|
|
|
|
Sumur Keramat Jati Herang Tanggal 24 Feb 2021 oleh Widra . |
SUMUR KERAMAT JATI HERANG Suasana sore ini begitu cerah, anak-anak di Kampung Tampeuyan yang sudah beberapa hari tidak dapat keluar rumah karena hujan terus-menerus mengguyur kampung yang subur itu, kini tampak bersenang-senang. Cuaca cerah seperti ini makin membuat anak-anak bersemangat dan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bermain di luar rumah sore ini.
Kosim berlari sekuat tenaga mengejar temanteman sebayanya agar bisa menangkap salah satu dari mereka. Bermain kejar-kejaran pada sore hari sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak kampung itu, sambil menunggu beduk Magrib. Sesekali terdengar jeritan mereka yang polos karena hampir saja tertangkap oleh Kosim yang larinya begitu cepat. Jika mereka tertangkap oleh Kosim, jadilah mereka. Artinya, yang tertangkap akan berganti mengejar yang lainnya. Mereka tidak akan lelah bermain sampai waktu Magrib tiba atau dipanggil oleh orang tuanya untuk berangkat mengaji ke sebuah langgar di Kampung Tampeuyan.
”Nyai..., kopinya sudah belum? Sore-sore begini paling enak minum secangkir kopi ditemani dengan singkong rebus,” ujar Syekh Mahdum. Syekh Mahdum baru saja selesai mengerjakan ibadah salat Ashar di sebuah musala kecil di kampungnya. “Iya sebentar, Bah, airnya masih belum mendidih. Kayu bakarnya basah semua bekas kena hujan kemarin. Jadi, agak susah apinya menyala,” jawab istri Syekh Mahdum. Beberapa hari ini Kampung Tampeuyan memang sering diguyur hujan. Sawah dan kebun semuanya basah dan tanaman terlihat hijau dan subur. Para petani menyambut gembira semua itu. Ini merupakan berkah dan rahmat yang diturunkan Tuhan. memang pada umumnya, masyarakat Kampung Tampeuyan bekerja sebagai petani. Sehar0hari mereka menghabiskan waktunya bekerja di sawah dan di ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
"Dari tadi saya belum melihat anak kita, Kosim,Nyai. Kemana saja dia"? tanya Syekh Mahdum. "Biasalah Bah, ke mana lagi kalau bukan main dengan teman-temannya. Mumpung masih sore, Bah. Apalagi cuaca hari ini sangat cerah. Biarlah sesekali dia bermain dengan teman-temannya Bah." "Bukan begitu, Nyai. Jangan sampai anak kita pulang terlalu sore, apalagi sampai magrib. ini kan malam Jumat, pamali kalau berada di luar rumah magrib-magrib. Nanti diikuti setan." Syekh Mahdum memang orang tua yang sangat perhatian dan sayang kepada anak semata wayangnya. "Sepertinya, nanti malam akan terang bulan. Apalahgi bertepatan dengan malam jumat. Malam ini hari keempat belas di bulan Maulid Bah. Apakah Abah lupa?" tanya sang istri. "Oh ya, Abah sampai lupa. Nah kalau begitu nanti malam pasti banyak orang yang datang berkunjung ke Jati Herang seperti tahun-tahun lalu." "Jadi nanti malam abah mau ke Jati Herang?" tanya sang istri. “Yah, sepertinya begitu,” jawab Syeh Mahdum. Syekh Mahdum memang sudah terbiasa memandu perjalanan orang-orang yang datang untuk mengadakan ritual mandi di Sumur Jati Herang. Hal ini sudah dilakukannya semenjak Syekh Mahdum masih muda. “O ya, Nyai, tolong dibuatkan obor dari daun kelapa untuk persiapan nanti malam. Walaupun malam ini bulan purnama, obor sangat diperlukan untuk perjalanan malam nanti.” ujar Syekh Mahdum “Baiklah Bah, untung daun kelapanya tidak terkena hujan kemarin,” ujar Nyai. Nyai memang istri yang selalu patuh kepada suaminya. Apapun perintah Syekh Mahdun selalu dikerjakannya dengan tulus. Ritual mandi di Sumur Jati Herang pada malam Jumat, hari keempat belas pada bulan Maulid memang sudah menjadi tradisi masyarakat Kampung Tampeuyan, apalagi bagi orang yang sedang mempunyai keinginan dan ingin cepat terwujud.
“Assalamualaikum.” Syekh Mahdum menjawab salam agak lama karena beliau baru saja selesai melaksanakan ibadah salat Isya. “Wa’alaikumsalam. Eh, ada tamu. Silakan masuk.” jawab Syekh Mahdum. Keluarga Kodiman adalah pengunjung pertama malam ini. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya, akhirnya sepasang suami istri yang ingin memandikan anak perempuannya di Sumur Jati Herang berangkat menuju ke lokasi bersama Syekh Mahdum.
Umur Maryani sudah lebih dari tujuh belas tahun, tapi belum ada yang melamarnya. Padahal anak-anak seusia Maryani di kampungnya sudah banyak yang punya anak. Orang tuanya sangat khawatir dengan nasib Maryani. Mereka takut kalau-kalau anaknya nanti jadi perawan tua. Oleh karena itu, mereka berusaha dengan cara memandikan Maryani di Sumur Jati Herang malam ini.
Sinar bulan purnama menerangi Kampung Tampeuyan dengan indahnya. Suara jangkrik dan serangga hutan mengiringi perjalanan mereka. Jalan yang agak licin karena bekas guyuran hujan kemarin tidak menyurutkan niat Kodiman dan istrinya untuk menuju Sumur Jati Herang. Lain halnya dengan Maryani, sejak awal dia sudah menolak keinginan kedua orang tuanya. Dia tidak percaya dengan hal-hal aneh yang akan dilakukan orang tuanya kepadanya.
“Apa mandi di Sumur Jati Herang dapat mendatangkan jodoh? Saya tidak percaya, Mbok,” ujar Maryani berubah pikiran dan tidak ingin melanjutkan perjalanannya. “Jangan berkata begitu, Nak. Kamu harus yakin semuanya bergantung kepada Gusti Allah. Hanya kepada Allah kita meminta, bukan pada sumur itu.” “Tetapi, Mbok, aku ingin pulang saja. Aku tidak mau mandi di sumur yang kotor di tengah hutan itu. Pasti airnya kotor,” jawab Maryani
Ibu Maryani menarik tangan anaknya dan berbicara dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh Syekh Mahdum. "Maryani, kamu harus menuruti kata-kata si mbok". Akhirnya sampailah Maryani dan kedua orang tuanya di Sumur Jati Herang. Seperti biasa, sepuluh meter sebelum sampai di sumber air, Syekh memimpin doa diawali dengan membacakan surat Alfatihah dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian dilanjutkan dengan doa-doa yang lain sesuai dengan permintaan pengunjungnya. Berdoa telah selesai dan bergegaslah Maryani untuk dimandikan oleh kedua orang tuanya dengan air sumur Jati Herang. Maryani terpaksa menurut saja untuk dimandikan dengan air sumur itu. Dia takut orang tuanya kecewa atas perlakukannya jika ia berontak.
Ada bayangan Bulan di dalam Sumur Jati Herang. Airnya kelihatan bening dan sejuk sehingga bulan pun seakan-akan ingin merasakan kesejukan air yang bening itu. Baru saja Simbok Maryani mengambil air sumur itu dengan sebuah batok kelapa, tiba-tiba airnya berubah menjadi keruh seketika. Semua terperanjat melihat keanehan itu, tetapi tidak dengan Syekh Mahdum. Beliau sudah tahu apa yang sedang terjadi. Berarti ini pertanda ada di antara para pengunjung yang tidak ikhlas dan hatinya tidak tulus untuk datang ke Sumur Jati Herang.
"Astagfirullah, mari beristighfar.” Keluarga Maryani diminta memohon ampun kepada Gusti Allah. Akan tetapi Maryani hanya diam. Wajahnya terlihat masam. Dia kemudian menggunakan kembali pakaiannya. Suara jangkrik dan serangga hutan lainnya tak terdengar lagi tidak seperti ketika mereka baru tiba, kini semuanya diam, sunyi, senyap dan sepi. Suasana di hutan itu makin mencekam. Langit-langit yang tadinya indah dihiai bintang-bintang berubah menjadi gelap gulita. Untung Syekh Mahdum sudah menyiapkan kobor daun kelapa dari rumah. Korek api dirogoh dari kantongnya dan langsung dinyalakan obor itu. Mereka memutuskan untuk pulang karena tidak mungkin ritual memandikan Maryani dilanjutkan. Dengan adanya cahaya obor daun kelapa barulah jalan terlihat agak terang. Obr daun kelapa buatan Nyai benar-benar membantu perjalanan merka di malam ini. Sesekali terdengar suara burung hantu dari kejauhan. Suaranya membuat Maryani semakin ketakutan. Dia makin mempercepat langkahnya dan mengapit lengan ibunya erat-erat.
Selama di perjalanan, Syekh Mahdum bercerita banyak tentang asal-muasal sumur keramat itu. Konon katanya, sumur itu berasal dari tongkat seorang kiai yang bernama Ki Boyot Santri. Suatu hari mereka sedang melakukan pengembaraan dengan para santrinya dan melewati Kampung Tampeuyan tempat Sumur Jati Herang berada. Tiba-tiba di tengah perjalanan, rombongan Ki Boyot Santri kehausan. Mereka berusaha mencari sumber mata air ke sana-sini, tetapi tidak ada satu pun di antara mereka yang menemukan sumber mata air.
Tanpa berpikir panjang, dengan kesaktian yang dimiliki oleh Ki Boyot Santri, beliau menancapkan tongkatnya ke tanah dengan menyebut nama Allah. Karena izin-Nya, memancarlah sumber mata air yang jernih dan sejuk dari bekas lubang tongkat Ki Boyot Santri tersebut. Akhirnya, semua santri berebut untuk meminum airnya. Konon katanya, pernah ada yang mencoba mengukur berapa dalam Sumur Jati Herang, tetapi tidak ada yang tahu dan sanggup mengukur kedalamannya.
Para santri sangat senang dan bersuka ria menyambut keajaiban yang terjadi di tengah hutan belantara itu. Dengan adanya sumber mata air, mereka dapat melepaskan rasa hausnya sepanjang perjalanan.
“Minumlah sepuasnya. Semoga air ini bermanfaat dan berkah bagi penduduk kampung ini.” Ki Boyot Santri berucap dan mendoakan sumber mata air tersebut agar bermanfaat bagi warga sekitar. Ternyata, memang benar sumber air yang dibuat dengan menggunakan kesaktiannya itu sampai sekarang bermanfaat dan tak pernah kering walaupun dalam keadaan musim kemarau. Keesokan harinya, tersiar kabar bahwa Maryani sakit. Orang tuanya sudah membawanya berobat ke seorang tabib yang terkenal. Akan tetapi, sakitnya tidak kunjung sembuh. Entah sakit apa yang dialami oleh Maryani, tabib yang mengobatinya juga belum tahu. Apakah mungkin gara-gara ucapannya semalam ketika berkunjung ke Sumur Jati Herang? HanyaTuhan yang tahu.
Selain Maryani yang berkunjung malam itu, ternyata ada juga beberapa warga kampung sebelah. Mereka nekad pergi sendiri tanpa didampingi oleh orang yang sudah paham dan mengerti aturan berkunjung ke sana. Akhirnya, mereka tidak dapat menemukan Sumur Jati Herang, padahal jalan yang mereka tempuh adalah benar jalan yang sudah biasa dilewati oleh Syekh Mahdum. Namun, mereka tidak kunjung sampai ke tujuan, bahkan tersesat sampai ke Gunung Pasir. Karena lancang dan nekad tidak meminta izin terlebih dahulu kepada sesepuh kampung atau kepada Syekh Mahdum, rombongan itu tidak dapat keluar. Mereka hanya berputar-putar di atas Gunung Pasir sampai pagi tiba. Warga menemukan mereka dalam keadaan lemas karena kelelahan berjalan semalaman. Akhirnya, mereka dibawa pulang. Rombongan itu pun meminta maaf kepada Syekh Mahdum dan penduduk kampung atas kelancangan yang mereka lakukan. Kejadian yang dialami oleh Maryani dan beberapa penduduk kampung sebelah yang tersasar sampai ke Gunung Pasir tersiar ke mana-mana. Sejak saat itu tidak ada warga yang berani berbuat macam-macam dengan Sumur Jati Herang. Sampai saat ini Sumur Jati Herang masih sering didatangi oleh pengunjung. Airnya dimanfaatkan oleh warga untuk keperluan masjid di Kampung Tampeuyan serta keperluan penduduk sekitar. Anehnya, air dari Sumur Jati Herang tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau.
MEMBANGUN MASJID BANTEN
“Angin apakah gerangan yang membawa TuanTuan datang ke kampung ini? Suatu penghormatan bagi kami semua dikunjungi oleh orang-orang terhormat seperti Tuan-Tuan.” Syekh Mahdum merasa tersanjung dikunjungi oleh orang-orang dari kesultanan Banten. “Begini, Syekh, maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak meminta tolong kepada Anda, agar mau bergabung dengan para tukang dari kampung lain untuk mendirikan masjid di Kesultanan Banten.”
Di kampung Tampeuyan Syekh Mahdum memang sudah terkenal dengan keahliannya dalam hal bertukang. Beliau sering membangun rumah, masjid, musala, dan sebagainya. Hasil pekerjaan Syekh Mahdum tidak ada duanya di Kampung Tampeuyan. Hampir semua bangunan yang ada di kampung itu adalah hasil karyanya. Keesokan harinya, berangkatlah Syekh Mahdum dengan rombongan Kesultanan Banten menuju lokasi pembangunan masjid. Dengan menumpang pedati yang ditarik seekor kuda jantan, mereka mampir dahulu di Kampung Parakan untuk mencari seorang tukang guna membantu Syekh Mahdum.
Sementara yang lain sudah menunggu, yaitu dua orang tukang dari Kampung Nembol dan Kampung Gulacir. Keempat tukang ini adalah pekerja yang andal dan giat. Karena ini adalah perintah langsung dari Kesultanan Banten, mereka tidak mau main-main dalam bekerja. Kesungguhan mereka dalam bekerja benarbenar terlihat dan sangat diharapkan oleh Kesultanan Banten. Warga sekitar pun tidak tinggal diam. Mereka juga siap membantu dan ikut bergotong-royong dalam rangka pembangunan masjid agar segera selesai
Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Ternyata, sudah cukup lama Syekh Mahdum dan teman-temannya membangun Masjid Banten. Siang itu langit cerah berawan putih yang bergelantungan seakan memayungi Masjid Banten yang baru saja selesai dibangun. Sungguh menjadi kepuasan tersendiri bagi Syekh Mahdum dan teman-temannya, dapat memiliki andil dalam membangun Masjid Kesultanan Banten. Para pejabat di Kesultanan Banten sangat puas dengan hasil kerja Syekh Mahdum dan teman-temannya karena menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu dan hasil kerjanya pun bersih dan rapi. Hampir tidak ada satu pun cela yang ditemukan dari pekerjaan mereka. Sungguh, mereka adalah tukang yang sangat luar biasa.
“Kerja kalian sangat bagus, hasilnya rapi dan tidak ada cela. Saya sangat berterima kasih sekali kepada kalian. Kalian adalah tukang-tukang yang rajin dan teliti dalam bekerja. Selanjutnya, kalian mendapatkan kepercayaan dari Kesultanan Banten untuk mendirikan menara di dekat masjid ini”
Sultan Banten meminta Syekh Mahdum dan temantemannya untuk mendirikan menara. Letaknya tidak jauh dari Masjid Banten. Menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini berfungsi sebagai menara pandang atau pengamat ke lepas pantai dan juga digunakan untuk menyimpan senjata dan amunisi pasukan Banten. Bagian dasar menara berbentuk segi delapan. Pintu masuk menara hampir sama dengan pintu masuk Candi Hindu-Budha. Di puncak menara terdapat memolo atau mustaka yang dibuat dari tanah liat bakar menyerupai bunga yang sedang mekar. Namun, ketika dipasang ke atas puncak menara, ternyata memolo atau mustaka tersebut terlalu kecil. Akhirnya, diturunkanlah mustaka itu dan akan diganti dengan yang baru. Esok harinya mustaka yang baru dibuat lagi. Dengan penuh kehati-hatian serta pengerjaan yang cermat, akhirnya mustaka siap dipasangkan di atas puncak menara. Ternyata, kali ini ukurannya pas sekali, tidak kekecilan dan tidak kebesaran.
Akhirnya, sampailah pembangunan itu pada tahap pengecatan menara. Mengecat menara yang tingginya mencapai dua puluh empat meter bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Berbagai alat bantu harus dipersiapkan dan dipasang dengan baik agar memudahkan proses pengecatan. Begitu banyak pohon bambu dan kayu yang diperlukan untuk membuat tangga-tangga agar dapat naik dengan mudah untuk mengecat menara sampai ke atas. “Barang siapa yang sanggup mengecat bagian puncak menara tanpa menggunakan tiang penyangga atau tangga, akan mendapatkan upah yang lebih dan hadiah dari pihak Kesultanan.” Demikian bunyi sayembara yang sengaja diadakan pihak kesultanan untuk mengecat bagian puncak menara karena tiangtiang peyangga dari bambu tidak cukup untuk sampai ke atas puncak menara. Diperkirakan sekitar tiga atau tempat meter lagi baru dapat mencapai puncak menara.
Teriknya sinar matahari di atas langit Banten membuat para tukang kesulitan untuk mengecat menara yang cukup tinggi. Cucuran keringat membasahi tubuh mereka. Kalau bukan karena perintah Sultan, mungkin mereka sudah mundur dari pekerjaan itu. Untuk keamanan dan keselamatan pinggang mereka harus diikat dengan tambang agar jika terpeleset, tidak akan langsung jatuh ke tanah dan dapat terhindar dari kecelakaan. Namun, berbeda halnya dengan Syekh Mahdum. Beliau memasuki dan menaiki tangga menara dengan begitu cepat. Tiba-tiba dengan menggunakan sebuah payung, beliau keluar dari puncak menara dan mulai mengecat menara dari atas, hanya menggunakan bantuan sebuah payung. Ilmu peringan tubuh yang dimiliki oleh Syekh Mahdum mempermudah pekerjaannya untuk mengecat menara. Bahkan, Syekh Mahdum dapat juga berjalan di atas air seperti ketika orang berjalan di atas tanah. Kesaktian yang dimiliki oleh Syekh Mahdum membuat semua orang berdecak kagum, termasuk teman-temannya yang berasal dari Kampung Nembol dan Kampung Gulacir.
“Apa rahasianya Syekh bisa terbang seperti itu? Bolehkah kami semua berguru kepadamu?” “Oh tentu, dengan senang hati saya akan membagikan ilmu ini kepada orang yang berhati bersih.” Ilmu seperti ini tidak boleh diberikan kepada sembarang orang dan tidak boleh dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Orang yang mengamalkan ilmu ini harus rajin berpuasa sunah dan harus taat ibadahnya. Begitu pesan dari Syekh Mahdum. “Dari tadi saya tidak melihat Jailani?” Tukang dari Kampung Parakan itu menghilang entah ke mana. Saat orang-orang berkerumun dan kagum melihat kesaktian Syekh Mahdum, tukang dari Kampung Parakan itu tiba-tiba menghilang. “Ya. Saya juga tidak melihat Kang Jailani semenjak kita selesai mengecat menara,” kata tukang dari Kampung Nembol. “Yah sudahlah. Mari kita beristirahat. Besok pagi kita akan kembali ke kampung masing-masing. Rasanya sudah lama kita tidak bertemu dengan anak istri.” Syekh Mahdum mengajak teman-temannya untuk beristirahat sekaligus melaksanakan salat Magrib
HADIAH DARI KESULTANAN BANTEN
Suara ayam jantan berkokok menandakan hari sudah mulai pagi. Fajar sambil malu-malu mulai menyingsing di ufuk Timur. Sebentar lagi Matahari akan bersinar dengan terangnya. Pertanda hari ini akan dikuasai oleh raja siang yang tidak akan ada yang bisa menandinginya. “Siang ini kalian bisa kembali pulang ke kampungnya masing-masing. Sebagai tanda terima kasih pihak kesultanan kepada kalian semua, kami akan memberikan upah yang cukup, bahkan lebih karena hasil pekerjaan kalian sungguh menakjubkan. Ini merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat Banten pada masa yang akan datang.”
Pihak kesultanan melepas kepergian para tukang bangunan untuk kembali ke kampungnya masing-masing. Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda dengan Syekh Mahdum. Selain mendapatkan upah berupa mata uang, dia juga menerima mustaka yang tidak jadi dipasang di puncak menara Masjid Banten. Ini merupakan suatu penghargaan yang sangat luar biasa yang dirasakan oleh Syekh Mahdum. Pihak Kesultanan Banten berpesan agar mustaka ini nantinya dipasang pada atap masjid yang ada di Kampung Tampeuyan.
Berangkatlah mereka menuju kampung masingmasing siang itu dengan berjalan kaki. Dari Banten ke Kampung Tampeuyan jaraknya cukup jauh. Syekh Mahdum membutuhkan waktu dua hari perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampainya di Kampung Waringin Kurung, hari mulai beranjak malam. Suara jangkrik dan serangga lainnya begitu gembira menyambut malam tiba. Bunyi seranggga yang bersahut-sahutan melahirkan nada yang harmonis. Keempat tukang itu sudah lelah berjalan sejak siang. Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah gubuk kosong di pinggir jalan. Kebetulan, gubuk itu sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Mereka melepas lelah sambil membuat bebeleman atau api unggun dari ranting-ranting kering yang ada di sekitar gubuk kosong.
Suara jangkrik yang berbunyi nyaring pada tengah malam buta, tidak mengganggu kepulasan tidur keempat para tukang itu. Karena terlalu jauh berjalan kaki, mereka kelelahan dan tidak mendengar apa-apa di sekitar mereka. Dalam pikirannya, mereka hanya ingin tidur dan besok harus bangun lebih pagi untuk melanjutkan perjalanan ke kampung masing-masing. Di keheningan malam yang hanya ada cahaya api unggun dari ranting-ranting kayu yang sudah mulai redup, tiba-tiba terdengar suara ranting kayu yang patah. Mungkin tidak sengaja terinjak oleh seseorang sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik. Suara itu membangunkan Syekh Mahdum dari tidurnya yang lelap. Syekh Mahdum langsung teringat kepada hadiah yang diberi Sultan kepadanya. Tanpa pikir panjang, Syekh langsung meraba bungkusan yang berisi mustaka di sampingnya.
Apa yang dikhawatirkan Syekh ternyata benar. Bungkusan yang berisi mustaka itu sudah sudah tidak ada, raib dibawa kabur oleh orang yang tidak dikenal. Syekh Mahdum langsung bangkit dari tidurnya dan mengejar orang yang baru saja mengambil hadiah yang diberikan oleh Kesultanan Banten kepadanya. Dia tidak rela barang berharga miliknya berpindah tangan kepada orang lain.
“Kembalikan bungkusan itu!” Syekh Mahdum melihat bayangan seseorang yang samar-samar dalam kegelapan malam. Ia berusaha meminta haknya kepada orang yang tidak dikenalnya itu. Namun, lakilaki bertopeng itu malahan berlari semakin kencang dan menghindar dari kejaran Syekh Mahdum. Syekh Mahdum tidak tinggal diam. Dengan secepat kilat Syekh berhasil memegang tengkuk laki-laki bertopeng itu. Dari gelagatnya, laki-laki bertopeng itu ternyata bukan orang biasa. Sepertinya, dia juga memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi.
Akhirnya pertarungan tidak bisa dihindari. Keduanya saling mengadu kesaktian dan siap memasang kudakuda untuk memulai pertarungan. Pertarungan antara kedua pesilat itu cukup sengit. Mereka berkelit ke kiri dan ke kanan. Laki-laki bertopeng itu cukup lincah menyerang Syekh Mahdum. Namun, Syekh Mahdum dengan gesit mengelak. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Dengan menggunakan tangan kosong Syekh Mahdum berusaha menangkis serangan-serangan dari laki-laki bertopeng itu. Sementara itu, si laki-laki bertopeng menggunakan golok untuk melumpuhkan lawannya. Ini memang tidak adil. Seharusnya, tangan kosong juga dilawan dengan tangan kosong. Namun sebenarnya, Syekh Mahdum memang tidak berniat untuk berkelahi,dia hanya terpaksa membela diri. Hampir satu jam pertarungan berlangsung. Syekh Mahdum hanya bertahan, tidak pernah menyerang sekali pun. Dia hanya ingin mempertahankan yang menjadi haknya, yaitu mustaka pemberian Kesultanan Banten kepadanya. Pertarungan berlangsung cukup lama, tapi tidak ada tanda-tanda siapa yang akan kalah dalam pertarungan yang sengit itu. Ketika Syekh Mahdum lengah, golok laki-laki bertopeng itu diayunkan ke arah punggungnya. Namun, Syekh Mahdum secepat kilat berbalik dan menangkap tangan laki-laki bertopeng itu sehingga goloknya sekarang berpindah ke tangan Syekh Mahdum. Syekh Mahdum menempelkan ujung golok itu ke leher laki-laki bertopeng dan mengancam akan menghabisi nyawanya jika bungkusan yang berisi mustaka itu tidak dikembalikan.
“Ampun, Syekh, jangan bunuh saya. Saya minta maaf, saya khilaf.” Syekh terkejut karena merasa suara yang didengarnya itu sudah tidak asing lagi baginya. Syekh langsung melepas topeng yang menutupi wajah laki-laki itu. “Astagfirullah... Ternyata, kamu pencurinya?” Syekh Mahdum sekarang tahu bahwa yang ingin mengambil mustaka miliknya itu adalah Jaelani, tukang dari Kampung Parakan
Syekh Mahdum Diangkat Jadi Lurah
Tak berapa lama berselang, ayam jantan di perkampungan Waringin berkokok menandakan hari sudah mulai pagi. Masyarakat Kampung Waringin sudah ada yang bangun dan bersiap-siap untuk pergi e masjid untuk melaksanakan Salat Subuh. Syekh Mahdum dan Jaelani kembali ke gubuk bersama-sama, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Syekh Mahdum memaklumi, wajar saja jika Jaelani ingin memiliki mustaka pemberian Sultan itu karena semua orang pasti bangga jika mendapat hadiah dari seorang Sultan. Dengan hati yang tulus dan ikhlas Syekh Mahdum memaafkan kekhilafan dan kekeliruan yang dilakukan oleh Jaelani.
“Ayo, bangun! Kita salat Subuh berjamaah,” kedua tukang dari Kampung Nembol dan Kampung Gulacir dibangunkan. Mereka tidur sangat pulas karena terlalu lelah seharian berjalan kaki. Sampai-sampai mereka tidak tahu apa-apa tentang kejadian tadi malam. Memang, Syekh Mahdum sengaja merahasiakan dan menyimpan rapat-rapat peristiwa yang terjadi agar Jaelani tukang dari Kampung Parakan tidak mendapat malu. Syekh Mahdum jadi teringat, pantas saja ketika semua orang berkumpul dan memberi selamat atas kemenangannya dalam sayembara, Jaelani tidak ada di tempat.
Dari kemenangan Syekh Mahdum dalam sayembara itulah, Jaelani mulai tidak senang kepada Syekh. Dia iri dan sakit hati melihat kesaktian yang dimiliki oleh Syekh Mahdum. Sejak saat itu Jaelani berencana dan mengatur siasat ingin menguji kesaktian Syekh Mahdum. Jika menang, mustaka pemberian sultan itu akan jatuh ke tangan Jaelani. Jaelani akan mengumumkan kepada masyarakat Kampung Parakan bahwa dia adalah tukang yang hebat dan tidak ada yang bisa menandinginya. Namun, semua itu hanya mimpi. Mimpi yang tidak akan pernah jadi kenyataan.
Menjelang Magrib tiba, ketika suara tonggeret, serangga hutan, yang berwarna hijau daun berbunyi bersahutan, sampailah Syekh Mahdum di kampungnya dengan selamat. Masyarakat Kampung Tampeuyan menyambut gembira kedatangan Syekh Mahdum. Kosim, anak semata wayangnya yang sudah lama tidak bertemu dengan abahnya, langsung berlari dan memeluknya. Tak ketinggalan juga anak-anak lain teman Kosim, mereka pun ikut menyambut kedatangan Syekh Mahdum dengan penuh suka-cita. Bergantian mereka menyalami Syekh Mahdum.
“Alhamdulillah, Abah pulang,” Nyai mencium tangan suaminya yang sudah lama dirindukannya. Selama ini mereka hanya berdua saja dengan Kosim di rumah. Sepi sekali rasanya kalau tidak ada Syekh Mahdum di rumah. Selama Syekh di Banten, orang-orang yang ingin berkunjung ke Sumur Jati Herang dipandu oleh Nurdin, seorang pemuda Kampung Tampeuyan yang sudah dipercaya Syekh Mahdum.
Kabar kepulangan Syekh Mahdum dari Banten begitu cepat tersiar di Kampung Tampeuyan. Hampir seluruh masyarakat kampung keluar untuk memberikan selamat kepada Syekh Mahdum. Orang-orang keluarmasuk rumah Syekh Mahdum, tak lain hanya ingin bertemu dengannya. Mereka bangga dengan Syekh Mahdum karena berhasil memenangi sayembara yang diadakan oleh Sultan Banten dan menjadi tukang terbaik saat membangun Masjid Banten sehingga berhasil mendapatkan penghargaan dari Kesultanan Banten.
Masyarakat kampung sudah tidak sabar untuk memasangkan mustaka yang diberikan kesultanan Banten. Mustaka itu akan dipasang di puncak masjid yang ada di Kampung Tampeuyan. Begitulah pesan sultan kepada Syekh Mahdum saat memberikan penghargaan itu. Hal itu merupakan kebanggaan yang sangat luar biasa bagi masyarakat Kampung Tampeuyan. Tidak semua kampung di Banten ini, bisa mendapatkan penghargaan seperti apa yang didapatkan oleh masyarakat Kampung Tampeuyan seperti pada saat itu. Sehabis salat Subuh, tatkala Matahari mulai menampakkan wajahnya, kicauan kutilang, saling berlomba memperdengarkan kemerduan suaranya, masyarakat kampung bergotong-royong mempersiapkan pemasangan mustaka. Mustaka yang terbuat dari tanah liat yang dibakar menyerupai bunga yang sedang mekar itu dipasang di puncak Masjid Kampung Tampeuyan pagi ini. Para ibu di kampung itu sibuk menyiapkan berbagai macam masakan untuk persiapan bancakan atau makan bersama siang nanti. Sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Kampung Tampeuyan, mereka memotong seekor kambing yang cukup besar untuk disantap bersama-sama.
Sebenarnya, masyarakat Kampung Tampeuyan sudah lama ingin mengangkat Syekh Mahdum menjadi lurah. Semenjak Lurah Sardi meninggal dunia, belum ada yang menggantikannya hingga saat ini. Sudah hampir setahun Kampung itu tidak memiliki lurah. Saat itu merupakan saat yang paling tepat. Sambil memasang mustaka di atas puncak masjid, Syekh Mahdum juga akan dinobatkan sebagai lurah oleh masyarakat Kampung Tampeuyan. Pemasangan mustaka dilakukan sendiri oleh Syekh Mahdum. Beliau hanya perlu bantuan dari beberapa orang warga yang berani naik ke atas puncak masjid. Pengerjaannya berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan sedikit pun. Mustaka yang berbentuk bunga yang sedang mekar itu sekarang sudah terpasang dengan indahnya di atas puncak Masjid KampungTampeuyan. Semua warga sangat senang dan bangga atas pemberian Sultan kepada masyarakat Kampung Tampeuyan. Warga berjanji akan merawat dan menjaganya sampai kapan pun. Hingga saat ini mustaka dari Kesultanan Banten itu masih terpasang dengan indahnya di atas puncak Masjid Kampung Tampeuyan.
“Hadirin yang saya hormati, marilah kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah, lurah kita yang baru yaitu Syekh Mahdum.” Salah seorang warga mempersilakan Syekh Mahdum untuk memberikan sambutan kepada seluruh warga. Masyarakat Kampung Tempeuyan bangga dipimpin oleh orang seperti Syeh Mahdum. Mereka sangat yakin di bawah kepemimpinan Syekh Mahdum, Kampung Tampeuyan akan lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Semenjak Syekh Mahdum menjadi lurah, masyarakat menjulukinya “lurah sakti” atau “Syekh Mahdum Sakti”. Masyarakat sudah tahu tentang kesaktian yang dimiliki oleh Syekh Mahdum. Kesaktian yang sering diperbincangkan oleh warga terutama adalah tentang kepiawaiannya mengecat menara Masjid Banten. Syekh mengecat menara yang tingginya hampir dua puluh empat meter tanpa menggunakan bantuan alat penyangga. Masyarakat terheran-heran ilmu apa yang dipakai oleh Syekh Makdum tersebut dan ke manakah dia berguru.
Di bawah kepemimpinan Lurah Sakti, Kampung Tampeuyan banyak berubah. Di antaranya kehidupan penduduk kampung itu menjadi lebih makmur karena lurahnya selalu memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Lurah Sakti itu rajin ke sawah dan ke kebun tanpa ada kata bermalas-malasan. Oleh karena itu, warga juga merasa terdorong dan termotivasi melihat semangat lurahnya. Masyarakat yang hidup saling berdampingan dan tidak pernah ada permusuhan atau perselisihan antarwarga membuat Kampung Tampeuyan semakin tenteram dan damai. Biasanya, ada saja hewan ternak yang hilang diambil orang, tetapi semenjak dipimpin oleh Lurah Sakti, tidak pernah lagi terdengar masyarakat yang mengadu kehilangan sapi atau kerbau. Pendeknya, tidak ada lagi yang berani untuk berniat jahat di Kampung Tampeuyan.
Hari ini Kosim genap berusia tujuh tahun. Kosim adalah anak semata wayang Syekh Mahdum atau Lurah Sakti. Dia sangat pintar dan patuh kepada kedua orang tuanya. Di usianya yang masih tergolong kanak-kanak, Kosim sudah hampir menamatkan Juz yang ke-30. Berkat bimbingan dan arahan kedua orang tuanya, Kosim menjadi anak yang rajin dan saleh. Sungguh, sikap dan prilaku Kosim sangat menyejukkan hati kedua orang tuanya. “Abah, aku ingin juga disunat seperti temanku, Rohim, Bah.” Tiba-tiba Kosim meminta kepada ayahnya agar disunat seperti Rohim. “Aku ingin cepat besar agar dapat membantu Abah bekerja di sawah.” Biasanya anak laki-laki setelah disunat akan cepat tumbuh besar dan badannya akan cepat meninggi. Keinginan Kosim disambut baik oleh kedua orang tuanya. Kata orang-orang, apabila seorang anak laki-laki sudah minta disunat, tidak boleh ditunda-tunda lagi keinginannya.
Acara khitanan Kosim anak Lurah Sakti itu pun direncanakan dengan pesta besar-besaran. Semua penduduk Kampung Tampeuyan diundang tanpa kecuali. Bahkan, penduduk kampung sebelah juga mendapat undangan dari Lurah Sakti. Saat pesta nanti akan dipanggil grup musik kendang dari Kampung Leuwi Badak. Grup musik itu memang sudah terkenal seantero Mancak. Selain alat musiknya lengkap, para pemainnya juga mahir dan profesinal dalam memainkannya. Sehari sebelum pesta khitan Kosim, semua warga Tampeuyan sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ada yang memotong kerbau, ada yang menyiapkan bumbu-bumbu untuk masakan di dapur, ada yang mengambil peralatan musik kendang ke Kampung Leuwi badak, dan ada yang sibuk bersih-bersih kampung agar terlihat indah dan rapi. Pokoknya, semua warga Tampeuyan turut berpartisipasi dalam pesta khitanan Kosim.
Kicauan burung kutilang dan burung cipau membangunkan Kosim dari tidurnya. Luka bekas khitannya masih terlihat basah. Dengan sedikit meringis menahan sakit, Kosim bangun dari tidurnya. Dia teringat bahwa hari ini adalah pesta khitannya. Kosim bergegas mandi dan memakai sarung yang baru, hadiah dari abahnya, Lurah Sakti. Hari mulai beranjak siang. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan dari segala pelosok kampung. Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi keluarga Lurah Sakti dan juga penduduk Kampung Tampeuyan. Kesempatan untuk makan besar di rumah Lurah Sakti tidak disia-siakan oleh warga sekitar. Mereka bisa makan sepuasnya. Ditambah lagi, acara pesta itu dimeriahkan pula oleh penampilan musik kendang dari Kampung Leuwi Badak. Penampilan itu makin membuat warga terhibur dan betah berlama-lama di rumah Lurah Sakti.
Musik kendang yang terdiri atas kenong, kendang, terompet, gong, dan lain-lain dari tadi tidak pernah berhenti dimainkan. Makin siang semakin meriah pesta khitanan Kosim. Beberapa orang warga ikut berjoget mengikuti alunan lagu yang mengalun indah. Keceriaan anak-anak begitu terlihat nyata di bola matanya. Sesekali mereka berusaha mendekat ke panggung karena ingin melihat langsung alat musik gong yang berukuran paling besar dari alat musik lainnya. Alat musik itu cukup menarik perhatian pendengarnya, terutama anak-anak. Mereka tertawa kegirangan apabila gong dipukul. Suara yang dikeluarkan juga seperti namanya, “goooong.” Mungkin, dari situlah orang-orang menamai alat musik itu dengan nama “gong.”
GONG MEMBAWA PETAKA Pesta khitanan Kosim usai hingga larut malam. Semua warga kelelahan dan tertidur hingga terbit matahari. Alat musik tradisional yang masih berada di atas panggung belum sempat diantarkan oleh warga ke Kampung Leuwi Badak. Rencananya, mereka akan bergotong-royong sore harinya, sekaligus membersihkan bekas-bekas sampah usai acara pesta. Namun, tidak demikian dengan Lurah Sakti. Dia tetap saja bangun pagi walaupun dalam keadaan lelah. Saat Lurah Sakti tengah sibuk membereskan alat-alat musik di atas panggung, Kosim dan teman-temannya bermain di bawah panggung tanpa sepengetahuannya. Pada saat itulah Lurah sakti menurunkan alat musik gong. Ketika talinya dilepas dari gantungannya, tibatiba gong itu jatuh ke bawah dan menimpa Kosim anak semata wayangnya. Kosim menjerit kesakitan karena tepat menimpa kepalanya. Saat itu juga Kosim langsung pingsan dan tak sadarkan diri.
Warga berdatangan mendengar kejadian yang menimpa Kosim. Mereka merasa bersalah karena tidak membantu lurahnya membereskan alat-alat setelah pesta selesai. Kesedihan dan kekesalan terlihat begitu jelas di wajah Lurah Sakti. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi pada Kosim, anaknya. Karena kecerobohannya sendiri, anaknya menjadi korban.
“Bangun, Nak. Kosim! Kosim! Jangan tinggalkan, Nyai, Nak!” Nyai menggocang-goncangkan tubuh Kosim. Berkali-kali Kosim dibangunkan, tetapi tidak juga terbangun. Lurah Sakti merasa bersalah kepada istrinya. “Abah, kenapa Kosim ,Bah? Kenapa Kosim tidak mau bangun?” Nyai meratapi tubuh Kosim yang tidak bergerak sama sekali. “Maafkan Abah, Nyai. Ini semua sudah kehendak Gusti Allah. Kita harus ikhlas menerima musibah ini.” “Tetapi Bah, Kosim anak kita satu-satunya. Nyai tidak mau kehilangan Kosim, Bah”. “Sudahlah, Nyai, kita harus ikhlas. Berdoa saja kepada Yang Mahakuasa agar Kosim dapat pulih seperti sediakala”. Lurah Sakti berusaha menenangkan hati istrinya.
Sore harinya, tersiar kabar bahwa Kosim, anak Lurah Sakti, meninggal dunia. Sempat Kosim siuman sebentar dan memanggil Abah dan Nyainya, tetapi beberapa saat setelah itu Kosim menutup matanya menghadap Tuhan Yang Mahakuasa. Semua warga berdatangan untuk melihat Kosim terakhir kalinya. Teman-temannya menangis karena kehilangan Kosim, teman yang saleh dan baik hati. Tibalah saatnya prosesi pemakaman. Seluruh warga ikut mengantarkan jenazah Kosim ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Suasana pemakaman sore itu begitu sunyi dan sepi, berbeda sekali dengan hari kemarin, pada saat semua warga merayakan pesta khitanan Kosim. Semua kegembiraan dan suka cita yang dialami oleh warga kemarin lenyap seketika dan hilang begitu saja dari pikiran mereka.
Usai pemakaman Kosim, Lurah Sakti memberikan sambutan di depan semua warga. Lurah Sakti tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang begitu amat dalam dari wajahnya walaupun telah berusaha untuk tegar dan menutupi rasa sedihnya. Lurah Sakti pada akhir sambutannya ia menyampaikan bahwa ia bersumpah tidak akan pernah mengizinkan siapa pun di Kampung Tampeuyan untuk membunyikan alat musik, seperti gong. Jika ada yang melanggar sumpah itu, orang tersebut akan celaka. Itulah sumpah yang diucapkan Lurah Sakti di hadapan para warganya. Semua kembali pulang ke rumah masing-masing dengan membawa duka yang teramat dalam karena ditinggal Kosim, anak semata wayang Lurah Sakti, untuk selama-lamanya.
Sejak kepergian Kosim, orang yang paling kehilangan adalah Nyai. Nyai sering mengurung diri di kamar dan melamun sendiri. Lurah Sakti jarang meninggalkan Nyai ketika kepergian Kosim. Lurah Sakti memaklumi itu semua, tidak akan mudah melupakan kepergian seseorang yang kita cintai dari kehidupan kita. Apalagi, darah daging kita yang merupakan bagian dari hidup kita. Terkadang Nyai merasa seolah-olah ada Rohimyang memanggil Kosim untuk bermain petak umpet di sore hari. Rohim adalah teman terbaik Kosim. Dia juga sangat merasa kehilangan dengan kepergian Kosim. Sesekali Rohim dipanggil untuk bertandang ke rumah Kosim guna melepaskan rindu Nyai kepada Kosim. Dengan datangnya Rohim, Nyai sudah cukup terhibur.
Sudah cukup lama Kosim meninggalkan masyarakat Kampung Tampeuyan. Pelan-pelan mereka sudah mulai mengikhlaskan dan melupakan kepergian Kosim. Seiring dengan berjalannya waktu, warga kampung juga mulai melupakan sumpah yang diucapkan oleh Lurah Sakti saat pemakaman Kosim. Suatu hari ada seorang pedagang yang menjajakan es tun-tung ke Kampung Tampeuyan. Sambil membunyikan alat musik menyerupai gong, tetapi berukuran kecil, dia berusaha menawarkan dagangannya, terutama kepada anak-anak kecil. Dia berhenti tepat di bawah sebuah pohon yang rindang di dekat Masjid Kampung Tampeuyan. Tiba-tiba tanpa diketahui dari mana asalnya sebuah batu mendarat di kepalanya.
“Aduh! Aduh!” pedagang es itu mengerang kesakitan. Dahinya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Untunglah cepat mendapatkan pertolongan dari warga setempat. “Maaf ya, Mang, di kampung ini tidak ada yang boleh membunyikan alat yang menyerupai gong atau yang terbuat dari bahan perunggu,” ujar seorang warga mengingatkan. Sejak saat itu, tidak ada yang berani melanggar sumpah Lurah Sakti tersebut karena mereka takut akan ditimpa musibah seperti penjual es tungtung itu. Kabar tentang larangan membunyikan gong itu tersiar ke mana-mana dan hingga sekarang mitos ini masih dipercaya oleh masyarakat Kampung Tampeuyan.
Cerita ini turun-temurun disampaikan kepada anak cucu mereka bahwa mulai dari Kampung Sibuyung sampai ke Alas Tua atau Tapak Kabayan, jangan sekali-kali mencoba membunyikan gong atau alat yang menyerupai gong karena akan buruk akibatnya jika melanggar.
Ditulis oleh: Widowati Sumardi, M.Pd
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |