×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Sumatera Barat

Asal Daerah

Minangkabau

Puti Banduik

Tanggal 25 Feb 2021 oleh Widra .

Sungai Tolang adalah nama suatu jorong, setingkat desa di Minangkabau. Di atas jorong adalah nagari, setingkat dengan kelurahan. Jorong Sungai Tolang termasuk ke dalam wilayah Nagari Tareh di Kabupaten Limopuluah Koto, Provinsi Sumatera Barat. Penduduk asli Kabupaten Limopuluah Koto adalah bagian dari penduduk berbudaya Minangkabau sehingga disebut sebagai orang Minangkabau.

Orang Minangkabau menyebut diri mereka “orang beradat” dan negeri mereka “negeri beradat”, yaitu penduduk dan kawasan yang memiliki kebudayaan khas yang dinamai "Minangkabau". Orang Minangkabau merasa bangga dengan kebudayaan, adat atau aturan hidup bersama yang mereka patuhi sejak zaman dahulu. Di antara adata yang berlaku di Minangkabau adalah pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

Adat tentang pergaulan laki-laki dan perempuan mewajibkan laki-laki dan perempuan berbeda tempat, misalnya di rumah, di tempat mandi, di warung atau di pasar, dan di tempat pesta. Anak laki-laki dan anak perempuan meskipun bersaudara kandung, tidak boleh tidur di tempat atau kamar yang sama. Tempat mandi umum seperti di sungai dipisahkan antara tepian perempuan dan tepian laki-laki. Warung atau pasar biasanya adalah tempat berkumpulnya laki-laki, sedangkan perempuan hanya boleh mendatanginya sebentar saja dan itu pun ketika ada kebutuhan yang mendesak. Di tempat pesta atau perhelatan lakilaki dan perempuan tidak bergabung. Mereka duduk terpisah membentuk kelompok sendiri-sendiri atau dengan waktu kunjungan yang berbeda.

Maksud pemisahan tempat antara laki-laki dan perempuan itu di Minangkabau adalah untuk menjaga etika dan susila agar tidak terjadi hal-hal yang tidak baik dan agar masyarakat menjadi tertib. Apabila adat pergaulan itu dilanggar, akan diperoleh hukuman. Orang yang memutuskan hukuman adalah para pemuka adat yang disebut penghulu, biasanya bergelar datuk. Orang-orang yang memberi hukuman adalah seluruh warga masyarakat secara bersama-sama. Itulah sebabnya, orang Minangkabau sangat kuat menjalankan dan mematuhi adat mereka karena adat mengatur kehidupan yang sangat baik untuk semua warga tanpa kecuali.

Di Jorong Sungai Tolang terdapat tiga buah batu berbentuk tiga sosok manusia. Tiga batu itu oleh masyarakat setempat dinamai Batu Puti Banduik. Konon, asal-usul terbentuknya tiga batu tersebut adalah akibat pelanggaran terhadap adat pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan saudara kandung. Pelanggaran terhadap adat mengakibatkan diri mereka celaka, bahkan berakhir menjadi batu.

Pada suatu masa, ada satu keluarga yang bertempat tinggal di Jorong Sungai Tolang. Keluarga yang terdiri atas ibu dan sepasang anaknya itu sudah lama ditinggal oleh ayah mereka karena sang ayah meninggal dunia. Ibu janda itu biasa dipanggil Etek Bainar oleh orang sekampung. Etek artinya ‘bibi’. Dia dipanggil sepertinitu karena usianya yang sudah layak disebut demikian. Anak Etek Bainar adalah Sutan Lanjuangan dan Puti Kasumbo. Lanjuangan artinya ‘tak berhingga’, sedangkan Kasumbo artinya ‘merah menyala dan sangat menarik perhatian’. Etek Bainar sengaja memberi nama kedua anaknya demikian karena berharap keduanya akan menjadi orang yang sesuai dengan arti namanya masing-masing. Ia pun sengaja menambahkan kata Sutan dan Puti di depan nama anak-anaknya karena menurut Etek Bainar kedua anaknya sama mulianya dengan putra dan putri raja atau keturunan bangsawan lainnya.

“Sutan Lanjuangan berparas tampan dan bertubuh gagah, sedangkan Puti Kasumbo berkulit putih denganwajah merona kemerahan. Tidak satu pun warga negeri kita ini yang dapat menyamai keelokan kedua anakku. Entah kalau anak raja dari negeri seberang yang dapatmenandinginya.” Demikian kalimat yang selalu diulangulang Etek Bainar untuk menyanjung-nyanjung kedua putra-putrinya itu. “Jangan coba-coba meniru pakaian dan lagak Sutan dan Puti. Kalian hanya orang biasa yang tidak sepadan dengan mereka. Perlu banyak biaya untuk mereka berdua dan aku mampu untuk itu,” kata Etek Bainar dengan sombong apabila ada seseorang yang bertanya tentang penampilan kedua anaknya yang memang selalu terkesan mewah itu.

Sesungguhnya penduduk Kampung Sungai Tolang merasa bahwa pandangan dan perlakuan Etek Bainar terhadap kedua anaknya terlalu berlebihan. Mereka hanyalah keluarga biasa, sama halnya dengan penduduk yang lain. Yang berbeda di antara mereka hanyalah materi, kekayaan. Mereka sering mencibir menanggapi sikap Etek Bainar yang berlebihan itu.

“Sutan dan Puti dari mana? Dari kerajaan di hulu Sungai Tolang agaknya,” kata seseorang berbisik kepada temannya. “Ya, keluarga raja yang hanyut terbawa air besar dari kaki bukit sana,” jawab seseorang yang lain. “Hahaha....” Mereka pun tertawa terbahak-bahak mencibirkan kelakuan Etek Bainar di belakangnya.

Masyarakat tidak mampu membantah Etek Bainar karena ia adalah orang terkaya di kampung mereka. Penduduk sering berhutang pada Etek Bainar jika musim kemarau tiba. Sawah kering, ladang kerontang, dan kebun tidak menghasilkan buah yang memadai. Di saat itu mereka akan mendatangi rumah janda kaya itu untuk mendapatkan padi, beras, dan segala bahan pangan yang dapat menghidupi mereka pada masa sulit.

“Etek, pinjamilah saya padi. Saya akan membayar apabila hujan sudah mulai turun dan ladang kembali menghasilkan,” kata seorang laki-laki separuh baya di rumah kediaman Etek Bainar. Meskipun kadang-kadang menyambut pengutang dengan wajah masam, Etek Bainar selalu memberi utang. Dia sangat sadar bahwa untuk mengurus harta kekayaannya yang sangat banyak, ia membutuhkan tenaga penduduk yang rata-rata hidup pas-pasan tersebut. “Mintalah kepada pesuruhku padi sebanyak yang kamu perlukan. Namun, saya butuh kamu untuk memperbaiki lumbung padi yang lapuk di samping rumah saya ini". kata Etek Bainar tegas.

Itulah sebabnya, warga kampung itu tidak ada yang berani menyatakan kritik kepada Etek Bainar. Mereka hanya berani membicarakan Etek Bainar di belakang perempuan itu. Apa pun tingkah laku Etek Bainar hanya menjadi cibiran dari jauh oleh warga Sungai Tolang. “Awas, awas, segeralah mengosongkan jalan! Itu anak raja, Sutan dan Puti, sedang berjalan-jalan mengunjungi jorong,” kata seorang pemuda kepada orang-orang yang berada di dekatnya ketika Sutan Lanjuangan dan Puti Kasumbo bersama ibu mereka berkunjung ke suatu tempat

Sikap Etek Bainar yang kerap menjadi cibiran itu adalah karena ia selalu memperlakukan kedua anaknya seperti putra-putri raja atau kaum bangsawan, tidak hanya sekadar dengan pemberian nama. Semenjak kedua anaknya kecil, ia mengasuh keduanya di dalam rumah dan tidak membolehkan anak-anaknya bermain di luar. Etek Bainar tidak sudi Sutan dan Puti bercampur baur dengan penduduk kampung. Orang lain tidak sederajat dengan kedua anak itu.

“Ros, jaga kedua anakku baik-baik, apalagi apabila aku sedang tidak berada di rumah. Jangan biarkan mereka bermain seperti anak-anak kampung. Tidak boleh mereka dibawa keluar rumah. Panas matahari, angin, dan debu akan merusak kulit anak-anakku. Tak pantas Sutan dan Puti bermain dengan anak-anak di luar rumah besarku ini. Jijik aku melihat ingus, tangan kotor, dan tubuh berdaki mereka. Ingat, Sutan dan Puti itu tidak sama dengan anak-anak kampung karena mereka sangat istimewa.” Etek Bainar berkata kepada Etek Ros, pengasuh Sutan Lanjuangan dan Puti Kasumbo.

Semenjak kecil mereka hanya bermain berdua tanpa bergaul dengan orang lain. Menurut ibunya, itulah yang pantas untuk mereka. Semenjak kecil pula, keduanya hanya tahu saudara dan ibunya saja. Orang kampung hanya dapat melihat kedua anak itu dari jauh atau apabila berkunjung ke rumah mereka. Demikianlah hari-hari yang mereka lalui dalam pengasuhan ibunya semenjak mereka kanak-kanak.

“Memang tampan dan cantik kedua anak Etek Bainar itu. Memang berbeda dengan anak-anak kita. Keduanya berkulit putih, berpenampilan bersih dan mewah, serta selalu terlindung dari sengatan matahari. Bagaimana mungkin anak kita menyamai mereka. Anak kita adalah anak kampung yang ikut dengan kemiskinan ayahibunya. Hidup sederhana atau miskin apa adanya,” kata seorang ibu ketika melihat Sutan dan Puti Lanjuangan pada suatu hari. “Perilaku Bainar itu menurut pepatah petitih Minangkabau ibarat menyukat terlalu penuh. Terlalu berlebihan menilai anak sendiri dan terlalu merendahkan orang lain." kata seorang bijak di kampung itu.

Sesungguhnya, ketiga orang berkeluarga itu saling menyayangi antara yang satu dengan yang lain. Ketiganya sangat dekat, sangat akrab, dan sangat saling bergantung. Puti Kasumbo sangat manja kepada Sutan Lanjuangan, abangnya. Sutan Lanjuangan sangat peduli kepada Puti Kasumbo, adiknya. Etek Bainar selalu melimpahi Sutan Lanjuangan dengan perhatian dan benda-benda yang diinginkannya.

“Uda, Puti lapar. Kita makan, ya. Puti tidak mau makan sendiri,” rengek Puti Kasumbo kepada abangnya. “Sebetulnya, uda belum lapar. Tapi, kalau kamu maunya makan sekarang, ya, sudahlah. Mari kita mintaak. Etek Ros menyediakan makan untuk kita," kata Sutan Lanjuangan kepada adiknya. "Sutan dan Puti makan berdua ya, Nak. Ibu akan ke Jorong Tapuang Kodok. Padi kita hari ini disabit. Ibu harus mengurusnya. Sutan, jaga adikmu ya. Nanti ibu bawakan kalian nasi lembak manis kesukaan kalian". kata Etek Bainar suatu hari ketika ia pamit kepada kedua anak kesayangannya itu.

Tidak adanya orang lain yang bergaul dengan mereka menyebabkan Puti Kasumbo selalu bermanjamanja kepada Sutan Lanjuangan. Apalagi, ketika ibu mereka sedang berada di luar rumah mengurusi harta kekayaan, seperti sawah, ladang, kebun, binatang ternak, dan emas simpanan. Mereka selalu berdua dari bangun tidur pada pagi hari hingga malam hari. Demikian yang selalu mereka lakoni hingga usia remaja.

"Uda, ibu kok belum pulang juga ya? Ini sudah hampir malam," kata Puti Kasumbo dengan wajah sedih kepada abangnya, "Ya, Puti. Mungkin masih banyak urusan yang ibu selesaikan sehingga telat pulang." Sutan Lanjuangan membelai kepala adiknya agar adiknya itu tenang.

Puti Kasumbo pun tertidur di pangkuan abangnya. Hatinya yang semula gundah perlahan menjadi tenang. Hingga akhirnya Etek Bainar pulang pada larut malam, kedua kakak-beradik itu tertidur bersama-sama. Ketika Etek Bainar pulang, ia mendapati keduanya telah tertidur pulas. Etek Bainar sangat senang hatinya melihat kedua anaknya yang akur dan saling menyayangi. Hari berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Keakraban kedua orang bersaudara kandung itu semakin kuat. Adik sangat tergantung kepada abang, abang pun sangat peduli terhadap adik. Apalagi ibu mereka yang sibuk mengurus kekayaan membuat mereka sering ditinggal berdua di rumah dan hanya ditemani orang suruhan ibunya. Ternyata, tidak hanya saling menyayangi, kedua kakak-beradik tidak menyadari bahwa kasih sayang mereka telah berubah menjadi saling menyukai selayaknya dua orang yang bukan bersaudara. Sang adik semakin makja dan sang kakak semakin menanggapinya.

Suatu hari, Etek Ros yang menjadi pengasuh Sutan Lanjuangan dan Puti Kasumbo sejak kecil berkeluh kesah kepada Pak Apuak yang bekerja sebagai pesuruh di rumah keduanya. “Saya khawatir dengan kedua anak majikan saya ini, Pak Apuak. Mereka tidak lagi bergaul seperti orang yang beradik-kakak. Tidak memiliki rasa dan periksa, tidak punya malu dan segan, serta seperti anak tidak beradat-beragama,” kata Etek Ros.

Lalu, perempuan setengah baya itu melanjutkan lagi keluh kesahnya, “Pak Apuak, mereka berdua sudah mulai remaja. Sangat terlarang di negeri kita ini bermanja-manja dengan abang kandung. Tidak pantas dilihat, tidak sesuai dengan sopan santun. Saya betulbetul resah melihat mereka, Pak Apuak.”

Pak Apuak, lawan bicara Etek Ros pun menjawab, “Sama saja, Ros. Kelakuan mereka pun menjadi pikiran bagi saya. Saya pernah melihat mereka mandi bersama di tepian ketika hari sudah sangat petang dan orangorang sudah kembali ke rumah masing-masing. Sangat tidak dibenarkan hal demikian dilakukan. Di rumah ini pun saya sering melihat mereka berkelakuan tidak pantas. Ah, ... sudahlah. Saya benar-benar khawatir seperti yang kamu rasakan itu.” “Pak Apuak, saya ingin membicarakan hal ini dengan Etek Bainar, ibu mereka. Tapi, hal itu tidak mungkin saya lakukan. Etek Bainar tidak akan mendengar omongan saya. Baginya, segala perbuatan anaknya benar belaka. Malah, saya bisa diberhentikan bekerja di rumah ini nanti. Kita sama-sama tahu seperti apa sifat Etek Bainar,” kata Etek Ros lagi.

“Jangan, ... jangan Ros! Lebih baik kita lihat dan tunggu saja apa yang akan terjadi. Membicarakan hal ini dengan Etek Bainar sama saja dengan memasukkan kepala kita ke dalam mulut buaya. Kepedulian kita akan menjadi ancaman untuk kehidupan kita. Sabar sajalah, Ros. Mudah-mudahan hal ini hanya kekhawatiran kita saja. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Sutan Lanjuangan dan Puti Kasumbo,” kata Pak Apuak.

“Pak Apuak, saya jadi ingat dengan pepatah petitih yang berbunyi ‘habis geli karena gelitik’ yang sering diucapkan orang tua dahulu. Rasanya hal itu yang terjadi sekarang pada kedua anak asuhan saya ini, Pak,” kata Etek Ros lagi. Pak Apuak pun menjawab, “Ya, Ros. Kalimat bijak itu mengajarkan agar kita jangan berbuat melampaui batas. Kalau seseorang terlalu sering digelitik, ia tidak akan merasa geli lagi. Ia menjadi kebal. Kalau kita terbiasa berbuat hal-hal yang tidak pantas, kita tidak akan merasa malu lagi. Nenek moyang kita sesungguhnya sudah mengajari kita tentang etika yan disampaikan berupa kalimat bijak berkiasan. Kita saja yang tidak mau dan tidak mampu memahaminya.”

Etek Ros dan Pak Apuak pun melanjutkan pekerjaan masing-masing setelah sejenak sama-sama mencurahkan perasaan hati mereka. Etek Ros kembali ke dapur sedangkan Pak Apuak ke lumbung untuk mengambil padi yang akan diprosesnya menjadi beras.

Tanpa mereka sengaja, kedua remaja itu bergaul telah terlalu jauh. Mereka semakin tidak menyadari bahwa mereka adalah abang dan adik. Keterasingan, kedekatan berlebihan, dan kurangnya pengajaran dari ibu menyebabkan petaka bagi keduanya. Sang adik, Puti Kasumbo, hamil. Mereka menyembunyikan hal itu dari ibunya. Ibu mereka pun tidak awas terhadap perubahan fisik putrinya karena pikirannya yang dipenuhi oleh kecintaan teramat sangat kepada kedua anaknya. Kehamilan itu makin lama makin membesar sehingga orang kampung yang sesekali datang ke rumah mereka pun mulai membicarakannya. Ibarat kata pepatah, “mulut gendang dapat ditutup, mulut manusia tidak ada yagn sanggup menutupinya." Kabar aib makin menyebar ke seluruh penjuru Kampung Sungai Tolang.

Rasa ingin tahu penduduk makin tak terbendung untuk memastikan kabar kehamilan Putri Kasumbo. Hampir setiap hari apabila Etek Bainar meninggalkan rumah, penduduk mendatangi rumahnya untuk mengetahui kepastian tentang kondisi Puti Kasumbo. “Tidak salah lagi, Puti Kasumbo pasti sedang hamil. Lihatlah wajahnya yang pucat pasi, tubuhnya yang sangat kurus, sedangkan perutnya membesar,” kata seorang ibu kepada ibu lain ketika mereka melihat Puti Kasumbo dari jarak yang agak dekat.

Puti Kasumbo yang merasa bahwa ia sedang diperhatikan oleh beberapa orang ibu segera masuk kembali ke dalam rumah. Ia mulai merasa malu. Ia menangis menemui abangnya. Tidak ada yang dapat diperbuat oleh Sutan Lanjuangan. Ia pun kehabisan akal untuk mengatasi masalah kehamilan adiknya yang terjadi akibat perbuatannya. “Tek Ros, Tek Ros! Apakah Etek Bainar sudah tahu bahwa Puti Kasumbo hamil? Bagaimana tanggapan Etek Ros terhadap keadaan anaknya itu?” Demikian bertubitubi pertanyaan orang-orang yang ditujukan kepada pengasuh Puti Kasumbo itu.

Jangankan menjawab pertanyaan mereka, melihat wajah para penduduk saja Etek Ros tidak mau. Dia tidak tahu apa yang akan disampaikannya kepada mereka. Ia pun sangat takut kepada Etek Bainar kalau perempuan setengah tua itu tahu bahwa ia membicarakan keadaan anaknya kepada orang lain. Etek Ros pasti akan dimaki, bahkan diusir dari rumah Etek Bainar. Membayangkan akan kehilangan pekerjaan dan kehilangan sumber penghasilan membuat Etek Ros bergeming atas segala pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Kemiskinan membuat Etek Ros sangat takut dan patuh kepada Etek Bainar.

Demikian pula halnya dengan Puti Kasumbo dan Sutan Lanjuangan. Mereka makin banyak berdiam diri saja di dalam rumah sejak terjadinya perubahan pada tubuh Puti Kasumbo. Mereka seperti orang yang kehilangan semangat hidup. Tidak tahu apa yang dilakukan. Kedua anak yang menjelang remaja itu kehilangan keceriaannya. Puti Kasumbo bahkan kehilangan selera makannya juga. Setiap hari kerjanya hanya bermenung, lalu menangis saja tersedu-sedu. Mereka takut apabila ada orang yang berjalan di sekeliling rumahnya. Mereka malu apabila terlihat oleh orang lain.

Hanya Etek Bainar saja yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi menimpa putra-putrinya. Ia setiap hari disibukkan dengan harta bendanya yang sangat banyak. Padinya perlu ditanam di sana-sini, sawahnya perlu diairi di hilir dan di udik, serta hamparan padinya harus disabit di hulu dan di hilir. Belum lagi perniagaannya yang harus diurusnya tiap-tiap pekan. Etek Bainar setiap hari mengalami seperti pepatah adat yang berbunyi, “padi masak, jagung mengupih” yang artinya berlimpah harta dan benda. Etek Bainar sangat bersemangat setiap hari, dari pagi hingga malam hari, mengurusi segala materi. Kalaupun ia berjumpa dengan kedua anaknya, itu terjadi ketika mereka masih tidur di pagi hari dan sudah tidur di malam hari. Ia tidak tahu tentang petaka yang sedang terjadi di rumahnya sendiri. Ia pun tidak tahu tentang belitan persoalan yang sedang dihadapi oleh kedua anak kesayangannya. Tidak ada pula orang lain yang berani membicarakan hal itu pada Etek Bainar.

“Puti, adikku. Aku sangat menyesal atas apa yang sudah kita lakukan. Aku juga menyesal sekali atas akibat yang kamu tanggungkan ini. Namun, aku tidak tahu, Dik. Apa yang harus kulakukan untuk mengatasi masalah ini. Aku kakakmu, kamu adikku. Kita bersaudara kandung. Kita telah berbuat aib dan dosa besar. Lambat laun, orang-orang pasti akan mengusir kita dari kampung ini karena telah mencemari nama baik warga kampung semuanya. Kita telah melanggar adat, kita telah melanggar agama,” kata Sutan Lanjuangan menyesali keadaan yang sudah terjadi. Ia berkali-kali mengacakacak rambut di kepalanya karena kebingungan dan putus asa. Ia tertunduk lemas memandangi adiknya yang juga terlihat kusut dan kuyu itu

“Uda, apa yang harus kita lakukan. Ke mana kita harus pergi? Aku sangat takut. Orang tidak akan membolehkan lagi kita tinggal di sini. Uda, Puti takut, Uda.” Puti Kasumbo menangis mengiba sambil berpegangan pada lengan kakaknya

Mereka berdua bertangisan. Hanya Etek Ros dan Pak Apuak yang tahu derita kedua anak itu. Sayangnya mereka tidak mampu membantunya. Mereka hanya bisa ikut merasakan kesedihan yang diderita Puti Kasumbo dan Sutan Lanjuangan. Rumah itu makin suram karena semua penghuninya berwajah muram setiap hari. Tidak terdengar tawa ceria Puti Kasumbo, tidak terlihat pula senyum gembira Sutan Lanjuangan. Etek Ros menyibukkan diri di dalam rumah, sedangkan Pak Apuak menenggelamkan pula tubuh gemuknya pada pekerjaan di sekitar rumah. Pak Apuak akan segera menghindar apabila ada orang yang mendekati rumah mewah milik keluarga kaya itu. Ia enggan bertutur sapa dengan penduduk karena pasti mereka akan bertanya tentang kedua anak majikannya itu.

Ibarat kata pepatah, “sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna”. Benarlah pepatah petitih itu bahwa semua manusia harus memikirkan setiap perbuatan yang akan dilakukannya agar terhindar dari akibat yang buruk. Jika sudah terjadi hal buruk, penyesalan saja yang dapat dilakukan dan itu tiada berguna lagi. Kejadian yang sudah berlalu tidak dapat diperbaiki lagi. Puti Kasumbo dan Sutan Lanjuangan tidak dapat lagi mengembalikan keadaan seperti semula. Nasi sudah menjadi bubur. Karena sudah terjadi, “kecelakaan” itu harus ditanggung penderitaannya oleh orang yang melakukannya. Alangkah kasihan nasib Puti Kasumbo.

Pada suatu hari beberapa orang warga tidak dapat menahan diri lagi. Mereka dengan tekad dan nekat mendatangi rumah Etek Bainar untuk bertemu dengan kedua anak itu. Mereka ingin memastikan keadaan Puti Kasumbo dan menanyai keduanya.

“Sutan Lanjuangan dan Puti Kasumbo, keluarlah kalian. Kami ingin bertemu dan berbicara denganmu,” seorang pemuda bertubuh kekar berdiri bersama para laki-laki dan perempuan warga kampung itu di tangga rumah Etek Bainar. Tampaknya ia menjadi pemimpin sekaligus juru bicara warga Jorong Sungai Tolang. Ketika melihat kerumunan orang tidak sabar yang ingin berjumpa dengan anak majikannya, Pak Apuak segera mendapati Etek Ros di belakang rumah. “Ros, segeralah ungsikan sementara Puti Kasumbo dan Sutan Lanjuangan ke tempat lain. Mereka pasti tidak akan sanggup bertemu dengan orang-orang itu. Segeralah, Ros. Segeralah!” Pak Apuak setengah berbisik kepada Etek Ros.

Etek Ros pun dengan tubuh menggigil ketakutan segera menemui Puti Kasumbo dan Sutan Lanjuangan yang sedang bersembunyi di balik tonggak besar di tengah rumah mereka. Keduanya menangis sambil menutup mulut karena rasa takut yang tidak dapat ditahannya. Keduanya menyerah saja ketika Etek Ros menuntunnya keluar rumah melalui tangga belakang.

Sesampai di belakang rumah, keduanya pun memutuskan untuk lari. Keduanya berlari meninggalkan rumah menuju ke arah Bukit Tolang yang terletak di ujung kampung. Mereka merasa malu dan takut, apalagi ketika itu sang ibu pelindung mereka sedang tidak bersama mereka. Etek Ros yang semula berniat membantu mengungsikan mereka, tidak dapat mengikuti kencangnya lari kedua remaja itu. Etek Ros ketinggalan jauh di belakang. Etek Ros menangis memandangi kedua anak yang sejak lahir telah diasuhnya hingga sekarang menjelang remaja dan sedang dirundung duka. Hati Etek Ros remuk. Perasaannya seakan-akan tercabik. Kedua anak itu terus berlar tiada henti dari rumah terus ke jalan hingga menuju bukit Tolang.

“Ya, Tuhan. Mohon lindungi kedua anak asuh hamba. Kasihani mereka, ya, Tuhan. Mereka hanyalah anak-anak yang tidak mengerti apa-apa. Jangan hukum mereka, wahai, Tuhanku. Hamba mohon....” Etek Ros terduduk di tanah sambil menadahkan tangan ke langit. Etek Ros sangat khawatir terhadap nasib Puti Kasumbo dan Sutan Lanjuangan. Perasaan Etek Ros seperti disayat-sayat melihat kepergian kedua kakakberadik itu. Mereka berlari meninggalkan rumah karena rasa malu dan takut akibat aib yang sudah mereka perbuat. Etek Ros tidak dapat membayangkan tantangan dan derita apa yang akan mereka temui berdua. Mereka yang tidak terbiasa hidup di luar rumah, terbiasa manja, dan tidak pernah menghadapi kesulitan alam, saat ini malah berlari menuju ke bukit. Bukit Tolang biasanya hanya dilalui perimba yang sudah akrab dengan hewan, tumbuhan liar, dan udara lembap. Sekarang Sutan Lanjuang dan Puti Kasumbo berlari ke sana. Pastilah mereka akan berhadapan dengan keganasan alam yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Sambil memikirkan hal itu, Etek Ros hanya bisa menangis tersedu sedan dan tiada henti-hentinya menadahkan tangan ke langit untuk memohon doa kepada Yang Mahakuasa.

“Sepadai-pandai menyimpan bangkai, bau busuknya pasti akan tercium juga.” Demikian kata-kata bijak yang disampaikan oleh nenek moyang secara turun-temurun sejak dahulu kala. Ya, aib yang selama ini dicoba ditutupi oleh Sutan Lanjuangan dan Puti Kasumbo, akhirnya diketahui juga oleh masyarakat. Masyarakat murka karena beranggapan bahwa jika ada seorang warga yang berbuat asusila, seluruh kampunglah yang akan menerima akibatnya. Akibat itu dapat berupa hasil panen yang sangat kurang, wabah penyakit menyerang kampung, dan bencana alam yang memorak-porandakan kedamaian hidup warga. Oleh sebab itu, adat yang berlaku di Jorong Sungai Tolang mengatur bahwa orang yang melakukan tindakan asusila harus dihukum dengan memukulinya dan mengusirnya dari kampung. Setelah pelaku meninggalkan kampung, warga kampung akan mengadakan upacara yang disebut Tolak Bala atau menghalau bencana. Upacara itu dilakukan untuk mencegah hukuman berupa bencana yang terjadi akibat perbuatan buruk salah seorang warga.

Rupanya ketika mereka sedang berlari itu ibunya pun sampai di rumah. Di saat melihat orang ramai dan meneriaki anak-anaknya, sang ibu pun berlari mengejar anak-anaknya. Kejar-kejaran pun terjadi. Orang kampung melihat mereka bertiga dari kejauhan. Sang ibu tidak henti-hentinya memanggil nama kedua anaknya dan meminta agar mereka berhenti berlari. Namun, keduanya terus berlari sambil sesekali melihat ke belakang menyahuti ibunya dengan penegasan bahwa mereka tidak akan kembali. Hal itu berlanjut terus di sepanjang jalan hingga mereka sampai di kaki Bukit Tolang, di hulu Sungai Tolang.

Sesampai di kaki Bukit Tolang, Puti Kasumbo menghentikan larinya. Sutan Lanjuangan mengikuti di sampingnya. Etek Bainar pun nyaris mencapai kedua anak yang sangat dibanggakan dan dicintainya itu. Etek Bainar berkata mengiba mengajak anak-anaknya untuk segera pulang ke rumah. Etek Bainar pun sudah mengetahui bahwa putrinya sedang hamil. Meskipun demikian, baginya hal itu tidak menjadi masalah. Ia berjanji akan mengatasi aib itu dan mengembalikan anak-anaknya kepada kebahagiaan seperti semula. Namun, meskipun ibunya sudah meyakinkannya sedemikian rupa, Puti Kasumbo tetap menggeleng dan memastikan bahwa ia tidak akan kembali ke rumah. Rasa malu kepada orang kampung melebih perlindungan yang dijanjikan oleh ibunya.

Ketika mendengar keteguhan hati adiknya, Sutan Lanjuangan pun mendukung keputusan Puti Kasumbo. Ia bahkan berjanji akan mengikuti dan melindungi Puti Kasumbo ke mana pun ia pergi. Ibunya meratap mendengar keputusan kedua anaknya dan memutuskan pula untuk menyertai keduanya ke mana saja. Ketika mendengar perkataan ibunya, Puti Kasumbo pun meminta agar ibunya pulang kembali ke rumah mereka. Ia bertekad akan mempertanggungjawabkan kesalahan mereka berdua tanpa melibatkan ibu mereka. Namun sang ibu tetap pada pendiriannya untuk mendampingi kedua buah hatinya dalam menghadapi aib yang sedang mereka pikul.

Pada saat mendengar hal itu, tiba-tiba Puti Kasumbo mengangkat telunjuknya ke langit. Ia menyumpahi dan mengutuki dirinya sendiri, “Wahai Penguasa Alam, dengarlah kutukanku. Jadikan diriku dan kakakku menjadi batu. Berikan hukuman-Mu atas kesalahan yang kami perbuat.” Seketika petir tunggal pun menggelegar. Kilat menyambar tubuh Puti Kasumbo dan Sutan Lanjuangan. Keduanya berdiri kaku, berubah menjadi batu. Ibunya berlari mendapatkan putra-putri kecintaannya. Ia merangkul batu jelmaan itu dan seketika tubuh Etek Bainar pun ikut menjadi batu pula. Satu keluarga, ketiganya menjadi batu. Ketika mengetahui peristiwa itu, penduduk Sungai Tolang ikut sedih menyaksikannya. Mereka melihat tiga sosok patung batu jelmaan Etek Bainar, Sutan Lanjuangan, dan Puti Kasumbo.

Penduduk akhirnya menamai batu-batu itu sebagai batu Puti Banduik. Kata banduik merupakan penghalusan dari kata gonduik yang artinya ‘gendut karena hamil’. Hingga saat ini, masyarakat masih meyakini bahwa konon batu-batu itu masih ada dan dapat mereka tunjukkan keberadaannya di Kampung Sungai Tolang.

Ditulis oleh: Krisnawati, S.S

DISKUSI


TERBARU


Budaya adat bet...

Oleh Rizka Vivi Aurelia | 18 May 2024.
Seni pertunjukan dan Makanan khas betawi

Perkenalkan Saya Rizka Vivi Aurelia, Saat ini saya berusia 21 tahun, saya ingin mengikuti perlombaan dari budaya indonesia. semoga hasil dari editing...

Batik

Oleh Admin | 17 May 2024.
batik

....

Tarian Adat Bia...

Oleh Amon Kapisa | 17 May 2024.
Tarian Adat

Mengenal Makna hingga Pola Tari Yospan Khas Papua Salah satu seni tari yang cukup populer dari Indonesia timur adalah Tari Yospan . Pada materi ke...

Tarian Adat Bia...

Oleh Amon Kapisa | 17 May 2024.
Tarian Adat

Mengenal Makna hingga Pola Tari Yospan Khas Papua Salah satu seni tari yang cukup populer dari Indonesia timur adalah Tari Yospan . Pada materi ke...

Makanan Khas Je...

Oleh Yaemmm | 10 May 2024.
Makanan daerah

Horog-Horog adalah makanan khas Jepara sebagai sumber karbohidrat dapat menjadi pengganti nasi. Bahan utamanya adlah tepung yang terbuat dari pohon a...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...