|
|
|
|
Pendekar Sejati Bukit Matahari Tanggal 04 Mar 2021 oleh Widra . |
Fajar baru saja tiba. Matahari mulai menampakkan dirinya di kaki cakrawala. Semburat sinarnya yang kuning keemasan mulai menerangi seluruh alam. Bari, bocah berusia sepuluh tahun itu mulai menuruni tangga Omo Hada miliknya. Omo Hada adalah rumah adat khas suku Nias yang terdapat di Desa Bawomataluo.
Pagi ini, ia berniat menjumpai Ina yang tengah sibuk menumbuk padi di dalam lisung batu. Ia sudah tak sabar ingin memulai hari-hari barunya di Tano Niha, sebutan suku Nias untuk menyebut kampung halaman mereka, Tanah Nias. Ia yakin hari ini adalah waktu yang tepat baginya untuk menyapa dunia barunya ini. Sejak kedatangannya sebulan yang lalu, ia sama sekali belum pernah ke luar rumah walaupun hanya sekadar bercengkrama dengan keluarga barunya.
“Bari! Mau ke mana kau? Siapa yang suruh kau ke luar rumah?” teriak Ina yang langsung meletakkan alu, alat untu kemnumbuk padi di dalam suatu wadah yang biasanya disebut lisuung batu. Ia bergegas menarik Bari kembali ke dalam Omo Hada mereka.
“Tapiii Inaa…” Bari pasrah. Ina tetap membawanya kembali ke dalam Omo Hada. Tak peduli ia terus mengerang kesakitan karena cengkeraman tangan Ina yang begitu kuat terhadap lengannya. Sejurus kemudian, Ina langsung mendudukkan Bari di atas kursi kayu. Dorongan tangan Ina yang begitu kuat membuat tubuh Bari terhempas begitu saja di atas kursi kayu itu.
“Ina ini kenapa? Aku hanya ingin berjalan-jalan dan bermain dengan teman-teman baruku. Kenapa Ina melarangku?” tanya Bari kesal. Kedua bola mata Ina langsung terbelalak. Guratanguratan halus tampak jelas di pelupuk matanya. Tak disangka, anaknya itu akan langsung menyerbunya dengan pertanyaan itu. Ia terdiam. Menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit yang dipenuhi tulang-tulang kepala babi peninggalan para leluhur. Ia terus berusaha tenang. Walau ia tahu, hatinya perih. Tak sanggup menahan segala perasaan yang kian berkecamuk di dalam hatinya
Embusan napas perlahan keluar dari rongga mulutnya. Tak sanggup ia mengutarakan semua fakta itu. Ia tak mau membuat hati Bari sendu begitu mendengar kenyataan yang sesungguhnya. Tapi, ia juga tak mungkin menyembunyikan fakta ini lama-lama. Cepat atau lambat, semuanya pasti akan terungkap. Matanya yang sayu memandang anak laki-laki semata wayangnya itu. Tatapan penuh tanya terlihat jelas dari binar mata anak laki-laki itu. Wajahnya masih lugu. Sama sekali belum pantas menelan realita kehidupannya yang begitu pahit.
“Ina! Sudah hampir sebulan aku berdiam diri di rumah. Ina terus melarangku keluar dari rumah. Ada apa, Ina? Apa yang sebenarnya Ina sembunyikan dariku?” Anak itu terus bersungut-sungut, meminta penjelasan dari Ina yang sejak tadi tengah berusaha membendung tangis yang mulai mengintip dari balik pelupuk matanya.
Bari tiba-tiba saja berdiri. Ia terus menatap Ina dengan tatapan kesal yang sedari tadi kian meluap di dalam hatinya. Namun, wanita itu tetap bergeming. Sampai akhirnya, Bari pun pergi meninggalkannya. Hatinya sudah tak sabar ingin bermain bersama teman-teman barunya. Bari berharap semua yang diceritaka Ina sejak dulu dapat terwujud secepatnya.
“Bari!” teriak Ina berusaha menghentikannya. Namun, Bari tak juga mengindahkan panggilan inanya itu. Ia terus berjalan menuruni tangga Omo Hada.
Setelah berjalan beberapa langkah, ia tiba di depan batu setinggi dua meter. Orang-orang di desa ini biasa menyebutnya batu pendekar karena hanya seorang pendekarlah yang dapat melompatinya. Beberapa orang pemuda tampak mulai berlatih lompat batu atau yang biasanya mereka sebut dengan Fahombo itu. Hap! Hap!
Satu per satu dari mereka melompati batu setinggi dua meter itu dengan mulus. Bahkan, sampai membuat Bari ternganga melihatnya. “Keren, Bang! Keren!” ujar Bari yang terus bersorak sembari bertepuk tangan, meluapkan kekagumannya. Lima orang anak laki-laki seusia dirinya yang juga berada di dekat batu itu pun langsung melempar tatapan tak senang pada dirinya. Mereka terus memperhatikan Bari yang tampak bahagia bisa melihat aksi lompat batu itu.
Binar mata mereka seolah benar-benar menampakkan suatu kebencian.
“Siapa Kau?” tanya salah satu anak laki-laki yang kini beranjak menghampiri Bari. “Ya’ahowu! (sapaan saat pertama kali jumpa dalam suku Nias) Namaku Bari! Aku baru saja pindah ke sini,” jawab Bari sembari tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Bari? Aku baru pertama kali dengar nama itu. Di mana rumahmu?” tanyanya lagi. “Itu!” jawab Bari seraya menunjuk ke arah Omo Hada yang hanya berjarak beberapa meter darinya. “Ohhh... Ina Lo’i! Kau yang baru pindah dari Padang itu?” Anak laki-laki itu kini melipat kedua tangannya sambil tersenyum licik. “Ya’ugo tenga ono matua tano niha!” (Kau bukan laki-laki Tanah Nias)
Bari langsung mengernyit. Dahinya kini berkerut, berusaha memahami ucapan teman barunya itu. Ia tak terlalu mengerti bahasa Nias. Ina hanya mengajarkan beberapa kosakata saja padanya. Itu pun bukan Ina yang mengajarkannya langsung. Ia menyerap kata-kata itu ketika Ina mengucapkannya. Seharihari Ina memang sering menggunakan bahasa Nias, apalagi sejak pindah ke sini.
Haniha Nawo Mo? Siapa temanmu?” tanya laki-laki yang gayanya mulai terlihat pongah seperti baru saja menjongging gasing yang sedang berputar. “Mana mungkin dia punya teman, Toro! Dia bukan anak Nias. Aku tahu suami Ina Lo’i itu bukan berasal dari suku Nias,” ejek anak laki-laki lain yang ikut menimpali.
Suasana siang itu kian memanas. Emosi Bari seketika tersulut. Namun, ia berusaha mengendalikan dirinya. Kedatangannya ke sini hanya untuk belajar lompat batu, bukan untuk mencari musuh baru. Bari tak menanggapi ucapan anak-anak itu. Ia pun langsung berjalan meninggalkan mereka. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Biarkan saja, Bari! Tak usah Kau dengarkan ucapan mereka. Buktikan saja kepada mereka dengan aksi nyata bukan sekadar kata -kata. Begitu batinnya.
Sementara, anak-anak itu hanya tertawa terbahaK-bahak karena membuat Bari berkecil hati dengan ejekan mereka. Namun,mereka masih penasaran apa yang ingin dilakukan Bari. Mereka tetap memperhatikan Bari dari jauh.
Bari terus menenangkan dirinya. Ia berusaha tetap mempertahankan senyum yang sejak tadi mengembang di wajahnya. Semangatnya untuk belajar lompat batu tak akan luntur hanya karena ledekan seperti itu. Ia pun berjalan mendekati seorang remaja laki-laki yang baru saja melakukan lompatan indah di atas batu setinggi dua meter. Bari ingin sekali belajar cara melakukan lompatan sehebat itu. Apalagi, dia juga ingin impiannya selama ini akan segera terwujud, melompati batu peninggalan zamanmegalitikum itu.
“Pade! Omasi do! (Hebat! Aku suka!)” puji Bari pada pemuda itu. Pemuda itu pun langsung menoleh ke arahnya. Ia langsung tersenyum dengan ramah. “Bang, ajari aku lompat batu seperti tadi. Lompatan Abang hebat sekali! Aku ingin belajar dari Abang,” pinta Bari dengan antusiasnya. Pemuda itu pun langsung tertawa kecil mendengar ucapan Bari. Baru kali ini ada anak kecil Desa Bawomataluo yang memuji dirinya. Bagi warga Desa Bawomataluo, melompat batu setinggi dua meter bukanlah hal yang baru, malah terkesan biasa saja.
“Kau dari mana? Aku belum pernah bertemu dengan Kau! Kau wisatawan?” tanya pemuda itu sembari sedikit membungkukkan badannya. “Aku Bari, Bang. Mungkin abang baru pertama kali melihatku karena memang aku baru pindah ke desa ini. Tadinya, aku tinggal di Padang. Di kampung halaman Ama. Tapi, setelah beberapa tahun menetap di sana, Ina akhirnya memutuskan untuk membawa kami ke sini sambil ngobatin Ama. Eh, tapi aku lahir di sini lo, Bang. Aku baru pindah ke Padang saat usiaku lima tahun,” Bari menjelaskan dengan lengkap.
“Oh... pantaslah logatmu lain. Tak seperti orang Nias kebanyakan. Siapa nama Inamu?” tanyanya penuh selidik. “Ina Lo’i, Bang!” jawab Bari mantap. “Ohhh... Ina Lo’i. Ya, sekarang abang ingat.” Senyum di wajahnya terlihat semakin mengembang. “Kenalkan! Namaku Ahem Zebua. Kau bisa panggilku Bang Ahem.” Kini ia mengulurkan tangannya yang sudah bersimbah keringat itu.
Sinar matahari di Desa Bawomataluo ini memang terik. Berada di ketinggian membuat desa ini seolah dekat dengan raja semesta itu. Apalagi ditambah dengan atraksi lompat batu yang benar-benar menguras energi. Jadi. wajar saja jika para pemainnya selalu dibasahi oleh keringat. Bisa dikatakan, atraksi lompat batu ini merupakan olahraga yang cukup menyehatkan. “Tapi, maafkan Abang, Bari. Abang tak bisa mengajari kau tradisi lompat batu ini!” Perkataan Bang Ahem seolah seperti petir di siang bolong yang menyambar tubuh Bari. Kepercayaan dirinya seketika ketika menciut. Harapan yang sudah dipupuknya selama bertahun-tahun itu seolah akan lenyap dalam sekejap. “Keee...napa, Bang? Bukannya setiap anak di Desa Bawomataluo harus mempelajari lompat batu ini? Umurku memang masih sepuluh tahun. Tapi, aku ingin belajar dasar-dasarnya terlebih dahulu agar kelak ketika aku sudah seusia Abang, aku bisa mahir melakukannya.” Keringat di tubuh Bari semakin deras mengalir. “Kau bukan Ono Matua Tano Niha , Bari. Kau bukan anak laki-laki Nias sejati. Amamu bukan berasal dari suku Nias. Hanya inamu dan itu tidak bisa menurunkan garis keturunan Nias kepadamu. Ketahuilah, Bari! Garis keturunan suku Nias berasal dari ama bukan dari ina.” Ahem kini menepuk-nepuk pundak Bari, berusaha menegarkannya. “Sudah, ya. Abang mau berlatih lagi. Lebih baik Kau pulang ke rumah, membantu inamu.” Ahem pun beranjak pergi dari tempat Bari berdiri.
Bari, bocah yang sangat berkeinginan menjadi seorang pendekar lompat batu itu pun kini hanya bergeming. Ia diam terpaku di tempatnya berdiri. Keringat mengalir deras dari dahinya. “Hahaha... Lihatlah! Bang Ahem saja sudah menolak untuk mengajari Kau lompat batu karena Kau memang bukan Ono Matua Tano Niha. Sudahlah! Lebih baik Kau pulang sekarang! Bantu inamu merawat amamu yang gila itu!” ejek Toro dengan pongahnya.
Tangan Bari seketika mengepal. Tatapan matanya yang tajam langsung ia lemparkan ke arah Toro. Emosinya kini benar-benar memuncak. Kenyataan pahit ini memang harus diterimanya bulat-bulat. Ia berusaha bisa menerima kenyataan bahwa ia tak bisa menjadi pendekar lompat baru di Desa Bawomataluo. Namun, ia tak mau terima Ama yang dicintainya, dihina serendah itu.
“Kau boleh menghinaku! Kau boleh senang aku tak bisa belajar lompat batu! Tapi, jangan sekali-kalinya Kau hina keluargaku! Terutama Ama! Ingat itu, Toro! Ingat!” Ia memberikan peringatan setengah berteriak di depan wajah Toro.
Emosi Bari benar-benar tersulut ketika itu. Ia pun berusaha mengendalikannya, takut jikalau kepalan tangannya bisa melayang mengenai wajah Toro yang angkuh itu. Ia pun bergegas pulang kembali ke rumahnya. Sambil berjalan, ia buang semua emosi dan rasa kesalnya itu agar tak ia luapkan semuanya ketika tiba di rumah nanti. Ia tak mau Ina menjadi sasaran kemarahannya. Apalagi, kalau sampai Ama mendengarnya.
Matahari mulai menepi. Tampaknya, ia sudah tak sabar menghilang dari birunya langit, menyisakan semburat cahaya keunguan bercampur orange khasnya. Lembayung. Pertanda senja akan segera tiba dan membiarkan langit menjelma menjadi jubah malam bertabur jutaan bintang.
Bari terpaku di depan jendela. Setiap senja menjelang, ia selalu berada di tempat itu. Ia sangat menyukai senja. Menyaksikan sang surya tenggelam, membuat hatinya tenang. Baginya, senja adalah kepingan surga. Karena senja mengajarkannya bahwa tak pernah ada yang hidup abadi di dunia ini. Semua pasti akan kembali. Kembali ke surga-Nya yang abadi. Namun, secercah harapan sudah telanjur ia patri di Tano Niha ini. Kisah-kisah yang sering ina ceritakan sewaktu ia masih kecil, membuatnya memiliki harapan besar untuk keluarganya.
Sebuah tumpukan batu tinggi menjulang mengambil alih perhatiannya. Batu itu tampak jelas di hadapannya. Dipandanginya batu itu lekat-lekat. Entah kapan ia dapat melayang tinggi di atas batu itu. Entahlah, ia pun tak tahu. Ia sadar harapan itu sudah pupus bersama janji-janji yang pernah ia berikan kepada Ama. Tanpa ia sadari, cairan bening sudah mengalir dari pelupuk matanya. Membuang rasa sakit yang telanjur menggores perih di hati kecilnya. Bersama air mata, ia menerbangkan semuanya ke udara.
Semburat cahaya tiba-tiba saja tampak dari lampu teplok yang menyala. Bari langsung menoleh ke belakang. Mencari seseorang di balik remang-remang cahaya lampu teplok itu. Sinar matanya yang sayu pun langsung bertemu pandang dengan seorang wanita yang hampir mendekati usia senja itu, tengah berdiri di hadapan Bari. Ia menganggukkan kepala, seperti tengah mengisyaratkan sesuatu yang harus dilakukan anaknya.
Bari pun bergegas mengambil piring dan menumpukkan nasi serta lauk pauk di atasnya. Tak lupa ia mengambil ceret dan juga gelas. Nampan hitam dan juga lampu teplok kecil pun sudah siap sedia menemaninya masuk ke dalam ruangan di sudut rumah itu. Ia menarik napasnya dalam-dalam. Dihalaunya segala macam kegundahan yang mengganggu pikirannya. Ia tak peduli dan tetap berjalan menuju ruangan itu karena ia tahu, seseorang sedang menunggunya di dalam sana dengan perut yang menggeliat kelaparan.
Krek
Pintu kayu itu pun terbuka. Kegelapan menyergap kedatangan anak laki-laki itu. Ia pun langsung meletakkan lampu teploknya di atas meja kayu kecil berukiran pola bintang.
Tampak seorang pria tengah tergolek layu di sudut ruangan. Tangannya terikat oleh tambang yang begitu kuat. Sepasang kakinya juga dipasung di antara dua tumpukan batu. Tubuhnya yang kurus berbalut kulit kering itu begitu kotor dan berdebu. Luka memar dan lebam juga tampak menghiasi dada dan punggung lelaki tiada berbaju itu. Bari segera mengambil tempat di sisi kanan pria itu. Dilepasnya ikatan tambang yang sudah membekas merah di pergelangan tangannya. Bari berusaha kuat membendung tangisnya. Tak kuasa ia menahan perih melihat kondisi amanya seperti ini.
“Ama, makan dulu ya. Mau Bari suapin?” tawar Bari sembari mendekatkan piring ke sisi pria lemah tak berdaya itu.
Namun, pria itu tetap bergeming. Ia sama sekali tak bangkit dari posisi tidurnya. Padahal, Bari tahu, pria itu sama sekali tak tidur. Matanya yang merah menerawang kosong ke langit-langit rumah. Entah menatap apa, tak ada yang tahu. “Bari suapin saja, ya, Ama. Biar Ama cepat kenyang dan bisa minum obat lagi.” Bari langsung melayangkan sendok ke mulut Ama.
Namun, belum sempat ujung sendok itu mencium bibir Ama yang pucat, sebuah tepisan kuat dengan kepala langsung mengempaskan suapan itu hingga semuanya berserakan di lantai. Bari terkejut, tak mampu berkutik. Mulutnya menganga lebar, tak menyangka penolakan keras dari Ama justru akan didapatkannya. Ada apa dengan Ama?
Bulir-bulir kristal bening akhirnya pecah, mengalir membentuk aliran di sepanjang pipi Bari. Berbagai macam hal mulai bermunculan, kian meluap di dalam hatinya. Teringat lagi olehnya perkataan teman-temannya tadi siang. Marah, kesal, sedih semua meluruh menjadi satu di dalam relung hatinya. Tak dapat dimungkiri. Takdir kehidupannya begitu pahit dan kelam. Bertubi-tubi hinaan menggoyahkan jiwanya
“Bari, apa yang Kau lakukan di sini? Ayo! Cepat keluar! Ina hanya menyuruhmu memberikan makanan ini. Bukan untuk berdiam diri di sini!” Ina datang terhuyunghuyung menghampiri Bari. “Tidak, Ina! Aku masih ingin di sini. Aku masih mau menemani Ama hingga ia menyentuh makanannya,” tegas Bari seraya menyeka air matanya. Emosinya kini kian tak karuan, tak mampu lagi ia kendalikan. “Apa Kau sudah gila? Ayo cepat keluar!” Ina langsung menarik tubuh Bari keluar. Walau Bari terus meronta-ronta, Ina membawanya keluar dari ruangan itu. “Ina, kenapa Ama harus dipasung seperti itu? Kenapa tangan Ama juga diikat dengan tambang sekuat itu? Ama kesakitan, Ina! Ama tersiksa! Apa Ina tidak tahu? Apa Ina tidak bisa merasakannya?” cecar Bari yang penuh dengan kekesalan dan juga kecewa dengan inanya. Ina terdiam. Ia menarik napasnya dalam-dalam, berusaha membuat emosinya tak tersulut dengan ucapan anaknya tadi. “Ina, aku hanya ingin Ama sembuh!” teriak Bari berang. Sepertinya, kali ini Bari benar-benar ingin memancing emosi inanya. Namun, Ina tetap berusaha berusaha tenang. Ia tak mau kata-kata pedas meluncur deras kepada anak sematata wayangnya itu. “Bari, ini untuk kesembuhan Ama. Apa kau tidak lihat sebelum Ama dipasung? Ama terus meronta-ronta, berteriak seolah seperti ada makhluk yang merasuki tubuhnya. Bari, ketahuilah! Jiwa Ama saat ini sedang terganggu. Semua orang di sekitarnya dianggap sebagai musuh. Termasuk Kau!” jawab Ina berusaha memberi pengertian. Dielusnya lembut kepala anaknya itu. “Tidak! Ini bukan untuk kesembuhan Ama. Ama tersiksa, Ina! Ina hanya mendengarkan ucapan Ama Zendrato, dukun gila itu! Dia yang seharusnya dipasung dan diikat seperti ini. Bukan Ama! Ina, Ama butuh pengobatan nyata. Ama harus dibawa ke Gunungsitoli! Di sana banyak rumah sakit. Ada banyak dokter yang bisa merawat Ama di sana. Bukan pengobatan seperti ini, Ina!” Emosi Bari kian menjadi-jadi. Tangannya terus mengepal, mukanya mulai memerah. “Sudah! Cukup, Bari! Kau tak boleh menghina Ama Zendrato seperti itu. Dia masih keluarga kita. Dia itu pamanmu, Bari. Dia sudah banyak membantu keluarga kita. Tak seharusnya, Kau berucap seperti itu!”
Kemarahan Ina akhirnya muncul. Ia sangat kecewa dengan ucapan Bari tadi. Ina paham anaknya itu sedang marah. Tapi, tak sepantasnya ia berucap seperti itu.
“Keluarga? Ina masih menganggap dukun gila itu keluarga kita? Iya! Keluarga untuk Ina! Bukan untuk aku. Aku bukan siapa-siapa di sini, Ina. Aku bukan orang Nias. Di mana pun aku berada, aku tak pernah dianggap. Ina yang orang Nias, bukan aku. Untuk apa Ina membawaku ke sini? Untuk membuatku terus merasakan sakit hati seperti ini? Semuanya sama, Ina. Sama ketika aku berada di Padang. Aku juga tak dianggap karena aku bukan berasal dari suku Minang. Ama yang berasal dari suku Minang. Bukan aku. Tak ada satu pun suku di Indonesia ini yang bisa diturunkan padaku!” Bari tak bisa lagi menahan semuanya. Kejadian tadi siang akhirnya tertumpahkan juga sekarang ini. Di depan inanya. “Ina ingat cerita tentang Lawaendrona, si Manusia Bulan yang sering Ina ceritakan sejak kecil? Aku ingin bertemu dengannya! Ingin sekali, Ina. Aku ingin meminta ia mengizinkan kita untuk hidup abadi di bulan sana. Tak ada penyakit. Tak ada derita. Tak ada cacian yang akan kita terima lagi, Ina. Terutama untuk Ama!” “Maka dari itu, Bari berusaha sekuat tenaga membujuk Ina untuk kembali ke Desa Bawomataluo ini agar Bari bisa berlatih Fahombo. Bari ingin bertemu Lawaendrona secepatnya agar Ama sembuh, Ina! Agar Ama sembuh!” Kakinya mendadak lemas. Bari langsung terduduk di atas lantai. “Tapi apa, Ina? Semua harapan Bari itu sudah pupus! Mereka tak bisa menerima Bari! Mereka menghina Bari. Karena apa, Ina?! Bukan karena Ama sakit jiwa melainkan karena Bari memang tak memiliki jati diri sama sekali. Bari tak dianggap, Ina! Semuanya hancur. Bari tak akan pernah bisa melompati batu pendekar itu!”
Bendungan yang Ina pertahankan sejak tadi akhirnya pecah. Tangis itu akhirnya mengalir deras di pipinya. Perasaan bersalah kian menggelayuti hati kecilnya. Bagaimana tidak? Ia sudah menduga semua ini akan terjadi. Namun, ia sama sekali urung untuk mengutarakan fakta itu kepada Bari.
Tanpa mereka sadari, ama mendengarkan semua percakapan itu. Dari balik sinar matanya, tampak jelas berjuta-juta penyesalan telah terkatung-katung sejak lama di dalam dirinya. Pelupuk matanya mulai basah dan perlahan air mata turun membasahi pipinya. Walau jiwanya sedang terguncang, ia paham bahwa anak dan istrinya sedang bertengkar karena dia.
“Aku benci Ina!” Bari langsung berlari ke luar rumah. “Bari!” bentak Ina, berusaha menghentikan langkah anaknya itu. Namun, Bari seolah menutup telinganya. Tak didengarkannya bentakan inanya itu. Ia terus berlari, menuruni tangga Omo Hada dan pergi meninggalkannya. Ina gemetaran. Lututnya terus bergoyang. Kakinya seolah tak sanggup lagi menopang tubuhnya.
Bruk!
Ina jatuh berlutut dengan derai air mata yang terus mengalir begitu derasnya. Ina tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia terus dihantui perasaan bersalah. Pernikahannya dengan Ama beberapa tahun yang lalu justru membawa dampak besar bagi identitas anaknya sekarang. Namun, takdir sudah telanjur digariskan Tuhan untuknya dan juga keluarganya.
Di bawah remang-remang cahaya lampu teplok, tangis itu kini juga menghiasi wajah sangar lelaki itu. Lelaki yang terus dihantui perasaan bersalah karena kesalahannya di masa lalu. Tak seharusnya, keluarganya seperti ini. Ia sadar ini semua terjadi jelas karena dirinya. *
Malam sudah tiba. Semilir anginnya perlahan mulai menusuk Bari. Sejak tadi, ia terus bersedekap, melipat kedua tangannya di depan dada, berusaha mencari kehangatan. Malam ini sedikit berbeda. Tak ada jutaan bintang yang biasanya menghiasi langit. Hanya bulan. Ya, hanya satu bulan purnama yang tampak kesepian di atas sana.
Langkah Bari seketika terhenti ketika ia sudah berada di antara kumpulan batu yang katanya sangat disakralkan itu. Namun, baginya batu itu hanyalah sebatas batu biasa. Tak ada sesuatu yang istimewa dari batu itu karena dia bukanlah seorang pendekar yang bisa melompatinya. Gelar kehormatan itu hanya diperuntukkan bagi mereka, anak laki-laki yang berasal dari suku Nias asli. Sementara dirinya? Identitas satu suku pun di nusantara ini tak pernah dikantonginya.
Bari terus berjalan, mencari batu tertinggi yang siang tadi dilompati Bang Ahem. Cahaya terang rembulan terus menemani langkahnya yang bertelanjang kaki. Dingin terus menusuk tubuh kurusnya. Tubuhnya terus gemetaran dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tak ada penerangan sama sekali malam itu. Hanya cahaya bulanlah yang akhirnya menuntunnya mendekati batu tertinggi di desa ini.
Langkahnya terhenti ketika ia tiba di hadapan batu setinggi dua meter itu. Kini di bawah sinar rembulan, tangisnya langsung pecah. Ia memungut bebatuan kecil di sekitarnya dan langsung melemparkannya ke arah batu pendekar itu berkali-kali. Ingin sekali rasanya menghancurkan batu itu agar batu itu tak setinggi itu lagi dan ia pun bisa melompatinya dengan mudah.
“Kenapa Kau harus hadir? Kenapa Kau harus hadir di kehidupanku dan memberiku harapan, Lawaendrona? Kenapa?” teriaknya. Tangannya terus melemparkan bebatuan kecil ke arah batu pendekar itu. Tangis itu tak bisa lagi dibendungnya. Teriakannya kian menjadi-jadi. Badan Bari mulai lemas. Hawa dingin yang sedari tadi menusuk tubuhnya kini mulai melemahkan tubuhnya. Lututnya seketika lemas. Bruk! Ia pun jatuh berlutut di hadapan batu itu. Tubuhnya gemetaran menahan dinginnya angin malam. “Kenapa aku harus hidup? Kenapa? Aku benci semuanya!” Ia terus berteriak putus asa. “Bari!” teriak seseorang dari kejauhan
Dia langsung berlari mendekati Bari yang tengah berlutut di depan batu pendekar itu. Dimasukkan tangannya ke sela-sela ketiaknya, berusaha mengangkat tubuh anak kecil itu. Namun, Bari seolah enggan untuk beranjak dari tempat itu. Hingga akhirnya, ia pun langsung menggendong tubuh Bari secara paksa. Diletakkannya tubuh kurus Bari di atas pundaknya sembari terus berjalan mencari tempat yang lebih hangat untuk ia dan juga Bari.
“Bang Ahem!” ucap Bari terkejut. Dengan bantuan sinar rembulan, ia bisa melihat wajah orang yang tengah menggendongnya itu. Ia tak menyangka bahwa orang itu adalah seorang pendekar sejati Desa Bawomataluo yang baru saja dijumpainya siang tadi. “Turunkan aku, Bang! Aku tak ingin pulang!” teriak Bari yang terus meronta-ronta minta diturunkan. Bari benar-benar takut Bang Ahem akan membawanya pulang ke rumah Ina. Bari tak ingin bertemu Ina lagi. Dia terlanjur kecewa dengan tindakan Ina kepada Ama.
Bang Ahem hanya diam. Dia terus berjalan, menerobos kegelapan malam. Hanya suara binatang-binatang malamlah yang sesekali menimpali rengekan Bari. Ia terus berteriak, meminta Bang Ahem segera menurunkannya. Kini tangannya mulai memukul-mukul pundak Bang Ahem. Bari berharap Bang Ahem akan kesakitan lalu segera menurunkannya. Sayangnya, Bari lupa siapa Bang Ahem yang sebenarnya. Dia adalah pendekar Bawomataluo. Mana mungkin tubuhnya yang kekar berkat latihan lompat batu itu bisa dikalahkan hanya dengan pukulan bocah ingusan berusia sepuluh tahun seperti dirinya.
Kalau dia mau, mungkin rengekan Bari akan semakin kencang dengan sekali pukulan di pantatnya. Bang Ahem tersenyum sendiri ketika niat jahil itu tiba-tiba muncul di pikirannya. Ia jadi teringat dengan Bari sewaktu masih berusia tiga tahun dulu. Waktu itu, Bari dan keluarganya masih tinggal di Desa Bawomataluo sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah ke Padang untuk mengadu nasib. Ketika itu, Bang Ahem yang masih berusia tiga belas tahun mendapatkan pemandangan yang sedikit lucu ketika Bari baru saja bisa berjalan. Ina Lo’i sering memukul pantat anaknya itu karena ia sedang senang-senangnya belajar jalan.
“Abang, mau bawa Bari ke mana?” tanya Bari yang tampaknya sudah terlihat kelelahan.
Namun, Bang Ahem tetap memilih untuk diam. Dia terus berjalan sampai akhirnya mereka tiba di depan salah satu Omo Hada. Perlahan, Bang Ahem pun menaiki tangga Omo Hada itu satu per satu. Ia pun langsung meletakkan tubuh Bari di atas tikar bambu. Bari yang sedang kedinginan pun tak mampu berbuat banyak. Dia langsung menyandarkan dirinya ke dinding Omo Hada dan memeluk kedua lututnya dengan erat. Hanya satu yang sedang dipikirkannya sekarang bagaimana caranya menghalau semua rasa dingin yang seakan merasuki tulang-tulangnya ini.
“Pakai ini!” ujar Bang Ahem sembari memberikan kain batik khas Nias miliknya. Bari pun langsung memakai kain itu dari punggungnya. Dirapatkannya kain itu agar dapat menghangatkan tubuhnya yang sudah sangat menggigil kedinginan. Ekor matanya terus melirik Bang Ahem yang sedari tadi sedang sibuk mencari sesuatu. Sepertinya, Bang Ahem sedang mencari korek api untuk menghidupkan beberapa lampu teplok yang ada di rumahnya.
“Kau lapar?” tanyanya sembari membawa satu lampu teplok ke dekat dirinya
Bari hanya menggeleng. Kali ini, ia ingin balas dendam. Dari tadi, mulutnya lelah mengoceh sementara Bang Ahem hanya bungkam seribu kata. Kini gilirannya untuk melakukan hal yang sama. “Biar tahu rasa dia.” Begitu batinnya.
Bang Ahem yang sudah mengerti pun hanya tersenyum. Ia langsung beranjak ke dapur mengambil sepiring kue pemberian Ina Lo’i, inanya Bari. Lagi-lagi, Bang Ahem senyum-senyum sendiri mengingat kejadian beberapa menit yang lalu itu.
Sebelum menemui Bari, Bang Ahem memang sempat tak sengaja bertemu dengan Ina Lo’i. Ketika itu, Ina Lo’i sedang menangis tersedu-sedu di tangga Omo Hada miliknya. Bang Ahem yang tak kuasa melihat seorang ibu menangis langsung menghampirinya. Setelah mengobrol, Bang Ahem pun mengetahui penyebab Ina Lo’i menangis. Ina Lo’i pun menitipkan sifutu banio, kue putu ketan buatannya untuk Bari yang tak sempat disentuh olehnya. Ina ingat betul sejak pagi tadi, belum ada satu pun makanan yang masuk ke perut Bari. Ina tahu anaknya itu pasti kelaparan di luar sana. Apalagi, suhu udara Desa Bawomataluo ketika malam menjelang bisa turun begitu drastis. Ina sengaha membungkuskan sifutu banio dalam jumlah yang banyak agar Bang Ahem pun bisa memakannya mengingat Bari sangat menyukai kue lezat itu.
Awalnya, Bang Ahem bingung harus mencari Bari ke mana. Namun, dia ingat kejadian siang tadi. Dia yakin Bari pasti sedang berada di batu pendekar itu dan ternyata dugaannya itu memang benar. “Abang tahu pasti kau lapar. Nah, makanlah kue ini! Siapa tahu bisa menjadi pengganjal perutmu yang lapar itu!” ujar Bang Ahem sembari meletakkan sepiring kue sifutu banio di hadapan Bari dan langsung mengambil satu untuk dilahapnya.
Bari mengernyitkan dahinya. Ia seperti kenal bentuk kue sifutu banio itu. Ia pun langsung mengambil satu untuk menjawab rasa penasarannya. Benar saja. Rasa kue itu benar-benar tak asing lagi di lidahnya. “Kapan Ina mengantarkan kue ini?” tanyanya sambil memundurkan posisi duduknya. “Apa jangan-jangan Ina ada di sini?” Ia langsung mengedarkan pandangan elangnya ke setiap sudut ruangan. Bang Ahem langsung tertawa. “Ah, begitu besar rupanya cinta antara ibu dan anak ini”. Begitu pikirnya Bang Ahem tak menyangka Bari dapat langsung mengenal kue buatan inanya hanya dengan satu kali gigitan. Padahal, kue itu banyak sekali tersebar di desa ini. Bahkan, setiap rumahnya pasti sering membuat sifutu banio itu setiap hari. “Kue seperti ini banyak kali di desa ini. Kau saja yang nggak pernah tahu!” jawabnya sambil tertawa agar Bari yakin dengan jawabannya itu.
Bari langsung menaikkan alisnya, berusaha mencari celah kebohongan dari wajah Bang Ahem. Namun, rasa lapar yang menggeliat di perutnya mengalahkan rasa penasaran gerangan siapa pembuat kue lezat itu. Ia pun langsung kembali menyantap kue sifutu banio itu. Senyum di wajah Bang Ahem pun langsung mengembang seketika melihat anak kecil yang sudah dianggap seperti adiknya itu makan dengan sangat lahap. Selepas mengisi perutnya, Bari langsung teringat akan tujuannya semula kabur dari rumah. Ia pun bergegas keluar.
“Bari, mau ke mana? Habiskan dulu sifutu banio-mu ini!” teriak Bang Ahem berusaha menghentikan Bari. Karena tak kunjung mendapatkan sahutan, ia pun bergegas menyusulnya.
Ternyata, Bari hanya duduk di atas bangku batu panjang yang terdapat di depan rumah Bang Ahem. Ia duduk termenung sembari menatap bulan yang bersinar terang malam itu. Bang Ahem pun segera mendekatinya, takut kalau terjadi sesuatu dengannya.
“Kenapa kau ingin sekali bisa menjadi pendekar lompat batu?” tanya Bang Ahem padanya. Bari yang awalnya termenung, kini melirik Bang Ahem. Wajahnya menampakkan bahwa ia benar-benar sedang menunggu jawaban dari Bari. “Apakah Abang pernah mendengar cerita tentang Lawaendrona?” jawabnya balik bertanya. Bang Ahem terdiam. Dia terkejut Bari mengetahui kisah Lawaendrona. Pengetahuannya tentang sejarah Nias sudah begitu jauh rupanya. Padahal, dia bukan berasal dari suku Nias asli. “Ohhh... jadi karena itu. Abang paham sekarang,” ujarnya sembari manggut-manggut. “Dulu, saat Abang seumuran kau, orang tua Abang juga sering menceritakan kisah Lawaendrona.” Bari langsung terbelalak mendengarnya. Apa Abang pernah bertemu dengannya?” tanya Bari dengan penuh harap. “Abang kan sudah melompati batu itu! Pasti Abang pernah bertemu dengannya, kan? Ayo, Bang! Ceritakan padaku! Aku ingin sekali mendengar bagaimana rupanya!” pintanya penuh semangat. Bang Ahem pun bingung harus menjawab apa. “Kenapa kau begitu tertarik untuk bertemu dengan Lawaendrona?” tanya Bang Ahem berusaha mengalihkan perhatian Bari. “Aku ingin meminta Lawaendrona untuk membawa kami tinggal di bulan bersamanya agar Ama bisa sembuh dan kami bisa hidup abadi di sana,” jawab Bari sembari kembali menatap bulan yang sedang purnama itu.
Bang Ahem mengerti sekarang. Bang Ahem mengerti kenapa Bari memiliki keinginan yang besar untuk melompati batu pendekar itu. Ini alasannya. Alasan yang sangat mulia untuk seorang anak seusia dirinya. Bahkan, dia tak pernah berpikir seperti itu ketika mempelajari lompat batu ini. “Kau tahu kenapa hari ini bulan tampak kesepian?” tanya Bang Ahem. Bari yang benar-benar tidak tahu pun hanya menggeleng. “Mungkin, Lawaendrona sedang sedih dengan sikap kau sekarang ini. Makanya, dia mengusir semua bintang karena ia ingin sendiri,” jawab Bang Ahem. “Apakah kau mau bertemu dengan Lawaendrona?” tawar Bang Ahem. “Mau, Bang! Mau sekali, Bang! Aku ingin bertemu dengannya!” sahut Bari dengan semangatnya. Bang Ahem pun langsung mengambil posisi jongkok di hadapan Bari. “Naiklah ke pundak Abang sekarang!”
Bari pun langsung naik ke pundak Bang Ahem. Setelah memastikan anak itu berada di pundaknya, Bang Ahem pun segera membawanya ke batu pendekar tempat mereka bertemu siang tadi. Setelah sampai, ia tak langsung menurunkan Bari melainkan mendekatkan tubuhnya ke batu pendekar itu dan meminta Bari untuk meraih batu itu dengan tangannya agar ia bisa duduk di atas sana.
“Duduklah di atas sana!” pintanya.
“Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanya Bari setelah ia duduk di atas batu pendekar itu. “Renungkan segala kesalahanmu hari ini kepada semua orang, terutama orang tuamu! Kemudian, pejamkan matamu dan berbicaralah kepada Lawaendrona!” jawab Bang Ahem sembari tersenyum.
Bang Ahem pun menunggu di bawah sembari telentang di atas tanah dan ikut menatap bulan purnama yang sedang bersinar terang itu. Sayangnya, ia tampak kesepian di atas sana. Tak ada bintang yang menemaninya. Apa Lawaendrona benar-benar ingin sendiri sekarang?
Beberapa hari ini Bari melewatkan hari-harinya bersama Bang Ahem. Bari belum mau pulang ke rumahnya. Berulang kali Bang Ahem selalu berusaha membujuknya. Namun, usaha itu selalu berakhir dengan sia-sia. Hingga akhirnya, ia pun meminta izin kepada Ina Lo’i untuk merawat Bari sementara waktu.
Awalnya, Ina khawatir Bang Ahem akan menemui masalah jika merawat Bari di rumahnya. Ia juga tak ingin merepotkan pemuda yang sudah banyak membantunya itu. Namun, Bang Ahem berjanji apa pun yang terjadi nanti, ia akan tetap membuat Bari merasa aman dan nyaman.
Melihat Bari, Bang Ahem seperti terlempar ke masa kecilnya dulu. Dulu, ia juga sama seperti Bari. Mempunyai keinginan yang begitu kuat. Namun, bukan keinginan suci untuk belajar fahombo dan bertemu dengan Lawaendrona, melainkan keinginan untuk tinggal kembali di Medan.
Awalnya, keluarga Bang Ahem memang tinggal di Medan. Namun, karena ekonomi keluarga mereka mendadak turun, amanya Bang Ahem akhirnya memutuskan untuk membawa anak dan istrinya pindah ke kampung halamannya di desa ini, Desa Bawomataluo, Kabupaten Nias Selatan. Akan tetapi, Bang Ahem yang sudah terbiasa dengan kehidupan menyenangkan di kota, tak mau ikut pindah bersama orang tuanya. Dia merengek meminta pulang kembali ke Kota Medan setelah sehari tinggal di Bawomataluo. Karena tak bisa berbuat banyak, amanya pun menitipkan anak semata wayangnya itu kepada adik laki-lakinya yang merupakan paman dari Bang Ahem. Belasan tahun pun Bang Ahem lewati dengan menetap di Kota Medan.
Hingga, ketika usianya mulai beranjak remaja, kabar buruk itu datang. Inanya meninggal karena sakit keras yang sudah dideritanya bertahun-tahun. Saat itu juga, Bang Ahem memutuskan untuk pindah ke Bawomataluo dengan niat untuk merawat satu-satunya orang tua yang masih ia punya, amanya. Namun, Tuhan sepertinya sudah mempunyai rencana lain untuknya. Dua tahun setelah inanya meninggal, amanya juga meninggal dunia karena serangan jantung. Kini tinggallah Bag Ahem yang hidup sebatang kara di desa ini.
Sesekali, Bang Ahem berkunjung ke Bawomataluo dan menghabiskan beberapa hari waktu liburannya di sini. Ia pun pernah bertemu dengan Ina Lo’i dan juga Bari yang waktu itu masih sangat kecil. Ia tahu betul bagaimana kehidupan keluarga Bari. Berbagai macam penolakan berdatangan ketika Ina Lo’i memutuskan untuk menikah dengan amanya Bari. Ina Lo’i yang awalnya juga berasal dari kasta Si’ulu (kasta bangsawan dalam suku Nias), kini berubah menjadi Sawuyu (kasta budak (terendah) dalam suku Nias) karena dianggap sudah melanggar hukum adat. Pernikahannya dengan seorang lelaki yang bukan berasal dari suku Nias dianggap sebagai suatu pelanggaran besar terhadap hukum adat yang berlaku.
“Bari, Abang mau pergi. Kau mau ikut, nggak?” tanyanya sembari membangunkan Bari yang masih tertidur lelap di atas tikar. Bukannya menjawab, ia malah tetap mendengkur. Bang Ahem yang dari tadi terus memperhatikan cara tidur anak itu pun langsung tertawa melihatnya. Benar-benar mirip saat dia masih kecil dulu. Karena tak tega, Bang Ahem pun memutuskan untuk pergi sendiri. Sebelum berangkat, tak lupa ia menyelimuti Bari dengan kain batik Nias yang sudah terlempar jauh dari posisi tidurnya.
Sebenarnya, ia pergi ke luar hanya untuk membeli perekat timbal balik yang sengaja ia persiapkan sebagai kejutan untuk Bari. Untungnya, anak itu tidak mau ikut jadi ia tak perlu menyiapkan seribu alasan untuk mengelabui Bari. Namun, ketika tak sengaja melewati rumah Ina Lo’i, ia jadi tertarik untuk berbincang sejenak dengan wanita itu. Ia ingin memberitahukan kondisi anaknya baik-baik saja bersama dirinya.
“Permisi! Ina Lo’i, ini aku. Ahem,” panggilnya di depan tangga Omo Hada. Panggilan pertama tak ada sahutan. Bang Ahem pun mencoba lagi. Namun, wanita kurus yang dihormatinya itu tak kunjung menampakkan dirinya di depan pintu. “Sedang apa Kau di sini, Ahem?”
Suara seseorang tiba-tiba saja mengejutkan Bang Ahem. Dia pun langsung mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu.
“Ama Zendrato rupanya. Maafkan Ahem, Ama. Ahem hanya sedang mencari Ina Lo’i, inanya Bari,” ujar Bang Ahem menjelaskan maksud kedatangannya. “Ohhh... Ina Lo’i. Ia sedang pergi ke rumah sakit di Gunungsitoli,” jawab lelaki yang ternyata sering dipanggil dengan sebutan Ama Zendrato itu. “Ru...mah sa...kit?” ucapnya terbata-bata. “Sakit apa Ina Lo’i, Ama?” “Bukan. Bukan dia yang sakit. Suaminya. Si Chaniago sudah beberapa hari ini tak mau makan. Kondisi badannya lemas. Jadi, ia memutuskan untuk membawa suaminya ke Gunungsitoli. Tadinya, aku baru saja hendak ke rumahmu. Ia tadi berpesan untuk menjemput Bari di rumahmu.” Ama Zendrato terlihat berusaha menenangkan Bang Ahem yang sudah panik mendengar kabar itu.
“Syukurlah. Aku kira Ina Lo’i sakit karena Bari.” Bang Ahem sedikit bisa bernapas lega mendengar jawaban Ama Zendrato. Namun, ia tetap mengkhawatirkan kondisi amanya Bari. “Jika Ama mengizinkan, bolehkah Bari tetap bersama Ahem untuk sementara waktu?” tanya Bang Ahem ragu. Ia takut sekali Ama Zendrati yang terkenal tegas dan keras itu marah pertanyaannya. “Sebenarnya, inanya berpesan agar aku merawatnya untuk sementara waktu. Tapi, sepertinya, dia lebih suka tinggal bersama Kau ketimbang aku. Baiklah. Jika Kau dan dia yang mau seperti itu, aku tak akan mempermasalahkan. Yang penting, Kau jaga keponakanku itu baik-baik. Kalau Kau butuh apa-apa untuk merawatnya, datang saja ke rumahku. Bagaimanapun, aku sayang padanya,” ujar Ama Zendrato. Bang Ahem yang baru pertama kali mendengar Ama Zendrato berujar seperti itu pun langsung tertawa kecil. Namun, ia buru-buru menahannya karena takut kalau Ama Zendrato akan tersinggung karena menganggap hal itu seperti sedang melecehkannya. “Kalau begitu, Ahem pulang dulu ya, Ama. Kasihan Bari sendirian di rumah.” Bang Ahem pun pamit pulang kepada Ama Zendrato.
Sepanjang perjalanan pulang, dia terus dilanda kebingungan bagaimana menyampaikan berita kurang baik ini kepada Bari. Sebenarnya, ia tak tega melihat anak seperti Bari sudah harus menanggung banyak beban kehidupan seperti ini. Tetapi di sisi lain, ia juga berhak mengetahui berita ini. Bagaimanapun juga, berita ini menyangkut orang tuanya.
“Bang Ahem, ke mana saja? Bari kok ditinggal sendiri, sih?” protes Bari. “Lho? Muka Abang kok kusut?” Bang Ahem yang tersadar dari lamunannya itu pun langsung memasang senyum palsu agar Bari tak curiga. “Eh, nggak, kok. Tadi Kau bilang apa?” tanya Bang Ahem berusaha menyembunyikan kebingungan sekaligus kesedihannya. “Ah, sudahlah. Biarkan saja berlalu. Oh, iya! Aku kan sudah lama tinggal sama Abang. Ajari aku lompat batulah, Bang,” pinta Bari dengan gaya memelas. Bang Ahem langsung tertawa melihat tingkah lucu Bari. Kalau ada maunya saja, dia selalu memasang gaya andalannya itu. “Baiklah. Kali ini abang mengalah,” ujarnya seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Kali ini, Bang Ahem langsung memasang gaya sok jual mahalnya. “Tapi, sebelum abang ajarkan Kau melompati batu pendekar itu, Kau harus bisa melompati sesuatu yang sudah abang buat untuk kau!” Bari langsung keheranan mendengarnya. Sesuatu? Apa itu? Batinnya terus bertanya-tanya. “Ah, sudahlah. Jangan berlama-lama. Habis waktuku nanti. Pejamkan matamu sekarang!” perintah Bang Ahem. Bari pun langsung memejamkan matanya rapat-rapat. “Jangan mengintip!” Bang Ahem pun langsung menggandeng tangan Bari. Perlahan, ia menuntun Bari ke belakang Omo Hada miliknya. Sepanjang perjalanan, ia tak berhenti tertawa melihat tingkah laku Bari yang seperti ketakutan. Cengkraman tangannya begitu kuat menggandeng tangan Bang Ahem, seolah-olah ia takut kehilangan Bang Ahem. “Tunggu sebentar! Jangan buka matamu dulu!” ujar Bang Ahem yang langsung melepaskan tangan Bari. Ia pun bergegas menghampiri tumpukan itu. Pelanpelan ia perbaiki beberapa posisi yang hampir jatuh tertiup angin dengan perekat timbal balik yang dibelinya. Setelah selesai, ia pun langsung tersenyum puas dan melirik ke arah Bari. “Buka matamu sekarang, Pendekar Kecillll!” teriaknya dengan penuh semangat.
Bari pun langsung membuka matanya. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan bagi dirinya. Matanya terbelalak tak percaya melihat itu. Tumpukan kardus bekas mi instan disusun tinggi menjulang ke atas. Puncak tertingginya kirakira setinggi tubuh Bang Ahem. “Unn...tuk apa ini, Bang?” tanya Bari keheranan. “Untuk siapa lagi selain untuk dirimu, Pendekar Kecil! Ini spesial abang buatkan untukmu agar Kau bisa berlatih fahombo,” jawab Bang Ahem dengan bangganya. “Abang yang akan menjadi gurunya!”
Bari terdiam. Mulutnya menganga, tak percaya apa yang baru dilihatnya dengan kedua bola matanya itu. Kebahagiaan benar-benar dirasakannya saat itu. “Kau lihat ini! Kardus ini bisa dibongkar pasang. Kita bisa mengambil beberapa kardus teratas agar Kau bisa melompatinya dengan sempurna.” Bang Ahem langsung mengambil beberapa kardus dan meletakkannya di atas tanah.
“Bang Ahem, terima kasih! Terima kasih Abang sudah mempersiapkan ini untukku!” Bari langsung berlari ke pelukan Bang Ahem.
Bang Ahem pun langsung menggendong Bari ke atas pundaknya dan mengajaknya berlari, mengelilingi tumpukan kardus bekas mi instan itu. “Ama, Ina, sebentar lagi impianku untuk menjadi pendekar sejati bukit matahari akan terwujud. Doakan aku agar segera bertemu dengan Lawaendrona, si Manusia Bulan. Aku akan memintanya untuk menyembuhkan Ama dan membawa kita hidup abadi di bulan sana. Tak ada penyakit. Tak ada derita. Tak ada cacian yang akan kita terima lagi.” Begitu batin Bari.
Di tempat lain, di Kota Gunungsitoli sana, tampak Ina Lo’i sedang menangis di atas tubuh seseorang lelaki yang dicintainya. Ama, ayah kandung Bari telah pergi menghadap Sang Khalik. Meninggalkan sejuta harapan agar anaknya bisa hidup lebih baik tanpa dirinya
DItulis oleh: Salsa Putri Sadzwana
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |