×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Lampung

Si Dayang Rindu

Tanggal 09 Mar 2021 oleh Widra .

Pada zaman dahulu di pinggiran Sungai Musi terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Palembang. Kerajaan tersebut sangat subur, makmur dan tentram dengan penduduk yang cukup banyak. Kerajaan tersebut diperintah oleh Pangeran Riyo yang tidak hanya tampan tetapi juga gagah. Ia merupakan putra sulung Sultan Palembang. Sayangnya, hingga kini Pangeran Riyo belum memiliki permaisuri. Oleh karena itu, ia belum diberi gelar sultan hingga kedua orang tuanya mangkat.

Sesungguhnya, sudah banyak gadis rupawan yang dikenalkan namun belum ada satu wanita yang berhasil memikat hati pangeran Riyo. Pangeran Riyo sendiri menginginkan calon permaisuri yang tidak hanya cantik tetapi juga memiliki budi pekerti yang baik pula. Ia berharap pendampingnya kelak mampu memberikan warna baru pada kerajaan sehingga derajat rakyatnya semakin meningkat dan disegani oleh kerajaan tetangga.

Lalu, pada suatu siang yang cerah datanglah dua orang punakawan (prajurit) menghadap. “Ampun, Tuanku, kami berdua ingin melapor. Namun, kami ingin minta maaf terlebih dahulu jika laporan ini kurang berkenan di hati,” ujar salah seorang punakawan sambil duduk bersila. “Silakan,” jawab sang pangeran dengan singkat. “Begini, Tuanku. Kami mendapat kabar bahwa di Kerajaan Tanjung Iran, Tanggamus, Lampung, ada seorang gadis cantik nan jelita, bak bidadari yang turun dari kayangan. Setiap kali ia tersenyum, tak satu pandang matapun mampu beralih darinya. Tutur katanya lembut dan tertata. Rambutnya mayang mengurai. Pantas kiranya ia menjadi permaisuri,” ujar punakawan itu dengan raut wajah yang serius.

Mendengar kabar tersebut, Pangerang Riyo menarik napas panjang. Ia membatin bahwa sudah saatnya ia memiliki permaisuri. Tidak akan bersinar kerajaan tanpa seorang pendamping raja“Kalau begitu, segera panggil adikku, Keriyo Niru, untuk menghadap,” perintah sang pangeran. “Baiklah,Tuanku,” jawab punakawan itu sambil menyatukan kedua telapak tangan sebagai tanda hormat. Tak berselang lama, tibalah Keriyo Niru di Pusiban. Ia pun langsung menghadap sang kakak. “Ampun, Tuanku. Ada apakah gerangan sehingga hamba diminta menghadap? Berat atau ringan tugas yang Tuanku berikan, akan saya laksanakan dengan senang hati,” ucap Keriyo Niru dengan mimik yang serius. “Begini, Adikku. Saya ingin mengetahui pendapatmu tentang seorang gadis di Tanjung Iran,” ujar Pangeran Riyo.

Mendengar hal tersebut, Keriyo Niru tersenyum dan paham maksud pertanyaan sang pangeran. Ia pun berkata, “Dayang Rindu namanya, Tuanku. Saya sudah mendengarnya. Gadis itu memang benar-benar cantik. Cantik rupanya, baik pula tabiatnya. Tidak ada satu gadis pun di kerajaan kita yang mampu menandingi kemolekannya.” “Kalau begitu, tidak usah menunggu lama. Segera kita berembuk untuk meminang Dayang Rindu,” kata Pangeran Riyo.

Pangeran Riyo pun memerintah para budak memanggil pejabat dan para hulubalang untuk menghadap. Tak lama kemudian, Adipati Anom, seorang panglima perang yang terkenal dengan keperkasaannya, tiba di Pusiban. Lalu, Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig pun datang, diikuti oleh Sifat Lenggawan, Karang Waringin, Kapitan Karang, Rulam Dalem, dan Jejeng Irun. Mereka adalah para hulubalang kerajaan yang memiliki kekuatan tak tertandingi. Setiap hulubalang tersebut memiliki senjata andalan yang sangat sakti.

Setelah semuanya berkumpul, Pangeran Riyo mengutarakan maksud hatinya. Mendengar perkataan pangeran, terperanjatlah Tumenggung Itam. Sesak dadanya mendengar hal itu. “Ampun beribu ampun Tuanku. Sudi kiranya Tuan menjelaskan apa yang telah dimufakatkan dengan Keriyo Niru,” katanya. Pangeran Riyo pun menjelaskan, “Begini, aku menugasi kalian berdua, Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig, untuk menemani adikku Keriyo Niru meminang Dayang Rindu. Bawalah orang yang banyak, prajurit terbaik, dan hulubalang yang cakap.”

Seketika Tumenggung Itam terdiam dan tertegun. Lalu, dengan suara yang bergetar, ia pun berkata,“Baiklah, Tuanku, segala perintah hamba siap laksanakan. Akan tetapi, agar Tuanku maklum, Tanjung Iran memiliki hulubalang yang gagah perkasa dan sakti mandra guna. Mereka memiliki ilmu jin, ilmu pelimbun. Di antara mereka bahkan ada yang tidak makan nasi, tetapi madu dari sari bunga.”

Mendengar perkataan Tumenggung Itam, Pangeran Riyo lalu tersenyum. “Tumenggung Itam, tidak usah gusar dan tidak perlu takut. Kedatangan kalian bukan untuk berperang, melainkan menyampaikan niat baikku. Kalian pergi dengan baikbaik, bermusyawarahlah untuk meminang Dayang Rindu dengan membawa antaran yang banyak,” ujarnya.

“Hamba telah selidiki dan ramalkan keadaan orang di sana, Tuanku. Banyak prajurit sakti dan terlatih. Rajanya adalah Keriyo Carang yang sangat sakti. Lalu, ada Wayang Sewu Petako Lama yang berperang bagaikan singa, Agung Karep yang terkenal kuat penunggu mata air, dan Singa Ralang yang kekuatannya tak bisa diremehkan. Jadi, kita harus maklum dan waspada,” ucap Tumenggung Itam.

Mendengar informasi itu, sang pangeran lalu memerintahkan penyiapan semua peralatan yang dibutuhkan, seperti sebilah keris melilo dengan pangkal gagang wajah temian berhias permata intan, cula badak bertakhta emas, keris melilo bertakhta emas yang tajamnya merambah bulu, peti besi besar berisi uang kuning sejuta, dua puluh lima peti emas merah bergambar kuda dan perisai merah, tujuh puluh awer-awer kulit macan, kain cindai samudra untuk ibu-ibu tua, dan kain sutra bertumpal emas samudra untuk bujang-gadis.

“Berikan semua barang ini kepada mereka,” titah Pangeran Riyo. “Maaf, Tuanku, bolehkah hamba meminta kelengkapan senjata, seperti senapan sekelem tako, meriam empat puluh pucuk, lela tembaga lima puluh, tombak dengan kujur, pedang dengan perisai, seligi dengan panah, bendera ular-ular, dan keris suduk andam pitu. Semua itu pantas dibawa,” pinta Tumenggung Itam sembari menyebutkan perlengkapan lain yang dibutuhkan. Perlengkapan itu terdiri dari kapal besar dan kokoh yang bernama Kutting si Bandung Dua, perahu jung dan pinis, tendang dan pucalang, perahu bidar, jepasi empat puluh, gendang dan serunai, tettawa dan kenong, serta bedil cucunurung..

Di tempat yang berbeda diam-diam ternyata Keriyo Niru melakukan pengintaian. Ia ingin mengetahui kabar terkini Dayang Rindu. Selama ini ia baru sebatas mendapat kabar saja. Kebetulan pula kerajaan yang ia pimpin letaknya berdekatan dengan Tanjung Iran. Petang itu, dengan mengenakan pakaian khas penduduk setempat, Keriyo Niru menyambangi Tanjung Iran. Langkahnya ringan, tetapi mantap. Ia berusaha tidak menarik perhatian warga desa. Di kedai kopi duduklah sekelompok orang yang tengah bercakap-cakap. Dari penampilannya, sepertinya mereka adalah prajurit muda yang baru saja berlatih perang. Sesekali terdengar gelak tawa dan celoteh nakal khas anak muda seusia mereka.

“Aku tadi sempat melihat Putri Dayang Rindu tengah merajut. Sinar matahari memantulkan kecantikannya. Senang sekali hatiku memandangnya,” ujar prajurit yang berbalut pakaian berwarna biru tua.

Rupanya, teman di sebelahnya juga melihat hal serupa. “Kukira hanya aku yang melihatnya. Ah, engkau memang tidak ingin kalah denganku. Putri Dayang Rindu memang mampu memikat hati semua orang. Beruntung sekali pria yang memilikinya kelak,” katanya sambil melepaskan pandangan ke arah istana “Hei, Badrun, apakah engkau tidak tahu? Dayang Rindu sudah bertunangan. Lelaki yang beruntung itu adalah Ki Bayi Radin, seorang hulubalang kerajaan. Pertunangan mereka telah dilakukan beberapa waktu lalu dan pesta pernikahan sudah pula ditetapkan,”ujar salah seorang dari mereka.

Percakapan tersebut juga menarik perhatian Keriyo Niru. “Beruntung aku singgah di sini. Paling tidak, aku mengetahui bahwa Dayang Rindu segera naik pelaminan,” katanya dalam hati. Tindak tanduk Keriyo Niru rupanya diawasi oleh seorang prajurit karena dari cara duduk dan berpakaiannya tidak serupa dengan penduduk setempat. Ia sangat yakin bahwa pria yang mengenakan selop berbahan kulit lembut khas petinggi kerajaan itu bukanlah orang biasa.

Dengan terburu-buru prajurit yang kemudian diketahui bernama Pamenda itu menemui Ki Bayi Radin yang kebetulan tengah berada di beranda rumahnya. “Maaf, Ki Bayi Radin. Sepertinya ada orang asing yang patut kita curigai. Sedari tadi ia hanya terlihat sibuk memperhatikan percakapan kami tanpa menghiraukan hidangan yang dipesan,” katanya dengan napas tersengal-sengal. Mendengar informasi tersebut, Ki Bayi Radin langsung meminta Pamenda untuk mengajak orang asing yang dimaksud ke pondok yang terletak tak jauh dari kedai. “Bawa dia ke sana,” perintahnya. Semula Keriyo Niru menolak ajakan Pamenda dengan alasan tidak punya banyak waktu. Namun, ia pun akhirnya menurutinya karena Pamenda memaksa dengan nada mengancam. Hati kecilnya berkata, “Seseorang telah mengetahui kehadiranku di sini. Aku harus berhati-hati.”

Setibanya di pondok itu, Ki Bayi Radin yang telah menantinya berkata, “Oh, rupanya engkau, Keriyo Niru. Kukira musuh dari kerajaan seberang. Hal apa yang membuat engkau sampai menyamar seperti ini?” tanyanya dengan nada penuh curiga. Berbagai alasan dikemukakan Keriyo Niru. Namun, Ki Bayi Radin selalu melemparkan pertanyaan yang tajam. Ia yakin bahwa Keriyo Niru pasti memiliki misi tertentu yang akan mengancam keamanan Tanjung Iran. Perbantahan pun terjadi dan berujung dengan perkelahian.

Ki Bayi Radin yang sakti dan Keriyo Niru yang gagah perkasa memiliki kekuatan dan kelihaian yang sama. Tidak seorang pun terluka sehingga berakhir imbang. Mendengar berita tentang Keriyo Niru dan Ki Bayi Radin beradu kekuatan dengan hasil yang imbang, Tumenggung Itam memerintahi seorang budak untuk mengundang khatib, imam, penghulu langgar, dan para haji untuk berbincang dan bermusyawarah. Saat semua undangan telah datang, berkatalah Tumenggung Itam, “Tuan Penghulu, carikan dulu aku hari yang baik untuk berperang.” “Baiklah, Tuanku,” jawab penghulu sambil membuka Kitab Mastari. Setelah mencocokkan dengan perhitungan hari tenung ider naga yang artinya saat paling tepat untuk melakukan penyerangan, ibarat anjing menyerang macan; hari katak menyerang ular; hari ayam menyerang elang, penghulu pun memutuskan minggu itulah waktu yang paling tepat.

Menghadaplah Tumenggung Itam menemui Pangeran Riyo untuk memberitahukan waktu keberangkatan. Pangeran Riyo yang sudah merasa tidak enak makan dan tidur karena memikirkan Dayang Rindu langsung memberikan restunya. “Saat ini hanya Tuhanlah yang tahu apa yang aku rasakan. Niat baikku ini haruslah terpenuhi,” katanya. Mendengar perkataan Pangeran Riyo, Tumenggung Itam langsung berpamit untuk mempersiapkan diri. Ia lalu bergegas mengumpulkan para prajurit dan hulubalang untuk segera merapat ke pelabuhan.

Di atas Kutting si Bandung Dua, Tumenggung Itam berkata kepada semua rombongan untuk mempersiapkan diri. Mereka akan segera berlayar menuju Tanjung Iran guna melaksanakan perintah Pangeran Riyo. Pukul canang, pasang bendera ular, tabuh gamelan sesikar gadung, tabuh tetawa dengan kenong, tabuh gendang dengan serunai, dan bersorak-sorailah dengan kuat,” teriaknya dengan nada penuh semangat. Setelah berlayar empat hari empat malam dan telah pula melewati Pulau Kertas Muara Ogan, tibalah mereka di pelabuhan negeri Keriyo Niru. Sesuai perintah Pangeran Riyo, rombongan diminta untuk menjemput adiknya terlebih dahulu. Rupanya, kedatangan Kutting si Bandung Dua dan armada lain telah dinanti oleh Keriyo Niru. Ia telah menyiapkan sirih pinang, gambir dengan tembakau, beras empat gantang dan seekor kambing sebagai pemapak atau penyambutan.

“Kyai Tumenggung Itam, ampun beribu ampun. Jika ada musuh dari laut, saya pasti mampu melawannya, tetapi kalau pergi ke Tanjung Iran, saya tidak sanggup,” katanya mengawali pertemuan tersebut. Mendengar hal ini, murkalah Tumenggung Itam. Dengan lantang ia berkata, “Tidak bisa engkau mengelak dari tugas ini karena engkaulah sebenarnya yang membuat gara-gara. Engkau yang mengabarkan perihal Dayang Rindu kepada Pangeran Riyo,” sergahnya sembari mengatakan bahwa tak seorang pun yang tak mengetahui kecantikan Dayang Rindu, termasuk dirinya.

“Akan tetapi, aku memilih untuk diam, tidak seperti engkau!” katanya lagi sambil menegaskan siap beradu fisik jika Keriyo Niru menghindar. Pucat pasi Keriyo Niru mendengar perkataan Tumenggung Itam. Darahnya tersirap serta jantungnya berdegup kencang. “Baiklah, Kiai. Saya tidak akan mengelak, tetapi berilah saya waktu untuk mempersiaplan diri. Saya akan membawa prajurit dan hulubalang terbaik dari kerajaanku." jelasnya.

Seketika itu juga, pulanglah Keriyo Niru ke istananya lalu pergi ke Balai Panjang. Sebelum orang berkumpul, bercakaplak Keriyo Niru dengan Menteri Tua perihal kedatangan Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig. Ia meminta saran untuk menghindari tugas tersebut. "Tuanku, daripada Tuan merasa terpaksa menjalankan tugas ini, lebih baik kita berperang saja di sini,” saran Menteri Tua. Putri Mas, istri Keriyo Niru, menyela. Ia mengatakan bahwa sebaiknya mereka memberikan sejumlah harta kepada Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig. Namun, saran tersebut langsung ditolak oleh Keriyo Niru. Menurutnya, sebesar apa pun harta yang diberikan tidak mampu menandingi harta yang mereka punyai. “Keduanya adalah tangan kanan Pangeran Riyo. Mereka tidak akan tergiur oleh harta apapun. Kesetiaan adalah harga mati bagi mereka,” ujar Keriyo Niru dengan perasaan gelisah. Kegelisahan Keriyo Niru pun tampak dari cara duduknya. Beberapa kali ia menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Pandangannya juga terlihat nanar membayangkan hidupnya akan berakhir di Tanjung Iran.

Mendengar hal tersebut, Putri Mas langsung bersedih. Air matanya berlinang tak terbendung. Gundah gulana ia karena akan ditinggal Keriyo Niru ke Tanjung Iran. Firasat buruk pun menghinggapinya. Keriyo Niru berkata kepada para penduduk bahwa ia akan mengajak para lelaki berperang ke Tanjung Iran. Tinggalah para ibu dan anak-anak saja. "Wahai para ibu, jagalah anak-anak dengan baik. Jika kami pergi tidak kembali, kuatkan hati mereka. Katakan kami pergi untuk membela kerajaan Palembang." pesannya.

Keriyo Niru lalu mempersiapkan diri. Ia memakai celana panjang dan tak lupa menyiapkan keris di pinggang seperti orang Bugis. Diiringi punakawan prajurit dan para hulubalang, Keriyo Niru menuju pelabuhan. Canang pun dipukul, bendera ular dikibarkan, gamelan ditabuh dan berlayarlah kapal Kutting si Bandung Dua menuju Tanjung Iran, Saat kapal tengah berlayar, Keriyo Niru menumpahkan kegundahan hatinya. Berpantunlah ia: Kalau berbuah sikarang buwi Tidak berbuah si asam jawa Kalau bertuah balik ke sini Tidak bertuah hilang di sana Kalau berbuah dikarang Buwi Makanan burung si barau-barau Kalau bertuah balik kesini Tidak bertuah hilang dirantau

Kira-kira sepenanak nasi, tibalah rombongan di Tanjung Iran. Ratusan kapal berlabuh. Malang melintang perahu tongkang di bibir pantai. Bersorak sorai suara para budak.

Keriyo Carang, Raja Tanjung Iran, memerintahi para budak untuk memeriksa apa yang terjadi di pelabuhan. Keriuhan terdengar hingga istana. Dikira angin bukan angin, disangka ombak bukanlah ombak, dan dikira guruh bukanlah guruh, seperti malah suara badai. Seketika itu pula, dua orang prajurit langsung menuju pelabuhan. “Tabik dahulu, Tuan. Jangan tersinggung. Kami ingin mengetahui rombongan berasal dari mana, siapa pemimpinnya, kampung mana yang akan dituju, apa maksud dan tujuannya?" tanya prajurit.

Budak-Budak, kalian jangan khawatir. Kami datang dari Palembang bukan hendak merusak kampung atau menghancurkan kerajaan,” jawab Tumenggung Itam. “Jadi, apa maksud dan tujuan kalian datang kemari? Kalau kalian kemari hendak berdagang, penduduk di sini tidak memiliki uang; mau berjudi, orang di sini tidak bisa berjudi; mau mencari gadis, di sini tidak ada yang cantik; dan kalau mau berperang di sini, tidak ada yang berani,” kata budak itu dengan lugas.

Tumenggung Itam langsung menjawab dengan tandas, “Kami kemari bukan hendak menyabung ayam, bukan berjudi, dan bukan pula berdagang. Kami kemari diutus oleh Pangeran Riyo, Raja Palembang, untuk bertemu Keriyo Carang dan Ki Wayang Sewu karena hendak melamar Dayang Rindu. Dengan begitu, negara kita dapat bersatu.”

Mendengar penjelasan itu, para budak langsung melapor ke kerajaan. Setibanya di istana, di hadapan Keriyo Carang mereka menjalaskan bahwa terdapat ratusan kapal yang dilengkapi alat perang dan barang-barang telah merapat di pelabuhan yang dipimpim Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig. Rombongan tersebut hendak melamar Dayang Rindu.

Mendengar hal itu, Keriyo Carang memerintahi para budak untuk memanggil anak pertamanya, Wayang Sewu dan Agung Karep menghadap. “Ambilkan sirih dengan pinang, gambir dengan tembakau, beras empat gantang, serta kambing hitam seekor. Sambutlah mereka di pelabuhan,” titah Keriyo Carang. Wayang Sewu dan Agung Karep pun menuju pelabuhan. “Assalamualaikum, Tuan Tumenggung Itam, selamat datang,” kata Wayang Sewu dengan wajah sumringah. “Wa’alaikumsalam, Wayang Sewu. Silakan masuk dan duduklah,” jawab Tumenggung Itam di atas Kutting si Bandung Dua.

Lalu, Tumenggung Itam mengutarakan maksud dan tujuannya merapat di Tanjung Iran. “Kami membawa kiriman dan bawaan patung macan dari emas, budak bongkok cebol, perisai merah tujuh puluh, macammacam perhiasan dari kulit macan, sirih pinang, dan gambir tembakau. Semua ini kami berikan untuk melamar Dayang Rindu. Bukan membuat jahat, melainkan hendak dijujur dengan uang sejuta dinar dan mas urai segantang,” ujarnya. Tumenggung Itam juga menjelaskan asal usul Pangerang Riyo yang masih memiliki darah Jawa, turunan Raja Sriwijaya, dan beragama Islam.

Selain untuk Dayang Rindu dan Keriyo Carang, barang antaran juga diberikan untuk keluarga besa di Tanjung Iran. Keris bertakhta permata hijau berserangka emas dengan pangkal gagang berselimut emas akan diberikan kepada Agung Karep. Keris melilo bersarung emas yang tajamnya sampai ke bulu dengan gagangnya bertakhta intan hendak diserahkan kepada Singa Ralang. Patung kuda dari emas diserahkan untuk Raden Mas Diwo Kemalo. Kain yang bagus ssepeti, uang perak sekotak dan kain kuning dua puluh lima peti diserahkan kepada Wayang Sewu dan tombak bersarung emas asli untuk Keriyo Carang,

Lalu, payung lumut puncak kemala dipersembahkan kepada Tuan Penatih Agung, payung agung dengan puncak intan untuk Nyai Mas Sri Ayu, serta keris dengan kuku macan bergagang gading untuk Ki Bayi Radin.

“Kami malu jika tidak membawa banyak oleh-oleh. Kami juga membawa kain sutra emas untuk ibu-ibu,” kata Tumenggung Itam. Saat perbincangan tengah berlangsung, tiba-tiba Ki Bayi Metig menyela, “Tuanku Tumenggung Itam, apa usaha kita jika Dayang Rindu tidak berhasil kita bawa pulang?” tanyanya. Dengan spontan Tumenggung Itam menjawab, “Alangkah malunya kita kepada Pangeran Riyo. Lebih baik kita bertahan sini,” ujarnya dengan nada yang tinggi

Rupanya ucapan Tumenggung Itam membuat Wayang Sewu naik pitam. “Kami tidak butuh emas dan uang banyak. Semua itu telah kami miliki. Dayang Rindu tidak akan kami berikan. Lagipula ia akan menjadi mantu Keriyo Ralap Batin Paseg di Rambang,” ujarnya dengan wajah yang memerah karena menahan amarah.

Sambil beranjak dari tempat duduknya, Wayang Sewu kembali berkata, ”Dayang Rindu sudah bertunangan dengan Ki Bayi Radin. Lebih baik kita berperang saja. Harta itu akan menjadi jarahanku, alat perang menjadi rampasan kerajaan, dan uang itu menjadi selawatku,” sergahnya sambil melompat ke daratan tanpa permisi lagi. Ia bergegas menuju istana untuk melapor kepada Keriyo Carang. Sesampainya di istana, Wayang Sewu menjelaskan secara detail perkara yang terjadi. Selain itu, ia juga menceritakan begitu banyak perahu yang penuh peralatan lengkap dengan pakaian kebesaran.

“Rombongan Palembang tidak berniat baik. Mereka memaksa untuk membawa Dayang Rindu dari istana ini untuk dijadikan permaisuri di Palembang. Siapa mereka hingga mampu memaksa kita menuruti kehendak pangeran Palembang itu," ucap Wayang Sewu geram.

Setelah mendengar laporan Wayang Sewu, dengan bijaksana Keriyo Carang berkata "Anakku, Wayang Sewu sekarang aku sudah tua. Aku sudah tidak sanggup lagi berpernag. Berbeda kalau aku masih muda, musuh akan kukejar sampai tetes darah penghabisan. Lebih baik kita berikan saja Dayang Rindu kepada mereka", ujarnya.

Jawaban Keriyo Carang membuat semua yang hadir terkejut. Wayang Sewu menunduk lesu, “Apapun yang Ayahanda perintahkan, saya patuhi,” ujarnya dengan nada lirih. Muram wajahnya terlihat jelas. Agung Karep pun tak sanggup menahan kesedihannya. “Kalau Dayang Rindu sampai diambil orang Jawa itu, setiap hari aku tidak akan berhenti menitikkan air mata,” katanya sambil menundukkan kepala. Gusti Penatih, nenek Dayang Rindu, menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir menganak sungai. “Andaikan aku laki-laki, walaupun seribu perahu yang datang, akan kuhadapi. Dayang Rindu … oh, Dayang Rindu, cuucku tidak akan aku biarkan engkau pergi jauh," ucapnya dengan bibir gemetar.

Nyai Mas Putri Ayu, ibunda ibunda Dayang Rindu juga tidak rela gadisnya menjadi permaisuri di Palembang. Dayang Rindu bukanlah gadis biasa yang bisa begitu saja diambil orang. “Putriku harus menikah dengan pilihan hatinya. Pangeran sekalipun tidak pantas menjadi pendampingnya jikalau Dayang Rindu tidak menghendaki,” tutur Nyai Mas Putri Ayu.

Awan mendung menyelimuti Tanjung Iran. Angin berhembus pelan seolah enggan bertiup. Burung juga membisu seolah turut bersedih. Anak-anak yang biasa menghabiskan sore bermain bersama lebih memilih berdiam diri di rumah. Semua berduka untuk Dayang Rindu.

Dayang Rindu mengurung diri di kamarnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan nasib Tanjung Iran yang berada di ujung tanduk. Dayang Rindu tidak ingin perang terjadi. Ia ingin Tanjung Iran selalu tenteram dan damai sehingga semua orang dapat tersenyum gembira. “Aku harus menyelamatkan Tanjung Iran. Aku adalah seorang putri raja. Aku memiliki tanggung jawab untuk melindungi negeriku meski harus mengorbankan jiwa ragaku,” katanya.

Diam-diam Dayang Rindu memerintah budak untuk mencari Ki Bayi Radin. Ia ingin menyampaikan sendiri keputusan menerima pinangan Raja Palembang. Dengan mengenakan baju bersulam kembang dan kopiah tiga warna, bergegas Ki Bayi Radin menemui Dayang Rindu. Air matanya menetes seperti mutiara yang lepas dari ikatan. Kabar burung mengenai pinangan pangeran itu ternyata sudah sampai di telinga Ki Bayi Radin. Ia yakin pertemuannya dengan Dayang Rindu terkait hal tersebut.

“Tunanganku, aku mohon maaf. Aku tidak dapat menolak pinangan Raja Palembang. Carilah gadis lain yang diinginkan hatimu,” kata Dayang Rindu seraya mengalihkan pandangan jauh ke pematang sawah. “Tidak. Disuruh mati pun aku tidak akan mundur. Sudah mantap pilihanku,” ucap Ki Bayi Radin. “Akan tetapi, aku tidak dapat menolak pinangan ini. Hanya dengan menerimanya Tanjung Iran akan selamat. Yang melamarku adalah seorang raja yang kuat lagi perkasa,” ujar Dayang Rindu berusaha meyakinkan Ki Bayi Radin. “Tidak, Dayang Rindu. Sakit hatiku mendengar hal ini. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun tak akan menghilangkan sesalku jika sampai engkau diambil orang,” jawab Ki Bayi Radin. “Tidak akan kucari gadis lain selain engkau,” katanya lagi dengan tegas. Usai bertukar sirih pinang, Ki Bayi Radin pulang ke rumah. Kakinya serasa tak menapak di tanah, lemah tak bertenaga. Air matanya mengalir tak terbendung lagi. Tak dipedulikannya lagi sapaan orang yang berpapasan dengannya. Hancur sudah hatinya.

Sepeninggal Ki Bayi Radin, Dayang Rindu meminta seorang budak memanggil Ki Bayi Cili. Ki Bayi Cili adalah hulubalang yang menaruh hati juga kepadanya.

Kalau tumbuh selasih dandi Jangan dilinggang-linggang dulang Kalau aku memang kalian kasihi Jangan biarkan diambil orang

Demikian pantun yang disampaikan Dayang Rindu saat menyambut Ki Bayi Cili di Balai Peranginan. Menyahutlah Ki Bayi Cili,

Bukanlah kaca sembarang kaca Kaca yang halus diukir-ukir Bukan kata sembarang kata Kata yang tulus tak akan mungkir

“Bagaimana ini, Ki Bayi Cili? Tak ada lagi akal kita untuk menolak lamaran pangeran itu,” kata Dayang Rindu membuka percakapan. Menjawablah Ki Bayi Cili, “Engkau tidak akan jauh dari kami. Saat ini apa saja perintah Wayang Sewu akan aku turuti, termasuk jika aku harus mengorbankan jiwaku. Kalau engkau sampai mati diterkam macan pun, aku minta dikubur bersama.”

Dayang Rindu meminta Ki Bayi Cili tidak bersedih setelah ia ke Palembang. Ia memintanya untuk setia pada Tanjung Iran. “Biarkan aku pergi ke Palembang agar tidak terjadi kiamat di sini,” kata Dayang Rindu. “Pegang janjiku, Dayang Rindu,” kata Ki Bayi Cili dengan tegas. Berpantun lagi Dayang Rindu,

Apalah isinya piring pecah Giring-giring dua setali Alangkah sakitnya esok kita berpisah Seperti digunting rasanya hati. Menjawablah Ki Bayi Cili, Batang serai ada serumpun Jangan ditanam di tepian Walau berpisah cerai lagi tidak terhimpun Jangan berubah dalam perhatian

Sepeninggal Ki Bayi Cili, Dayang Rindu juga bergegas memantapkan hatinya untuk menerima lamaran itu. Ia lalu berganti pakaian dan berdandan. Kecantikan alami memancar dari dirinya. Wajahnya yang seperti bulan purnama, rambutnya yang hitam terurai, dan kulitnya yang putih bersih semakin membuat Dayang Rindu tampil menawan. Namun, sesungguhnya pancaran kesedihan tersembul di balik bola matanya yang indah. “Sebenarnya, tak ada hasratku berdandan. Akan tetapi, tak bisa pula aku pergi seperti orang yang sedang sakit. Sedihku baiknya kusimpan saja di dalam hati" gumamnya,

Hujan rintik-rintik mengiringi langkah Dayang Rindu meninggalkan istana. Di sepanjang jalan menuju pelabuhan para penduduk berbaris rapi. Bujanggadis, mak-bapak, nyai-yai, dan anak-anak berkumpul bersama. Lambaian tangan melepas Dayang Rindu. Sesekali terdengar suara isak tangis mereka. Beberapa gadis terlihat berpelukan karena tak kuasa menahan kesedihan. Para ibu berusaha menegarkan hati agar tidak semakin larut dalam suasana sendu. Semua tak ingin kehilangan putri yang begitu mereka sayangi. Tak berapa lama, sampailah Dayang Rindu di pelabuhan. Untuk kali terakhir, ia menoleh. “Tanjung Iran, tetaplah damai, tetaplah menjadi negeri yang memakmurkan rakyatnya,” ujarnya lirih. Perlahan ia menaiki anak tangga menuju geladak kapal. Ia berhenti sebentar sembari merapikan kain yang sebenarnya tak kusut.

Para punakawan langsung menyambut kedatangan Dayang Rindu. Tanpa bersuara, mereka mengantar Dayang Rindu menuju ruang khusus yang sudah disiapkan. Ruangan tersebut tak besar, tetapi berisi segala macam kebutuhan seorang gadis, seperti meja rias lengkap dengan perhiasan, gelang emas, sisir bergagang permata, kalung dengan liontin intan, dan hiasan konde berjuntai-juntai. Akan tetapi, semua itu tidak mampu menarik hatinya. Beruntung, ada jendela kecil di sudut ruang itu. Dayang Rindu langsung menuju ke jendela yang tak lagi bening itu. Senyum simpul terlihat dari ujung bibirnya yang mungil. “Tanjung Iran, tanah kelahiranku. Aku, Dayang Rindu, akan selalu menjadi putri kebangaan kalian,” ujarnya. Pandangannya tak lepas dari jendela itu hingga matahari mulai tenggelam.

Sementara itu, di istana Keriyo Carang memanggil semua hulubalang, prajurit, dan pejabat istana. Ia meminta mereka bersiap. “Pukul canang kerajaan, tembakkan senapan pengusir musuh. Takdir Allah telah datang dan perang ini tidak dapat ditolak,” teriak Keriyo Carang.

Enam orang hulubalang dan prajurit terbaik berjalan beriringan menuju pelabuhan diikuti oleh pasukan Tanjung Iran. Mereka adalah Wayang Sewu, Agung Karep, Singa Ginta, Singa Ralang, Ki Bayi Radin, dan Ki Bayi Cili. Wajah mereka tampak menahan amarah yang mendalam. Terdengar gemeletuk gigi beradu dan suara jari jemari yang dipatahkan. Perang ini harus dimenangkan demi Tanjung Iran dan Dayang Rindu.

Wayang Sewu lebih dahulu melompat ke Kutting si Bandung Dua. Ia langsung berkelahi dengan prajurit Palembang yang ditemui. Kemudian, Wayang Sewu berhadapan dengan Ki Bayi Metig. Keduanya memiliki kekuatan yang sama. Berbagai jurus dikerahkan, tetapi belum ada satu juga yang terluka di antara mereka.

“Engkau baru tahu, Ki Bayi Metig. Aku ini prajurit andal dari Tanjung Iran,” ujar Wayang Sewu sambil mengayunkan lengannya. Ki Bayi Metig dengan sigap menangkis serangan Wayang Sewu. “Terimalah serangan hebatku ini,” sergahnya seraya menikam Wayang Sewu. Malangnya, Wayang Sewu tidak dapat mengelak serangan itu. Wayang Sewu pun tewas seketika. Sementara itu, Ki Bayi Radin telah menghabisi begitu banyak prajurit Palembang. Lebih dari dua ratus musuh berhasil ia kalahkan. Melihat hal itu, Keriyo Niru tak tinggal diam. Melompatlah ia dari buritan kapal. “Kau memang harus berhadapan dengan aku,” teriak Keriyo Niru sambil mengibaskan badiknya.

Perkelahian pun berlangsung sengit sampai berujung robohnya Ki Bayi Radin. Melihat hal itu, Dayang Rindu tak dapat menahan tangisnya. Dengan berlari kecil ia mendekati Ki Bayi Radin yang tengah menahan sakit di dada.

“Dayang Rindu, jangan menangis! Sakit ini tidak terasa bagiku. Kita akan selalu bersama,” kata Ki Bayi Radin dengan suara terbata-bata.

Dayang Rindu tak kuasa membendung air matanya. Ia pun langsung menyobek selendang yang terikat dipinggangnya untuk menyelimuti Ki Bayi Radin. Dayang Rindu juga membuang antingnya sebelah sebagai wujud duka yang mendalam. “Tunggulah aku di gerbang surga, tak akan lama aku di Palembang,” ujarnya lirih. Seketika itu, lepaslah nyawa Ki Bayi Radin dari raganya. Dari kejauhan Agung Karep melihat peristiwa itu. Memekiklah ia dengan keras, “Akan kuhabiskan kalian semua!” Sementara itu, perkelahian Sipat Lenggawa dan Singa Gita juga berlangsung seru. Karang Waringin bahkan diam-diam berupaya menghabisi Singa Gita dari belakang. Beruntungnya, serangan tersebut tidak berhasil menghilangkan nyawanya. Justru Karang Waringin yang akhirnya kehilangan nyawa. Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig langsung menyerang Singa Gita bersama Sipat Lenggawa. Kendati diserang tiga orang hulubalang hebat, Singa Gita tidak terkalahkan, bahkan Sipat Lenggawalah yang berhasil dikalahkan.

Naik pitam Tumenggung Itam melihat Sipat Lenggawa meregang nyawa. Frekuensi serangannya semakin ditingkatkan. Ia memberi kode kepada Ki Bayi Metig untuk menyerang dari belakang. Saat Singa Gita sibuk menangkis serangan Tumenggung Itam, Ki Bayi Metig tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Badiknya berhasil merobohkan Singa Gita.

Tak ingin membuang waktu percuma, Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig menyerang Ki Bayi Cili dengan garang. Robohlah Ki Bayi Cili seperti orang yang sudah mati. Singa Ralang yang kebetulan melihat peristiwa ini lansung melompat tinggi. Dengan sigap ia menyerang balik ke arah Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig. Singa Ralang melancarkan serangan yang bertubitubi. Ia sama sekali tidak memberikan peluang kepada keduanya untuk balik menyerang, bahkan semakin bengis. Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig semakin terdesak.

Melihat gelagat Singa Ralang akan menghabisi mereka, Tumenggung Itam lalu meminta ampun. Menurutnya, lebih baik menanggung malu pulang ke Palembang daripada harus kehilangan nyawa di medan perang.

“Jadi, kalian berdua takut kehilangan nyawa? Baiklah! Akan aku beri ampun. Akan tetapi, sebagai kenangan, akan kuberikan tanda untuk kalian kenang,” kata Singa Ralang. Tumenggung Itam pun terluka telinga kirinya, sedangkan Ki Bayi Metig terluka hidungnya. Suasana pelabuhan sangat mencekam. Ratusan prajurit gugur. Ratusan kapal karam. Harta bawaan rombongan Palembang turut tenggelam. “Hentikan perang ini, Paman Singa Ralang. Pulanglah paman ke Tanjung Iran. Sekarang semua hulubalang telah mati. Segalanya tidak berguna lagi kini,”pinta Dayang Rindu dengan wajah pucat pasi. “Biarkan aku pergi ke Palembang. Aku tidak akan lama di sana,” lanjutnya sambil menyeka air mata yang tak berhenti mengalir.

Dengan tubuh gontai, Singa Ralang pulang ke istana. Para penduduk menyambutnya dengan tangisan yang memilukan. “Tuanku, terlalu banyak hulubalang dan prajurit yang gugur di medan perang,” katanya tertunduk lesu.

Menjawablah Keriyo Carang, “Adikku, Singa Ralang, tidak usah pikirkan mereka yang sudah tiada. Saat ini kami semua bertumpu kepadamu. Engkau satusatunya harapan tunas Tanjung Iran,” kata Keriyo Carang.

Setelah empat hari berlayar, sampailah Kutting si Bandung Dua di Palembang. “Adikku, Ki Bayi Metig, pergilah menghadap Pangeran Riyo. Laporkanlah apa yang terjadi di Tanjung Iran. Kami menunggu di sini,” kata Tumenggung Itam. Dengan raut wajah tidak lagi bersemangat, Ki Bayi Metig mengangguk, lalu melangkahkan kakinya perlahan. Jalannya tidak lagi segagah ketika hendak pergi meminang Dayang Rindu.

Kedatangan Ki Bayi Metig sudah ditunggu oleh Pangeran Riyo. Ia tidak sabar menunggu hasil pinangan itu. Berkatalah Ki Bayi Metig, ”Ampun beribu ampun, Pangeran. Banyak orang kita yang tewas di medan laga. Keriyo Niru, Sipat Lenggawa, Jejenung Irun, Karang Waringin, dan lainnya. Selain itu, harta benda yang kita bawa juga habis dirampas. Kini, yang tersisa hanyalah aku dan Tumenggung Itam. Aku pun merasa seperti tidak hidup lagi. Akan tetapi, kami berhasil membawa Dayang Rindu serta,” katanya tanpa sedikit jua berani memperlihatkan wajahnya.

Mendengar laporan tersebut, Pangeran Riyo pun membesarkan hati Ki Bayi Metig,“Tak perlu bersedih dan gusar. Harta yang hilang bisa dicari lagi. Orang yang tewas adalah pahlawan yang nanti akan digantikan oleh tunas baru. Beginilah perang. Ada yang kalah dan ada yang menang. Yang penting Dayang Rindu telah sampai dan engkau masih selamat tiba di sini.”

Kemudian, ia meminta seorang budak memasang bendera Kemala Hijau. Budak itu juga diminta untuk menyiapkan Balai Kencano Emas, mengembangkan payung kerajaan berwarna kuning dengan puncak intan berurai mutiara, serta memasang tikar berwarna merah. Istana akan memberikan sambutan yang meriah untuk Dayang Rindu.

Lantas, bergegaslah Pangeran Riyo didampingi keluarga kerajaan menuju pelabuhan. Pangeran Riyo mengenakan pakaian terbaiknya. Dengan mengenakan selempang pinang ulung berwarna keemasan, ikat pinggang cantik sembilan hasta, dan ikat kepala bersulamkan bunga cina, Pangeran Riyo semakin terlihat gagah dan berwibawa.

Setibanya di Pelabuhan, Pangeran meminta Tumenggung Itam menurunkan Dayang Rindu. Saat menuruni anak tangga dengan perlahan, Dayang Rindu sama sekali tidak memalingkan wajahnya. Sesaat dia berhenti sambil menarik napas panjang, lalu kembali menuruni anak tangga. Terlihat begitu berat beban yang ia tanggung.

Penduduk Palembang begitu takjub melihat kecantikan Dayang Rindu. Ibarat lukisan, tidak ada satupun noda yang mengotorinya. Benar rupanya berita yang beredar selama ini. Kabar burung itu ternyata bukan isapan jempol semata. Saat berjalan beriringan menuju istana, Pangeran Riyo berusaha menghibur Dayang Rindu dengan berkata,”Dayang Rindu, janganlah membuat hatimu susah. Lupakan semua yang terjadi. Akan aku bantu yang susah menjadi mudah.”

“Tak perlu hiraukan aku, Pangeran. Aku tidak akan lama di sini. Aku akan segera mendatangi tunangan dan saudaraku di surga,” jawab Dayang Rindu.Saat tiba di muka istana, penyambutan yang begitu istimewa digelar. Bunyi gendang silih berganti, begitu juga tetabuhan, penari berlenggak-lenggok dengan gemulai, dan tak ketinggalan mengalun suara kecapi diiringi rebab serta kenong.

Dayang Rindu mengelak saat Pangeran Riyo hendak memegang tangannya, lalu berkata, “Saya tidak lama di sini.” Dalam sekejap mata tiba-tiba Dayang Rindu terbang dan hinggap di pohon pinang. Tak lama kemudian, iapun terbang ke kayangan. Tercengang Pangeran Riyo melihat hal itu. Tak kuasa ia menahan rasa sedih dan kecewa.

“Malang benar nasibku ini. Dayang Rindu yang kuimpikan hilang di depan mata,” katanya sambil mengerutu. Kejadian aneh ini juga membuat penduduk Palembang menangis. Mereka sedih karena calon permaisuri pangeran tiba-tiba menghilang dari pandangan. Mereka menangis tersedu-sedu. Tak lama berselang, Pangeran Riyo meminta seorang budak memanggil Adipati Anom, Ki Bayi Metig, dan Tumenggung Itam. Pangeran Riyo ternyata memiliki rencana baru untuk melampiaskan kekecewaannya.

“Kalian bertiga, segera siapkan pasukan yang tersisa. Kita serang kembali Tanjung Iran untuk menebus malu. Hanya karena mengambil satu orang, rusak Palembang kita!” ujarnya dengan nada berapiapi.

Setelah berlayar empat hari tiga malam, tibalah kembali mereka di pelabuhan Tanjung Iran. Kali ini, kedatangan mereka telah diketahui oleh Keriyo Carang. Bersama para hulubalang, mereka siap menghadapi lawan. Kendati telah diminta oleh Singa Ralang untuk tidak turun bertempur, Keriyo Carang tetap pada keputusannya. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi rombongan Palembang. Bahkan, ia meminta Singa Ralang untuk tetap di istana.

“Saat ini hanya engkaulah penerus Tanjung Iran. Biarkan kami saja yang menghadapi mereka,” kata Keriyo Carang.

Dengan semangat yang membara, Keriyo Carang beserta hulubalang yang tersisa menghadapi musuh yang datang. Kali ini, Tumenggung Itam berhadapan langsung dengan Keriyo Carang. Terjadilah pergumulan dahsyat antara keduanya. Akhirnya, Keriyo Carang terluka dan tewas di tangan musuh.

Melihat hal itu, Singa Ralang tak ingin tinggal diam. Dengan amarah yang memuncak, ia kembali mengamuk di pelabuhan. Ratusan prajurit Palembang kehilangan nyawa. Singa Ralang pun tak dapat mengendalikan diri. Amarahnya semakin meningkat saat melihat Ki Bayi Metig dan Tumenggung Itam turut dalam rombongan. Bersama Keriyo Ralap Lambang Paseg dari Rambang, mereka terus menggempur musuh hingga mencapai pelabuhan Keriyo Niru. Di sana rupanya ada hulubalang Tanjung Iran yang terlebih dahulu bertempur. “Mengapa engkau hanya seorang diri, Ki Bayi Cili? Kemana prajurit yang lain?” tanya Singa Ralang. “Mereka telah dihabisi Tumenggung Itam dan Ki Bayi Metig,” jawab Ki Bayi Cili. “Baiklah kalau begitu. Tidak akan kuberi ampun orang Palembang itu,” kata Singa Ralang dengan garangnya.

Perang berlangsung hampir tiga bulan lamanya. Prajurit Palembang kembali terdesak. Singa Ralang seolah tiada habis tenaga menggempur musuh, apalagi kemudian Ki Bayi Cili kehilangan nyawa saat berkelahi dengan Kangiran Jaya. Pangeran Riyo melihat pasukannya terdesak. Ia pun memerintahi empat puluh orang hulubalang dan prajurit untuk menyerang Singa Ralang. “Hancur sudah Palembang ini karena satu orang saja!” ujar Pangeran Riyo.

Melihat empat puluh orang prajurit menyerangnya secara bersamaan, keberanian Singa Ralang semakin berkobar. “Ini aku, Singa Ralang, hulubalang terbaik Tanjung Iran. Mana Pangeran Riyo? Aku ingin bertanding dengannya,” teriaknya dengan suara yang mengelegar.

Tak sampai hitungan menit, para prajurit pun meregang nyawa. Pangeran Riyo melihat nasibnya sudah di ujung tanduk. Ia lalu mengajak prajurit yang tersisa untuk melarikan diri. Mereka berlari dengan sekuat tenaga karena terus saja diburu oleh Singa Ralang. Akhirnya, Pangeran Riyo bersembunyi di dalam gua. Pintu gua ditutupi dengan batu besar sehingga Singa Ralang tak dapat masuk.

Singa Ralang pun kembali ke Tanjung Iran. Sedih hatinya melihat semua yang terjadi. Tanjung Iran telah hancur. Hancur karena orang Palembang yang hendak mendapatkan Dayang Rindu dengan cara yang tidak benar.

Sepanjang perjalanan, hati kecilnya berkata perang tak boleh terjadi lagi. Peristiwa ini hanya akan meninggalkan kepiluan bagi setiap orang. Memberikan kesedihan dan luka yang mendalam. Adalah jalan musyawarah dan mufakatlah yang sebaiknya menjadi penengah dalam mengambil segala keputusan.

Cerita ini mengajari kita untuk tidak berbuat egois hingga melanggar norma-norma yang berlaku hanya karena ingin meraih suatu keinginan yang sebenarnya tidak dapat tercapai. Sikap yang egois hanya akan mendatangkan penyesalan yang mendalam.

Ditulis oleh: Dian Anggraini, S.S Disunting oleh: Kemendikbud

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...