membuat kampung. Ia ambil tanah dengan wadah ongkoi. Ketika tanah telah terkumpul ditumbuknya tanah itu dengan sepotong kayu besi yaumau po. Alat ini berwarna cokelat kehitaman dan sangat keras. Gagangnya halus dan mengkilap. Ada ukiran biawak di pangkal tongkat. Dengan panjang 2 meter, alat ini cukup kuat untuk menghaluskan tanah yang keras sekali pun. Hanya orang-orang tertentu yang dapat menggunakannya. Diperlukan mantera khusus agar tongkat ini memiliki kekuatan sakti.
Perlahan Siriwari Wai mengeluarkan tongkat sakti ini dari sarungnya. Bersamaan dengan itu suasana menjadi berubah. Langit semula cerah mendadak mendung. Dari arah laut angin mengirimkan angin puting beliung. Gulung-menggulung angin itu berarak ke arah tongkat sakti.
Lelaki dari Negeri Matahari Terbit (Papua New Guini) tersebut segera membuka tangannya. Dengan kekuatan saktinya ia memasukkan kekuatan angin puting beliung itu ke dalam tongkat sakti. Seperti dikomando angin puting beliung itu masuk ke dalam tongkat sakti. Siriwari Wai memegang tongkat itu dengan kuat. Yaumau po terguncang-guncang dengan hebat. Pada kisaran terakhir dari angin puting beliung tersebut tongkat mulai tenang. Langit cerah dan suasana kembali normal. Siriwari Wai mengucap syukur kepada Yang Mahakuasa karena dapat melalui semua ini. Ia memandang hamparan bukit karang di tepi laut. ”Aku harus meratakan tempat ini agar nyaman untuk ditinggali. Tempat ini harus ditimbun,” katanya. Sejenak ia membaca mantra untuk menggunakan yaumau po. Tongkat yang ada di dalam genggamannya bergetar dengan hebat. Segera ia mengangkat tongkat itu dan menghujamkannya ke dalam tanah. Keajaiban pun terjadi. Bongkahan batu karang itu tiba-tiba berguguran mengisi celah-celah yang masih terisi air. Tongkat sakti yang ada dalam genggaman Siriwari Wai terlepas. Ia melesat tinggi ke udara.
Lelaki perkasa ini merasa takjub. Ia masih menunggu apa yang akan terjadi. Sejenak kemudian, sang tongkat turun lagi. Kini ia menumbuk bongkahan-bongkahan batu karang tersebut. Pekerjaan ini ia lakukan dengan cepat sehingga hanya perlu waktu sejenak untuk menumbuk dan meratakan batu-batu karang ini. ”Tempat ini telah tertimbun. Aku tinggal merapikan saja. Untuk sementara waktu aku akan beristirahat dahulu. Esok atau lusa aku akan lanjutkan kembali.”
Demikianlah kegigihan Siriwari Wai dalam mewujudkan cita-citanya. Untuk menghilangkan kejenuhan, Siriwari Wai bekerja sambil melantunkan yepi ketika menimbun sebagian laut. Ia sangat rajin bekerja walaupun peluh bercucuran di sekujur tubuhnya ia tetap rajin dan sabar dalam melakukan pekerjaan tersebut. Dengan tekun dan teliti pekerjaan ini ia lakukan. Setiap hari ia bekerja keras hingga sebagian air laut dapat tertimbun dengan tanah.
Pada suatu hari, Siriwari Wai sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sambil bekerja, ia mendendangkan yepi (syair adat). ”A gha pe a gha ke la no mi . Dho mi yea ne me ne. Na dheimay me ye a kho wa yan de. E le a e gha dih keiyea ha khoi. Ye a ne me ne nambai nye ha kho mande.” Suaranya merdu mendayu-dayu dan menembus lembah serta bukit-bukit yang melingkupi pantai nan indah permai itu. Lagu yang bercerita tentang pentingnya persatuan dan kesatuan ini benar-benar merasuk ke dalam jiwanya. Ia hayati setiap lariknya. Jika lagu ini dijabarkan setiap lariknya, dapat diterjemahkan sebagai berikut:
”Bersatulah kita semua. Laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Bergembiralah kita selalu. Persatuan dan kegembiraan Memberi kekuatan Untuk selama-lamanya Untuk selama-lamanya. Untuk selama-lamanya. Untuk selama-lamanya.” Begitu dalam ia menghayati yepi yang ia dendangkan. Kemerduan dan keindahan suaranya telah membius alam dan jagad raya. Manusia, binatang, tumbuhan, bahkan makhluk yang tidak kasatmata pun terhanyut olehnya.
Ikan-ikan di lautan berhenti berenang. Buayabuaya keluar dari sarangnya. Burung-burung berhenti berkicau. Ombak di lautan kembali tenang. Angin terbuai dan berhenti berhembus. Binatang-binatang melata menghentikan langkahnya. Salah satu binatang melata yang mendekat ke Siriwari Wai karena terbius oleh kemerduan dan keindahan lantunan suara Siriwari Wai adalah pelong si biawak hijau. Pohon matoa raksasa yang ada di sebelahnya terayun-ayun daunnya karena tiupan angin laut. Ia tidak menyadari keadaan di sekelilingnya. Kerimbunan pohon matoa yang melindunginya dari sengatan matahari dan semilir angin yang berhembus membuatnya semakin terhanyut. Tanpa ia sadari, di sebuah cabang pohon tersebut bertengger pelong, si biawak hijau. Binatang melata ini merayapi ranting-ranting mengejar serangga. Tiba-tiba pelong atau biawak hijau ini jatuh dari atas pohon matoa dan hinggap di atas bahu Sirwari Wai. Dia sangat kaget.
”Ya Tuhan! Apa ini?” teriaknya. Karena kaget, ia melemparkan binatang ini ke tanah. Suasana tiba-tiba berubah. Langit berubah menjadi gelap gulita. Angin bertiup kencang. Di langit guntur menggelegar. Kilat menjulur laksana lidah api panjang. Siriwari Wai segera meninggalkan tempat ini dan berjalan ke gua tempatnya berlindung. Dari mulut gua ia menyaksikan air hujan tercurah ke bumi dengan derasnya. Anehnya, air yang tercurah dari langit itu semuanya mengarah ke satu tempat. Seperti sudah diatur, air itu terkumpul di tempat jatuhnya pelong tersebut.
”Aneh, mengapa semua air mengarah ke tempat jatuhnya pelong tadi, ya,” gumam Siriwari Wai. Mula-mula air yang terkumpul hanya sedikit. Lama kelamaan air yang terkumpul semakin banyak. Siriwari wai takjub melihat kejadian itu. Perlahan-lahan tempat jatuhnya pelong, si biawak hijau, tersebut secara ajaib berubah menjadi rawa dan sampai sekarang rawa tersebut masih ada.
Pekerjaan untuk membangun tempat tinggal belum selesai juga. Siriwari Wai tetap melaksanakan pekerjaan ini dengan tekun setiap hari. Pada suatu petang setelah selesai bekerja, Siriwari Wai duduk beristirahat sambil memperhatikan segala jenis binatang yang lewat. Ada kasuari, kuskus, cenderawasih, biawak, nuri, dan lainlain. Hampir setiap hari ia memperhatikan binatang-binatang tersebut dengan saksama. Ia bertanya dalam hati, ”Mengapa binatang yang aku lihat setiap hari hidup berpasang-pasangan? Sementara itu, aku sendiri sebagai makhluk yang oleh Tuhan dijadikan makhluk paling mulia hidup seorang diri. Apakah aku dengan binatang ini berbeda?”
Kampung sudah hampir jadi. Tepi pantai diratakan dan siap untuk didirikan rumah. Beberapa tanaman telah tumbuh dengan subur bahkan beberapa di antaranya telah berbuah. Siriwari Wai merasa senang dengan keadaan tersebut. Kini ia telah memiliki tempat tinggal. Namun, ia merasa kesepian karena belum memiliki pendamping hidup.
Pada waktu itu belum ada seorang perempuan pun di tempat ini. Bila ada, pasti Siriwari Wai telah memiliki pasangan. Siriwari Wai orang yang sakti. Ia mempunyai ilmu untuk berubah wujud. Siang hari ia berwujud manusia, sedangkan pada malam hari ia berubah menjadi buaya, biawak, atau ular. Meskipun sakti, ia tetap tidak berdaya menghadapi masalah ini. Di dalam benaknya ia berpikir tentang cara mendapatkan seorang perempuan sebagai pendamping hidupnya.
”Bagaimana, ya, caranya agar aku bisa mendapatkan pendamping hidupku?” katanya. Selang beberapa hari, pekerjaan Siriwari Wai pun selesai. Suatu sore, ia duduk beristirahat sambil mengamati binatang-binatang seperti biasanya. ”Oh, alangkah bahagianya binatang-binatang itu. Mereka hidup berpasang-pasangan dan tidak kesepian seperti aku. Kapan aku akan menemukan pasangan hidupku?” tanyanya pada diri sendiri sambil terus menatap binatang-binatang itu.
Rupanya Tuhan mendengarkan keinginan Siriwari Wai. Ia mengirimkan seorang bidadari cantik jelita untuknya. Ia duduk dengan anggun dan tenang di samping Siriwari Wai. Sang lelaki perkasa ini belum menyadari akan kehadiran perempuan itu. Ia masih asyik mengamati hewan yang lalu lalang di depannya. Tiba-tiba Siriwari Wai diberi tanda oleh seekor nyamuk yang menggigit bagian punggungnya. ”Ah, nyamuk ini menggangguku saja,” katanya. Ia mengayunkan tangannya ke belakang dan hendak memukul nyamuk tersebut. Ketika ia sedang mengayunkan tangannya, tanpa sengaja tangannya mengenai badan seorang perempuan. Siriwari Wai terkejut dan membalikkan muka. Ia langsung bertatapan dengan perempuan itu.
Lelaki perkasa ini merasa takjub sekaligus gugup. Di sampingnya telah duduk seorang perempuan cantik jelita. Matanya bening dengan bulu mata nan lentik. Rambutnya keriting berwarna hitam dengan panjang sebahu. Hidungnya mancung. Roman mukanya senantiasa menampakkan wajah ramah dan murah senyum. Ia dianugerahi gigi putih bersih laksana mutiara. Dari cara duduknya terlihat bahwa perempuan ini mempunyai kesopanan yang tinggi. Perempuan ini segera menunduk ketika Siriwari Wai menatapnya. Beberapa saat lamanya lelaki perkasa ini terpana. Setelah tersadar dari rasa kagumnya, sambil tersenyum Siriwari Wai bertanya kepada perempuan itu. ”Siapa namamu?” Dengan suara yang lembut perempuan itu menjawab, ”Namaku Mapandemen. Saya datang dan hadir di sini sesuai dengan doa dan keinginanmu.” ”Apa maksudmu?” tanya Siriwari Wai. Dengan menunduk dan malu-malu Mapandemen menjawab, ”Aku telah lama mengamati engkau dari langit. Engkau adalah lelaki perkasa yang penuh tanggung jawab. Aku juga menyaksikan kesedihanmu setiap kali berpasang-pasang binatang melintas di depanmu. Keinginanmu untuk mendapatkan jodoh juga telah membuat kerajaan langit ikut berduka. Oleh karena itu, aku diutus turun ke bumi untuk mendampingimu. Aku bersedia menjadi pendamping hidupmu agar sempurna engkau sebagai seorang laki-laki.”
Mendengar kalimat itu, Siriwari Wai tersenyum. Dipandanginya dengan saksama perempuan itu. Sejenak ia ragu dengan dirinya sendiri. Mapandemen yang telah mengutarakan kesediaannya menjadi pendamping hidupnya laksana bidadari. Ia cantik jelita. Tutur katanya halus dan lembut. Sorot matanya yang tajam dan bening menandakan ia memegang teguh kejujuran. Cara duduknya yang anggun dan berwibawa menandakan bahwa ia adalah wanita mulia. Setelah tersadar dari ketakjubannya, Siriwari Wai pun menjawab, ”Aku menerimamu sebagai pendamping hidupku. Aku berjanji untuk selalu menyayangi dan menjagamu sampai akhir hayatku. Karena engkau telah menyempurnakan hidupku sebagai laki-laki, akan aku sempurnakan pula engkau sebagai perempuan. Aku akan menjanjikan ketenangan dan kemuliaan hidup untukmu. Akan aku berikan tanggung jawab terbaikku kepadamu. Mulai saat ini engkau pakaian bagiku dan aku pakaian bagimu. Engkau berkewajiban menutup aibku dan aku berkewajiban untuk menutup aibmu.”
Siriwari Wai segera duduk berdoa memohon kekuatan dan izin dari Tuhan untuk melangsungkan pernikahan. Seusai berdoa ia mengambil sebuah kulit kerang dan menyerahkannya kepada Mapandemen. ”Ini terimalah. Simpanlah ini baik-baik,” katanya. ”Terima kasih. Akan aku jaga benda ini layaknya aku menjaga kesucian hatiku untukmu,” jawab Mapandemen. Mapandemen menerima kulit kerang tersebut dan memasukkannya ke dalam noken. Selang beberapa saat kemudian, Siriwari Wai melantunkan yepi. Mula-mula lantunannya terdengar samar dan pelan. Kemudian, lantunan itu berangsur-angsur mengeras. Pada puncaknya lantunan yepi sanggup membelah awan untuk membukakan jalan bagi para bidadari untuk turun.
Sayap-sayap putih berkelebat turun dari langit. Mereka adalah para bidadari yang terpesona oleh lantunan yepi yang didendangkan oleh lelaki dari Negeri Matahari Terbit ini. Berpuluh-pululuh bidadari terbang mengitarinya. Ketika lantunan yepi sudah pada larik terakhir mereka semua telah berdiri melingkari Siriwari Wai dan Mapandemen. Mereka berdua telah dikelilingi oleh para bidadari yang siap untuk menyaksikan pernikahan agung ini. ”Dengan disaksikan oleh para bidadari yang langsung turun dari langit maka dengan ini aku nyatakan bahwa Mapandemen sah sebagai istriku,” kata Siriwari Wai dengan takzim. ”Aku bersedia menjadi istri Siriwari Wai untuk menyempurnakannya sebagai lelaki dan mengantarnya pada kemuliaan hidup,” jawab Mapandemen penuh dengan keikhlasan. Seusai mendengar ikrar pernikahan keduanya, para bidadari terbang menari-nari di atas mereka berdua. Satu per satu terbang kembali ke langit. Siriwari Wai mengajak Mapandemen ke rumahnya untuk memulai hidup bersama. Sejak saat itu keduanya hidup berdampingan dan saling mengasihi sebagai sepasang suami-istri.
Mapandemen adalah istri yang setia dan berbakti. Ia senantiasa mendukung Siriwari Wai. Hari-hari mereka lalui dengan penuh kebahagiaan. Sayangnya, suamiistri ini tidak dikaruniai keturunan. Walaupun demikian, Manpandemen dan Siriwari Wai tidak mengeluh. Mereka berdua bahu-membahu menyempurnakan kampung sampai selesai. Bentuk kampung yang mereka bangun lama-kelamaan membentuk huruf L. Kampung tersebut belum diberi nama.
Sore yang cerah kedua suami-istri ini duduk sambil mengamati segala jenis hewan yang lalu lalang. Paling depan ada kasuari yang berbadan besar, tetapi bersayap kecil. Dengan bulunya yang berwarna hitam, leher biru dan gelambir merah di bawahnya ia berjalan gagah. Baris kedua adalah sekawanan biawak. Ia merayap seperti buaya sambil menjulurkan lidahnya. Sementara itu, beberapa kuskus merambat perlahanlahan dari satu pohon ke pohon lainnya. Di angkasa tidak kalah cantiknya. Si burung surga, cenderawasih jantan yang berbulu elok melintas. Keheningan senja itu dipecahkan oleh riuhnya kicauan nuri yang terbang secara bergerombol. Semua binatang itu berjalan pulang ke sarangnya masing-masing setelah seharian lelah mencari makan. Senja seolah-olah memanggilnya kembali untuk beristirahat.
Sang surya semakin condong ke arah barat. Perlahanlahan ia tenggelam masuk ke peraduan malam. Suasana menjadi hening. Dalam keheningan tersebut, tiba-tiba timbul suatu pemikiran dari Mandepamen yang hendak ia utarakan kepada suaminya. Mapandemen berkata. ”Sepanjang hidup, kita berdua hanya mendengar suara burung dan binatang melata lainnya. Kita tidak pernah mendengar suara manusia seperti kita berdua.” Mendengar ucapan istrinya ini Siriwari Wai tersenyum dan bertanya kepada istrinya. ”Apakah engkau ingin mendengar suara orang?” tanya Siriwari Wai kepada istrinya. ”Kalau engkau ingin mendengar suara orang, akan aku tunjukkan padamu suatu hari nanti. Tunggulah dan bersabarlah!” jawabnya. ”Karena hari sudah larut malam, mari kita beristirahat agar kita bisa bangun pagi dan menghirup udara segar,” ajak Siriwari Wai kepada istrinya.
Pada malam hari keadaan sangat sunyi. Yang terdengar hanyalah suara jengkerik memecah kebisuan malam. Malam itu Siriwari Wai tidak dapat memejamkan matanya. Ia teringat akan permintaan sang istri. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab ia akan senantiasa memenuhi janji-janjinya. Apalagi kali ini janji yang ia katakan kepada sang istri yang sangat ia cintai.
Ketika dilihatnya sang istri telah terlelap dalam tidurnya, ia keluar dari rumahnya. ”Malam ini aku akan memanggil orang-orang dari negeri jauh untuk datang ke kampung ini,” katanya. Dikeluarkannya satu warisan sakti dari nenek moyangnya yang selama ini belum pernah ia pergunakan. Alat itu bernama ongkoi, sebuah wadah yang dibuat dari pohon palem untuk menimbah air. Siriwari Wai menjaga alat ini dengan baik sehingga masih utuh dan bersih. Jalinan daun palem dianyam dengan rapi. Usianya yang telah tua terlihat dari warnanya yang cokelat kehitaman. Keheningan malam membantu lelaki perkasa ini untuk berkonsentrasi membaca mantra. Ia berjalan ke arah batu besar yang terdapat di pinggir pantai. Permukaannya yang datar memungkinkannya untuk duduk bersila. Kedua tangannya ia letakkan pada lutut. Sikap badan tegak. Ia mulai mengambil napas dalam-dalam memasukkannya ke perut dan menahannya beberapa saat. Perlahan-lahan ia keluarkan kembali udara dari rongga dada secara teratur. Matanya terpejam. Irama napasnya mulai bersatu dengan detak alam. Keheningan berubah mistis. Tangannya kini bergetar hebat.
Tanpa ia sadari kini ia berdiri dan berjalan menuju pantai. Di tangan kirinya menjinjing ongkoi, benda pusaka itu. Mulutnya komat-kamit dengan bahasa magis. Kini ia sudah berdiri di tepi pantai dan mulai mengucap mantra. ”Ongkoi si pusaka penampung air. Engkau mewadahi. Wadahilah kampung ini dengan keriuhan manusia. Kirimkan pesan kepada orang-orang dari negeri jauh untuk singgah di kampung ini dengan seizin Penguasa Jagat Raya.” Seusai mengucapkan mantra ia mencelupkan ongkoi ke pantai, mengisinya dengan air, dan menumpahkannya kembali ke pantai. Pada tetes terakhir, air mulai bergejolak. Perlahan-lahan air laut bergelombang. Gulung-menggulung seperti berkejaran. Gelombang meluas ke tengah samudra dan mengirim pesan kepada orang-orang dari negeri jauh untuk datang ke kampung yang telah dibangun oleh Siriwari Wai.
Sejenak lelaki dari Negeri Matahari Terbit (Papua New Guini) itu terdiam. Kemudian, ia mengambil napas kembali dan mengusap mukanya. Hari telah menjelang pagi dan ia bergegas pulang. Setiba di rumah ia mendapati sang istri masih pulas dalam tidurnya.
Menjelang pagi tiba-tiba suasana dipecah oleh hiruk-pikuk suara manusia. Terdengar suara sekelompok orang yang sedang berdayung dengan sebuah perahu yang bernama siangtuwai dari arah barat. Mereka mendayung dengan tempik sorak dan menyanyi lagu yepi sambil menuju ke kampung yang baru dibentuk itu. Mereka tiba di pantai yang bernama Dinding Dendang Berou. ”Istriku, apakah kamu mendengar suara gemuruh dari pantai?” tanya Siriwari Wai kepada istrinya. ”Ya, aku mendengarnya. Suara itu sepertinya menuju ke arah kita,” jawab Mapandemen. ”Sepertinya mereka datang secara berombongan. Perhatikan suara gemuruh itu. Pasti mereka berjumlah banyak,” kata Siriwari Wai. ”Kalau begitu, tong (kita) keluar sudah,” ajak Mapandemen pada suaminya. ”Yo, sudah,” jawabnya.
Rombongan yang tiba di pantai Dinding Dendang Berou itu pun dijemput oleh Siriwari Wai dan istrinya. Mereka yang datang berjumlah cukup banyak. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, dan perempuan. Dari wajah mereka terpancar kegembiraan sekaligus kelegaan. Setelah berhari-hari mereka berlayar di lautan akhirnya mereka dapat melabuhkan perahu mereka di daratan. Ketika menginjakkan kakinya di kampung yang telah dibangun oleh Siriwari Wai mereka merasa takjub dengan kerapian dan keindahan kampung tersebut. Kampung ini terletak di pinggir pantai dengan hamparan batu kerikil halus yang melingkupi. Bukit menjulang sebagai latar kampung menambahi asrinya kampung ini. Beningnya air laut yang berwarna kebiru-biruan menambah kesempurnaan tempat ini. Surga tersembunyi ini masih dilengkapi dengan keramahan Siriwari Wai dan Mapandemen. ”Selamat datang, saudara-saudaraku. Selamat datang di kampung kami. Suatu kehormatan bagi kami karena kalian telah datang di kampung ini. Sebagai tanda rasa syukur dan hormat kami maka kami mengundang Anda semua untuk datang ke tempat kami,” ajak Siriwari Wai bersahabat. Rombongan menambatkan perahu pada sebuah karang di tepi pantai. Tua muda, laki-laki perempuan, semuanya berjalan menuju ke tempat Siriwari Wai dan istrinya. ”Pace (pak), Mace (bu), ini ada papeda dan betatas. Silakan dinikmati.” Mapandemen mempersilakan para tamunya.
Mapandemen adalah tuan rumah yang baik. Ia bersikap ramah dan baik kepada para tamunya. Ia memperlakukan para tamunya dengan ramah dan sopan. Ia keluarkan makanan terbaik yang ada di rumahnya. Tempat tinggalnya sederhana, tetapi tertata dengan rapi dan bersih. Orang-orang yang ada di dalamnya merasa nyaman dan betah untuk beristirahat.
Di dalam rumah tempat tinggal suami istri itu tersimpan berbagai macam alat budaya seperti ukiran kayu dan batu yang sangat unik. Ketika tiba di rumah Siriwari Wai, rombongan ini sangat tertarik dengan benda-benda budaya yang ada di dalamnya. ”Mace (bu), kam pu (kamu punya) rumah ini rapi dan bersih apaaa!” kata salah satu di antara mereka. ”Iyo, kam pu (kamu punya) rumah ini bagus sampe banyak hiasannya,” ujar yang lainnya. Hati mereka sangat terpikat dengan benda tersebut. Maka mereka menanyakan kepada kedua suami istri tersebut. ”Pace (pak), apakah kami dapat memiliki bendabenda ini?” tanya seseorang di antara mereka. ”Silakan pilih sendiri yang kalian suka dan ambillah,” jawab Siriwari Wai. ”Oh, terima kasih, Pace (pak),” jawab mereka serempak.
Mereka semua mendapatkan benda-benda budaya yang ada di rumah Siriwari Wai kecuali seorang anak kecil yang berkulit tembaga. Anak itu bernama Alceng. Karena tidak memperoleh sesuatu pun, Alceng bersedih dan menangis sepanjang hari. ”Semua mendapat benda-benda itu, mengapa aku tidak? Huu...uu...uu,” tangisnya. Ketika mendengar tangisan anak tersebut, tergeraklah hati Mandepamen, istri Siriwari Wai. Ia berkata kepada suaminya. ”Berikanlah buku kulit tembaga itu kepadanya!” Siriwari Wai mendengar hal itu dan berkata kepada istrinya. ”Biarkan dia menangis, nanti dialah yang akan mendapat barang yang sangat berharga bagi kehidupan di masa depannya.” Alceng tetap menangis. Akhirnya, kedua suami istri tersebut menyerahkan sebuah buku berkulit tembaga kepada Alceng. ”Alceng, anakku, berhentilah menangis! Ini, aku serahkan sebuah buku berkulit tembaga untukmu. Buku ini sangat berharga maka rawatlah baik-baik. Jika mengetahui isi buku ini, mereka semua akan menyesal karena tidak mengambilnya,” bujuk Siriwari Wai kepada Alceng. Alceng mendongakkan wajahnya dan berkata. ”Terima kasih atas kebaikan Pace (pak) sama Mace (bu). Selama ini aku hidup seorang diri. Aku tidak punya ayah dan ibu. Tidak ada orang yang memperhatikan aku. Orang-orang itu bahkan sering mengejekku,” kata Alceng. Trenyuh hati Siriwari Wai dan istrinya mendengar penuturan Alceng. Mereka memegang pundak Alceng sambil mengusap rambutnya. ”Bersabarlah, Nak, Tuhan senantiasa bersama orang-orang yang bersabar,” hibur mereka. ”Terimalah buku ini. Pelajarilah baik-baik agar engkau mendapatkan kearifan ilmu di dalamnya. Memang tidak mudah mempelajari ilmu, perlu perjuangan dan usaha keras, tetapi yakinlah, Nak, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu,” kata Siriwari Wai dengan penuh kasih sayang. ”Terimalah buku ini, Nak!” katanya Alceng menerima buku itu dengan gemetar. Rona di wajahnya telah berubah. Sesungging senyuman tampak di wajahnya. ”Terima kasih, Pace (pak).” ”Ya, sama-sama, Nak.”
Alceng segera memohon diri. Ia lari menuju pohon nibung yang tumbuh di pinggir sungai. Diamatinya dengan saksama buku itu. Sampulnya terbuat dari kulit tembaga. Buku itu terlihat sudah sangat tua. Lembaranlembarannya juga terbuat dari tembaga. Buku ini berisi tentang ajaran menjadi manusia mulia. Mereka yang mengambil benda-benda budaya terlebih dahulu mengejek kepada Alceng. ”Hei Alceng, ko bikin apa di pinggir sungai? Mau dimakan suwanggi (setan)?” ejek seorang pemuda tanggung yang sedang berlalu di depannya. Belum puas dengan hal tersebut ia memanggil kawan-kawannya untuk bergabung. ”He Kamu dua, mari sini! Lihat Si Alceng sedang menunggu suwanggi (setan),” katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka mulai membuat ulah dengan melempari Alceng yang sedang tekun membaca buku itu dengan batu. Beberapa batu jatuh ke dalam sungai dan airnya membasahi salah satu lembaran buku tersebut.Karena sudah mendapat nasihat dari Siriwari Wai untuk bersabar, Alceng tidak menghiraukan ejekanejekan tersebut. Ia tetap rajin mempelajari buku itu. Karena sudah tidak tahan dengan ejekan-ejekan yang sudah mengarah pada kekerasan Alceng segera berdiri dan meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum berlalu, ia berujar kepada orang-orang yang telah mengganggunya. ”Hari ini kam su bikin sa ganas. Kam ejek sa pu buku. Padahal, kam tra tahu di dalam buku ini terdapat ajaran tentang kemuliaan hidup. Dengan membacanya kam akan tahu bagaimana mendapatkan hidup abadi yang penuh dengan suka cita, tetapi kam malah mengejek sa. Kam akan menyesalinya nanti,” katanya. Ketika melihat kesungguhan dan kebaikan budi Alceng, Siriwari dan istrinya pun jatuh sayang kepadanya.
”Alceng, aku lihat kamu rajin sekali membaca buku itu walaupun orang-orang mengejekmu. Kamu juga menunjukkan kesabaran yang luar bisa. Oleh karena itu, kami berniat untuk mengangkatmu sebagai anak kami. Maukah engkau menjadi anak angkat kami?” tanya Mapandemen pada suatu hari. ”Aku sangat berterima kasih atas kasih sayangmu dan aku bersedia untuk menjadi anak angkatmu,” jawab Alceng. ”Baiklah, anakku, mulai sekarang aku adalah orang tuamu. Kamu tidak akan sendiri lagi. Engkau memiliki orang tua untuk mencurahkan semua keluh kesahmu,” kata Mapandemen dengan lemah lembut. ”Baiklah, Ibu,” jawab Alceng dengan takzim. Semenjak itu, Siriwari Wai dan istrinya menjadikan Alceng sebagai anak angkatnya. Mereka mengajak Alceng tinggal bersama. ”Maukah engkau tinggal bersama kami?” tanya Mapandemen kepada Alceng. ”Ya, saya bersedia,” jawabnya.
Alceng telah menganggap Siriwari Wai sebagai bapaknya dan Mapandemen sebagai ibunya. Kehadiran Alceng telah menambah kebahagiaan suami-istri ini. Sementara itu, rombongan yang datang bersama Alceng juga tinggal di kampung berbentuk L. Bersama-sama mereka menyelesaikan pembangunan kampung.
Suatu hari menjelang tengah malam, Siriwari Wai datang ke suatu tempat berpisah dari keluarganya. Ia mempraktikkan ilmunya. ”Tuhan Pemilik Alam Semesta, dengan menyebut nama-Mu izinkanlah aku membuka pintu batu ke perut bumi,” doa Siriwari Wai khusuk.
Malam yang hening mempercepat terkabulnya doa Siriwari Wai. Angin mati dalam diam. Dengungan serangga yang bernyanyi mengagungkan kebesaran Tuhan seketika itu terhenti. Dari langit sebuah cahaya putih berpendar. Cahaya itu membentuk kisaran yang sangat mengkilap dan menyilaukan. Pada saat kisaran cahaya tersebut menembus tebing karang yang menjulang, seketika itu juga terangkatlah sebuah batu besar yang menjadi pintu untuk turun ke tangga perut bumi.
Setelah pintu gerbang menuju perut bumi terbuka, Siriwari Wai membuka tangannya yang sedari tadi bersedekap. Perlahan-lahan ia membuka mata. Sang lelaki perkasa ini segera memasuki pintu yang telah terbuka. Cahaya putih yang sangat menyilaukan itu memancar dari lubang tersebut. Dengan sikap ksatria ia memasuki perut bumi. Beberapa saat lamanya ia berada di dalam perut bumi. Kemudian, ia naik lagi ke permukaan. Begitu ia melangkah ke luar, pintu batu itu tertutup kembali seperti sedia kala. Lelaki sakti ini melangkah pulang dan akan mengabarkan kejadian ini pada istri dan anak angkatnya. Mengetahui usahanya berhasil, ia menyampaikan hal tersebut kepada istri dan anak angkatnya. ”Mapandemen, Alceng kemarilah! Ada hal yang ingin aku sampaikan kepadamu,” kata Siriwari Wai dengan lembut. ”Baiklah, suamiku,” jawab istrinya. ”Kalian berdua dengarkanlah baik-baik apa yang hendak aku sampaikan,” katanya ”Ceritakanlah semua yang menjadi keresahan hatimu, suamiku. Aku akan berusaha untuk mendengarkannya baik-baik. Percayalah aku akan senantiasa menuruti semua perintahmu,” kata Mapandemen. ”Ya, Ayah, bicaralah!” sela Alceng. ”Begini istriku dan anakku Alceng, tadi malam aku mempraktikkan ilmuku. Dengan ilmu itu aku dapat membuka pintu menuju perut bumi. Oleh karena itu, kalian bersiaplah. Kita akan melakukan perjalanan ke perut bumi,” kata Siriwari Wai. ”Baiklah,” jawab mereka serempak.
Setelah mendapat perintah tersebut, mereka pun bersiap-siap. Pada saat yang telah ditentukan mereka berangkat. Ketiga orang ini akan pergi meninggalkan kampung yang telah mereka rintis dan orang-orang yang sekarang menempati kampung itu. Waktu keberangkatan pun tiba. Siriwari Wai, Mapandemen, dan Alceng akan segera pergi meninggalkan kampung dan orang-orang yang ada di kampung tersebut. Maka berangkatlah Siriwari Wai, Mandepamen, dan Alceng si anak angkat menuju lubang batu. Mereka bertiga berdiri di depan batu tersebut. Siriwari Wai mulai mengeluarkan ilmunya. ”Batu bukakan pintu bagiku untuk melakukan perjalanan ke perut bumi.”
Tiba-tiba terangkatlah batu dari tanah dan keluarlah cahaya terang dari dalam tanah sampai ke langit. Seluruh daerah di tempat itu menjadi terang benderang. Orang-orang yang melihat cahaya terang itu datang mendekatinya. ”Hei, ko (kau) bisa lihat cahaya itukah?” tanya sesorang di antara mereka. ”Cahaya apa. Ko (kau) berhenti tipu sudah,” jawab yang lainnya. ”Hei, sa (saya) tra (tidak) tipu. Ko lihat sendiri sudah. Itu yang di dekat bukit. Ko lihat to. Ada cahaya terang bersilau dari mulut gua.” ”Oh, iyo ko (kau) betul. Mari tong (kita) ke sana.” Berbondong-bondong mereka menuju ke arah sumber cahaya tersebut. Setibanya di sana mereka mendapati Siriwari Wai, Mapandemen, dan ternyata, mereka melihat kedua orang tua bersama Alceng sudah ada di depan pintu. Ketiganya telah bersiap-siap untuk turun ke bawah bumi.
Orang-orang berbondong-bondong mendekati pintu batu itu. Mereka melihat ketiga orang tersebut mulai masuk satu per satu ke dalam pintu lubang batu. Siriwari Wai turun pertama, disusul Mandepamen, istrinya, dan yang terakhir Alceng anak angkatnya. Sebelum turun, Alceng menengok kepada saudarasaudaranya sambil menunjukkan buku kulit tembaga. Sambil mengangkat buku itu ke arah langit, ia berucap.
”Saudara-Saudara yang saya kasihi, selamat tinggal. Selama hidup di dunia ini kamu harus bekerja keras. Kamu akan bersimbah keringat. Kamu harus menggosok arang, dan menjadi budak bagi orang lain. Penderitaanmu akan berakhir hingga kamu kenal saya dan kenal buku tulis tembaga ini. Jika kamu sudah melakukannya, barulah aku akan balik melihat mukaku untuk mengenal dan mengangkat kamu dari kesengsaraanmu.” Setelah mengucapkan kalimat itu Alceng melambaikan tangannya dan mengucapkan salam perpisahan. Dengan sedih dan tertunduk ia turun melalui tangga ke dalam tanah dan pintu batu kembali tertutup seperti biasanya.
Saudara-saudaranya menangis. Mereka menangis di sekitar batu itu karena sang adik sudah pergi untuk selamanya. Mereka juga menyesal karena selama ini telah memperlakukan Alceng secara tidak adil.
Orang-orang yang tinggal di kampung merasa sedih dan kehilangan. Mereka telah ditinggalkan oleh orang pertama yang membuat kampung berbentuk L, yaitu Siriwari Wai, Mandepamen istrinya dan Alceng anak angkatnya ke bawah bumi. Mereka yang tetap tinggal di kampung bernama Kewasiriwai, Mang Damiwai, dan Mang Syawai. Ketiga bersaudara ini yang dituakan adalah Kewasiriwai. Oleh karena itu, kampung yang berbentuk L buatan Siriwari Wai dapat diberi nama Kewatuyo/ Kewayo.
Ketiga saudara tersebut mempunyai tugas masing-masing. Kewasiriwai bertugas menjaga keamanan dan ketertiban kampung. Damiwai mempunyai tugas menjaga dan memimpin seluruh masyarakat dalam hal kehidupan berbakti kepada Tuhan. Tugas ini berhubungan dengan keselamatan jiwa dan tubuh. Sementara itu, Mang Syawai mempunyai tugas untuk menyejahterahkan masyarakatnya melalui sumber daya alam laut. Ketiga-tiganya bertanggung jawab kepada Tuhan Pencipta.
Dari sejarah yang ada berkembanglah manusia dari keturunan Kewasiriwai berkembang marga Soumilena. Mang Damiwai menurunkan marga Danya, sedangkan Mangsyawai menurunkan marga Suwae. Kewasiriwai menikah dengan perempuan dari matahari namanya Susirimeng. Mang Syawai menikah dengan perempuan yang datang dari laut bernama Sewaimeng. Dari ketiga marga ini mereka saling mengawini dan berkembang banyak sehingga marga Soumilena dijuluki Neko Orode Sai Orode dan marga Danya dijuluki Breuda Mendada dan marga Suwae dijuluki Bai-Bai Mera. Julukan ini diberikan kepada mereka karena banyaknya manusia di marga masing-masing. Marga Soumilena, Danya, Suwae hidup bertahun-tahun di Kawayo dalam satu kepemimpinan umum. Marga Soumilena menjadi ondoafi umum atau kepala adat. Dengan kata lain kepala adat disebut Yo Warepo.
Manusia mulai berkembang. Terbentuklah kampungkampung sehingga dari kampung lain menikah dengan kampung yang lain. Begitulah proses perkembangan manusia. Pada zaman itu seorang perempuan dari marga Soumilena menikah dengan Keyewena dari marga Diawaitouw. Mereka merencanakan untuk mengadakan metau atau pesta adat. Setelah sepakat, mereka mengadakan persiapan secara masing-masing. Marga Diawaitou mempersiapkan kelengkapan upacara. Marga Soumilena bertugas menyiapkan makanan, seperti hewan dan sagu. Marga ini juga bertanggung jawab atas Bia Kung dan alat tari beserta aksesorisnya. Segala persiapan untuk metau telah sempurna. Para utusan ondoafi mengadakan pertemuan untuk menentukan waktu pelaksanaan. Setelah sepakat, para utusan menyampaikan hal tersebut kepada marganya di kampung.
Tiba saatnya pesta adat dilaksanakan. Orang Tepera Onusu dari ketiga marga mulai bersiap-siap untuk berangkat ke Kampung Yewena Dormena dengan membawa persiapan mereka. Hanya orang-orang muda hadir dalam pesta itu. Setibanya di tempat pesta, mereka menyerahkan semua hasil bawaannya kepada marga Diawaitouw. Para tamu dipersilakan beristirahat dulu lalu makan dan minum. Para penari telah siap dengan alat tari dan baju adatnya. Mereka mulai berdansa di halaman marga Diawaitouw. Selama tiga hari mereka menari.
Pada hari ketiga sambil menari mereka melihat ombak besar berguling-guling masuk ke teluk. Ternyata, ombak tersebut dapat menenggelamkan seluruh kampung pertama, Kewoyo beserta manusia dan hewan sehingga yang tertinggal hanyalah beberapa pulau dan sampai kini pulau itu disebut Pulau Kwakepou.
Pesta telah usai. Para tamu pulang berjalan kaki sampai di Ayadame, yaitu bukit alang-alang di Kampung Teperasuwa. Dari atas tempat tersebut, mereka melihat Kampung Kewayo sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah pulau-pulau yang terapung. Ketiga marga, yaitu Soumilena, Danya, dan Suwae duduk di atas Bukit Ayadame dan menangis tersedu-sedu. Mereka mengenang orang tua dan anak-anaknya yang sudah tidak ada lagi. Semuanya telah menjadi korban keganasan ombak. Bila mereka pulang, tidak akan dijumpai lagi orang-orang yang dikasihinya. Sangat lama mereka duduk dan mengenang semua peristiwa itu. Akhirnya, mereka berpisah dan memilih jalannya masing-masing.
Marga Suwae memanggil kayu hanyut dan mereka berangkat ke barat sampai di Demta. Marga Danya berjalan terus ke Bukabo dan bermukim di Yarokai. Marga Sumilena berjalan ke Bitia Meko. Mereka bermukim ditempatnya masing-masing. Sudah sekian lama mereka berpisah antara satu dan lainnya. Marga Suwae hidup di antara Ambora dan Yaugpsa. Marga Danya hidup di Bukabo. Sementara itu, marga Sumilena hidup di Bitiameko dan sekitarnya. Keluarga marga Suwae dari Demta datang dan tinggal di Sensau. Mereka bertemu dengan marga Soumilena dan diajak kembali ke Bitiayo. Demikian juga marga Danya. Marga ini kembali ke Bitiayo dan membentuk kampung sendiri. Ketiga marga tersebut hidup bersama-sama di bawah satu kepemimpinan adat, yaitu ondoafi. Marga Soumilena menjadi ondoafi besar yang oleh masyarakat setempat disebut Yo Warepo. Mereka kawin-mawin dan hidup rukun penuh kedamaian. Kampung Bitiayo juga berkembang. Bitia adalah nama seorang dari marga Soumilena, yaitu Bitia Damiwai. Ia adalah pemimpin kedua setelah Kewasiriwai. Karena Bitia adalah pemimpin kampung, nama kampung ini disebut Bitiayo.
Penduduk pertama yang menduduki Kampung Bitiayo adalah Soumilena, Danya, dan Suwae. Kemudian, datanglah seorang dari Kampung Yangsu. Ia datang dan bertempat di Budamiwaiye. Ia membawa dua buah harta. Yang pertama adalah Opa. Benda ini berbentuk manik-manik dan diberi nama Opa Domesi. Yang kedua adalah Temaku, yakni batu yang bernama Se Domesa. Marga Soumilena menemukannya dan mengajaknya ke Kampung Bitiayo untuk tinggal bersama. Dia adalah orang pertama dari marga Wambena. Setelah mereka bertiga, datanglah orang kedua dari marga Somisu yang bertempat di Seinadiya sementara. Orang Soumilena menemukannya dan mengajak untuk hidup bersama di kampung Bitiayo karena Seinadiya adalah dusun sagu yang merupakan sumber makanan bagi orang Soumilena.
Orang ketiga adalah marga Apaserai. Ia adalah orang Waibron yang dibawa orang Soumilena dan dijadikan anak angkat di rumah keluarga Soumilena.
Konon, seorang perempuan dari marga Danya menikah dengan marga Serontou di Tablasupa. Mereka memiliki keluarga yang berbahagia. Akan tetapi, kebahagiaan itu harus berakhir karena sang suami meninggal. Sepeninggal sang suami, anak-anak dari buah perkawinan tersebut dibawa dan dipelihara oleh keluarga Danya. Kini mereka telah berkembang dan disebut marga Serontou.
Marga ini mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan seorang lelaki marga Tekaiwaitou dari kampung Demoikisi. Suaminya pun meninggal. Anak-anaknya dibawa dan dipelihara oleh marga Serontou. Anak-anak tersebut sekarang menjadi marga Yakarimilena. Kemudian, seorang perempuan dari marga Serontou dinikahi oleh orang Ternate marga Selli. Namun, kini tetap menjadi marga Selli, sedangkan marga Yufuwai adalah saudara dari marga Yakarimilena. Selama berada di Kampung kedua Bitiayo perkembangan penduduk menjadi sepuluh marga, yaitu marga Soumilena, Somisu, Yufuwai, Danya, Apaserai, Selli, Suwae, Serontou, Wambena, dan Yakarimilena. Mereka semua hidup dalam satu kepemimpinan adat yang dipimpin oleh suku Soumilena. Begitulah kehidupan mereka dari tiga suku ditambah kedua suku, yaitu Wambena dan Somisu menjadi lima suku. Mereka bersatu dan hidup bersama-sama saling mengasihi terhadap satu sama lain yang penuh dengan sopan santun.
Kampung itu disebut Kampung Tablanusu. Kampung indah nan permai ini sekarang dijadikan kampung percontohan. Karena pemandangannya sangat memesona, kampung ini dijadikan sebagai tempat wisata pantai. Uniknya lagi, kampung ini dikelilingi oleh batubatu kerikil yang menjadikan kampung ini unik.
Ditulis oleh: Sriyono, S.S Diterbitkan oleh: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |