×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Kalimantan Barat

Asal Daerah

Kab. Tayan

Seri Genteng

Tanggal 05 Mar 2021 oleh Widra .

Kisah ini tentang seorang ibu dan putrinya. Mereka tinggal di sebuah pondok kecil, di sebuah mungguk bernama Segasing Sebemban. . Mungguk daerah asal cerita ini berada dalam wilayah Tayan. Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Letaknya tidak jauh dari Keraton Tayan yang megah itu. Juga tidak jauh dari jembatan gagah yang belum lama berdiri di sana, yang konon terpanjang kedua di Indonesia setelah Suramadu.

Walau hingga sekarang jalan menuju Mungguk belum beraspal dan infrastrukturnya pun belum memadai, tanahnya subur berbukit-bukit serta sungainya besar bercabang yang membelah lembah dan daratan. Dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun, curah hujan masih cukup untuk dipakai warga dalam pertanian. Segala tanaman tumbuh tanpa perlu perawatan yang berlebihan. Semiskin apa pun warga di sana tak akan kelaparan. Begitu juga seorang perempuan separuh baya dan anaknya, Enten.

Terlihat seorang ibu cantik berambut panjang hitam legam yang selalu digelung sepanjang hari. Ia berkulit sawo matang dengan urat-urat muncul kentara di antara tulang jari dan tangannya, tanda dirinya seorang pekerja keras. Badannya cenderung kurus, namun tampak kokoh dan tegar. Wajahnya lembut dengan mata yang bening, sering kali mengalir cairan yang juga bening di kedua sudutnya. Pada suatu pagi yang cerah, dikemasnya beberapa bekal ke dalam buntalan kainnya. Sebuah parang tidak lupa dililitkan pada pinggang rampingnya.

“Nak, ibu mau ke hutan sebentar mencari ubi. Jagalah rumah, jangan bepergian hingga ibu kembali,” kata sang ibu kepada Enten. “Baik, Ibu.” Enten menjawabnya sambil mengantarkan sang ibu turun melewati tangga hingga hilang bayang punggungnya di balik pepohonan. Tiada lagi ia menoleh. Terpatri dalam ingatan Enten, sebuah tangkin2 digendong sang ibu yang disanggah sebuah selendang lusuh yang melintang di dadanya dan kerap dijadikan penyapu keringat. Enten sangat mengasihi ibunya. Hanya ibunya tumpuan segala hara[, sepanjang doa-doa yang kerap ia ualng setiap malam.

Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, ia bersandar pada dinding dapur pondoknya. Tampaknya Enten ingin meneruskan kesenangan barunya, menganyam. Mengayam dipelajarinya dari sang ibu. Ia mencoba akrab dengan rotan-rotan yang sudah dipotong kecil dan dihaluskan. Walau ia masih sering salah merapikan ujung anyaman, ia tak menyerah. Diulanginya berkali-kali sampai benar atau ia minta dirapikan oleh sang ibu.

Biasanya, Enten menganyam sambil menyanyi, tetapi terkadang ia juga sambil menangis karena terkenang ayahnya yang sudah tidak pulang sejak 9 purnama lalu. Tersiar kabar sang ayah hanyut dan tenggelam di sungai saat menjala. Sering saat malam cerah, Enten naik ke atap pondok lalu ia memandang bintang yang bertebaran di angkasa. Ia percaya satu di antara yang berkilauan itu adalah sang ayah yang ingin mengajaknya berkata-kata dari surga. Enten menjerang air guna merebus serai. “Baik untuk badan,” begitulah kata sang ibu yang selalu diingatnya. Ia ingin memberikan kepada sang ibu saat ia pulang dari bukit nanti.

Umur Enten kurang lebih 7 hingga 8 tahun, ia tidak bisa memastikan tepatnya, ia hanya mengira. Pada usia tersebut, Enten sudah pandai membantu sang ibu. Kadang ia merebus ubi dan dedaunan untuk sayur mereka makan, menyapu ruang satu-satunya yang ia miliki bersama ibunya itu, serta menganyam rotan atau menonton ibunya menenun benang yang sebelumnya telah dipintal dari kapas. Pada malam hari, mereka biasanya bercerita tentang leluhur, tanaman yang tumbuh dari biji yang disemai, pohon yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun, hingga cerita tentang makhluk yang hanya keluar saat malam hari.

Suatu ketika, sang ibu menyanyikan lagu yang terdengar aneh bagi Enten. Namun, dibiarkannya saja hingga selesai. Sang ibu tampak berkaca-kaca matanya. Ia melantunkan lagu dalam bahasa kuno sambil menangis. Hingga sekarang Enten masih penasaran akan arti lagu tersebut. Lama lamunan Enten hingga terdengar ketukan pada tangga.

“Ibu pulang, Nak. Bawa masuk ubi dan sayuran itu!” Terdengar suara ibu dari kolong pondok. Tergopoh Enten membuka pintu dan mengernyitkan mata untuk menyesuaikan dengan yang hampir gelap di luar rumah. Dibopongnya tangkin yang penuh itu. “Ibu, Ibu … Ibu segera mandi. Enten sudah merebus air serai untuk Ibu,” teriak anak kecil yang manis dan rajin itu. “Iya, Nak. Ibu sedang memberi makan ternak kita. Setelah ini, Ibu akan mandi lalu kita makan bersama. Sedang apa engkau, Nak?” Tanya sang ibu kepada putri terkasihnya. “Sedang menganyam, Bu. Enten ingin punya tangkin yang sesuai dengan besar badan Enten. Enten mau ikut membawa ubi pulang di punggung,” ujar Enten bersemangat. “Hati-hati tanganmu terluka, Nak.” “Sedikit luka tadi, Bu, tetapi tidak mengapa, sudah Enten obati dengan daun sirih.”

Sang ibu meneteskan air mata. Ia tak habis bersyukur karena memiliki putri yang sangat baik, mau membantunya dan patuh jika diberi petuah. Sejak ayahnya tak kembali, Enten banyak mengurangi waktu bermain. Ia tak mau hanya berpangku tangan, ia ingin ikut ke bukit untuk mencari makanan atau hanya menjadi teman seperjalanan sang ibu yang tampak bergembira. Selain itu, ia juga senang menyanyi dan menari. Namun, satu pesan yang selalu terukir dalam hati, sungai besar di bawah sana telah memisahkan mereka dengan orang yang mereka cintai. Maka, berhatihatilah! Janganlah terlalu dekat dengan genangan air yang menyimpan misteri itu. Kalimat tersebut terus mendengung dalam kepalanya. Teringat olehnya sebuah kisah.

Sore itu tampak cerah. Sang ayah memindahkan sedikit nasi ke dalam sebuah bungkus dari daun pisang. Demikian pula sejumput garam dan sepotong kecil liak (jahe merah). Ia berencana memasang pukat sore ini di danau yang tak jauh dari pondok mereka, hanya sekitar 3 kilometer. Setelahnya, ia akan menjala di sungai yang sedikit surut menuju muara. Enten merengek ingin ikut, tetapi sang ayah melarangnya. Enten menangis sebab ia ingin sekali ikut memasang pukat. Enten suka sekali jika setelah sejam dua jam dipasang, tibalah saatnya ia membuka ikatan tali bening yang membentang dan membelah sungai itu. Kemudian, ia melihat begitu banyak ikan yang tersangkut di sana. Kali ini sang ayah membawa pukat yang lubangnya relatif besar, sekitar lima jari lebarnya jika dirapatkan. Satu pukat lainnya hanya berlubang dua jari. Enten sudah membayangkan jika ikan-ikan yang kira-kira seberat setengah kilogram itu akan dipanggang di atas bara dapur mereka. Ia memeluk sang ayah selepas menuruni tangga. Dipandanginya sang ayah hingga goyang rumput dan ranting pohon berhenti. Itulah kenangan terakhir Enten dan ayahnya.

Malam ini tampak bulan sudah setinggi tonggak di pojok pondok mereka. Setelah makan, sang ibu dan Enten duduk di ujung tangga, menatap ke langit dan menikmati angin yang menerpa wajah. “Enten rindu Ayah, Bu,” kata Enten memecah keheningan di antara mereka. “Ibu juga. Semoga Ayah tidak sedang kesusahan. Kita berdoa untuknya ya,” jawab sang ibu sambil menyeka air mata yang keluar begitu saja dari kedua kelopaknya. Selalu muncul sebuah keyakinan bahwa suaminya itu akan kembali walau hanya dalam benak. Topik percakapan membuat malam menjadi semakin kelam. “Apakah Ayah juga rindu kita, Bu?” “Tentu saja.” “Ibu yakin?” “Sangat yakin.” “Bagaimana bisa?” “Ayah sering datang dalam mimpi Ibu.” “Ayah bilang apa, Bu?” “Ayah bilang ia merindukanmu.” “Mengapa Ayah tidak datang dalam mimpiku?” “Ayah tidak ingin mengganggumu.” “Bagaimana bisa Ayah berkata demikian?” “Ayah ingin Enten tidur tenang.” “Akan tetapi, Enten ingin bertemu Ayah.” “Ayah tidak pernah pergi dari kita, Enten.” “Ayah selalu kita kenang, begitu, Bu? Ayah selalu dalam kenangan, begitu, Bu?” “Benar, anakku, Ayah selalu ada dalam kenangan kita.” “Enten mengerti, Bu. Semoga Ayah mendengarkan kita.” “Tentu saja.” “Enten ingin berdoa semoga bertemu Ayah dalam mimpi, boleh, Bu?” “Ibu juga akan meminta demikian.” Enten meniup nyamuk yang hinggap di lengan kanannya, ia enggan menepuk sehingga membunuh binatang itu. Lalu, ia membuka sebuah botol bekas yang berukuran kecil dan menggosokkan sari air daun sirih yang diperas dan dibakarnya hingga layu itu. Itu cara mudah membuat nyamuk menjauh sebab mereka tidak suka baunya.

Setelah itu, percakapan Enten dan ibunya tidak dilanjutkan lagi. Mereka kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Enten meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu. Sambil memejamkan mata, sang ibu mengelus rambut putrinya yang legam itu. Tak lama Enten tertidur, digendongnya dengan penuh kasih, dibaringkannya di atas kain yang diikat melintang pada tiang, lalu dikecupnya ubun-ubun sang putri semata wayangnya itu. Ia pun meluruskan badannya tak jauh di bawah emben3 sang anak. Kepalanya diletakkan pada tumpuk kain milik suaminya. Sang ibu bersenandung hingga suaranya makin lirih dan terlelap.

Enten bangun keesokan harinya. Pagi begitu cerah. Burung-burung bernyanyi saat ia menuruni tangga. Enten mendekati sumur dekat pohon jambu kesayangannya di samping pondok, menimba air dan memerciki wajahnya. Betapa segar! Pandangannya berkeliling, tidak ia lihat sosok sang ibu. “Ah, mungkin Ibu sedang mencari kayu bakar atau mencari pakis di hutan.” Begitu pikirnya. Diambilnya sebatang alu, kayu panjang penumbuk lesung. Kemudian, dilihatnya seikat daun ubi di dalam ragak, dipetiknya dari tangkai lalu dikumpulkannya dalam lubang lesung. Entek mulai menubuk. Ia seing melihat sang ibu melakukannya. Tangan kecilnya tidak kuat berlama-lama menumbuk. Ia meletakkan alu kayu yang digunakannya untuk menumbuk beberapa saat lalu meraih sarapan yang sudah disediakan ibunya dekat perapian. Dua buah ibi jalar berwarna ungun enak sekali jika disandingkan dengan gula aren. Sambil duduk di tangga, ia menghabiskan sarapannya hingga tiba seekor kucing mengeong di kakinya. “Oh, engkau lapar?” Enten menjulurkan sepotong ubi ke arah kucing berwarna cokelat keemasan itu. Dielusnya punggung si kucing ramah dan diusapnya pula kepalanya. Ternyata sepotong ubi yang diberikan Enten habis dilahap tiada sisa. Sebentar termenung, Enten melanjutkan niat yang tadi ditinggalkannya, ingin menumbuk daun ubi lagi. Si kucing mengikutinya dari belakang. Selama Enten menghaluskan daun di dalam lesung itu, si kucing tak beranjak dari tempat duduknya.

Setelah menyisihkan daun ubi yang telah halus dan membersihkan lesung dan alunya, ia membereskan dapur. Ia melihat ada beberapa piring dan gelas kotor. Tak lama kemudian, ia duduk lagi di ujung tangga sambil menunggu sang ibu pulang. Kucing teman barunya mengeong sambil mengeluskan badan pada kaki Enten. “Ada apa?” tanya Enten seolah si kucing mengerti ucapannya. Si kucing menuruni tangga dan terus-menerus mengeong kemudian berhenti tepat di tanah yang berhadapan muka dengan tangga pondok. Enten menatapnya lalu ikut menuruni tangga itu pula. Hewan belang tiga itu melangkah perlahan menuju hutan. Dipastikannya Enten mengikutinya. Kucing itu sering berpaling dan menoleh ke belakang. Enten mengerti isyarat itu. Enten berjalan mengekori si kucing. Enten penasaran apa yang ingin ditunjukkannya.

Berjam-jam mereka berjalan, terus menuruni bukit tempat pondok tinggal Enten dan ibunya hingga tibalah mereka di sebuah perkampungan. Enten terkejut sekaligus terpesona, ia belum pernah bertemu manusia selain ibu dan ayahnya. Enten terpana melihat banyak rumah berjejer dengan taman bunga di pekarangan. Enten terpesona pada baju bagus yang dikenakan, kalung berkilauan yang melingkari leber, juga gelang berkilauan di tangan banyak orang yang ditemuinya. Mereka terus berjalan perlahan. Si kucing mengajaknya menuju satu rumah megah di ujung jalan. Namun, Enten terpaku tepat sebelum ia melangkah ke tangga, sebelum seorang gadis kecil seusia Enten keluar dan mereka saling bertatapan.

“Kamu siapa?” tanya gadis kecil yang keluar dari dalam rumah. Wajahnya yang sumringah tambah manis dengan dua lesung pipit di kedua pipi ranumnya. Si kucing melompat ke pelukannya. “Aku Enten. Kamu siapa?” Enten menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar. Ia kikuk bicara dengan manusia lain selain ayah dan ibunya. “Mari, Enten. Masuklah. Ada ibuku di dalam. Namaku Senarai.” Jawaban dan ajakan ramah teman barunya melegakan Enten. Ia menyambut uluran tangan Senarai sambil tersenyum. Ia memperhatikan baju yang dikenakan Senarai, kain berwarna biru dengan benang berwarna-warni di selanya. Sekali lagi Enten terpukau.

Rumah itu sangat besar bagi Enten. Tangganya berundak papan dengan sisi-sisinya yang berukir. Pintu depannya pun diukir. Masuk ke ruang tengah, ada permadani tebal yang lembut sekali bagi kulit Enten. Ia memandang sekeliling. Dihitungnya ada lima pintu lain di dalam rumah itu, tidak seperti pondoknya yang hanya memiliki pintu depan dan pintu belakang. Enten diajak masuk ke ruang belakang, tampak seorang perempuan yang mirip Senarai, terbentang lebar senyumnya. Ia sedang menyiangi sayuran. Cerek yang sebagian luarnya telah berwarna hitam didudukkan di atas tungku dengan setumpuk bara yang menyala. Senarai memegang tangan perempuan itu.

“Ibu, Ibu, kucing kita mengajak seorang teman pulang ke rumah kita. Namanya Enten. Lihatlah ia, tampaknya baru saja melakukan perjalanan jauh.” Senarai memperkenalkan Enten kepada ibunya yang sedang memasak. Enten hanya bisa berkedip menyaksikan dua perempuan beda generasi itu. Sang ibu tersenyum lebar, matanya tampak makin lebar. Sambil mengusap kepala Enten, ia mengulurkan tangan kemudian memeluk Enten.

“Selamat datang, Nak. Selamat datang di rumah kami. Janganlah sungkan, Enten. Di manakah rumahmu?” tanya ibu Senarai. Enten lagi-lagi terpana dengan keramahan dan kecantikan perempuan di hadapannya lalu ia menjawab dengan terbata-bata. “Jauh di balik bukit sebelah sana. Aku bersama ibuku tinggal di dalam hutan,” jawab Enten sambil menunjuk ke arah utara. Enten sendiri tidak tahu nama hutan itu. “Pasti ibumu sedang mencarimu. Akan tetapi hari sudah sore, ada baiknya bermalam dulu di sini.”

Enten mengangguk segera. Melihat itu, ibu Senarai menawarkan baju anak perempuannya untuk Enten berganti pelindung tubuh, yaitu sepasang baju dan rok yang begitu halus kainnya, berwarna merah dengan kombinasi hitam pada leher dan lengannya. Enten sangat senang, ia tidak pernah melihat yang seperti itu.

Senarai menemaninya mandi di bilik belakang rumahnya. Sedikit aneh bagi Enten. Ia hanya perlu menciduk dengan sebuah benda yang kemudian dikenalkan Senarai sebagai gayung. Air mengucur dari bilah bambu yang menghubungkan langsung bilik itu dengan mata air yang tidak jauh dari rumah. Setelah selesai membersihkan badan dan berganti baju, Senarai mengajak Enten ke luar. Mereka berbincang-bincang, duduk di atas potongan kayu yang sering dijadikan tempat bersantai seisi rumah. Banyak pepohonan nan rimbun dengan beragam buah tinggal menunggu musim panen. Paling dekat pintu samping, terlihat sebuah pohon pepaya yang sudah matang buahnya.

“Ten, bagaimana Bapak dan Ibumu?” tanya Senarai sembari menawarkan buah rambai yang baru dipetiknya siang tadi kepada Enten.

Enten sedikit terkejut mendengar ucapan Senarai, tetapi segera dijawabnya pertanyaan itu “Aku tinggal bersama ibuku di pondok atas bukit sedangkan bapakku belum kembali, sejak lama. Terakhir kali Bapak pamit akan mencari ikan kepada kami. Entah apa yang terjadi kepadanya. Aku sangat kehilangan, begitu pun Ibu.” Senarai merasa tidak enak telah menanyakan hal yang sangat menyedihkan itu. “Aku minta maaf, Ten. Aku tidak bermaksud membuatmu menjadi sedih.” “Aku tahu, Senarai. Kamu tidak salah.” “Apakah kamu punya saudara kandung?” tanya Senarai lagi. “Tidak, Senarai. Sepertinya aku tidak ditakdirkan punya banyak saudara sepertimu.” “Pasti ibumu sangat mencintaimu dan sekarang ia sedang kebingungan menunggumu pulang malam ini.” “Sepertinya begitu. Ibu sangat mencintaiku, melebihi nyawanya. Jatah makanku selalu lebih banyak daripadanya. Ia ingin aku segera tumbuh besar.” “Supaya bisa membantu dan menjaga Ibu.” “Benar, Senarai. Aku ingin bisa menggantikan Ibu mencari makanan serta ingin memastikan Ibu kenyang dan tidak terlalu lelah. Ibu sudah cukup tua.” “Kamu anak yang baik, Enten.” “Semoga demikian, Senarai. Kamu juga anak yang sangat baik dan juga ramah.” Keduanya tersenyum bahagia. Teman baru yang baik selalu membuat hati menjadi bahagia.

Tidak lama kemudian, sang ibu memanggil Senarai dan Enten untuk masuk ke dalam rumah. Hari sudah meremang gelap. Pelita-pelita sudah dinyalakan. Berkumpullah di ruang tengah beberapa orang yang tadi tampaknya tidak ada. Enten dengan canggung menyalami ayah dan saudara-saudara Senarai. Percakapan perkenalan pun dilakukan. Semuanya begitu ramah dan beruntun mengajukan pertanyaan untuk mengenal Enten lebih banyak. Tidak ia sadari, si kucing belang tiga itu duduk di sampingnya. Sore itu, Enten seperti mendapatkan keluarga baru. Penerimaan yang begitu baik terhadapnya membuat ia melupakan sejenak kesedihan karena memikirkan sang ibu.

Tiba saatnya makan malam, Enten bersama seluruh keluarga Senarai mengelilingi hidangan. Enten bingung dengan banyaknya makanan di hadapannya. Ada sayuran yang ditumis kering, ada labu yang direbus, ada daun yang ditumbuk halus dan berbau tajam, ada ikan yang digoreng dengan olahan minyak kelapa, serta ada sebuah periuk yang penuh butiran berwarna putih. Ia tidak pernah makan dengan variasi makanan sebanyak itu. Tampak jelas, Enten sungkan.

Ibu Senarai mengambilkan semua makanan itu untuk Enten. Piringnya menjadi penuh. Tampak sangat lezat, wangi masakan memenuhi indra penciumannya. Disuapnya perlahan satu per satu. Tak tertahankan, Enten menanyakan butiran putih pulen itu. “Apakah nama makanan ini?” Semua gerak dalam ruangan itu seketika terhenti, semua mata tertuju kepada Enten. Seperti mendapatkan pertanyaan yang jauh dari perkiraan. Senarai meletakkan piring dan kunyahannya, ia balik bertanya. “Engkau tidak tahu nasi?” tanya Senarai denga penuh rasa penasaran. “Nasi itu tumbuhan?” Enten menjawab dengan pertanyaan lagi. Semua saling memandang. Betapa aneh anak ini. Mungkin begitu pikir mereka. “Jadi ini pertama kalinya kamu makan nasi, Ten?” tanya ayah Senarai. “Ini pertama aku menemukannya. Di atas sana, kami menanam dan makan umbi-umbian, buah-buahan, serta sayuran yang banyak tumbuh di hutan,” jawab Enten masih dipenuhi kebingungan. Sang ibu tersenyum, menggeser duduknya menghadap Enten lalu berkata dengan lembut. “Nak Enten, nasi ini berasal dari tumbuhan yang bernama padi, ditanam orang di sawah. Ini adalah isi dari bulir-bulir yang melengkung pada ujung batang padi. Jika Enten berminat, besok pagi Enten bisa diantar Senarai untuk melihat rupa padi ini. Enten mau?” “Sangat mau.” “Nanti kutemani, ya?” terdengar suara kakak sulung Senarai dari pojok ruang. Enten tersenyum lebar, ia melempar pandangan kepada Senarai yang juga sedang tersenyum lebar.

Betapa seru rasanya makan malam itu bagi Enten. Ia makan dengan cepat. Selain makanannya sangat enak, ia juga sangat lapar. Melihat itu, ibu Senarai menyendokkan lagi nasi pada piring Enten lalu menambahkan lauk dan sayur hingga pinggir piring Enten tidak tampak lagi. “Jika Enten masih ingin menambahnya, Enten bisa lakukan sepuasnya. Mumpung tadi aku masak dua kali lipat dari biasanya. Ternyata memang benar firasatku, ada yang sangat menyukainya.” Ibu Senarai mencandai Enten. “Ya, ya, Enten mau, Enten senang sekali. Rasanya ingin terus makan.”

Perkataan Enten membuat keluarga itu tertawa. Mereka tampak keheranan. Namun, mereka bahagia. Membaca situasi yang terjadi, ayah Senarai tiba-tiba punya rencana untuk Enten. “Enten, makanlah sepuasmu! Janganlah sungkan dan malu! Besok kakak Senarai akan mengajari Enten cara menanam dan merawat padi. Saat pulang nanti, bawalah sebakul untuk ibumu di rumah,” suara berat ayah Senarai terdengar merdu dan hangat. Enten mengucapkan terima kasih berkal-kali. Tiba-tiba ia mengenang ayahnya lagi, betapa ia rindu, pun di dada terasa pilu.

Selesai makan, Enten dan Senarai bertugas membersihkan semua perkakas yang digunakan untuk makan malam. Kakak-kakak Senarai membersihkan tikar dan lantai ruangan itu, sedangkan sang ibu memindahkan sisa-sisa makan malam itu ke dalam wadah yang lebih kecil yang ada penutupnya. Ayah Senarai mendatangi lentera-lentera, memastikan penerang rumah itu aman dan cukup untuk menerangi hingga pagi menjelang.

Perkakas kotor dibawa ke teras belakang rumah. Sebelum membersihkannya dari bekas makanan, Senarai harus menimba air terlebih dahulu. Sepertinya, mata air sedikit lebih kecil volumenya malam itu sehingga air tak sampai ke rumah. Sambil bercanda, pekerjaan itu diselesaikan dengan cepat oleh dua gadis kecil itu.

Malam beranjak perlahan, namun mereka belum mengantuk. Untuk menyegarkan diri, Enten mengajak Senarai bermain pingsot5. Kali ini Senarai yang bingung. Permainan apa yang dimaksud Enten? Dengan senang hati Enten menjelaskannya perlahan dan jelas.

Suasana pun menjadi meriah ketika Enten, Senarai, dan dua saudaranya mengadu kecepatan jari saat bermain pingsot. Herannya, Enten selalu membuat seri. Siapa pun lawannya, Enten tak menjadi kalah juga tak menjadi menang. Ketika sedikit larut, ayah, ibu, dan saudara-saudara

Senarai pamit ingin beristirahat. Enten dan Senarai belum mengantuk. Sembari meminta izin, Enten mengatakan bahwa ia ingin berbaring di atas atap. Mendengar permintaan itu, Senarai berteriak gembira, ternyata itu kesukaannya pula. “Tak kusangka kamu juga suka memandang langit malam, Enten.” “Aku sering bersama ibuku, juga bapakku, saat ia masih ada. Kami sering bercerita tentang benda-benda di angkasa, juga roh-roh leluhur yang menjadi bintang.” “Menurutmu bintang-bintang itu roh leluhur kita?” “Ibu dan bapak saya sering mengatakan hal itu.” “Aku baru mendengarnya.” “Leluhur kita selalu ada, memunculkan diri saat malam cerah. Lihatlah mereka berkedip-kedip kepada kita.” Iya ya. Kita suatu saat nanti juga akan bersama mereka di atas sana, menjadi bintang.” “Iya. Kita adalah bintang.” Enten dan Senarai berlama-lama memandang langit hingga tidak terasa malam semakin larut. Sang ayah yang merasa mereka sudah terlalu lama berada di atas sana meminta mereka segera turun. “Senarai, Enten, turunlah dari genteng, malam sudah hampir larut, nanti kalian sakit.” “Iya, Ayah.” Mendengar satu kata, Enten bertanya pada Senarai. “Apa itu genteng?” Senarai memalingkan wajahnya pada Enten. Ini kali kedua pertanyaan Enten terdengar aneh baginya. “Genteng itu atap. Enten tidak tahu kata itu?” “Tidak tahu. Sepertinya kata itu aneh.” Oh, mungkin begini. Ayah berasal dari pulau seberang yang namanya Jawa. Ia sering menggunakan kata-kata yang berasal dari sana,” jawab Senarai. “Oh begitu, genteng, kata yang lucu,” Enten berujar.

Senarai tertawa, tetapi enggan untuk menjawabnya. Ia mengajak Enten turun dari atap rumah itu. Malam cerah, hanya sedikit awan bergantung. Mereka berdua bergegas masuk rumah. Setelah memastikan pintu dan jendela tertutup semua, bersiap tidurlah mereka. Di atas sebuah tikar lebar, Enten bergabung dengan saudara-saudara Senarai yang sudah terlebih dahulu terlelap. Dengkur mereka halus. Enten berbaring meluruskan badannya, ia teringat ibunya.

“Mungkin ibu tidak bisa tidur sebab memikirkan aku yang tidak ada di rumah. Maafkan aku, Bu,” ucapnya perlahan dalam hati. Enten mencoba tenang dan mulai menutup mata. Ia ingin mengumpulkan tenaga untuk besok kembali ke pondok, kembali ke pelukan ibu yang sangat ia cintai.

“Senarai, bangun. Aku mau segera pulang. Ibuku mungkin kebingungan sejak kemarin mencariku.” Enten menepuk-nepuk lengan Senarai. “Enten, cepat sekali kamu bangun,” kata Senarai terbata. “Ayam sudah berkokok, tak lama lagi akan segera terang.” Senarai membuka mata, menggeliat beberapa saat kemudian duduk dan menganggukkan kepalanya. Ia mengembangkan senyum kepada Enten. “Kupanggilkan ayah, ibu, dan saudaraku dulu, ya,” sahut Senarai. “Iya. Aku teringat ibuku sejak semalam. Kasihan ibu jika semakin lama khawatir.” Enten menjelaskan alasannya. “Aku mengerti, Enten. Cucilah wajahmu, mandilah jika kamu tidak kedinginan. Kamu akan segar setelahnya,” saran Senarai kepada Enten. “Aku cuci muka saja. Dingin jika mandi.” Enten terkekeh. Senarai ikut terkekeh. Ia memanggil ayah dan ibunya. Tampak saudara-saudaranya juga sudah bangun dan melakukan aktivitas mereka. Kakak tertua Senarai menanak nasi.

Enten berjalan mengikuti Senarai menuju belakang rumah. Di sana tampak ayah dan ibu Senarai sedang menanam jagung. Kakak Senarai yang lainnya tampak memberi makan ternak. Setelah dekat dengan orang tua Senarai, Enten segera mengutarakan maksudnya untuk segera pulang. Mendengar alasannya, ibu Senarai mengangguk sambil memeluk Enten dan menitipkan salam untuk ibu Enten. Ia juga menyampaikan permintaan maaf telah menahan Enten tinggal semalam di rumahnya. Enten membalas pelukan hangat itu.

“Enten justru sangat senang bisa mengenal keluarga ini. Enten seperti mendapat keluarga baru,” ujar Enten. “Syukurlah jika Enten senang bersama kami.” Enten mengeratkan pelukannya. Ibu Senarai mencium ubun-ubun Enten sembari meminta Enten berhati-hati di jalan. Tak lama kemudian, ayah Senarai muncul setelah mengambil sesuatu dari dapurnya. Ia menyerahkan sesuatu kepada Enten, sebuah bungkusan dari daun yang besar diameternya dan diikat dengan akar pohon yang kuat. “Ini adalah benih padi,” kata ayah Senarai kepada Enten. “Oh. Apa yang harus kulakukan setelahnya?” tanya Enten antusias. “Begini. Buatlah lubang pada tanah lalu taburkan beberapa biji pada lubang itu. Tutup lagi dengan tanah supaya tidak terlihat dan dimakan oleh ayam. Tunggulah hingga tanaman itu tumbuh besar dan siap dipanen,” pesan ayah Senarai kepada Enten. “Akan kuingat baik-baik dan kusampaikan kepada Ibu.” “Anak yang baik.” “Enten senang sekali di sini. Bolehkah aku memanggilmu Ayah?” “Tentu saja. Terpikir olehku memberimu nama.” “Apa nama itu, Ayah?” “Karena engkau selalu bisa bermain seri dan suka bermain di genteng, kuberi nama engkau nama Seri Genteng.” Mata Enten berbinar. “Terima kasih, Ayah.” “Anggap saja kenang-kenangan dari kami, Enten.” Kata-kata ayah Senarai membuatnya terkesiap. Enten tak ingin ayah barunya ini akan cepat sekali menjadi kenangan. Melintas wajah ayahnya yang tak kembali. Enten tiba-tiba teringat sesuatu. “Ayah, Senarai bilang kata genteng itu dari pulau seberang.” “Enten, Senarai benar. Dulu saya bersama pasukan kerajaan dari pulau seberang berlayar hingga sampai ke tanah ini. Jika Enten dan ibu berkenan, datanglah lagi ke sini, akan saya ceritakan cara saya bisa tiba di sini.”

Jawaban ayah Senarai lagi-lagi membuatnya takjub. Enten belum bisa membayangkan ada pulau lain di seberang sana. Enten pun terpukau sebab ternyata ada bahasa yang sangat berbeda dari yang ia bisa. Lama ia terdiam hingga terdengar suara lembut menyapanya. “Ini ada sedikit bekal untukmu dalam perjalanan.” Uluran tangan dan sebuah bungkusan dari ibu Senarai disambut Enten dengan mata berkaca. “Terima kasih banyak, Ibu. Saya pamit dulu.” Enten mengucapkan salam perpisahan kepada keluarga itu. Enten hampir lupa pada si kucing. Kucing hitam cokelat keemasan itu muncul dan mulai mengikutinya. Enten membalikkan badannya dan menatap Senarai. “Kucing itu ingin bersamamu. Jagalah ia!” ucap Senarai bagai mengerti yang sedang dipikirkan Enten. Enten mengangguk mantap.

Lalu, ia mengusap kepala si kucing dan melangkah perlahan. Si kucing melangkah dan menempatkan diri di depan Enten. Si kucing penunjuk jalan. Sejak itu, si kucing dipanggil Enten dengan nama “Kuten”, kucing Enten. Beberapa puluh langkah, Enten membalikkan badannya. Ia melambaikan tangan lagi kepada keluarga barunya. Tidak terasa air bening meluncur dari kedua sudut matanya. Matahari sudah berada di atas kepala ketika Enten dan Kuten tiba di ujung jalan pondok mereka di lereng bukit. Dari jauh Enten melihat ibunya berjalan mondar-mandir di dekat tangga seperti sedang berpikir keras. Enten berlari menujunya.

“Buuu …,” teriak Enten keras. Bagai mendengar petir di siang hari, sang ibu terkejut. Ia menoleh ke arah suara dan berlari kencang menuju arah yang memanggilnya. “Duh, Enten anakku, kamu ke mana saja? Ibu hampir putus asa menunggumu.” “Maafkan Enten, Bu. Enten kemarin ke kampung bawah bukit, Bu. Kemarin kucing ini seperti mengajak Enten berjalan-jalan, tidak terasa ternyata sampai jauh. Maafkan Enten juga sebab bermalam dulu sebelum pulang.” “Namun, kau tak apa-apa, Nak?” “Enten sangat baik, Bu. Malah Enten dibekali oleh Senarai dan ayah-ibunya. Enten bertemu keluarga yang sangat baik.” “Siapa Senarai?” “Teman baru Enten, Bu dan ini kucing Enten, Kuten, yang sejak kemarin mengikuti ke mana pun Enten pergi. Bolehkah kita pelihara?” “Tentu saja.” Sang ibu kembali memeluk Enten erat-erat. Betapa ia lega dan bahagia. Tak lama, dipandangnya bungkusan yang dibawa Enten, ia pun bertanya lagi. “Apa yang kaubawa, Nak?” “Ini benih padi, Bu.” “Padi?” “Enten juga bingung pertama kali mengenalnya, Bu. Keluarga yang menjaga Kuten inilah yang memperkenalkannya. Enten suka sekali memakannya.” “Oh, begitu. Lalu, bagaimana caranya?” “Benih ini harus kita masukkan ke dalam lubang di tanah, nanti akan muncul tanaman. Berikutnya, akan muncul biji di ujung tanaman itu. Biji itu dinamakan padi. Setelah bijinya penuh berisi, kita boleh memanennya, menumbuknya hingga lepas dari kulitnya lalu kita masak dengan merebusnya dengan air panas dalam periuk. Nanti akan jadi nasi. Enak sekali rasanya, Bu. Ayo, kita buat lubang-lubang di tanah!” “Tumbuhnya berapa lama, Enten?”

Enten terdiam, ia lupa menanyakan hal itu. Namun, tak lekas Enten berkurang semangatnya menceritakan setiap pesan dari keluarga Senarai. Segala cerita keluar dari bibirnya yang mungil, membuat sang ibu bersemangat dan penuh syukur. “Istirahatlah, Nak. Nanti ibu yang membuat lubang dan mulai menanam benihnya.” “Terima kasih banyak, Ibu. Enten memang merasa lelah.” Sang ibu memeluknya kemudian Enten menaiki tangga dan membaringkan badan di tikar tempat ibunya biasa meluruskan tubuhnya. Lelah, tetapi Enten sangat bahagia.

Sang ibu mengingat-ingat pesan dari Enten. Lalu, ia mulai membuat lubang di sekitar pondok mereka. Ditaburinya empat atau lima benih padi ke dalamnya. Kemudian, ditutupnya kembali lubang itu dengan tanah sambil ia membayangkan tanaman seperti apa yang akan tumbuh pada lubang yang dibuatnya itu? Kata Enten rasanya enak. Ia terus membuat lubang hingga habis benih yang ada di dalam bungkus daun itu. Ia banjir keringat dan kulitnya terbakar matahari. Hingga sore baru ia berhenti. Malam tiba, Enten tak juga bangun. Terpikir bahwa si anak terlalu lelah, sang ibu membiarkannya saja. Tampaknya Enten sangat capai hingga sang ibu tak tega membangunkannya. Ia pun ikut merebahkan diri di samping sang anak. Keduanya tertidur nyenyak, begitu lelap.

Hari masih gelap ketika Enten terbangun. Ia celingukan mencari ibunya. Gelap. Sepertinya sang ibu ketiduran sebelum menyalakan lampu. Dilihatnya sang ibu pulas di sampingnya. Digoyang perlahan tubuh itu. “Bu, apakah nasinya sudah dimasak?” tanyanya sambil sedikit menggoyang tubuh ibunya yang sedang tidur. Sang ibu menggeliat dan menjawab, “Sudah ibu tanam semua seperti yang Enten sampaikan kemarin. Hari masih gelap, nanti kita lihat bersama jika sudah terang.” “Bu, ayah Senarai memberiku nama baru, Seri Genteng. Untuk kenang-kenangan katanya. Mereka juga mengundang kita untuk bertamu ke sana. Maukah, Ibu? Ibunya tampak membelalakkan mata. Apa artinya Seri Genteng, Nak? Jika sudah tiba saatnya, tentu saja Ibu mau.” Ia teringat pesan suaminya sebelum berangkat menjala beberapa waktu lalu, yakni jangan terlalu jauh berjalan dan tetap menjaga pondok mereka. Enten lalu bercerita tentang permainan pingsot yang mereka lakukan dan saat ia berbaring di atap bersama Senarai. Sang ibu mendengarkannya dengan saksama. Ia tampak mengangguk dan tersenyum. “Bagaimana keluarga yang baik itu, Nak?” kembali sang ibu bertanya. “Sangat baik. Enten bahkan merasa seolah-olah menjadi keluarga mereka pada saat jumpa pertama.”

Enten pun menjawabnya dengan bersemangat hingga tak terasa matahari pun muncul. Mereka membuka pintu dan segera menengok lubang-lubang yang telah dimasukkan benih padi di dalamnya. Belum tampak apa-apa. Enten pun kecewa. “Apakah benar Ibu sudah memasukkan benih ke dalamnya?” tanyanya parau. “Tentu sudah, Enten, sesuai dengan yang kau katakan kemarin.

Enten kembali masuk ke rumah. Ia ingin sekali makan nasi dan tidak ingin yang lain. Ia berbaring dekat periuk, memeluknya, dan bernyanyi.

“Cepatlah tumbuh wahai padi. Enten, Seri Genteng ingin menyantapmu….” Terus berulang-ulang ia menyanyikan syair itu. Mendengarnya, sang ibu menangis. Ditimbanya sumur lalu disiramnya tiap lubang tanah itu, berharap segera muncul tanaman yang diharapkan sambil menjawab nyanyian Enten. “Tanaman padi, anakku kelaparan. Segeralah bertunas agar kami bisa segera makan….” Sang ibu terus menengok satu per satu lubang hingga lupa akan waktu. Enten hilang suara. Ia tidak mau makan yang lain. Ia pingsan di dapur. Sang ibu kemudian panik. Dalam gelap pun ia bernyanyi meminta tunas segera muncul. Ia berkeliling hingga tak terhitung. “Ibu, Enten lapar, ingin memakan nasi.”

Terdengar lirih suara Enten dari atas pondok saat sang ibu terus berkeliling menjaga lubang-lubang tanah yang berisi benih padi itu. Enten lupa bertanya kepada keluarga Senarai, berapa lama ia harus menunggu tanaman itu tumbuh hingga tiba saatnya panen? Ia membayangkan tanaman itu cepat sekali tumbuh agar bisa disantap dalam bentuk nasi. Mendengar lirih lagu anaknya, sang ibu sedih sekali. “Ikatlah dulu perutmu, Enten. Tahan rasa laparmu sementara waktu,” ujar sang ibu dari kolong pondok. Ia mulai mencari apa pun yang bisa dimakan. Di atas pondok, perlahan Enten mengikuti perintah ibunya. Diikat kencang-kencang perutnya dengan kain panjang milik ibunya, berharap rasa laparnya mereda. Enten kembali memeluk periuk dan duduk dekat tungku. Enten terus bernyanyi. “Cepatlah tumbuh wahai padi. Enten, Seri Genteng ingin menyantapmu….” Sang ibu pun terus menjawab nyanyian anaknya. “Tanaman padi, anakku kelaparan. Segeralah bertunas agar kami bisa segera makan….”

Hari ketujuh ada yang muncul dari dalam tanah. Sang ibu hanya kuat berkeliling terseok-seok dan gembira setengah mati ketika melihat tunas yang membelah lubang. Diteriakinya Enten untuk segera turun melihat tanaman yang diidam-idamkannya itu. Tidak ada sahutan dari dalam pondok. Sang ibu yang berhari-hari menjaga lubang-lubang padi itu menyangka Enten tertidur sepanjang hari. Sehari dua hari telah berlalu, belum ada biji padi seperti yang diharapkan. Pada posisinya masing-masing, Enten dan sang ibu masih harus menunggu. Tak disangka oleh keduanya, tubuh Enten makin kecil dari hari ke hari. Ia juga semakin kencang mengikatkan kain di perutnya. Hingga pada suatu hari ia tidak sengaja menggelinding dan masuk ke lubang lantai yang di bawahnya terdapat kandang ternak milik mereka.

Di kandang ternak tersebut terdapat babi besar yang sudah lama tidak dikasih umpan. Babi besar tersebut menyangka benda yang jatuh itu adalah makanan yang diberikan kepadanya. Hap! Enten tak sengaja tertelan. Sang ibu tak menyadari peristiwa itu. Panik sekali ketika ia menyadari Enten tak ada. Dicarinya Enten ke mana-mana hingga terdengarlah suara dari arah kandang ternaknya.

“Ibu, Ibu, Enten tertelan babi sebab aku kena tulah nasi. Pukullah perutnya! Enten akan keluar saat babi mual dan muntah.” Sang ibu terperanjat sambil menangis ia memukul pelanpelan perut ternaknya itu. Wajah sang ibu tampak pucat dan badannya sempoyongan. “Lebih kuat, Bu. Belum terasa hingga ke dalam perutnya,” suara Enten terdengar kembali. Sang ibu memukul lebih kuat. Entah pada pukulan ke berapa, si babi memuntahkan semua isi perutnya. Sang ibu mencari Enten, tetapi tak ada. “Enten, Seri Genteng, anakku, di manakah engkau?” “Ibu, Ibu, tubuhku sekarang teramat kecil. Ibu harus melihatku saat siang.”

Mendengar suara Enten, sang ibu pun tersedu-sedu. Ia menunggu hingga fajar menyingsing. Setelah itu, sang ibu mencari anaknya di kolong rumah dan di sekitar kandang ternak mereka. Dilihatnya ada tubuh yang menggeliat di dekat genangan air dengan bagian tengah tubuh yang lebih kecil serta dikelilingi warna merah dan hitam. Sang ibu menangis kencang saat mengenal warna kain itu yang tak lain adalah kain miliknya yang dipakai Enten untuk mengikat perutnya kala ia kelaparan. “Anakku, anakku…,” ujarnya meraung-raung sambil mengangkat tubuh kecil anaknya. “Dekatkan aku pada tanaman padi, Ibu. Enten, si Seri Genteng ingin tinggal di sana,” ucapnya kepada sang ibu.

Dengan kaki lunglai, sang ibu mengikuti perkataan anak terkasihnya. Ia terus menangis lalu memanjatkan doa agar tubuhnya menjadi seperti anaknya. Hujan tiba-tiba deras dan kilat menyambar. Doa sang ibu terkabul, ia kemudian memiliki tubuh yang sama dengan anaknya, tetapi sedikit lebih besar. Sang ibu dan Enten menempel pada batang padi yang mulai tinggi. Tubuh mereka menggeliat-geliat.

Lain kisah, ketika Enten berhari-hari memeluk periuk dan terus meminta nasi kepada sang ibu, Kuten, si kucing cokelat keemasan yang belum lama tinggal di pondok itu kembali ke kampung di bawah bukit.

Berhari-hari dan berminggu-minggu lamanya, Senarai merasa keganjilan dengan tingkah si kucing. “Pasti ada sesuatu terjadi kepada Enten,” pikirnya. Setelah itu, Senarai mengutarakan keinginannya untuk mengunjungi Enten dan ibunya kepada keluarganya. Tak disangka, ternyata ayah, ibu, dan saudara-saudaranya pun ingin ikut serta.

Pada suatu hari yang baik, mereka berangkat dengan bekal yang cukup. Sang ayah menempatkan diri paling belakang. Kuten menjadi penunjuk jalan seperti biasa. Tanpa sekali pun beristirahat, sebelum tengah hari mereka akhirnya sampai di tujuan. Ketika sampai di pondok milik Enten dan ibunya, si Kuten mengeong keras sekali terus-menerus. “Enten, Seri Genteng, Seri Genteng…. Kamu di mana?” Teriak mereka bersahutan sambil berpencar ke segala arah mencari penghuni pondok. Pada satu sisi pondok, tampak tanaman padi tumbuh subur di sekelilingnya. “Seri Genteng, Seri Genteng, ayo kita bermain pingsot dan berbaring di genteng lagi…,” panggil Seranai sambil terisak. Ia membayangkan peristiwa yang buruk telah terjadi kepada Enten dan ibunya. Sepi terasa mencekam ketika lirih terdengar suara dari arah tanaman padi itu. “Seranai, Seranai…. Ini aku sudah menjadi kecil, aku hidup dekat tumbuhan padi. Sekarang, Seri Genteng tidak lagi bisa bermain pingsot dan memanjat genteng lagi.”

Suara yang berasal dari arah tanaman padi yang tumbuh subur itu sungguh memilukan. Senarai dan keluarganya terperanjat. Dicarinya Enten alias Seri Genteng di sela-sela tanaman itu dengan bergegas. Tidak lama kemudian, mereka melihat dua ulat berwarna putih dan merah hitam yang mengecil di bagian perut. Mereka menempel di dedaunan padi.

“Ini Enten, si Seri Genteng bersama Ibu yang akan menjaga padi sehingga kami tidak akan kelaparan lagi.” suara Enten terdengar kecil.

Senarai menangis sesenggukan di bawah tanaman itu. Melihat itu, ayah dan ibunya mendekat beserta saudara-saudaranya yang lain. Mereka berlutut di dekat dua makhluk yang dulu tak jauh berbeda dengan mereka. Wujud manusia mereka kini sudah tak mampu dikenali lagi. Melihat itu, ibu Enten berurai air mata. Ingin sekali rasanya menjabat tangan mereka satu per satu. Perih sekali rasanya melihat keadaan yang dialaminya, entah apa maksud Yang Kuasa untuk mereka.

“Senarai, anak yang baik, terima kasih saya ucapkan kepadamu dan keluargamu yang begitu baik kepada Enten. Biarlah nama pemberian keluargamu yang dikenang.” Ibu Enten memperdengarkan suaranya kepada Senarai dan keluarganya. Senarai terisak-isak mendengarnya. “Saya ibu Senarai, adikku. Sudah lama saya ingin bertemu dengan Ibu. Namun, mengapa ketika begini keadaan kita baru bersua?”

Ibu Senarai ikut terisak-isak. Dada dan bahunya terguncang-gundang menahan sedih. Ayah Senarai tidak kuasa untuk mendekati mereka. Ia berkeliling melihat sekitar. Setelah terlibat percakapan dan pertimbangan yang matang, akhirnya karena peristiwa itu, mereka berbulat tekad untuk melakukan sesuatu. Keluarga Senarai sepakat pindah dan tinggal di sana dan meneruskan ladang yang dibuat sang ibu Enten. Sejak itulah ladang tersebar di banyak dataran tinggi.

Demikianlah kisah asal-usul ulat yang sering melekat di tanaman padi yang disebut Seri Genteng. Besar kepercayaan bahwa kehadiran mereka menandakan panen akan melimpah pada akhir musim. Kisah dari Dayak Tayan ini dikenal juga di tempat lain dengan variasi nama ulat dan cerita yang berbeda

Ditulis oleh: Yeni Yulianti

DISKUSI


TERBARU


Bubur Pedas

Oleh Sherly_lewinsky | 25 Apr 2024.
Makanan khas Kalimantan Barat

Bubur pedas adalah salah satu makanan khas dari Kalimantan Barat. Biasanya, bubur ini akan dilengkapi dengan berbagai macam sayuran seperti daun kuny...

ANALISIS FENOME...

Oleh Keishashanie | 21 Apr 2024.
Keagamaan

Agama Hindu Kaharingan yang muncul di kalangan suku Dayak sejak tahun 1980. Agama ini merupakan perpaduan antara agama Hindu dan kepercayaan lokal su...

Kue Pilin atau...

Oleh Upikgadangdirantau | 20 Apr 2024.
Kue Tradisional

Kue pilin atau disebut juga kue bapilin ini adalah kue kering khas Sumatera Barat.Seperti namanya kue tradisional ini berbentuk pilinan atau tamb...

Bika Panggang

Oleh Upikgadangdirantau | 20 Apr 2024.
kue tradisional

Bika Panggang atau bisa juga disebut Bika bakar merupakan salah satu kue tradisional daerah Sumatera Barat. Kue Bika ini sangat berbeda dengan Bika...

Ketipung ngroto

Oleh Levyy_pembanteng | 19 Apr 2024.
Alat musik/panjak bantengan

Ketipung Ngroto*** Adalah alat musik seperti kendang namun dimainkan oleh dua orang.Dalam satu set ketipung ngroto terdapat 2 ketipung lanang dan we...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...